[✔] Klub 513 | Hidden Chapter...

Door Wiki_Dwiki

86K 21.7K 4K

Juyeon : "Jadi kita ber empat dikutuk ama Seonghwa, gitu?" Moonbin : "Gaada yang namanya kutukan, yang ada it... Meer

Prologue : "Let Death Make a Room"
Para Akang Ganteng :')
1. Ketakutan Akibat Trauma
3. Di Tempat Yang Sama
4. Panggilan Dari Masa Lalu
5. Kelipatan Dua
6. Saling Terhubung
7. Bunga Aster Yang Tenggelam
8. Kepingan Aster, Si Bunga Kecil
9. Lingkaran Terang, Lingkaran Gelap
10. Susunan Angka
11. Ingatan dan Ketakutan
12. Kisah Raja, F dan A
13. Jalan Petunjuk
14. Kotak Merah Berisi Kematian
15. Utopia Dalam Anarkisme
16. Malam Gelap, Saksi Bisu Kematian
17. Sepanjang Masa
Epilogue : "Semua Baik Baik Saja Sekarang"

2. Kebetulan Mengerikan

4.2K 1.1K 272
Door Wiki_Dwiki

.
.
.

     Juyeon mengetuk pintu kamar Hongjoong setelah mendengar beberapa suara tembakan yang berasal dari kamar kawannya itu. Karena tak kunjung dibuka oleh pemiliknya, Juyeon menghela nafas lalu membuka pintu kamar kawannya itu.
  
  
  "Lu gila?" Tanya Juyeon.

  "Ini bantuin gua buat mikir." Jawab Hongjoong.

  "Ini bahaya gubluk!" Juyeon merampas pistol dari tangan Hongjoong dan mengosongkan isinya. Dia harus menegur Moonbin karena meletakkan senjatanya sembarangan.

    Hongjoong menjatuhkan tubuhnya di atas sofa sambil memeluk boneka minionnya yang telah lusuh. Emang enak kalo badannya mungil kek Hongjoong, single sofa aja cukup buat dia tiduran, kalo Juyeon yang tidur disitu, paling kakinya udah kram. Juyeon menatap kamar Hongjoong yang dindingnya dipenuhi kertas dan banyak sekali ranjau berupa benang merah yang menjuntai sampai lantai.

  "Lu harus bersih bersih, Hongjoong." Ucap Juyeon.

  "Kenapa?" Tanya Hongjoong.

  "Mau gimanapun, dulunya ini kamar lu ama Seonghwa, dia bisa gentayangin lu kalo gamau bersihin kamar." Jawab Juyeon.

    Hongjoong mendengus sambil menenggelamkan mukanya pada punggung boneka itu, "kalo bisa, gua pingin banget ketemu ama dia lagi dan nanya apa tujuan dia masuk ke Klub 513 dan terbunuh di tempat itu tujuh tahun lalu."

 
    Juyeon mendudukkan dirinya di kursi meja belajar Hongjoong, tangannya menarik sesuatu dari laci, membukanya, menatapnya kosong dengan senyum pahit. Deretan angka itu tak pernah berubah, tetap membuatnya sangat kesal. Tangan Juyeon meraih sebuah map berisi kertas kertas hasil penerjemahan Hongjoong 7 tahun terakhir.

    Juyeon kira udah semua jenis sandi Hongjoong coba buat mecahin kodenya, bahkan kawannya itu rela berjuang memenangkan perlombaan cerdas cermat tingkat Nasional yang akan membawa sang pemenang ke Prancis untuk studi wisata. Hogjoong memenangkannya dan dia habiskan seluruh waktunya di Museum Louvre untuk mempelajari kode yang Leonardo da Vinci gunakan ketika melukis salah satu karyanya yang paling terkenal, 'Mona Lisa'.

    Juyeon pernah membicarakan ini dengan Hongjoong. Mungkin karena dia tak sepintar Hongjoong, dia menganggap jika Seonghwa tak menggunakan kode yang serumit itu, pasti dia pernah memainkannya dengan mereka semua. Cuman masalahnya, permainan angkanya Seonghwa itu beragam, dan mereka gatau yang mana.
  
  
  "Hong," Panggil Juyeon.

  "Hmmmm?" Balas Hongjoong sewot.

  "Ayo kita pecahin kasusnya." Ucapan sederhana Juyeon membuat Hongjoong sampai terjatuh dari sofa. Mata bulatnya menatap Juyeon, dia tampak sangat terkejut.

