My Valentines ✔️

By roseannejung

290K 34.5K 3K

[SELESAI] Tentang Jaehyun yang setengah mati menyembuhkan luka dan Chaeyoung yang berkali-kali menggariskan b... More

Tokoh
1. Titik Tengah
2. Hubungan yang Aneh
3. Dimulai dari Sini
4. Menggapai Bintang
5. Positif
6. Harapanku, Kamu
7. Hancur tak Terbentuk
8. Bukan Malapetaka
9. Old Habits
10. Di bawah Pohon Mahoni
11. Toxic and Slipping Under
12. Sepatu Bayi
13. Kami Berempat Bertemu
14. Love Me, Love Me not
15. The Name I Love
16. Separuh dan Setengah
17. Pilih dengan Bijaksana
18. Badai
19. Bintang dan Baru Kerikil
20. One Step Away
21. Sisi Buruk Dia
22. Terlambat Sejak Awal
23. Passionate
24. Little Light
25. Yang Terbaik
26. Top Priority
27. Push and Pull
28. Park Alice
29. Half as Pretty
30. Fast Forward to Present
31. Give Me Two
Episode Spesial : Jung Rion
32. Draw The Line
33. Two Way Feeling
34. Ciuman dan Ilusi
35. A Whole Mess
36. Put A Ring on It
37. The Pandora Box
38. How Fast The Night Changes
39. I Like Me Better
40. Crumble Apart
41. Dunia dalam Genggamanku
42. Frog Prince
43. My Love Is Gone
44. A Dream That Doesn't Sleep
45. Sly Fox
46. Diakhiri untuk Dimulai
Extra 1 : Rion dan Adik
Extra 2 : Half way Through
Special : LDR

Extra 3 : Purple Sky and Kisses

7.8K 707 189
By roseannejung

A/N : Ini adalah bonchap terakhir My Valentines. Selamat membaca teman-teman. Kalau kalian suka dengan cerita ini jangan lupa kasih vote dan komen.

***

Dalam mnghadapi kehamilan keduanya, Chaeyoung merasa santai. Mungkin karena sebelumnya ia sudah memiliki pengalaman hamil dan melahirkan, sehingga ia lebih tenang ketika suatu hal 'aneh' terjadi pada masa kehamilannya. Namun, hal itu sama sekali tidak berlaku pada Jaehyun.

Laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi ayah dari dua orang anak itu sering paranoid. Ketika Chaeyoung mengeluh sakit sedikit, Jaehyun akan langsung membawanya ke rumah sakit. Jika menolak, Jaehyun tidak segan-segan menggedor pintu rumah Mino untuk memintanya memeriksa keadaan Chaeyoung. Beruntung, sang sepupu, yang sekaligus berprofesi sebagai dokter kandungan, cukup sabar untuk menuruti permintaan Jaehyun.

Melihat reaksi Jaehyun yang selalu berlebihan, Chaeyoung menjadi lebih hati-hati dengan kalimatnya. Ia tidak ingin membuat Jaehyun panik. Jika hanya merasa tidak enak badan sedikit atau pegal-pegal, Chaeyoung tidak mau mengadu.

Sudah tiga bulan belakangan seperti ini. Namun, malam ini ada yang berbeda.

Chaeyoung merasa perutnya terasa kencang dan mulas. Awalnya rasa sakit itu datang saat mereka makan malam dan tak lama kemudian hilang. Barulah, dua puluh menit yang lalu, rasa itu kembali muncul dengan lebih kuat.

Chaeyoung pikir, kali ini ia harus memberitahu suaminya.

"Jaehyun...," Chaeyoung mengguncang bahu sang suami yang tertidur pulas di sampingnya. "Jaehyun, bangun."

Masih tidak ada respon.

Chaeyoung tahu, bagaimana susahnya membangunkan Jaehyun yang sedang tidur. Rion saja sampai harus berteriak di telinga Jaehyun untuk membuat laki-laki itu membuka matanya. Tapi, Chaeyoung tidak ingin melakukan itu.

Jadi, satu-satunya cara untuk membangunkan Jaehyun adalah dengan memencet hidung tingginya dan memutus saluran oksigen dari sana.

Kira-kira kurang dari lima detik kemudian, mata Jaehyun terbuka lebar dan dia dengan rakus menghirup oksigen seperti orang yang habis tenggelam.

"Chaeyoung." Jaehyun mengucek mata lalu mengerang sambil merenggangkan otot tubuhnya. "Jangan bilang kamu mencet hidung aku karena disuruh Baby Peach."

"Nggak disuruh," jawab Chaeyoung pelan.

"Terus kenapa? Mau aku usap-usap punggungnya?"

"Nggak mau."

"Hm..., oke. Kalau gitu kamu tidur lagi. Sekarang masih jam dua pagi."

