Tiga

10.7K 1.1K 90
                                    

Natasya mendesah pelan melihat mobil Oma-nya sudah terparkir rapi di garasi. Ingin sekali dirinya putar arah motor maticnya, kabur dari sana. Astagaa... Pikirannya mulai melantur.

"Itu Mbak Tasya, Oma!" seru Abizar membuat Natasya mendesah keras.

"Tasya!" Natasya hanya bisa pasrah nendengar seruan Oma-nya. Menyesal dirinya memakai motor, kenapa tidak memakai mobil saja? Kan bakal mudah bersembunyi kalau pakai mobil. Meski enggan, Natasya memarkirkan motornya di garasi. Tersenyum paksa menghampiri Oma-nya yang duduk di kursi taman samping rumah.

"Hai, Oma... Oma apa kabar?" sapa Natasya sedikit dag-dig-dug, mengingat Om-nya yang suka seenaknya mencubit pipinya. Sekejap Natasya menutup kedua pipinya sambil cengengesan. "Jangan cubit ya Oma? Sakit soalnya," Natasya memelas pada Oma-nya.

Oma menggeleng, tersenyum geli. Natasya memang tidak pernah berubah, tidak suka dekat-dekat dengan beliau karena selalu didesak untuk ikut kelas kepribadian. "Ya udah," pungkasnya, "kamu apa kabar, Sayang?"

Natasya tersenyum lega, mengambil tempat duduk di samping Oma-nya. "Aku baik, Oma. Oma dari kapan datang?" basa-basi dikit menyenangkan hati nenek tua kan biar dapat pahala. "Bizar sini sama Mbak," seru Natasya sembari mengulurkan tangannya pada adik bungsunya.

Abizar berpindah, seruan lain terdengar. "Loh, Mbak udah pulang? Tumben banget masih sore udah di rumah."

Natasya mendongak, meringis mendengar pertanyaan bundanya. "Memang nggak ambil lembur, Bun."

"Kapan kamu mau nurut sama Oma buat ikut kelas kepribadian? Supaya nanti waktu kamu gantiin Ayah bisa tahu gimana caranya bersikap."

Pertanyaan itu lagi. Batinnya Natasya mendesah kesal. "Nggak penting juga ikut kelas begituan Oma, buang-buang duit. Mending baca dari google aja juga kan ada."

"Jangan keras kepala gitu dong, Mbak."

Natasya mengusap keningnya pusing. "Tasya mau bersih-bersih dulu, nanti lanjut lagi obrolannya."

"Nggak baik loh memotong pembicaraan orangtua," tegur bundanya membuat Natasya memasang wajah nelangsa.

"Tasya nggak motong pembicaraan, Tasya cuma pamit mau bersih-bersih doang," elak Natasya masih berusaha.

Oma tersenyum penuh pengertian. "Ya udah sana bersih-bersih, daritadi kecium aroma nggak enak sejak kamu duduk," gurau Oma membuat Natasya mencebik kesal.

"Itu fitnes, Oma!" ketus Natasya sambil menyerahkan Abizar pada bundanya. "Fitnes lebih kejam ya daripada olahraga." Natasya memainkan dramanya, menyelipkan senyum penuh kemenangan.

"Tasya..."

"Bercanda doang, Bun." Natasya baralih menatap Oma-nya. "Jangan diambil hati ya, Oma?"

Oma menggeleng, Natasya selalu bisa membuat semua orang terhibur sekaligus merasa kesal bersamaan. "Iya. Oma pikir kamu sama kayak badut, suka bercanda," cetus Oma-nya mengundang tawa Abizar.

Natasya memutar bola mata jengah, tertawa sumbang. "Oma lucu. Pakai banget."

"Ada apa ini rame banget," Rayhan masuk ke pekarangan samping rumah masih mengenakan kemeja kerja. "Tumben kamu pulang masih sore, Mbak?"

Natasya memasang raut wajah teraniaya. "Pulang malam, diomelin habis-habisan. Pulang sore, ditanyain. Ya udah sekalian jangan pulang aja kali ya?"

"Hush!"

Rayhan menggeleng tak habis pikir dengan putrinya yang persis sama seperti dirinya. "Udah sana bersih-bersih dulu," titahnya pada Natasya. "Bun, siapin makanan ya? Ayah mau ngadain rapat di rumah, karena tadi nggak kebagian waktunya."

Kening Natasya mengerut. "Kok bisa rapat di rumah? Kan urusan kantor."

Rayhan mengedik. "Orang Ayah atasannya. Mau apa?" jawab Rayhan menantang.

Natasya mendengkus pelan. "Itu sih namanya nggak profesional. Om Prakas juga sama posisinya kayak Ayah, harusnya kan Om Prakasa juga ada dong."

"Lahh... Memang Om Prakas ikut rapat. Terus?"

Natasya menatap sengit ayahnya sebelum akhirnya menyerah karena dirinya selalu berhasil dikalahkan oleh ayahnya. "Terserah deh..."

"Cepat ya, Mbak? Bantu Bunda sama Oma masak."

Bahu Natasya turun, bukan masalah karena memang Natasya suka memasak. Tapi rasanya buang-buang tenaga kalau memasak untuk orang lain. Mubadzir. Dan dengan pasrah Natasya mengangkat tangannya dengan ibu jari yang mengacung ke atas tanda setuju.

Malam menjelang, Natasya memasang wajah cemberut membantu bundanya memasak, menyiapkan beberapa kue kering yang dibuat dadakan. Natasya terus memberengut sesekali berdeham saat bunda dan oma-nya mengajaknya mengobrol.

"Katanya Rayhan kerjasama sama biro Arsitek yang baru merintis itu ya, Sye?"

"Iya, Oma. Rayhan dengar beberapa proyek kliennya sukses sama biro itu."

Natasya mulai tertarik mencuri dengar, merapat pada kedua wanita berbeda generasi itu.

"Yakin? Nggak akan salah, kan? Ini proyek baru yang Rayhan rintis, Mama takutnya malah jadi gagal."

"Nah, mau ngomong sampai berbusa Ayah nggak akan mau dengar," sambar Natasya memasang wajah cuek.

Syeena menggeleng, mengusap wajah Natasya lembut. "Kamu ini, Sayang. Butuh sama Ayah, tapi kalau lagi nggak butuh kayak musuh."

Natasya menyengir lebar, hendak menjawab tapi urung saat mendengar bel rumah berbunyi. "Bun, bel bunyi tuh." Natasya mengaduk sup yang mendidih di atas kompor.

"Bukain gih."

Natasya mengembuskan napas. "AYAH! Bel bunyi," teriak Natasya seenaknya.

"Hush! Wanita itu nggak baik teriak-teriak gitu," tegur Oma pada Natasya.

Natasya kembali mencebik.

"Sayang, bukain gih. Nggak baik tamu dibiarkan lama-lama."

Memang di rumahnya tidak ada asisten rumah tangga, karena bundanya lebih memilih menghandle semuanya sendiri.

"Iya-iya, bukain."

Natasya melepaskan sendok sup, meninggalkan dapur melangkah santai. Natasya mengenakan jeans pendek selutut, sedangkan kaos hitam polos lengan pendek memerlihatkan kulit putih mulusnya.

Bel kembali berbunyi, Natasya berjalan cepat menuju pintu utama. "Sebentar ish! Sabar dikit napa sih!"

Pintu terbuka, keduanya sama-sama terpaku. Apalagi Natasya yang langsung terdiam mematung.

"Markonah?"

Crazy Love Story (Tamat)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz