[✓] I Love You in 10 Days

Da KasirVal

12.9K 1.3K 83

Cerita antara Luciana Nicole dan George Louise ini sangat berbeda. Hanya dalam 10 Hari.. Apa yang terjadi dal... Altro

"Senin"
"Selasa"
"Rabu"
"Kamis"
"Jumat"
"Minggu"
"Senin" [2]
"Selasa" [2]
"Rabu" [2]
"Another Day"

"Sabtu"

802 116 5
Da KasirVal


"Loh, George?" tanya Helen dari jendela perpustakaan tempat biasanya ia dan Lucy bertemu. "Kau.. bukankah hari ini lombanya?"

George mengangguk. "Memang benar, tapi aku harus bertemu dengan Lucy."

"Harus sekarang juga? Bagaimana dengan perlombaanmu? Oh ngomong-ngomong aku tidak bisa hadir. Aku ada acara keluarga." Helen mengusap keningnya. "Lagi pula ada masalah apa kau dengan Lucy?"

"Kami—aku melihat Lucy di apartemen milik temanku. Sungguh, aku tidak tahu kalau dia tinggal disana. Saat itu aku menyapanya, lalu.. Lucy sepertinya marah padaku. Kenapa?" George merasa bingung, sepertinya dia tidak melakukan kesalahan apapun. "Dan tidak masalah jika kau tidak bisa hadir."

Helen mendesah lega. "Temanmu seorang wanita?"

"Ya, apa itu salah?"

Helen tersenyum jahil. "Sepertinya aku mengerti.."

George mengerutkan keningnya. "Mengerti apa Helen? Apa aku salah?"

"Ya, kau salah." Helen menggelengkan kepalanya.

George menelan ludah. "Oke, aku salah apa?"

"Kau tidak menghargai perasaan Lucy." Helen kembali menggelengkan kepalanya, ditambah dengan desahan di akhir.

"Tidak menghargai perasaannya? Kenapa?"

"Sepertinya Lucy menyukaimu." Helen kembali tersenyum jahil.

Jantung George seperti ditekan keras, apa benar? "Sungguh? Kau berpikir seperti itu?" George mengusap keningnya. Berarti.. "Sebaiknya aku harus menjelaskan sesuatu padanya. Apa Lucy ada?"

"Sayangnya dia libur setiap hari sabtu dan minggu." Helen mengangkat bahunya, "Menjelaskan apa? Kau juga menyukainya?"

Wajah George mulai panas. Jantungnya serasa ingin meledak. Dia merasa.. senang, bingung, dan.. panik.

Helen mengangguk-anggukkan kepalanya. "Terlihat dari wajahmu."

George tersenyum kikuk. "Diamlah Helen."

Helen tertawa. "Jika aku jadi kau, aku akan langsung pergi ke apartemennya saat ini juga, tidak peduli Lucy sedang mandi atau apa, aku akan langsung menemuinya."

"Kau benar." George membereskan pakaiannya. "Aku harus kesana."

George menekan bel apartemen kecil itu dengan gugup. Perkataan Helen yang mengingatkan perasaannya pada Lucy semakin membuatnya gugup. Lagipula, George lebih gugup saat memikirkan ada orang lain yang menyapanya selain Lucy.

Salah satu pintu apartemen di lantai bawah terbuka. Seorang wanita paruh baya tersenyum hangat pada George, yang entah kenapa membuat George merasa sedikit nyaman. "Ya?"

George berdeham pelan. "Permisi, saya mencari Lucy."

"Maaf dengan siapa ya? Aku baru melihatmu."

George mengelap tangannya, lalu mengulurkan tangannya pada wanita itu. "Maaf saya tidak sopan. Saya George, teman.. Lucy."

Wanita itu tertawa. "Tidak perlu seformal itu. Jadi kau yang bernama George?" Wanita itu tersenyum. "Anak-anak yang tinggal disini sering memanggilku Bibi Em. Lucy ada di atas.. entah kenapa dia belum keluar dari pagi. Biasanya dia yang menyiram tanaman setiap sabtu dan minggu pagi.." Bibi Em mendesah. "Ayo masuk. Aku yakin Lucy sudah bangun, kau langsung ke atas saja."

George masuk sambil menutup kembali pagarnya, ia menunduk sopan pada Bibi Em. "Terima kasih, Bibi Em."

George sudah menekan bel apartemen Lucy kira-kira 5 kali sekarang, dan baru saat itu juga ia mendengar langkah kaki dari dalam ruangan itu. Terdengar bunyi pintu yang kuncinya dibuka, dan pintu yang ada di depan George terbuka sedikit.

Walau pintu itu hanya terbuka sedikit, George tahu bahwa Lucy mengintipnya dari sela-sela pintu yang terbuka itu. Di bawah mata abu-abu Lucy terlihat kantung mata yang besar. Khawatir, George bertanya,"Lucy? Kau baik-baik saja?"

Lucy menutup pintu sebentar, lalu kembali terdengar ia membuka kunci yang lain, dan pintu itu pun terbuka lebar di depan George. Ia melihat Lucy yang sepertinya baru bangun—rambut ikalnya acak-acakan, matanya benar-benar terlihat sembab sekarang, baju yang Lucy kenakan terlihat berantakan.

"Ada perlu apa?" tanya Lucy dengan suara yang serak, bahkan hampir tidak terdengar sama sekali.

 George semakin khawatir, dan mungkin saja ekspresinya berkata seperti itu."Yaampun.. apa kau benar-benar sakit?  mau ku temani ke dokter?"

Lucy menggeleng lemas. "Tidak perlu.. aku hanya perlu sendiri." Lucy mengangkat bahu lalu mendesah. "Jadi bisakah kau kembali lagi nanti?"

Lucy hendak menutup pintunya kembali, namun tangan George seperti bergerak sendiri, menahan pintu yang akan ditutup oleh Lucy. "Baiklah.. begini, aku benar-benar ingin bicara padamu, ini sangat-sangat serius. Dan tidak disini, aku ingin mengajak mu ke suatu tempat." George berkata dengan suara yang yakin. "Aku akan menunggumu di Hyde Park. Oh, dan jangan berpikir untuk tidak datang. Aku akan terus menunggumu di sana sampai kau datang. Bahkan sampai besok pagi jika kau belum datang, aku akan terus ada di sana." Tambah George.

Tatapan Lucy terlihat lemah, namun kali ini matanya sedikit bersinar menurut George. "Kau.. mau mengajakku kemana?" tanya Lucy sambil kembali membuka pintunya.

George tersenyum. "Kau pasti akan suka, pokoknya sekarang juga. Kau bisa hitung ini sebagai kencan kita sebelumnya." George melangkah mundur sekarang, menurunkan tangannya yang tadi menahan Lucy untuk menutup pintu.

Mata abu-abu Lucy terlihat ragu, lalu ia mendesah dan mengangguk. George membiarkan Lucy menutup pintunya sekarang. Dan tiba-tiba George mendapat ide harus kemana dia, hati George serasa ringan sekarang. Ia pun pergi dari apartemen itu setelah izin pamit pada Bibi Em, dan langsung kembali ke rumahnya. Memesan tiket untuk mereka berdua. Dan memohon hari ini tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya.

Jam 19.00.. George akan bermain solo.

*****

Lucy memijat pelan keningnya di depan kompor, ia sedang menghangatkan teh yang di buatnya kemarin malam. Semalaman Lucy tidak bisa tidur, mencoba melupakan apa yang terjadi semalaman, bahkan mencoba melupakan perasaannya yang baru ia sadari pada George.

Baru saja ia duduk di meja makan, menuangkan teh hangat pada cangkirnya, ada seseorang yang memencet bel apartemen Lucy.

Lucy meneruskan dirinya menuangkan teh hangat, menambah beberapa bongkah gula dan mengaduk-aduknya, bel itu berbunyi lagi.

 Lucy menyeruput teh hangat itu, dadanya serasa lega setelah meminumnya dan bel itu berbunyi lagi. Lucy mendesah karena mendengar bel itu terus di tekan, kaki Lucy serasa berat menuju pintu.

Lucy menambah tehnya, memasukkan gula dan mengaduknya, dan bel itu berbunyi untuk ke empat kalinya. Sekarang Lucy merasa kesal entah kenapa, saat ia baru saja berdiri, bel itu berbunyi lagi.

Oke, pasti ini bukan Bibi Em atau Paman Damien atau bahkan Rosechild bersaudara. Batin Lucy.

Ia berjalan menuju pintu itu dengan malas, dan membuka kunci pertama pintu, pintu itu terbuka sedikit karena rantai yang menahannya. Lucy mengintip dari sisi pintu yang terbuka, dan mendapati George berada di depan pintunya. 

"Lucy? Kau baik-baik saja?" tanya George, entah itu hanya perasaannya atau memang suara George terdengar khawatir.

Lucy mengutuk George dalam hati, kenapa dia harus datang, kenapa dia selalu ada, kenapa dia tidak pergi, kenapa harus ke apartemenku bukan apartemen Natalie? Kenapa aku masih tidak tega untuk mengabaikannya? Kenapa jika mereka berdua.. sepasang kekasih atau apapun, kenapa George masih baik padaku? Kenapa.. aku menyukainya?

Namun Lucy cukup lelah untuk mengatakan pertanyaan itu pada George, akhirnya ia kembali menutup pintunya dan membuka rantai yang bertengger di sela pintu, dan membuka pintu itu lebar-lebar, George terlihat kaget saat melihat dirinya.

Sebenarnya Lucy merasa jengkel pada George, rasanya dia ingin mengusir George. Tapi dia ke sini mungkin karena alasan tertentu.. mungkin.. "Ada perlu apa?" Lucy baru sadar kalau suaranya serak, bahkan tidak terdengar oleh dirinya sendiri. Ia berdeham, mungkin saja suaranya bisa terdengar lebih baik.

Lucy melihat ekspresi George yang semakin khawatir. "Yaampun.. apa kau benar-benar sakit? Mau ku temani ke dokter?" tawar George.

Lucy menggeleng tegas, namun ia terlalu pusing. "Tidak perlu.. aku hanya perlu sendiri." Dan tolong pergi sekarang juga, batin Lucy. Tapi itu terdengar tidak sopan. "Jadi bisakah kau kembali lagi nanti?"

Tanpa mendengar jawaban dari George, Lucy menutup pintunya kembali, namun pintunya tertahan, dan dia melihat George sedang menahan pintu yang Lucy coba tutup.

Lucy kembali mengutuk George dalam hati, dia sudah sangat-sangat lelah dengan semua ini. "Baiklah.. begini, aku benar-benar ingin berbicara padamu, ini sangat-sangat serius. Dan tidak disini, aku ingin mengajak mu ke suatu tempat." George berkata dengan suara yang yakin. "Aku akan menunggumu di Hyde Park. Oh, dan jangan berpikir untuk tidak datang. Aku akan terus menunggumu di sana sampai kau datang. Bahkan sampai besok pagi jika kau belum datang, aku akan terus ada di sana." Tambah George.