"Jaehyun...," Chaeyoung meringis menahan sakit saat kontaksi perutnya kembali terasa. "Aku kayanya mau melahirkan."

"MELAHIRKAN?" Mata Jaehyun yang semula terasa berat kali ini terbuka sempurna.

"Dari sore tadi, perutku sudah sakit. Tapi, sekarang rasa sakitnya makin sering kerasa."

"Kenapa kamu nggak bilang dari tadi?" Jaehyun bangkit dari ranjang dengan muka khas bangun tidur dan rambut acak-acakan. "Kita ke rumah sakit sekarang."

"Tunggu!" Chaeyoung menahan tangan Jaehyun yang sudah ingin membawanya keluar kamar.

"Kenapa? Ada apa? Kamu nggak bisa jalan?" tanyanya panik.

"Tas pelengkapan bayi."

"Ohia, tas Baby Peach." Jaehyun buru-buru membuka lemari pakaian.

"Di bagian atas."

"Yang ini?"

"Ia benar. Sama tas aku juga ya, Sayang, Yang warna biru gelap." ucap Chaeyoung santai, seakan-akan perutnya tidak sedang berkontraksi setiap beberapa menit sekali.

"Udah semua. Kita berangkat sekarang."

"Kamu nggak ganti baju?" Chaeyoung melirik piyama coklat yang dikenakan Jaehyun malam ini.

"Nggak usah." Dengan dua tas di tangan, Jaehyun menuntun Chaeyoung untuk keluar kamar.

"Aku masih tahan, kok. Kamu ganti baju dulu sana."

"Nggak perlu. Kita langsung ke rumah sakit aja."

"Eh, tunggu-tunggu!"

"Apa lagi? Kamu jangan bikin aku makin panik, ya." Jaehyun terlihat gemas sendiri. "Kamu itu mau melahirkan. Jangan banyak bercanda nanti tenaganya habis."

"Siapa yang bercanda?" Chaeyoung ingin tertawa, tapi rasa sakit di perut menahannya. "Aku mau bilang, tolong bangunin Rion. Kasihan, kalau Rion kebangun dan nggak ada kita, bisa-bisa dia langsung telepon 911."

"Sial, Rion hampir ketinggalan. Kamu tunggu di sini." Setelah mendudukan Chaeyoung di sofa ruang tamu. Jaehyun langsung melesat ke kamar anak laki-laki mereka.

Kira-kira lima menit kemudian, Jaehyun dan Rion berjalan keluar dari kamar. Rion mengenakan hoodie berwarna hijau army, dengan masih menggunakan celana piyamanya.

Wajah anak berusia delapan tahun itu terlihat serius dengan mata merah dan bibir yang mengerucut seperti merasa terganggu karena tidurnya terusik.

"Masih ngantuk ya, Sayang? Mau cuci muka du—loh..., loh..., Rion!" Mata Chaeyoung membelalak saat menyaksikan Rion yang berlari melewatinya di ruang tamu dan langsung keluar rumah. "Jaehyun, Rion mau kemana? Kenapa dia lari?"

"RION!" Jaehyun berniat menyusul namun tidak jadi saat melihat kondisi Chaeyoung yang kesusahan berjalan. Sambil menggandeng Chaeyoung dan membawa dua tas, mereka perlahan-lahan keluar rumah.

"MAMA CEPET, MA! LIFTNYA SUDAH AKU BUKAIN."

Betapa terkejutnya Chaeyoung saat melihat Rion sudah berada di depan pintu lift dengan tangan yang ia gunakan untuk menahan agar pintu lift tidak otomatis tertutup.

"Aduh..., aduh...," Chaeyoung tertawa sambil memegangi perutnya.

"Sayang? Kenapa? Kamu sudah nggak kuat jalan? Aku gendong, ya."

"Nggak! Jaehyun, aku masih bisa jalan!"

"Aku kuat, kok, Sayang. Aku sekarang sudah jadi member gym-nya Kim Jong Kook kamu lupa?"

"Nggak, Jaehyun. Aku masih kuat—Aaaa turunin aku sekarang juga!"

"RION!! JAGAIN PINTUNYA JANGAN SAMPAI KETUTUP. MAMA UDAH MAU LAHIRAN."

"MAMAAAAAA!!!"

Kerusuhan itu berlangsung dari lantai lama hingga ke parkiran mobil. Jaehyun baru menurunkan Chaeyoung saat mereka sudah sampai di mobil.

"Kunci..., kunci...," Jaehyun menyentuh kantong baju dan celana piyamanya. Wajah laki-laki itu berubah kosong saat ia menyadari kalau tidak ada apapun disana.

"Pasti ketinggalan," tebak Chaeyoung. "Kamu, sih, buru-buru. Padahal sudah janji jadi suami siaga yang nggak panikan."

