Keping Pertama

374 31 3
                                    

Pendar cahaya lampu menelisik tepat ke dalam indera penglihatanku, membuatku terpaksa kembali memejam. Aku mengerjap beberapa kali, berusaha menyesuaikan mataku dengan cahaya terang di sekitarnya. Setelah dirasa cukup, kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

Putih. Sejauh mata memandang yang kulihat hanya putih. Semua serba putih.

Langit-langit. Cat dinding. Kursi kayu yang melingkari meja kaca. Sofa. Lemari pendingin. Nakas kecil. Saklar. Stop kontak. Semua berwarna putih.

Aku mendengus, menyadari bahwa sekali lagi aku harus terperangkap di sini, di ruangan yang selalu ingin aku hindari. Sebuah ruangan yang sering kali merenggut kebebasanku. Sebuah ruangan yang selalu membuatku merasa sesak, seperti berada di dalam kungkungan.

Menyebalkan.

Irama monoton dari sisi kananku, yang tiba-tiba terdengar melengking, menghentikan segala umpatan di dalam kepalaku. Kutolehkan kepala ke arahnya. Di sana, di dalam layar monitoring electrocardiograf, dapat kulihat garis-garis hijau berjalan beraturan. Tidak ada putusnya. Tidak juga berjeda. Semuanya tampak normal. Iramanya pun sama; monoton.

Kukepalkan kedua tanganku dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya, kemudian kupukul pelan kasurku. "Aishh—Aduh!" Aku mengaduh. Rasa sakit ringan yang tidak asing itu kembali muncul.

Setelah kutilik ternyata benar. Lagi-lagi sebuah jarum yang terhubung dengan selang panjang dan berakhir di dalam sebuah tabung plastik berisi cairan bening, tertanam di bawah kulit punggung tangan kiriku.

Kutarik napas dalam untuk kemudian kulepaskan sambil menjerit, membuat heboh rumah sakit. Seperti biasa. Namun sebelum niatku terwujud, aku malah tersedak. Uap oksigen yang keluar melalui maskernya—yang dipaksa masuk ke dalam paru-paruku—seketika membuat sesak. Dengan mata sedikit berair aku mencoba duduk sambil melepaskan masker oksigen itu.

Setelah masker itu terlepas dan aku kembali bernapas dengan normal, seseorang dengan jas putih yang melekat di tubuhnya masuk ke dalam ruangan. Tidak jauh di belakangnya, seseorang dengan papan jalan di tangan mengikuti. Mereka sempat berhenti di depan pintu dan tersenyum kecil ke arahku. Sedangkan aku hanya memperhatikan dengan raut wajah datar. Bisa apa lagi? Haruskah berpura-pura senang? Kurasa tidak.

Orang dengan jas putih tadi mulai memeriksaku. Ia membuka mataku satu per satu dan menyorotinya dengan senter kecil. Aku mengerjap sambil meringis tertahan, tidak siap menerima sorot cahaya itu. Terlalu terang. Belum lagi sebuah benda pipih dengan sengaja ia tekankan pada jemariku.

"Aw!" Kutarik paksa tanganku darinya. Itu sakit!

Meski begitu, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut kedua orang ini. Mereka hanya memeriksa dalam diam. Tidak ada yang mengajakku bicara untuk—setidaknya—meminimalisir rasa sakit. Tidak juga ada yang bertanya. Apalagi peduli! Peduli dengan ringisanku? Peduli dengan perasaanku atau kondisiku? Sama sekali tidak ada!

Aku merasa seperti patung yang dengan sengaja mereka abaikan.

"Kondisi pasien sudah lebih stabil. Mohon dijaga asupan nutrisi dalam tubuhnya. Jika ada gejala-gejala lain yang timbul, segera beritahu saya."

Orang yang membawa papan jalan mengangguk kemudian mencatat sesuatu di atas kertas.

Selama beberapa detik, Dokter berjas putih memperhatikanku dengan raut wajah yang sulit kuartikan. Hanya seperti itu. Masih tanpa kata, tanpa suara.

Senyum kecil mengembang di wajahnya sebelum ia menghela napas berat dan mengembuskannya pelan. Ia dan Perawat yang menemaninya berbalik menjauhiku dan tubuh mereka menghilang di balik pintu yang juga berwarna putih.

OneironautWhere stories live. Discover now