Sekarang Lucy ingin menonjok muka George, dia sangat-sangat ingin menolak tawaran itu. Tapi membayangkan George yang duduk di Hyde Park sendirian di tengah malam membuatnya merasa tidak tega. "Kau.. mau mengajakku kemana?"

George tersenyum. "Kau pasti akan suka, pokoknya sekarang juga. Kau bisa hitung ini sebagai kencan kita sebelumnya." George melangkah mundur sekarang, menurunkan tangannya yang tadi menahan Lucy untuk menutup pintu.

Mendengarnya Lucy mendesah pelan, dia ingin sendirian.. sungguh, tapi George keras kepala.. George pasti akan menunggunya. Lagipula jika dipikir-pikir, Lucy tidak bisa bekerja dengan damai jika dia terus lari dari George. Lucy mengambil pilihan yang aman untuknya, ia mengangguk menyetujui tawaran George.

Tanpa basa-basi lagi dia menutup pintunya, mendengar langkah kaki George yang menjauh, rasanya hati Lucy juga ingin ikut pergi. Lucy duduk kembali di meja makannya, teh yang ia tuangkan tadi sudah dingin. Dengan malas Lucy kembali ke dapur, menghangatkan tehnya lagi, dan kembali teringat kejadian semalam.

Lucy duduk di bangku taman kecil yang ada di apartemennya, melihat langit kota London yang cerah sambil berharap dalam hati semoga nanti akan ada hujan badai atau apapun itu. Tanpa sadar Bibi Em duduk di samping Lucy. "Kau bertemu dengannya?" tanya Bibi Em tiba-tiba. "Pemuda bernama George itu?"

Lucy terperenjat kaget saat Bibi Em tiba-tiba ada di sebelahnya dan menyebut nama George. "Bibi bertemu dengannya?" Desah Lucy. "Ya begitulah.. dia mengajakku pergi."

Bibi Em memegang tangan Lucy yang ia tempatkan di pahanya. "Lucy.. apa yang kau rasakan pada George?" tanya Bibi Em, pandangannya seperti merasuk pada Lucy, meminta jawaban langsung dari hati Lucy.

Lucy mengerjapkan mata sekali, lalu menarik napas panjang. "Aku menyukainya Bibi.. padahal kami baru bertemu beberapa hari ini tapi.. aku.." Lucy berhenti, memegangi dadanya yang serasa sesak kalau dia mengingat George. "Kalau rasanya menyukai seseorang seperti ini.. kalau rasanya menyukai seseorang sangat sakit seperti ini.. aku lebih baik tidak menyukai siapa-siapa."

Bibi Em mengusap punggung Lucy. "Dengar Lucy.. dalam hubungan, terkadang tidak akan berjalan sesuai dengan keinginan kita. Kesenangan, kepedihan, harapan, keputusasaan, kesetiaan, penghianatan, dan masih banyak lainnya yang mungkin bisa saja semua rasa itu dirasakan di saat yang bersamaan," kata Bibi Em, lalu ia mendesah. "Yang sekarang hatimu katakan apa? Coba.. pikirkanlah, hati tidak mungkin berbohong."

Kata-kata Bibi Em seperti menusuk Lucy, Bibi Em mungkin benar.. hati tidak mungkin berbohong.. dan untuk saat ini.. Lucy ingin bicara pada George, ingin mendengarnya lagi bermain biola, ingin tersenyum dengannya lagi. Lucy mendesah keras, berharap sesak di dadanya ikut lenyap. "Terimakasih Bibi.. Bibi banyak membantuku," Lucy menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa nanti saja dia pergi menemui George?

"Selamat pagi Bibi Em, Lucy." Terdengar suara Natalie dari belakang Lucy.

Lucy berbalik menghadap Natalie, mencoba tersenyum. "Pagi. Menuju suatu tempat?"

Natalie seperti teringat sesuatu. "Maaf, apakah aku tidak memberi tahu kalian? Hari ini aku mengikuti lomba yang ada di Loyal Albert Hall." Natalie tersenyum cerah. "Bukankah kau mengenal George? Dia tidak memberi tahumu?"

Lucy tersentak. Ia baru mengingat George akan berlomba hari sabtu, hari ini. Dan.. George malah mengajaknya berkencan? Apakah ini salahnya?

"Lomba itu akan diadakan jam berapa?" tanya Lucy tidak sabar. Disampingnya, Bibi Em mengangguk.

"Jam 17.00. Untuk permainan solo akan diadakan dua jam kemudian, setelah permainan grup. Kalian boleh datang, aku yang akan mengurus tiketnya."

Bibi Em kembali mengangguk. "Apa benar? Tidak merepotkan?"

Natalie tertawa renyah. "Tentu, gratis! Kau akan ikut, Lucy?"

Lucy menggeleng. Dia masih tidak percaya pada apa yang dilakukan George. "Sepertinya aku.. akan ikut George. Kau bisa dengan Bibi Em dan yang lainnya."

"Baiklah.. Sepertinya kau dan George sangat dekat?"

Bibi Em mengangguk untuk kesekian kalinya. "Padahal dia baru bertemu beberapa hari lalu."

"Oh?" Natalie terlihat kecewa, yang membuat Lucy tegang entah kenapa. "Baiklah, kalau begitu aku akan pergi. Kau bisa menelfonku atau berbicara pada penjaga jika sudah datang disana, oke?"