"Sayang, maaf. Ini terakhir kalinya aku panik." Jaehyun menangkup pipi Chaeyoung, meminta pengertian. "Aku ambil kunci mobil dulu, ya. Kamu masih bisa tahan, kan."

Chaeyoung hanya mengangguk.

"Rion, Papa titip ini." Jaehyun memberikan dua tas yang sejak tadi dibawanya kepada Rion. "Tolong jagain Mama sama Adik, ya. Papa ke atas dulu."

Rion mengangguk mantap tanpa keraguan.

"AKU NGGAK AKAN LAMA!" Jaehyun berteriak sambil berlari masuk kembali ke dalam tower apartemen.

Sepeninggalan Jaehyun, suana parkiran bawah tanah dini hari itu kembali sunyi. Keringat dingin mulai menetes di pelipis Chaeyoung karena kontraksi di perutnya kembali terasa.

"Mama...," suara Rion mengalihkan perhatian Chaeyoung dari rasa sakit yang sedang dirasakannya.

"Kenapa, Sayang?"

"Mama sakit?" Rion melirik perut buncit Chaeyoung.

Chaeyoung tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Enggak, kok."

"..."

"Rion, tasnya pasti berat. Sini, Mama aja yang bawa."

Rion menggeleng dan mengambil langkah mundur. "Mama lagi sakit."

"Mama nggak sakit. Sini."

"Nggak mau." Rion memeluk erat dua tas itu dan semakin menjauh dari Chaeyoung.

"Yaudah, kalau nggak mau kasih Mama, taruh di lantai aja biar Rion nggak berat."

"Nggak, mau."

Chaeyoung tersenyum kecil. Ia cukup terkejut dengan sikap Rion yang bergitu proaktif membantu adiknya. Dulu, setiap Chaeyoung dan Jaehyun berbicara mengenai kehamilan, wajah Rion akan berubah masam.

Awalnya, Chaeyoug pikir anak itu tidak tertarik dengan hal-hal berbau kehamilan. Tapi, setelah kejadian bulan lalu—dimana Rion meluapkan semua unek-unek di dalam dadanya—barulah Chaeyoung sadar apa yang ada di kepala anak pertamanya selama ini.

"KUNCINYA SUDAH KETEMU!" Jaehyun berteriak dari pintu parkiran sambil berlari. Wajah laki-laki itu memerah dan napasnya tersengal-sengal seperti habis lari marathon.

"Kalau ada orang yang lihat, bisa-bisa mereka ngira yang mau lahiran itu kamu bukan aku."

"Kamu ngomong apa?" Jaehyun menoleh sambil membukakan pintu penumpang untuk Chaeyoung.

"Enggak. Bukan apa-apa." Chaeyoung menggeleng.

"Ayo cepet masuk. Kita harus ke rumah sakit. Rion, juga masuk dan jangan lupa pasang sabuk pengaman," pesan Jaehyun sebelum mereka bertiga membelah jalanan kota Seoul dengan keadaan panik karena air ketuban Chaeyoung tiba-tiba pecah di jalan.

***

"Siapkan ruang persalinan." Seorang dokter jaga di UGD berucap kepada perawat perempuan. Perawat tersebut kemudian dengan sigap malakukan tugasnya.

Di sisi lain, Jaehyun sedang mendorong Chaeyoung dengan kursi roda. Diikuti oleh Rion yang tergopoh-gopoh membawa dua tas besar berisi keperluan bayi dan Chaeyoung.

"Mama...," suara Rion lirih memanggil Chaeyoung tapi perempuan itu sudah terlalu fokus pada rasa sakit luar biasa yang

"Chaeyoung, kamu nggak apa-apa?" Jaehyun bertanya dengan wajah panik.

"Hmm." Hanya gumaman pelan yang bisa Chaeyoung ucapkan karena rasa sakit yang ia rasakan semakin menjadi-jadi.

"Lewat sini, Bapak." Seorang perawat lain datang dan menuntun Jaehyun menuju ruang persalinan.

Saat hendak melewati pintu ruang persalinan, Jaehyun baru teringat akan kehadiran Rion yang sejak tadi membuntutinya.

"Sus, anak saya gimana? Apa dia bisa masuk ke ruang bersalin juga?" tanya Jaehyun sambil melirik Rion.

"Sebenarnya, tidak ada aturan anak dibawah umur boleh atau tidak masuk ke ruang bersalin. Tapi, proses persalinan terkadang bisa memberikan efek trauma kepada orang tertentu. Keputusan itu ada di tangan Bapak. Apa Bapak siap dengan konsekuensi tersebut."

Jaehyun berbalik dan menatap Rion lamat-lamat.

"Rion."

"Ya?" Mata bulat Rion berkilat terkena cahaya lampu koridor rumah sakit.