    Juyeon menghela nafas, "gua kira.. Gua udah cukup lama lari ninggalin lu sendirian di tempat yang sama.."

  "Lu gausah maksain diri. Hanya karena lu kasihan ngeliat gua nanggung semuanya sendiri, lu bakal ngerusak mental lu. Siapa sih, yang nggak kenal Juyeon Abuwayna yang bucin banget ama Seonghwa Abhidata?" Tawa Hongjoong.

    Juyeon mendengus kesal, "ngaca gitu, kek. Yang bucin ama Seonghwa bukannya Hongjoong Shamal?"

  
    Hening. Sebelum mereka sama sama ketawa. Mereka sepakat untuk sama sama membuang nama keluarga asli mereka. Nama yang menekan mereka, nama yang membuat hidup mereka jadi sangat menderita.

    Kini mereka semua punya nama belakang yang sama, Zahuwirya dan mereka puas dan merasa cukup dengan itu.

  "Kalo dipikir ulang, nama lu bagus banget, ya? Shamal,"

    Hongjoong ketawa kecil, "nama keluarganya ibu."

    Juyeon terkejut, "lu ga makek nama keluarganya bapak?"

    Hongjoong menggeleng, "terlalu bahaya, lu tau, kan? Nama Pratabrama bukan nama yang bisa lu pakai buat kenalan di depan kelas atau pas mulai presentasi."

   
    Juyeon tentu tau nama itu, nama seseorang yang menguasai monopoli perdagangan senjata kimia dan bom. Keluarga Hongjoong tak pernah menginginkan keberadaannya, seluruh keluarganya mengutuk keberadaan Hongjoong di muka bumi. Ibunya seorang pembunuh bayaran, ayahnya seorang mafia yang berhasil memonopoli perdagangan dunia dalam hal persenjataan militer.

  "Nama lu kek namanya raja di cerita dongeng." Ucap Hongjoong.

  "Gua ga pernah denger ada raja yang namanya Abuwayna."

  "Emang gaada, dongeng yang gua maksud ditulis ama Seonghwa, pas gua ama dia masih SD. Gua ga inget apa apa selain nama dari rajanya, dan.."

  "Dan?"

  "Dan gua yang nangis berjam-jam gara gara denger Seonghwa cerita." Lanjut Hongjoong.

    Hongjoong adalah anak tangguh, Juyeon tau itu. Hongjoong sangat pemberani, dia tak takut pada apapun sejak kali pertama mereka bertemu di Sekolah Menengah Pertama. Namun, jika ada yang bisa membuat Hongjoong menangis, bahkan ketakutan, itu artinya sesuatu itu memang semengerikan itu.

  "Gua inget gua langsung nangis saat itu juga selesai Seonghwa cerita. Gua demam selama seminggu dan setelah sembuh gua beneran ga inget ceritanya kecuali nama tokoh utamanya." Jelas Hongjoong.

  "Cerita macam apa yang anak SD buat sampai lu nangis dan demam?" Heran Juyeon.

  "Nggak tau, tapi, kita cukup tau ketertarikan Seonghwa ama hal hal abnormal. Pas itu, dari segi IQ gua dinilai Superior karena bisa mecahin hal hal rumit terutama Fisika, tapi Seonghwa, dia dikatakan Jenius bahkan oleh pengujinya. Dia suka jadi provokator, dia bisa dan suka bikin orang lain tunduk. Sadar ga sadar, kita adalah salah satu bentuk kejeniusannya." Jelas Hongjoong.

  "Kenapa lu tiba tiba ngegambarin Seonghwa jadi orang jahat?" Tanya Juyeon sedikit tak terima.

  "Karena pada kenyataannya, Seonghwa ga sebaik itu. Dia manusia, dengan otak jeniusnya, dunia ini terasa membosankan tanpa satu atau dua permainan yang mampu mengubah tatanan masyarakat. Lu inget kematian seorang spesialis kejiwaan 14 tahun lalu?" Tanya Hongjoong.

  "Yang mana?" Tanya Juyeon.

  "Yang ngebunuh seluruh keluarganya dan bunuh diri pakai pistol, cuma anak bungsunya doang yang selamat karena dia gaada di TKP pas itu terjadi." Jawab Hongjoong.
  
 
    Juyeon ingat kasus itu. Bagaimana mungkin dia lupa? Dia masih berada di kelas 3 SD, namun ingatannya sangat jelas tentang itu, karena spesialis kejiwaan itu adalah ayahnya dan tragedi itu menimpa keluarga Abuwayna 14 tahun lalu. Juyeon satu satunya yang selamat dari pembunuhan itu karena dia tertidur di perputakaan sekolah dan terkunci di dalamnya sampai ditemukan esok paginya.
  