"Oke!" Bibi Em mengacungkan jempolnya.

Natalie mengangguk lalu berjalan menuju gerbang. Lucy langsung tersadar dari pemikirannya. "Bibi Em! Aku harus cepat-cepat!"

Lucy berlari menuju tengah-tengah Hyde Park, mencari George di taman ini tidak mudah. Jadi ia mencoba tempat yang memungkinkan George menunggu. Tempat dirinya dan George bertemu kemarin. Lucy melirik jam tangannya, pukul 11.00. 6 jam menuju lomba yang akan George ikuti.

Akhirnya ia menemukan George. Terlihat kalau George terus menerus melihat ponselnya. Lucy mendekatinya, napasnya hampir habis. "Maaf.. aku telat."

George memalingkan wajahnya kearah Lucy, senyum cerah terpasang di wajah George. "Sungguh! Aku kira kau tidak akan datang.." George mendesah.

"Kau!" Lucy menunjuk tepat ke kening George. "Hari ini kau ada perlombaan bukan? Di Royal Albert Hall? Apa kau lupa?!"

George terlihat terkejut, lalu ia tertawa. "Tentu aku ingat. Memangnya ada apa? Kau akan datang?"

"Tentu!" Lucy tidak sabar untuk menjawabnya. "Apa yang kau lakukan disini? Kau tidak latihan?"

George mengangkat bahu. "Aku ingin menjelaskan sesuatu pada seseorang. Tapi sepertinya dia tidak mau mendengarku. Jadi kuajak keluar saja dia, ke tempat spesial," kata George penuh penekanan.

Lucy menelan ludah. "Oke-oke maaf. Aku akan mendengarkan perkataanmu." Setelah dipikir ulang, kenapa Lucy yang meminta maaf pada George?

"Sudahku bilang, aku akan mengatakannya di suatu tempat." George menggandeng tangan Lucy. "Ayo Lucy, ikut dan jadilah gadis manis. Karena kita sedang berkencan."

Wajah Lucy mulai memanas, semoga tidak merona. George sungguh licik. Lucy ingin melupakan perasaannya, tapi bagaimana bisa ia melupakannya jika George sebaik ini padanya? Atau jangan-jangan George memang...

"Kau benar-benar curang." Lucy mendesah untuk kesekian kalinya dalam 2 jam terakhir. Dia sudah lelah mengelilingi kebun binatang ZSL, bahkan mungkin baru setengahnya.

George kembali tertawa. "Sungguh, aku tidak tahu kalau kau membenci ular."

"Mereka itu menjijikan! Tubuhnya menggeliat-liat seperti—Ular!" Lucy memeluk tubuhnya sendiri saat mengingat cara 'berjalannya' ular.

"Mereka memang ular!" George kembali tertawa. "Baiklah, selanjutnya kita kemana?"

"Aku ingin melihat pertunjukan lumba-lumba!" Lucy mengeluarkan peta kecil kebun binatang ZSL dari kantung celananya. "Disebelah sini, bukan?"

George ikut melihat peta yang dipegang Lucy. Jantungnya kembali berdegup kencang. Sungguh, selama ini jantung Lucy tidak bisa diam. Terus berdegup kencang jika George dekat dengannya, bahkan entah kenapa George lebih sering menggenggam tangannya hari ini.

"Baiklah, ayo!" George berdiri, lalu mengulurkan tangannya. "Hari ini kita sedang berkencan~" Ucap George yang mungkin sudah beratus-ratus kali ia ucapkan hari ini. Dan berarti sudah beratus-ratus kali ia menggenggam tangan George...

Lucy menerima uluran tangan George sambil memutar bola matanya. "Ayo!"

Yaampun. Lucy benar-benar senang saat bersama George. Apalagi melihat senyuman miliknya itu.. membuat jantung Lucy berdegup dua kali lipat dari degupannya yang lain. Dia benar-benar menyukai George.

Setelah melihat pertunjukan lumba-lumba, Jerapah, Gorila, Ular, Singa, Buaya, dan hewan-hewan dari berbagai spesies yang ada di ZSL, akhirnya George mengajaknya ketempat lain saat langit mulai berubah menjadi oranye.

"Kita akan kemana lagi?" tanya Lucy yang sudah benar-benar lelah. Mereka ada didalam taksi. George sepertinya sengaja memelankan suaranya saat berbicara pada supir taksi. Kejutan lagi?

George menyandarkan tubuhnya. "Rahasia." George tersenyum pada Lucy. "Kau senang hari ini?"

Lucy mengangguk. "Sangat. Dan kau tidak apa-apa?"

"Apanya?"

"2 Jam lagi. Perlombaan akan di mulai!"

George tertawa. "Tenang saja. Untuk pemain solo kira-kira jam 19.00. Kita akan sampai di sana tepat waktu."

Lucy memicingkan matanya. "Jika kau terlambat dan tidak memenangkan perlombaan ini, aku benar-benar akan marah padamu."

"A—aku belum pernah kesini!!" Lucy kembali berteriak untuk kesekian kalinya hari ini. George mengajak Lucy ke London Eye. Ferrish Wheel  terbesar di London. Ia tidak menyangka kalau George akan membawanya kesini. Melihat matahari terbenam dari ketinggian pasti akan menakjubkan.

"Hei, ayo kemari!" George menarik tangan Lucy. Seketika tubuh Lucy menegang. Semoga George tidak menyadarinya.