Jaehyun berjongkok untuk menyamakan pandangannya dengan milik Rion. Di sentuhnya pundak bocah delapan tahun itu dengan lembut.

"Papa harus temenin Mama melahirkan di dalam. Kalau Rion tunggu di luar sendirian nggak apa-apa, kan?"

"..."

"Papa sudah telepon Kakek sama Nenek. Mereka sekarang lagi di jalan. Mungkin sebentar lagi sampai."

"Papa di dalamnya lama, ya?"

"Enggak, kok. Mama sama Papa cuma sebentar," jawab Jaehyun. "Rion mau, kan nungguin Adik lahir ke dunia?"

Rion mengangguk dengan mantap.

"Rion...," Chaeyoung mengulurkan tangannya dan langsung disambut oleh Rion. "Do'a-in Mama sama Adik ya, supaya bisa cepet ketemu Rion."

"Iya, Ma."

"Makasih Sayang, sudah jadi anak baik." Sambil menahan rasa sakit, Chaeyoung mencium pipi Rion.

"Ini ponsel Papa. Nanti, kalau Nenek atau Kakek telepon angkat, oke." Jaehyun memberikan ponselnya kepada Rion dan anak itu kembali mengangguk dalam diam. "Papa masuk dulu."

Lalu, tanpa tahu harus melakukan apa, Rion melihat sosok Jaehyun mendorong kursi roda kemudian menghilang kala pintu ruang bersalin ditutup.

BLAM

Rion memandang pintu besi di hadapannya dengan tatapan kosong. Diliriknya keadaan di sekitar dan ia tidak melihat satu orang pun selain dirinya sendiri.

Meski dengan perasaan campur aduk yang bercokol di dalam dadanya, Rion menenteng dua tas yang sejak tadi dibawanya menuju bangku besi panjang yang ada di dekat dinding.

Anak laki-laki berusia delapan tahun itu sama sekali tidak membiarkan dua tas yang dititipkan Jaehyun terlepas dari genggamannya barang sedetikpun.

Kira-kira setelah sepuluh menit menunggu dalam keheningan, Rion mendengar samar-samar suara teriakan Chaeyoung dari dalam ruang persalinan.

Perhatian Rion yang semula terfokus pada sendal rumah bergambar bola sepak di kakinya, teralih pada pintu besi di sampingnya. Bocah itu menatap nanar dan menerka-nerka apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam sana.

"Mama...,"

"Rion?"

Rion menoleh cepat ke arah suara.

"Nenek?"

Perempuan paruh baya dengan jaket tebal tersenyum kecil kala melihat sang cucu. "Papa sama Mama sudah di dalam?" tanyanya.

Rion mengangguk.

"Sejak tadi Rion nunggu sendirian, ya?"

Bocah itu mengangguk lagi.

"Cucu Nenek pinter." Saeri mengelus pelan kepala Rion.

"Bagaimana Bu, keadaan Chaeyoung?" Kali ini Gunho—ayah Jaehyun—yang berjalan terburu-buru menghampiri mereka.

"Masih di dalam ruang persalinan."

Gunho menghembuskan napas. Lalu matanya menangkap Rion yang duduk sambil memeluk dua tas.

"Rion, sini tasnya biar Kakek yang bawa. Kasihan kamu bawa barang seberat itu."

Rion menggeleng.

"Nggak apa-apa. Tasnya Kakek yang jagain." Gunho mncoba melepas pegangan tangan Rion pada tas tersebut namun Rion tidak mau mengalah.

"Nanti aku lupa. Nanti tasnya hilang. Kasihan Mama sama Adik." jawab Rion dengan kepala tertunduk, tidak mau menatap mata sang kakek.

Gunho bertukar pandang dengan sang istri.

"Rion percaya, kan sama Kakek. Walaupun Kakek sudah tua, Kakek nggak pikun. Tasnya nggak akan hilang. Kakek janji."

"Iya, kasih Kakek aja, ya." Saeri ikut membujuk. "Kalau sampai hilang, Kakek nanti Nenek hukum."

Setelah melihat wajah kakek dan neneknya bergantian, Rion perlahan-lahan melonggarkan genggamannya. Saat tas itu benar-benar terlepas, suara teriakan Chaeyoung dari dalam ruang bersalin kembali terdengar.

Tubuh Rion menegang.

"Rion khawatir, ya?" Tanya Saeri.

"..."

Saeri memegang tangan Rion. "Mama sama adik akan baik-baik aja.

Seperti baru saja menyadari apa yang sejak tadi menggelayut di dalam dadanya, air mata Rion menetes begitu saja.

"Mama...," Suara lirih Rion terdengar dan Saeri langsung memeluk cucu laki-lakinya.

"Nggak apa-apa. Rion nggak perlu takut."

