3

14 3 0
                                    

"jadi lo Ceres?" Zenith mengangguk "iya kak, panggil Zenith aja" ia memperkenalkan dirinya dengan sopan. "Naik!" suaranya semakin meninggi, mungkin tak bisa bersabar karena panas terik. "Eh gausah, lagian kakak aja gak kenal aku. Tapi kakak baik banget pinjemin aku jas almamater tadi makasih banget ya kak" ia berusaha menolak dengan cara halus, bisa-bisa nanti ia digiling dengan motornya. "Oke, besok gue kasih tawaran lagi!" setelahnya ia langsung melesat pergi. "Siapa sih dia itu? kok dia tau nama aku ya?" entahlah, sekarang dia harus pulang agar mama Andhara tidak marah.

Setelah 30 menit naik angkutan umum, Zenith segera turun. Rumah saudara nya itu agak jauh juga dengan terminal. Sekarang dia bingung, uangnya tinggal 50 ribu, tapi tante Greta masih lama pulangnya.

"Aku pulang!" ucapnya lesu. Rumah Hera masih kosong, mungkin dia belum pulang apalagi sekolahnya jaraknya lebih jauh dari sekolah ia sendiri.  Rumah sebesar ini (meskipun tak sebesar rumahnya dan tante Greta), begitu lengang. Tidak ada satupun pembantu disini.

"Jam segini aku udah laper, coba lihat ke dapur deh mungkin ada mie instan", Zenith segera melangkah menuju dapur. Akhirnya, masih ada satu butir telur dan mie instan. Setidaknya, cukup sampai nanti malam.

Setelah memasak mie instan dan menghabiskan nya, ia segera mencuci piring dan membersihkan seluruh isi rumah. "Kayaknya mama Ara bakalan seneng deh kalau rumahnya bersih".

"Pinter juga kamu bersih-bersih nya," itu suara mama-nya Hera, "iya ma, lagipula mama pasti seneng kalau rumahnya bersih" ia tersenyum bahagia, berbeda dengan ekspresi menghina dari mama Ara.

Mama Ara segera meninggalkan Zenith, ia bergegas menuju dapur untuk meletakkan di hasil belanjaan kebutuhan pokoknya. "Mie instan nya kamu habisin?" perkataan itu membuat suasana dingin dan mencekam. Matanya menyalang dan menatap Zenith tajam. "I-i-iya tante, tadi aku beneran laper dan gak ada makanan juga" Zenith ketakutan setengah mati. Bodoh! ia lupa kalau mama Ara tak suka apapun barangnya disentuhnya.

"Berani-beraninya ya kamu habisin mie instan saya, Dasar pencuri!!", Ia hanya diam dan menangis tak bersuara. Plak , suara nyaring tamparan itu mulus mengenainya. Tiga kali pipi kanan dan kirinya ditampar dengan keras.

"Maafin zen ma, zen laper" ia menangis sesenggukan didepan mama Ara, tapi sedikitpun yang didepannya itu kasian. Plak, kali ini cukup fatal. Ujung bibirnya sedikit merah karena berdarah. "Ampun ma, ampun" ia berulangkali meminta maaf, tapi tetap saja tamparan nya semakin bertambah. "Detik ini juga silahkan pergi!" tamparan itu mereda. Mamanya Hera segera mendorong hingga Zenith tersungkur pelan, kemudian pergi. Di sudut ruangan ini, Hera pun hanya diam. Tanpa berusaha menghindarkan saudara sepupunya dari tamparan, juga mengabaikan Zenith dalam tangisan kepiluan.

"Maaf ya zen, gue nggak tahu kalau lo habis dipukuli sama mama. Maafin mama gue ya zen" ucapnya penuh sesal. Zenith berusaha mengubur mati-matian rasa praduga buruknya pada Hera, "gak papa kok, mungkin mie instan nya buat kamu tapi udah keburu aku mak- aw" begitu terkejutnya Zenith saat koper keras itu dilempar mengenai pelipisnya. Benar saja perkataan mama Ara, Ia diusir.  "Pergi ke rumah kamu sendiri! Jangan pernah datang kesini, dasar anak pembawa sial!", Mama Ara segera membawa paksa Zenith keluar rumah. Hari sudah sore, bahkan dengan tega nya ia mengusir Zenith.

Sepanjang perjalanan menuju rumah tante Greta, ia menangis tersedu-sedu. "Mama sama papa gak lihat ya kalau Zenith habis ditampar sama mama Ara? Hera sama sekali gak menghentikan mamanya, coba aja kalau mama sama papa masih disini", rasa sesal itu kian menyeruak. Hidupnya bertambah pelik ketika dua malaikat di hidupnya pergi, bukan hanya satu melainkan dua sekaligus. "Disini sepi banget, Zenith takut" ucapnya pada dirinya sendiri. Ia melewati sebuah area yang sudah jauh dari rumah Hera, ia larut dalam tangisan hingga tak tahu kemana kaki melangkah tanpa arah. Ia memang tahu jalan ini, tapi karena sepi ia sedikit takut.