"Kita akan menaikkinya?" tanya Lucy tidak sabar.

George ikut tersenyum. "Tentu, dan sepertinya kita mendapat tumpangan spesial." Tanpa di duga, hari ini London Eye terlihat sepi. Mungkin ia akan menaikki salah satu kapsul London Eye berdua saja dengan George.

"Selamat menikmati perjalanan 30 menit diatas London Eye!" kata seorang petugas London Eye.

"Hati-hati dengan langkahmu." Lucy merasa gandengan George lebih keras.

Lucy tertawa, menutupi rasa tegangnya. "Tenang saja."

Lucy langsung berjalan menuju tepian kapsul London Eye. Sudah terlihat matahari akan turun perlahan ke balik cakrawala.

George berjalan menuju sisi Lucy. Lengan mereka bersentuhan. "Bagaimana? Kau menyukainya?"

Lucy mengangguk. "Tentu. Pemandangan sungai Thames tidak ada duanya!"

"Bagaimana jika sekali-sekali kita naik kapal pesiarnya?"

Lucy mengerutkan kening. "Kau bercanda bukan? Biayanya pasti mahal!"

George tertawa. "Temanku ada yang menyewakan kapal pesiar di sungai itu. Tenang saja."

"Terserah kau." Lucy tersenyum. Hari ini benar-benar menyenangkan. Perasaan hangat terus muncul di dada Lucy.

Terjadi keheningan seketika. Namun Lucy menikmatinya. Saat dengan George ia merasa nyaman. Ia ingin terus seperti ini, dengan George. Tidak ada yang lain.

Seketika terdengar melodi biola yang digesek. Lucy memutar tubuhnya. George sedang memainkan biolanya. Lucy mengingat-ingat kapan George membawa biolanya itu.

Dada Lucy kembali hangat. Perasaannya sangat menakjubkan. Wajahnya terasa panas, jantungnya terus berdegup kencang, ia tidak bisa menurunkan pipinya yang tertarik karena tersenyum.

George terlihat sangat menawan. Apalagi saat wajahnya terkena pantulan cahaya matahari yang hampir terbenam. Tangannya sangat mahir menggesekkan biolanya.. jika dirasakan, tangan George sangat halus. Wajahnya terlihat damai saat bermain biola.

Alunan melodi yang dimainkan George sangat indah. Ia bisa merasakan kehangatan didalam melodinya.. seperti sedang jatuh cinta. Atau karena memang Lucy sedang jatuh cinta, jadi dia merasakan hal itu?

Sekitar 10 menit George baru berhenti memainkan biolanya. Permainannya sangat bagus. "Lagu apa yang kau mainkan? Aku.. baru mendengarnya," tanya Lucy.

George mengusap hidungnya. "Ini.. lagu buatanku. Bagaimana menurutmu?"

"Hebat! Lagumu itu.. sangat indah."

George tersenyum. Lalu duduk disalah satu bangku. "Aku ingin berbicara sesuatu padamu." George menyuruh Lucy untuk duduk.

Lucy duduk disamping George. Dadanya kembali berdegup kencang. "A-ada apa?"

 "Lucy." George berdeham. "Apa.. yang kau pikirkan tentangku?"

Lucy terkejut mendengar perkataan George, dia duduk tegak sekarang dan melirikkan matanya ke samping, menghindari tatapan George secara langsung. Entah kenapa suasana disekitarnya berubah drastis. "A—apa maksudmu?"

"Lucy, tolong lihat kearah ku.. aku.. serius kali ini," kata George.

Tentu Lucy tidak menatap George, ia tidak berani menatapnya. Takutnya.. George mengetahui perasaannya. George berdiri dari duduknya. Lalu berlutut di depan Lucy.

Lucy melirik George, sedetik matanya dengan George bertemu, lalu Lucy kembali menundukkan wajahnya untuk menghindari tatapan mata George. "A—apa maksudmu?" tanya Lucy sekali lagi.

Lucy masih berpikir keras, apakah dia harus mengatakan perasaan nya pada George? Tapi.. kalau George tidak merasakan hal yang sama.. apa mungkin hubungannya dengan George akan berakhir?

Lucy tidak mau itu. Ia sudah merasa nyaman dengan hubungannya dengan George saat ini. Kalau sampai terjadi sesuatu di antara mereka, dan ada rasa canggung tiba-tiba.. Lucy merasa lebih baik tidak perlu ada perasaan ini.

Seketika Lucy ingin loncat dari Ferrish Wheel ini dan kembali ke apartemennya. Tapi Lucy tidak bisa melakukannya, kapsul yang dinaikki mereka berdua berada di setengah perjalanan menuju puncak sekarang.

 "Mungkin aku pernah menanyakan ini tapi.." George berhenti, suaranya terdengar tegas, Lucy masih menundukkan kepalanya, yang membuatnya tidak tahu ekspresi George seperti apa. "Aku ingin meyakinkannya sekali lagi.. apa aku pernah melakukan kesalah padamu, tapi aku tidak sadar kalau aku telah melakukannya? Aku.. perasaanku tidak enak saat kemarin. Saat kau menjauhiku." George menggenggam tangan Lucy sekarang, dengan erat.

Lucy menelan ludahnya susah payah, menarik napas diam-diam dan menghembuskannya. Dia balik menatap George. "Bukankah aku pernah menjawabnya George? Kau tidak.. tidak ada salah.. sungguh."

"Kalau begitu kenapa kau menjauhi ku waktu itu?"