***

Seorang dokter laki-laki yang mengenakan kacamata, masker, dan penutup kepala, memegang kedua kaki seorang bayi yang masih penuh dengan darah dan menariknya ke udara. Dengan kepala yang ada di bawah, tangisan bayi itu pecah.

"Selamat Bapak dan Ibu, bayinya perempuan."

Dengan tangan gemetar, Chaeyoung menerima bayi yang baru saja dilahirkannya. Ia memeluk bayi kecil itu dan setetes air mata jatuh dari ujung matanya. Jaehyun dengan cepat menyeka air mata Chaeyoung dengan ibu jarinya.

"Aku bilang juga apa? Bayinya pasti perempuan," ucap Jaehyun dengan nada congkak, meski matanya merah menahan tangis.

"Padahal dua hari yang lalu kamu sempet goyah dan bilang kalau Baby Peach sepertinya laki-laki."

"Sekarang tebakanku nggak berarti lagi." Jaehyun tersenyum kecil lalu mencium pucuk kepala anak keduanya lalu pelipis Chaeyoung.

"Kamu nangisnya kenceng banget, Baby." Chaeyoung tertawa kecil mendengar tangisan pertama anak perempuannya. "Baby Peach mirip Rion waktu bayi, ya. Kulitnya merah banget dan rambutnya banyak."

Jaehyun terdiam. Ingatan tentang Rion saat bayi hanya samar-samar terekam dalam pikirannya. Jaehyun tidak mengingat bagaimana rupa Rion dan Yewon, juga tidak sadar apakah Rion sudah memiliki rambut yang tebal saat itu. Yang ia tahu dua bayi yang dilihatnya malam itu sangat kecil dan bau anyir tercium pekat oleh hidungnya.

Mungkin karena isi kepalanya yang carut marut saat itu, hingga ia tidak bisa mengingat detil apa saja yang terjadi.

"Chaeyoung...,"

"Hm?" Chaeyoung hanya bergumam sambil mengelus pelan pipi bayi dipelukannya.

"Terima kasih sudah melahirkan anak-anakku."

Netra Chaeyoung bergulir ke wajah Jaehyun yang terbalut masker steril. Meski tak semua wajahnya terlihat namun ia dapat melihat manik mata Jaehyun yang menatapnya penuh sayang.

"Tanpa kamu, Rion, dan Baby Peach, hidupku nggak akan pernah bisa selengkap ini. Aku janji akan jaga kalian bertiga sampai hela nafas terakhirku."

Mata Chaeyoung sedikit berkaca-kaca.

"Sama-sama, Sayang. Aku bahagia bisa punya keluarga kecil bareng kamu."

"Aku juga."

"Bapak, Ibu, mohon maaf, boleh kami mengurus bayinya kembali?"

Meski dengan berat hati, Chaeyoung memberikan bayi perempuannya kepada suster selagi ia mendapatkan perawatan pasca melahirkan.

"Aku ngantuk banget."

"Ibu, jangan tidur dulu, ya." Dokter kandungan yang menangani Chaeyoung berucap dari balik maskernya.

"Chaeyoung, please jangan tidur." Jaehyun menyeka keringat yang menetes di pelipis sang istri. "Habis ini, kamu mau makan apa? Kemarin kamu sempet ngomong mau makan jjampong. Sekarang masih mau nggak?" Jaehyun mengajak ngobrol agar Chaeyoung tidak tertidur.

"Aku kangen makan pedes. Selama hamil aku nggak pernah makan itu."

Jaehyun memegang tangan Chaeyoung dan menciuminya. "Nanti aku beliin, ya. Tapi, kamu jangan tidur dulu. Sebentar lagi selesai. Kamu pasti kuat."

***

Dengan tiga kantong berisi jjamppong dan makanan China yang pedas lainnya, Jaehyun tergesa-gesa masuk ke dalam rumah sakit. Laki-laki yang masih mengenakan setelan piyama berwarna coklat itu dengan cepat menaiki lift dan berjalan ke lantai tujuh. Dibukanya salah satu pintu yang ada di lorong itu.

"Loh ada apa ini?" tanya Jaehyun kaget. "Kenapa Rion disuapin?"

Seperti tikus yang tertangkap basah mencuri keju, Rion langsung menjauhkan wajahnya dari sendok yang dipegang Chaeyoung.

Sejak berumur dua tahun, Rion dilatih Chaeyoung untuk makan sendiri dan sampai kemarin anak laki-laki itu masih melakukannya. Jadi, wajar saja Jaehyun kaget melihat apa yang sedang terjadi di hadapannya sekarang.

"Katanya tangan Rion sakit habis bawa tas adik sama tas Mama. Jadi, susah pegang sendok," jawab Chaeyoung dengan senyum jahil.