"Neng, sendirian?" segerombolan berandalan itu segera mendekatinya, "m-mau a-ap-a kalian?" Zenith terkejut setengah mati dan ketakutan luar biasa. "Jangan gitu dong, disini jalan lagi sepi. Kalau adek teriak kita Makin gemes nih", Zenith semakin ketakutan suara dan tenaga nya juga sudah habis. "T-tolong!!", percuma saja ia bersuara karena tak satupun kendaraan lewat disini. "Udah lah neng, serahin diri lo kekita aja hahahaha" suara nya jauh lebih menyeramkan kali ini, 4 preman itu menyeringai. "Eh gede juga ya!" preman yang botak itu dengan santainya menyentuh buah dada Zenith, "Aahhh, lepasin! Tolong!" tenaganya semakin terkuras habis, ia semakin menangis kencang. "Heh, kalau kita suruh lo buat diem ya diem! Jangan ngelawan!", Ia mengancam Zenith dengan mencengkeram pergelangan tangan Zenith. Kepala nya semakin pusing, penampilannya jauh lebih buruk. Sepersekian detik kemudian, dia segera menginjak kaki preman itu dan segera berlari sekuat yang ia mampu.

"Anjing, kejar cewek itu cepat!" ketiga preman yang lain segera mengejar Zenith. Ia segera berlari secepat yang ia bisa, yang ia butuhkan saat ini hanyalah pertolongan. "Tolong! Tolong! Huh hah huh, Tolong!", ia berlari tak tentu arah. Sesekali ia menoleh kebelakang, hingga akhirnya ada sebuah sinar datang. Brakk! Mobil itu datang dan menabrak Zenith.

*
Di sisi lain, Bima baru saja selesai latihan futsal. Dia sebenarnya malas latihan futsal, tapi akan lebih malas untuk sekedar main ps di rumah ataupun masuk bimbel padahal dia sudah kelas 12.

Jam sudah menunjukkan pukul 5. "Gue cabut dulu" ia pamit pada Rio dan Leo, setelah keluar dari baju ganti ia langsung menuju mobilnya di arah parkir. "Bim, bareng dong!" Serin, gadis cantik dengan penampilan super ketat itu segera mendekatinya. "Gak gue sibuk!" Bima menepis kasar tangan Serin, ia risih kalau tangan Serin menggandeng tangannya. Ia suka alergi sendiri sebenarnya sama Serin. "Pliss deh bim, sekali ini aja" Bima berputar malas, "sekali menurut lo itu dalam sehari, ogah" ia segera masuk mobil dan melajukan nya pesat. "Ih, Bima rese!". Serin gagal pulang bareng Bima, bahkan kalau dibuat buku pasti ada seribu satu cara pulang bareng Bima dan seribu satu alasan penolakan dari Bima.

"Pusing gue tiap hari denger suara tu cewek" Bima mengadu pada diri sendiri, pasalnya tiap hari adik kelas itu selalu minta pulang bareng Bima, dan parahnya rumah mereka berlawanan arah. Bima mana mau habisin solar?.

Sepanjang perjalanan, ia teringat dengan Zenith. Bohong kalau dia tidak tau siapa Zenith, bahkan satu sekolah tau siapa gadis itu. Sebenarnya Zenith itu cukup atau bahkan sangat terkenal di kalangan laki-laki, dia tinggi menjulang, rambutnya sedikit coklat , mata nya berwarna biru seperti kristal. Bahkan Bima sudah tau sejak hari pertama Zenith bersekolah.

Kejadian hari ini membuat Bima terbang, ia sangat beruntung dapat melihat Zenith begitu dekat. "Emang tuh anak cantik banget, bahkan sama Ashley pun dia beda jauh" senyum Bima terukir, sangat manis. Tapi kemudian senyumnya luntur, Zenith itu amat sangat tidak peka dengan yang namanya cowok. Titik!

Hari semakin petang, dia mengambil jalan pintas agar bisa sampai rumah. Ting ting dia segera mengangkat hp nya, sial! Hp nya jatuh. Ia kehilangan kendali mengemudi nya, dan Brak! Mobil nya tepat menabrak sesuatu. Merasa tak beres dengan apa yang ditabrak ia segera keluar, dan begitu kaget ketika ia tahu bahwa memang dia sudah menabraknya. "Sial!"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 29, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Grazie, RigelWhere stories live. Discover now