Lucy kembali menelan ludahnya, menarik napas dalam-dalam kali ini, otaknya terus berpikir, apa.. aku harus mengatakannya? Kami baru bertemu dan.. aku.. "Kau ingin tahu sebabnya?" tanya Lucy gugup. George tidak menjawab, tapi dia terus menatap Lucy. Dia masih menunggu Lucy melanjutkan perkataannya.

Lucy menahan dirinya agar tidak lari ke ujung kapsul yang ia naikki. "Sebenarnya.. aku juga tidak tahu kenapa aku seperti ini.. tapi yang jelas.." Lucy kembali menarik napasnya, lalu menggenggam erat genggaman George di tangannya, "Saat kau bersama Natalie.. aku.. merasa.. cem..buru.." Lucy menghembuskan napasnya yang tertahan saat ia mengatakannya, ia tidak berani menatap George. Lucy hanya memejamkan matanya saja. Berharap kalau ada lubang saat itu juga dan menjatuhkan Lucy kedalamnya.

*****

George menunggu Lucy melanjutkan kata-katanya, dia masih menatap mata abu-abu Lucy yang terlihat ragu itu. "Sebenarnya.. aku juga tidak tahu kenapa aku seperti ini.. tapi yang jelas.." George melihat Lucy kembali menarik napasnya. Lalu George sedikit terkejut saat genggaman tangannya digenggam erat oleh Lucy, namun terasa nyaman. "Saat kau bersama Natalie.. aku.. merasa.. cem..buru.." Lucy menghembuskan napasnya yang seperti tertahan saat ia mengatakannya, matanya tertutup sekarang. Tapi cengkraman tangan Lucy semakin kencang.

Entah George merasa senang, atau malu, atau lega, atau merasakan ketiganya bersama yang mendengar Lucy 'cemburu' saat ia bersama Natalie. Apa mungkin.. Lucy merasakan hal yang sama sepertiku padanya? Menganggap lebih dari sekedar 'teman'? Pikir George, atau mungkin George mengharapkan Lucy merasakannya.

"Kau tahu Lucy?" George mulai membuka suaranya. "Aku juga pernah merasa cemburu.. saat kau bersama Jake di Green Park waktu itu." George merasa malu mengatakannya, tapi mungkin itu bisa menyelesaikan kesalah pahamannya.

Lucy membuka matanya sekarang, membalas tatapan George dengan matanya yang abu-abu, "Jake hanya tetangga ku! Dia..dia seperti kakakku sendiri.. Sungguh!" Lucy mengaku sambil mencondongkan tubuhnya pada George.

George menahan tawanya saat melihat ekspresi Lucy, lalu ia berdiri dan duduk di samping Lucy, "yah.. dan kau tahu? Saat aku tahu kalau lelaki itu adalah Jake, dan dia tetanggamu, dan sekarang saat kau bilang kau hanya menganggapnya sebagai kakakmu, hatiku merasa lega. Sungguh, bukannya.. aduh.. apa ya.." George bingung mengatakannya, dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sangat banyak yang ingin George ungkapkan sampai-sampai ia tidak tahu yang mana. Lucy masih menatapnya dengan serius, menunggu George melanjutkan kata-katanya. "Yang jelas! Hatiku serasa lega.. beban di punggungku serasa berkurang saat mengetahuinya. Dan apa caramu tersenyum padaku dan pada Jake berbeda?"

Lucy menautkan alis mendengar pertanyaan George. "Cara tersenyum? Sepertinya.. biasa saja."

George tersenyum mendengarnya. "Tapi bagiku itu terlihat berbeda," kata George, "Saat aku melihatmu tersenyum pada Jake.. kau seperti terlihat lebih bahagia dengannya.. kau seperti menjadi dirimu sendiri saat dengan Jake, dan saat itu aku sadar, kalau aku cemburu dengan Jake, mungkin ini terdengar egois. Tapi.. aku ingin kau tersenyum saat bersamaku."

Wajah Lucy terlihat lebih merah.. dan George berpikir kalau Lucy sangat manis. "Aku.." kata Lucy, suaranya hampir tidak terdengar, "Aku juga ingin kau seperti itu," Lucy mendesah, lalu kembali menatap George. "Kau tahu? Kenapa aku membatalkan 'kencan' hari Jumat kemarin?" tanya Lucy.

George tidak tahu menau tentang alasannya, jadi ia menggeleng. "Saat jam makan siang di hari kamis.. aku melihatmu dengan Natalie.. di restoran masakan perancis." Lucy tersenyum kikuk, "Apa.. kau berkencan dengan Natalie? Aku melihatmu, berci..uman dengannya.."

George berpikir keras, mengingat apakah dia pernah berciuman dengan Natalie? Dia yakin.. tidak pernah. Apa saat ia.. dan Natalie saling membenturkan kepala? George tertawa mengingatnya, yang langsung disikut oleh Lucy. Dia menarik napas lalu mengeluarkannya lega. "Lucy.. Natalie hanya temanku, sungguh. Dan aku tidak pernah menciumnya! Lagi pula bagaimana kau bisa berpikir kalau aku menciumnya?"

"Aku melihatmu sedang makan berdua dengannya di restoran masakan Perancis.. dan di situ kalian.." Lucy memalingkan wajahnya.

George kembali tertawa. "Yaampun Lucy.. dia hanya membenturkan kepalanya padaku.. sungguh. Dia hanya temanku, bukan siapa-siapa.."