"Sssstttttt." Rion menaruh telunjuk di depan bibir. "Kan aku bilang jangan bilang Papa."

"Ohia, Mama lupa."

"Mama bohong! Nggak nepatin janji." Rion menekuk wajahnya lalu memunggungi Chaeyoung.

"Maaf, Sayang. Jangan marah dong."

"..."

"Ini nasinya dimakan lagi. Nggak apa-apa khusus hari ini Rion boleh disuapin. Papa juga ngebolehin, kok. Ya, kan." Chaeyoung melirik Jaehyun dan laki-laki itu hanya melengos dan berjalan ke meja untuk menaruh barang bawaannya. "Kata Nenek, Rion pinter banget hari ini. Rion jagain tas adik sampai nggak mau dilepas. Terus do'ain Mama sama adik supaya sehat dan selamat selama nunggu."

Jaehyun melirik Rion yang murung dan ia jadi tidak tega."Yaudah, khusus hari ini aja," ucapnya.

"Tuh, sudah boleh. Sini makan lagi." Chaeyoung menarik tangan Rion dan pada akhirnya anak itu kembali mau disuapi.

Saat nasi dengan ayam tumis sayur yang disiapkan pihak rumah sakit untuk Chaeyoung hampir ludes dimakan Rion, pintu ruang rawat Chaeyoung dibuka dari luar.

"Hah? Kakaknya Dudong masih disuapin?" Suara Nakamoto Yuta terdengar. "Malu dong, sudah punya adik juga."

"OM YUTA!" Rion berteriak lalu berlari menghampiri Yuta. "Om nggak boleh ke sini! Om nggak boleh masuk!" Rion mendorong tubuh Yuta agar keluar dari pintu.

"Loh, kenapa? Om sudah jauh-jauh datang ke sini masa disuruh pulang."

"Om Yuta jahat! Aku nggak mau ketemu Om Yuta!"

"Siapa juga yang mau ketemu Rion? Om mau ketemu adik kamu. Wooo salah sangka."

Rion semakin marah dan mendorong Yuta dengan sekuat tenaga. "Nggak mau! Nggak boleh ketemu Adik."

Yuta melirik Jaehyun yang berdiri tidak jauh dari Rion. "Dia kenapa, sih?"

Jaehyun hanya mengangkat bahu dan memilih duduk di pinggir ranjang Chaeyoung untuk menyaksikan drama yang sedang terputar secara langsung di hadapannya.

"Rion, kenapa Om nggak boleh ketemu adik kamu?"

"AKU ANAK MAMA!"

Jawabannya memang tidak nyambung, tapi Yuta seakan mengerti alasan dari amarah Rion. Sedetik kemudian laki-laki berdarah Jepang itu tertawa terpingkal-pingkal.

"Hahahaha. Ohia, karena sekarang Rion sudah punya adik, Rion jadi anak ibu tteokbokki, ya."

"AKU ANAK MAMA CHAEYOUNG!"

"Ayo, om anter ke rumah ibu tteokbokki. Kamu sudah nggak boleh ada di sini. Kamu harus kembali ke Ibu kamu, Rion." Yuta sudah bersiap-siap menggendong Rion namun bocah itu sudah terlebih dahulu berlari dan memeluk Jaehyun.

"Yuta, sudah." Chaeyoung yang tidak tega akhirnya buka suara. "Kenapa kamu suka banget ngeledek anak kecil, sih?"

"Tahu! Om Yuta beraninya sama anak kecil." Rion menyahut sebelum kembali menyembunyikan wajahnya di perut Jaehyun.

"CHAENG!!" belum sempat Yuta menyahut Lisa sudah terlebih dahulu hadir bersama dengan kekasihnya, Ten. "Mana keponakan baruku? Oh! Yaampun sayangnya Tante Lisa, My love, My baby, My sweetheart, Rion." Lisa datang-datang langsung memeluk Rion dan menghadiahi kecupan bertanda lipstik merah muda di kedua pipi anak laki-laki itu.

"Kangen sama Tante nggak?"

Rion hanya mengangguk.

"Tante juga kangen Rion." Lisa memeluk Rion lagi dengan lebih erat. "Ini oleh-oleh dari Hawaii buat Sayangnya Tante Lisa."

"Makasih Tante Lisa!" Rion terlihat bersemangat.

"Sama-sama, Sayang."

"Wah, rame juga, ya." Jennie ternyata ikut menjenguk Chaeyoung dengan kedua anaknya dan juga sang suami—Taeyong.

"Kak Rion!" Alexandra, anak pertama Jennie tersenyum cerah kala melihat Rion. "Kakak! Aku punya game baru di iPad. Ayo kita main bareng."

"Aku juga ikut main." Beverly, adik perempuan Alexandra yang berumur empat tahun menyahut.

