21 | what happen; why Penelope calling?

Начните с самого начала
                                    

Suasana kafetaria ramai. Seperti biasa, para siswa tidak akan peduli pada siapa anak yang duduk bersebelahan dengan meja mereka dan apa yang mereka makan serta bagaimana suasana hatinya, atau siapa gerangan cowok yang sedang memesan makanan di sana, ataukah siapa cowok yang sedang melamun di tengah-tengah keramaian ini.

---

Pukul sembilan malam, aku belum tidur. Kurasa aku adalah satu-satunya orang di rumah ini yang masih sibuk sendiri dengan pikiran mentalku. Ah, ya. Sebenarnya aku tidak melakukan apa-apa sejak satu jam yang lalu. Duduk diam bersandar di sisi bingkai jendela dengan menggantungkan salah satu kakiku ke luar ruangan, menikmati udara musim gugur serta mengamati bintang.

Tidak, bukan bintang di langit, melainkan bintang di dalam rumah itu. Rumah Carpenter.

Ya, memang benar sial. Aku tidak bisa langsung melupakan Julia begitu saja seolah tidak terjadi sesuatu. Dalam kata lain, mungkin memang sebenarnya ada sesuatu. Ya, pasti ada sesuatu yang salah. Tidak mungkin 'kan, Julia tiba-tiba dimunculkan oleh orangtuanya sendiri di ruangan itu jika memang tujuan mereka sebelumnya adalah menyembunyikan Julia? Lalu, kenapa Nyonya Carpenter menampar gadis itu?

Aku menoleh ke sisi kiriku, ke dalam kamar. Kudapati jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh. Astaga, sudah satu jam aku melamun.

Baiklah, saatnya tidur dan semoga besok tidak lebih buruk dari kemarin malam.

---

Drrrt... drrrt... drrttt...

Apa itu?

Oh, astaga. Ponselku.

Drrrt... drrrt... drrttt...

Ponselku—yang kuletakkan di bawah bantal tidur—berdering serta bergetar. Aku ragu apabila  nada deringnya adalah dering alarm, dan sepertinya memang bukan.

Tiga detik adalah waktu yang cukup lama untukku mengumpulkan kesadaran dan membuka kelopak mata.

Ah, sial. Ruangan gelap dan aku tiba-tiba teringat bahwa aku lupa menyalakan lampu tidur sementara lampu utama sudah kumatikan tadi. Kusibak selimut tebalku, kemudian dengan asal-asalan (karena di dalam ruangan ini tidak ada cukup cahaya untuk melihat), kuraba-raba ponsel di bawah bantal.

Segera kulihat apa yang ada di layarku. Sial lagi, mataku perih melihatnya.

Incoming call from Penelope Miller.

Astaga, jam berapa ini? batinku. Aku langsung melirik ke sisi pojok kanan atas layar ponsel yang menunjukkan pukul satu dini hari.

"Jam satu?!" seruku, kaget setengah mati. Lalu kugumamkan sesuatu, kata-kata umpatan kesialan untuk Penelope. Kenapa pula cewek itu menelepon? Ah, aku bahkan tahu benar bahwa ini adalah pertama kalinya dia menelepon. Sial, "Awas saja kau jika ini hanya jebakan konyol atau semacam permainan dare."

Segera kujulurkan tangan, meraih lampu tidur yang terletak di atas nakas samping ranjang. Setelah itu, kamarku jadi lumayan terang dengan secercah cahaya lampu kecil.

Jempolku menekan tombol 'terima panggilan'. Dengan perlahan, ponsel kuletakkan di samping telinga. Awas. saja. Ya. Kau.

"Jason! Gawat! Kau harus ke sini secepatnya! Ini menyangkut hidup dan matiku!" suara Penelope Miller dari seberang telepon hampir-hampir memecahkan gendang telingaku. Sialan Penelope. Bisa-bisanya dia mengoceh tengah malam yang hampir pagi ini!

"Bisakah kau diam dan tenang karena kau sudah merusak tidur malamku," kataku, seperti memerintah namun terdengar sebagai nada paling membosankan di telinga (karena pasalnya saat ini aku benar-benar malas menanggapi gadis satu ini).

"Kau harus dengarkan dulu."

"Bicaralah. Dua menit."

"Datanglah ke rumah sakit di pusat kota sekarang juga. Aku mohon, Jason," nada bicara Penelope tiba-tiba merendah, lirih, lebih ke ... entahlah, seperti ketika seseorang memohon sesuatu kepada kekasihnya dan itu adalah satu-satunya permintaan terakhir di sisa akhir hidupnya (karena mungkin sebentar lagi seseorang itu sampai di ajal hidupnya).

Sejenak kemudian aku menyadari, kali ini Penelope tidak main-main. Mungkin dia memang berkata serius. "Ada apa memangnya? Kau kenapa?" tanyaku kemudian.

"Akan kuceritakan ketika kau sudah sampai di sini nanti. Tapi tolong, aku butuh bantuanmu. Please," Penelope memohon lagi, dan aku sampai meringis sendiri mendengar ucapannya itu. Seperti terdesak, seperti ada sesuatu namun ia sembunyikan.

Perlu beberapa detik untukku berpikir, memutuskan apakah aku harus ke sana atau tidak, serta bagaimana caranya aku bisa sampai ke sana, juga kemungkinan-kemungkinan lain yang harus dipertimbangkan. Sedetik kemudian, terlepas dari semua pikiran-pikiranku, aku akhirnya justru berkata singkat, "Baiklah. Aku akan ke sana."

Dan aku tiba-tiba merasa bodoh, tidak tahu harus pergi ke sana dengan apa. Rumah sakit kota Bloomington sekitar delapan kilo dari rumah. Dan aku tidak mau begitu saja menyerahkan nyawaku sendiri (dengan menaiki sepeda) kepada bandit-bandit malam hari yang sering berkeliaran di jalanan Bloomington. Sial. Jason, remaja tujuh belas tahun, bisa-bisanya belum bisa mengendarai mobil.

Penelope berkata singkat, "Baiklah, kutunggu kau, Jason. Terima kasih." Lalu, telepon ditutup secara sepihak dari sana dan diakhiri bunyi tut tuut tuut pelan.

Baiklah, sekarang aku harus bagaimana? []

Baiklah, sekarang aku harus bagaimana? []

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.
Ten Rumors about the Mute GirlМесто, где живут истории. Откройте их для себя