Entah kenapa George yakin dan meyakinkan hatinya kalau Lucy yang bisa membuatnya bahagia saat ini, bahkan lebih dari bahagia. "Dan.. aku menganggapmu.." George berhenti melanjutkan perkataannya saat ada yang mengetuk pintu kapsul mereka, tanpa sadar mereka sudah berada di atas Ferrish Wheel selama 30 menit penuh, satu putaran London Eye.

George mendengar Lucy mendesah, bahkan dirinya juga mendesah. Lalu mereka berdua tertawa. George menjulurkan tangannya pada Lucy, dan Lucy menerimanya dengan hangat, ini yang diharapkan George. Kehangatan Lucy, senyumannya, dan dirinya yang berada di sisi George.

"Cepat larilah George!" Lucy mendorong George saat sudah memasuki ruang staff.

George menahan tubuhnya yang hampir saja terjatuh. "Tenang saja Lucy. Kita tepat waktu!"

"George! Yaampun! Kau akan tampil setelah dua orang lagi!" Natalie menyahut dari pintu ruang peserta. "Dari mana saja kau?!"

George tersenyum. "Hanya jalan-jalan saja. Sebaiknya aku siap-siap!"

Natalie mendesah. "Pakaianmu di rak nomer dua." Natalie menggeleng, lalu menghadap Lucy. "Aku sudah mengajak Bibi Em dan yang lainnya. Dan aku sudah membelikan tiket untuk mu. Aku tidak yakin kalau George sempat membelikannya." Natalie tersenyum, lalu memberikan sebuah tiket pada Lucy.

"Kau mengajak Jake?" tanya George. Suaranya satu oktaf lebih tinggi.

"Ya, kenapa?"

Lucy terlihat tersenyum. "Baiklah, terima kasih banyak Natalie! Sebaiknya aku duduk sekarang. Sampai bertemu lagi, George!" Lucy melambaikan tangannya.

George tersenyum. "Sampai bertemu lagi."

Natalie berdeham. "Sepertinya ada yang sangat bahagia~"

"Diamlah Natalie." George tertawa. Ia melihat salah satu peserta baru saja selesai tampil. "Oh.. gawat. Aku harus cepat!

Satu detik seperti selamanya saat George berada di belakang panggung. Dadanya berdegup kencang, perutnya terasa sakit, dan adrenalinnya terpacu. Aneh menurut George. Ini pertama kali untuknya.

"Peserta selanjutnya. George Louise dari Monecy Orkestra!" Terdengar tepuk tangan yang sangat dasyat. George semakin tegang.

Ia mulai berjalan menuju tengah panggung. Ia menyesuaikan matanya dengan sorotan lampu. Ia melihat sekeliling. Mimpinya akhirnya terwujud.

Dari sudut ia melihat aba-aba dari operator. Saat lampu hijau menyala di meja juri, George mulai memainkan permainan biolanya.

Ia memilih lagu yang ia buat untuk Lucy. Hanya untuk Lucy. Dadanya terasa bergetar saat memainkannya, di tambah dengan perasaan hangat yang menjalari tubuhnya. Ia membayangkan senyuman Lucy, kelincahannya, kehangatannya, kecanggungannya, kelucuan Lucy. Dia benar-benar menyukai Lucy.

George merasakan kalau tangannya seperti bergerak sendiri. Bahkan ia menahan dirinya untuk mulai menari.

Setelah bait terakhir dimainkan, ia menghembuskan napasnya. Membungkuk hormat pada penonton dan juri. Sedetik-dua detik terjadi keheningan. Lalu tepuk tangan yang luar biasa setelahnya.

Kaki George serasa lemas seketika, dia pikir tidak ada yang menyukai permainannya.

"Luar biasa, George Louise dari Monecy Orkestra!" MC berkata. "Baiklah, silahkan para Juri."

Juri pertama, dia terlihat lebih tua. Dan jika tidak salah, dia merupakan pianis terkenal yang ada di inggris, Francesco Loyan. Yaampun! George ingin foto bersamanya. "Boleh aku memanggilmu George?"

George mengangguk. Ia tidak bisa menahan senyumannya.

"Ku tebak, lagu ini buatanmu."

George mengangguk lagi.

Frans tersenyum. "Berapa kali kau mengikuti lomba seperti ini?"

George berdeham. "Belum pernah."

Frans dan beberapa juri lainnya tertawa. "Luar biasa! Monecy Orkestra langsung mengirim orang-orang berbakat tanpa ragu. Aku menyukaimu George! Sangat!"

Tepuk tangan yang meriah kembali terdengar dari para penonton.

Juri kedua, seorang penulis lagu klasik, Juliana Stephanie. George kembali merasa tegang. Ia malu jika lagunya terdengar amatir.

"George. Lagu buatanmu sangat hangat. Ku tebak kau memikirkan seseorang saat membuat lagu ini."

George kembali mengangguk.

Julia menangguk. "Saya yakin 100% kalau kau menyukai orang itu."

George menelan ludahnya. Ia merasa jantungnya hampir naik ke tenggorokkannya.

"Apa orang itu ada di sini?"

George melirik ke arah penonton. Tanpa ia duga, mencari Lucy sangat mudah. Ia sudah mengenal Lucy. Bahkan dari jauh dia melihatnya. George bertaruh pada dirinya sendiri, kalau ada 100 orang didepannya saat ini, George pasti dengan mudah mengetahui Lucy yang mana, walaupun ia melihatnya dari belakang.. George pasti akan sangat mudah menemukannya. George kembali menghadap Julia. "Dia ada di sini."

Julia tersenyum hangat. Dan beberapa penonton mendesah kagum. "Saya yakin, orang itu benar-benar beruntung. Karena kau, benar-benar mencintainya."

Terdengar siulan dan tawa dari beberapa penonton. George terus tersenyum, ia kembali menghadap Lucy. Lucy membalas tatapannya. "Ya. Aku benar-benar mencintainya."

 "Pernyataan cinta yang menyentuh." Natalie berkata tepat di telinga George saat George baru duduk di sebuah bangku di ruang istirahat.

"Kau mengejutkan ku!"

Natalie tertawa. "Aku tidak percaya kau baru membuat lagu itu kemarin. Dan aku juga tidak percaya kalau kau baru pertama kali membuat sebuah lagu."

George tersenyum. Apa itu pujian? "Ayolah lupakan."

Natalie tertawa. "Aku yakin kau mendapat juara ke-3"

George mengerutkan keningnya. "Kenapa kau bisa yakin?"

Natalie memutar bola matanya. "Lihatlah mereka semua." Natalie menunjuk orang-orang yang ada dibelakangnya. Para peserta lomba yang lain. "Aku melihat mereka semua sangat ambisius. Hanya ingin menang."

"Bukankah kau juga ingin menang?"

Natalie mengangkat bahunya, lalu duduk disamping George. "Aku menikmati perlombaan ini. Tidak ingin memenangkannya." Natalie mendesah.

Sebentar lagi akan dimulai pengumuman pemenang.

George melirik jam tangannya. Sudah jam 23.00. Ternyata lombanya berjalan cukup lama.

George mendengar ketukan dari pintu. "Semuanya, tolong menuju panggung. Kita akan mulai mengumumkan pemenangnya!" Salah satu operator menyahut, lalu menghilang dibalik pintu sedetik kemudian. Terlalu banyak ruangan yang berisikan peserta di tempat ini.

"Ayo, aku tidak yakin bisa menang."

George menepuk bahu Natalie. "Jangan pesimis. Ayo."

"Juara kedua jatuh pada......." MC sepertinya sengaja membuat George tegang. Suara drum yang terus menerus di pukul juga membuat George semakin tegang.

"Natalie Robery!"

Natalie langsung mencengkram lengan George saat namanya di sebut. Begitu pula George yang mendengar nama Natalie di sebut. "Dengar? Kau juara!"

Natalie menahan air matanya. "Yaampun. Aku tidak percaya!" Natalie maju kedepan panggung. Sambil melambaikan tangannya pada Bibi Em. George tidak melihat Lucy di manapun. Ke toilet.. mungkin?

"Juara pertama jatuh pada........." Kembali terdengar suara drum yang terus menerus di pukul.

"Alicia Zarah!"

Mendengar nama depan itu, dada George serasa dipukul. Dia hampir mengira kalau itu 'Alicia' yang ia kenal. MC juga menyebutkan juara ke-3. George tidak mengenalnya.

 "Dan untuk pemenang harapan kita....." Terdengar beberapa gumaman di antara para penonton. "Ya.. kami tahu. Lomba ini memang jarang sekali memiliki pemenang harapan. Tapi apa kalian setuju jika pemenang harapan kita kali ini adalah......" Drum itu kembali di pukul. Sungguh, George ingin merusak drum itu. Benar-benar membuatnya tegang.

"George Louise!!"

Terdengar sorakan penuh semangat dari para penonton. George langsung mengurungkan niat untuk merusak drum yang menjengkelkan. Ia tidak percaya kalau namanya disebut.

"Kemarilah kawan. Kau benar-benar membuat kami jatuh cinta dengan cintamu." MC itu tertawa.

George berjalan kedepan panggung. Dadanya dipenuhi rasa hangat. Ia kembali menyebarkan pandangannya kepada para penonton. Lucy.. dimana dia?

Setelah diberikan penghargaan dan hadiah untuk para pemenang, kecuali George yang hanya mendapat penghargaan, para peserta saling jabat tangan satu dan yang lainnya.

Ia mendapatkan berpuluh-puluh semangat dari para peserta lainnya. Natalie menyikut rusuk George setelah ia menjabat tangan George.

Namun, senyum George menghilang saat ia menjabat tangan seseorang. Seorang gadis dengan rambut ikal berwarna coklat sebahu. Ia hampir mengira orang itu adalah Lucy. Tetapi, orang ini bukan Lucy.

Dia..

"George? Kau sungguh George yang itu?"

George hanya bisa menelan ludahnya. "Alicia?"

Alicia tersenyum hangat. "Aku senang kau masih mengingatku. Sudah lama tidak bertemu.. Georgi."

George masih tidak menyangka dengan pertemuannya kali ini.

Alicia Robert. Rambutnya masih ikal berwarna coklat kemerahan, matanya masih berwarna abu-abu cerah, senyumannya masih terasa hangat, suaranya masih terdengar lembut.

Seketika lautan memori kembali meruak di pikiran George. Memori yang sudah ia lupakan, yang benar-benar berusaha ia lupakan. Memori yang benar-benar sudah tergantikan, dan tidak pernah hadir lagi beberapa hari ini.

Ya. Alicia Robert. Seseorang yang pernah mengisi hati George saat ia duduk di sekolah menengah atas. Namun dia menghilang begitu saja..

Menggantungkan hubungannya dengan George selama 7 tahun terakhir.

Continua a leggere

Ti piacerà anche

17M 752K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...
1.8M 8.5K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...