"No, Bev! Mainan ini cuma boleh aku sama Kak Rion yang main."

Beverly berkaca-kaca sebelum sedetik kemudian tangisannya pecah. "Mommy! Kak Xandra nggak mau ajak main aku."

"Xandra, adiknya diajak main juga, dong. Jangan di sisihin terus."

"I don't want. Beverly belum bisa main game ini, Mom."

"Alexandra, jangan egois." Taeyong ikut berkomentar, dan anak perempuannya itu langsung terdiam.

"Xandra, ayo kita main sama-sama. Ajak Beverly juga," Rion akhirnya menengahi. "Ayo, Bev." Rion menjulurkan tangannya ke arah Berverly dan anak perempuan yang lebih muda empat tahun darinya itu langsung berhenti menangis.

"Kita main di sana, ya." Rion menunjuk sofa di dekat jendela dan mereka bertiga langsung asik bermain iPad di sana.

"Dilihat-lihat, sepertinya yang belum punya pasangan di ruangan ini hanya aku saja, ya." Tidak ada angin tidak ada hujan, Yuta tiba-tiba bercelotah sendiri.

Semua yang ada di ruang rawat inap Chaeyoung saling melirik satu sama lain, sebelum akhirnya tertawa.

"Makanya cari pacar! Biar bisa kaya gini." Jaehyun memeluk pinggang Chaeyoung lalu mencium pipinya.

Melihat itu, Lisa ikut memeluk Ten, dan Jennie memeluk Taeyong. Tersisa Yuta yang sendirian melihat pemandangan itu dengan senyum kaku.

"Sepertinya benar apa kata Rion. Seharusnya aku pulang saja."

***

Semua tamu yang menjenguk Chaeyoung siang itu tidak bisa secara langsung bertemu dengan Baby Peach karena bayi itu masih berada di ruangan bayi. Mereka hanya bisa melihat dari foto yang diambil dari kamera ponsel Jaehyun dan juga dari balik kaca ruang bayi.

Saat sore menjelang malam dan di ruang rawat inap hanya tersisa Jaehyun, Chaeyoung, dan Rion, seorang perawat mengantar bayi perempuan mereka yang terbaring di box khusus.

Chaeyoung yang rasanya sudah rindu setengah mati langsung menggendong bayi itu dalam pelukannya.

"Bibirnya manyun-manyun, kaya kamu kalau lagi ngambek" Jaehyun tersenyum sambil menyentuh pipis halu anak perempuannya.

"Aku kalau ngambek nggak pernah manyun."

"Manyun, Sayang. Aku sering lihat."

"Nggak!"

"Yaudah ntar kalau kamu ngambek lagi aku foto biar kamu percaya."

Chaeyoung melirik Jaehyun sebal, namun kekesalan itu tak berlangsung lama karena bayi di gendongannya tiba-tiba menangis.

"Cup cup, anak Mama jangan nangis." Chaeyoung menimang-nimang sambil menepuk punggung sang anak.

"Rion, sini." Jaehyun mengisyaratkan Rion yang sedang duduk di sofa sambil menonton Tv agar mendekat. "Kamu dari tadi bilang mau ketemu adik. Ini adiknya sudah di sini. Nggak mau pegang?"

"Boleh?" Rion menghampiri dengan ragu-ragu.

"Siapa yang bilang nggak boleh?" Jaehyun mengangkat tubuh Rion agar anak itu ikut duduk di pinggir ranjang dan melihat sang adik yang ada di gendongan Chaeyoung.

"Adik, kenalin ini Kakak Rion. Waktu kamu mau lahir ke dunia, Kakak bukain pintu lift buat kamu, jagain tas kamu, dan do'ain kamu." Chaeyoung mendekatkan bayi di dalam gendongannya ke hadapan Rion. "Di masa depan nanti Mama yakin, kalian akan jadi saudara, teman, dan sahabat yang akan saling sayang dan menjaga satu sama lain."

Mata Rion tidak pernah lepas dari manusia super kecil di hadapannya."Ini Adik yang ada di perut Mama?"

Chaeyoung mengangguk pelan. "Rion mau cium?"

Meski dengan sedikit keraguan, Rion mendekatkan wajahnya dan mencium pelan pipi selembut sutra adiknya.

"Pa, nama adik siapa? Kata Mama Baby Peach cuma nama panggilan waktu di perut aja."

Chaeyoung dan Jaehyun saling lirik. Mereka berdua sudah menyiapkan beberapa nama, baik itu untuk bayi laki-laki atau pun perempuan. Namun, dari semua nama yang mereka kumpulkan, ada satu nama yang entah kenapa selalu terngiang-ngiang di kepala mereka dan nama itu adalah...

"Bora," ucap Jaehyun. "Nama adik kamu Jung Bora."

Rion melirik Bora yang sedang menguap.