  
  
  "Dia itu dokternya Seonghwa," ucap Hongjoong tersenyum teduh sambil mengambil sebuah perekam suara dari lemarinya. Juyeon sangat terkejut, kebetulan mengerikan macam apa itu?

  "Hari itu, gua nganterin dia ke rumah sakit karena dia gamau pergi kesana sendirian. Ayah ibunya gamau nganterin dia, alhasil gua yang masih polos dan gatau apa apa ini ngikutin kemauannya Seonghwa. Pagi itu, dia ceria banget, seumur hidup, baru kali itu gua ngeliat Seonghwa senyum sumringah kek baru dapet mainan satu kerdus dari ortunya."

    Hongjoong memutar perekam suara itu,

  "Awalnya gua cuma pingin ngerekam betapa gemesnya wajah Seonghwa pas itu. Tapi karena masih bocil, kala itu gua cuma punya perekam suara, jadi, gua cuma bisa ngerekam suaranya."

    Suara tawa seorang anak kecil yang Juyeon yakini adalah suara Seonghwa terdengar. Seperti yang Hongjoong deskripsikan, Seonghwa terdengar begitu ceria.
  
  
  "Joongie sini!"

  "Jangan tarik tanganku, Hwa."

  "Lihat! Bukankah itu mengagumkan?!"

  "Apa kau sadar sedang menunjuk sebuah ruang bersalin dengan suara teriakan ibu melahirkan?"

  "Begitulah kita lahir, ibu kita merasakan hal yang hampir terlihat seperti kematian. Namun, pada akhirnya, mereka bahkan nggak ingin kita ada di kehidupannya. Tapi Tuhan itu adil, kan? Kita saling memiliki sekarang!"

  "Aku bilang jangan menarik tanganku!"
  
  

— • •    • •    • 
( Die )
  
  

  "Bagaimana harimu di sekolah, Seonghwa?"
  
  
  
    Juyeon kemudian mendengar suara pria dewasa. Suara yang familiar, itu suara ayahnya.
  
  
 
  "Sangat baik! Joongie membuatkanku sebuah bangau kertas, dia bilang jika seseorang berhasil membuat 1000 bangau kertas, satu permohonannya akan dikabulkan! Aku ingin membuatkan Joongie 1000 bangau kertas itu."

  "Kenapa?"

  "Karena dia layak mendapatkannya!"

  "Bagaimana pelajaran hari ini?"

  "Membosankan! Aku sudah memahami sistem pencernaan dan pernafasan manusia sejak TK. Namun, bab peredaran darah membuatku sangat tertarik."

  "Benarkah? Ngomong ngomong, Seonghwa, bisa kau jelaskan darimana kau mendapat luka sayat itu?"

  "Aku membuatnya! Aku mengambil cutter milik Joongie dan mengelupas kulitku dengan itu, Ibu guru sangat panik karena darah yang keluar sangat banyak."

  "Kenapa kau melakukan hal itu?"

  "Aku ingin melihat rupa pembuluh darahku, aku juga ingin melihat bagaimana kinerja otot ototku ketika mendapat luka.."

  "Apa kau tak merasakan sakit?"

  "Sakit yang mana?"
  
  
 
    Juyeon rasakan bulu kuduknya berdiri, dia tak percaya jika dia sedang mendengarkan percakapan seorang anak berumur 9 tahun dengan dokter spesialisnya. Nada bicara Seonghwa tak pernah berubah, tetap lembut, tenang, dan sangat memikat. Sementara Hongjoong tetap memasang muka datarnya.
  
  
  
  "Dokter,"

  "Iya?"

  "Kenapa kau tak membunuh keluargamu saja?"

  "A-apa maksudmu, Seonghwa? Hahaha, tentu saja karena aku sangat menyayangi mereka."

  "Lupakan rasa sayangmu dan bunuhlah mereka malam ini."

  "Aku tak mungkin melakukan itu.."

  "Kau harus melakukannya dokter, kau harus melakukannya untuk Hwa.. Mereka akan sangat bahagia jika kau membunuh mereka. Lagipula, kalian tak akan bertahan lama karena utang yang menumpuk, biar aku hitung, hanya tujuh bulan dari sekarang dan kau akan diusir dari rumahmu juga dipecat dari pekerjaanmu."

  "Kau pasti tak ingin melihat mereka menderita, kan? Percayalah padaku.. Mereka akan sangat menderita, bukankah kembali menghadap Tuhan jauh lebih indah daripada bertahan di dunia yang keras ini? Kemarilah dokter, Hwa akan meminjamkan pistol padamu.. Ada delapan peluru timah, pastikan pistol itu berakhir dengan keadaan kosong."

  "Percayalah pada Hwa, aku anak yang baik, aku selalu berkata jujur, dan aku berusaha membantumu. Lakukan pada pukul 3.15 pagi,"

  "Ke..napa...?"

  "Karena Ronald Joseph DeFeo, Jr membunuh seluruh keluarganya pada jam 3.15 pagi. Joongie dan aku melihat berita tentangnya di Internet, dia berkata jika ada bisikan bisikan yang menyuruhnya melakukan itu, kemudian aku mengatakan ini pada Joongie, 'aku ingin sekali menjadi bisikan itu."

  
  
    Kepala Juyeon tiba tiba pusing, nafasnya tersenggal senggal, dia berusaha bangun dari duduknya, namun itu tak membuahkan hasil baik karena tubuhnya oleng dan jatuh menabrak lantai kamar Hongjoong. Dia lihat kawannya itu menghampirinya sebelum akhirnya dia jatuh pingsan.

.
.
.
.
.
.
  
    Dalam mimpinya, dia melihat seorang anak berambut hitam legam tengah duduk di lantai kayu dengan beberapa kertas gambar yang telah dicoret coret dengan pensil warna. Di hadapan anak itu, dia melihat ayahnya membawa sebuah pistol dan menembaki keluarganya, dari ibu, kakek, nenek, paman, bibinya, kakak perempuannya, adiknya yang masih bayi, dan dirinya sendiri.

    Darah mengenai muka anak itu, dia menoleh ke arah Juyeon, senyum jenaka yang familiar itu seakan meremat jantung Juyeon.

  Hwa...?"

  Juyeon, kau berhak bahagia, karena itu.. Aku meminta ayahmu membunuh semua anggota keluarga yang selalu menyakitimu. Kau memiliki kami sekarang."

  
 
  "HAH!" Juyeon tersentak bangun dari tidurnya, kepalanya sangat pusing, dia melihat sekeliling, dia berada di rumah sakit. Di tangannya tertancap sebuah selang infus, dan dia rasakan masker oksigen melingkar di hidungnya.

  "Kau sudah bangun, Juyeon? Apa kau baik baik saja?" Tanya sebuah suara, Juyeon menoleh dan mendapati Jungwoo dengan seragam perawatnya berdiri di sampingnya dengan muka khawatir.

  "Hongjoong.."

  "?"

  "Dimana Hongjoong?" Tanya Juyeon.

    Jungwoo menekuk alisnya, "Moonbin sedang mendisiplinkannya, dia pasti mengatakan hal yang seharusnya tak kau tau, kan? Aku juga akan memarahinya setelah ini."

  "Pada akhirnya," Jeyeon menutup mata dan air matanya mengalir deras dari pelupuk matanya.

  "Juyeon?" Jungwoo terkejut karena Juyeon tiba tiba menangis.

  "Pada akhirnya.. ketakutan itu benar adanya dan dia selalu memenangkannya. Pada akhirnya gua masih terus lari ninggalin Hongjoong di tempat yang sama. Kenapa gua gabisa jadi sekuat Hongjoong? Payah banget."
  
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
  
  
  
#######  
 
 
Heheheh :D

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

57.5K 19.9K 34
Beomgyu : "Gua nggak sudi saudaraan ama anak gatau terimakasih kayak Heeseung!" Heeseung : "Gua juga ogah saudaraan ama anak nemu kayak Beomgyu." Jeo...
9.9K 1.7K 21
"Emang nya muka gue keliatan kayak pembunuh?" Program baru yang di adakan oleh sekolah SMA yang satu ini berjudul 왕자의 게임 : FIND THE ACE. Salah satu p...
21.7K 4.1K 42
[END] JANGAN BOOMVOTE YA BEB, NOTIFNYA GANGGU. KALO MAU VOTE JGN SEKALIGUS YAA ENJIN Suka teori konspirasi dan cocoklogi? Dibaca deh. Storynya sangat...
20.3K 5.1K 30
Kami kembali! Dengan wajah baru. Dengan wujud baru. Dan dengan misi yang baru. pt two of nzt update tidak terjadwal. Diharapkan untuk membaca seri...