"Halo, Bora. Ini aku Rion, kakak kamu. Umur aku delapan tahun. Aku paling suka main bola. Nanti kalau Bora sudah besar, aku akan ajarin kamu main bola."

"Oke Kakak. Nanti kita main bola bareng, ya." Jaehyun mencicitkan suaranya seolah-oleh Bora berbicara dan itu membuat Rion tertawa.

Melihat apa yang terjadi di hadapannya sekarang, membuat Chaeyoung sadar kalau ia adalah salah satu orang paling beruntung di dunia. Semua hal yang tidak pernah Chaeyoung impikan untuk dimiliki datang sendiri ke dalam genggamannya.

Jung Jaehyun, laki-laki impiannya masa kuliah dulu. Jung Rion, anak pertamanya yang luar biasa, dan sekarang Jung Bora, bayi perempuan yang Chaeyoung tidak sangka-sangka kehadirannya. Mereka semua datang di waktu yang sama sekali tidak Chaeyoung sangka.

Meski harus melalui waktu yang tidak mudah namun, pada akhirnya semuanya terbalas tuntas hari ini. Saat Jaehyun tidak berhenti mengungkapkan rasa sayangnya, Rion yang akhirnya bisa menerima kehadiran sang adik, dan Bora yang terlahir normal dan sehat.

Kalau ada satu momen dalam hidupnya yang dapat Chaeyoung sambangi kembali setiap saat dengan mesin waktu, itu adalah detik ini.

"Mama kok nangis?" wajah ceria Rion seketika berubah murung kala melihat tetesan air mata jatuh ke pipi Chaeyoung.

Jaehyun dengan sigap mengambil menyeka air mata itu. "Kenapa?" tanyanya dengan suara rendah.

"Nggak apa-apa." Chaeyoung tersenyum kecil.

"Mama sakit?" tanya Rion.

"Enggak, Sayang."

"Mungkin Mama sedih karena Rion cium adik tapi Mama nggak dicium." Jaehyun melirik Rion. Ia tahu persis, sejak masuk Sekolah Dasar, anak laki-lakinya itu paling anti kalau sudah disuruh mencium Papa atau Mamanya.

"Mama mau aku cium?" tanya Rion polos.

"Mau." Chaeyoung mengangguk. "Tapi nggak cuma mau dicium Rion, tapi Papa juga."

"Hah?"

"Rion cium pipi kanan Mama, Papa cium pipi kiri." Sebenarnya, saat mengucapkan itu, Chaeyoung hanya asal bicara. Ia sama sekali tidak mengharapkan mereka berdua akan melakukan keinginan impulsifnya itu.

Tapi, yang tidak Chaeyoung ketahui adalah dua laki-laki yang ada di hadapannya akan dengan sukarela mewujudkan semua keinginannya.

Jadi, saat Rion mencium pipi kanan Chaeyoung dan Jaehyun pipi kirinya, ia sangat terkejut.

"Sudah? Atau mau lagi?" tanya Jaehyun dengan senyum miringnya.

"Mau lagi," jawab Chaeyoung dengan senyum lebar danperempuan itu mendapatkan apa yang ia mau.

.

Extra 3 Finished

A/N : Kali ini kita bener-bener berpisah gaessss. Sedih banget tapi, memang My Valentines harus berakhir sampai sini aja.  Kalau mau lanjut di universe mereka, mungkin lebih seru bahas cerita cinta-monyet-segitiga Rion, Yena sama Alexandra saat SMA . Atau cerita masa lalu Chaeng -Chanyeol dari sudut pandang Ceye. Hehehe.

Dan seandainya cerita-cerita itu aku tulis, nggak akan aku post di work ini.

Lastly, untuk kalian yang bertahan sama My Valentines sejauh ini, aku mau ucapin terima kasih. Semoga kita dipertemukan di waktu dan tempat yang lain. Kalau aku ada salah-salah kata mohon dimaafkan juga ya.

Good bye~

Anyooooong yorobun~

Continue Reading

You'll Also Like

6.5K 923 40
Yakin persahabatan kalian nggak ngandelin perasaan? Cowok-cewek? Tanpa ada rasa suka? Yakin? Yang satu nganggep dia kayak dunianya sendiri. Satunya l...
5.3K 507 28
Karena memaafkan tak semudah meminta maaf. JANGAN READ DOANG!! AKU GA SUKA!!
6.3K 302 2
"Gue dan anak gue bukan barang yang bisa kalian perebutkan seperti ini!" Baik Jayden dan Seanno yang sedang adu tenaga langsung terdiam mematung men...
108K 16.5K 23
[BOOK 1] Rose tak pernah menyangka jika harapannya untuk menjadi ibu tunggal adalah sebuah tantangan. Start : 11 Februari 2019 End : 29 Oktober 2020