"Baiklah." Memang Radit menurunkanku tapi hal itu karena aku sudah sampai di mobil Radit yang terparkir di depan rumahku. Radit memaksaku untuk masuk, ia mendorong tubuhku dengan kasar sebelum menutup pintu begitu keras hingga mengganggu gendang telingaku.

"Diamlah, nanti aku belikan es krim." Aku mengumpatnya di dalam hati, dia pikir aku anak TK yang bisa diiming-imingi oleh es krim? Dasar mantan bos kikir, nawarin berlian kenapa? Pasti aku mau.

Radit segera menyalakan mobilnya begitu ia sudah berada di balik kemudi. Dia tidak menghiraukan semua umpatan yang telah keluar dari mulutku. Aku sudah mengeluarkan kalimat umpatan impor maupun lokal, tapi Radit tetap saja diam dan pura-pura cool seperti es batu.

"Bangsat kau akan membawaku kemana?"

"Kita sudah sampai, mulutmu memang benar-benar minta dicuci. Aku akan melakukannya setelah kita menikah." Aku memukul bagian belakang kepala Radit. Pria itu memang tak banyak bicara sedari tadi, tapi sekalinya bicara mulut itu hanya mengeluarkan kalimat-kalimat layak sensor. Radit menarik tanganku keluar dari mobil. Aku tetap bertahan di posisiku meski Radit sudah menarik tanganku dengan segala daya dan upaya.

"Kau mau berjalan sendiri atau ku gendong?" Radit tak perlu bertanya dua kali untuk mendapat jawaban dariku. Aku tak sudi digendong olehnya, nanti dia pasti akan komentar mengenai pantatku lagi. Aku berjalan mendahului Radit masuk ke kantor sebuah firma hukum.

"Hei, apa kau tahu dimana letak kantornya?" Aku berhenti, benar, aku tak tahu dimana letak kantor pengacara botak yang tadi disebutkan Radit.

"Lain kali jangan sok tahu, ok, Calon istri?" Radit menepuk-nepuk kepalaku seperti ia memperlakukan anak kecil. Aku menyingkirkan tangan Radit dari kepalaku dengan kesal, kali ini aku tak menjawab apapun dan mengikuti langkah lebar Radit. 'Lihat saja pembalasanku nanti' batinku geram. Tanganku gemas ingin mencakar wajahnya itu.

"Kau sudah datang rupanya." Suara seseorang berlogat batak membuat Radit membalikkan badannya, begitupun denganku. Mengkilap itulah kesan pertama yang aku dapat saat menatap pria bertubuh tinggi dan tegap di hadapanku kini. Kepalanya yang tanpa rambut secara kebetulan sedang diterpa sinar lampu hingga membuatnya terlihat semakin licin.

Di kedua tangan pengacara itu terdapat cincin dan jam tangan emas. Melihat cincin-cincin itu mengingatkanku pada penjual cincin batu akik, sementara dengan jam tangan yang berada di kedua tangannya, justru mengingatkanku pada wasit sepak bola. Aku masih tertarik dengan kepala licin itu hingga tanpa sadar aku terus melihatnya. Radit tertawa keras ketika pengacara keluarganya itu menatapku dengan tajam.

"Ehm ... maaf," ucapku merasa bersalah dengan sikapku yang tidak sopan.

"Apa kau tak pernah melihat kepala tak berambut, Nona?" Aku hanya nyengir tak tahu harus menjawab apa.

"Kau benar-benar pintar memilih calon istri," ucap pengacara botak itu dengan sarkatis. Mendengar kata calon istri membuatku ingat akan pemaksaan Radit.

"Eh, aku bukan calon istrinya."

"Sudahlah, Sayang jangan malu begitu. Kau sempurna, aku tak malu mengakuimu sebagai calon istriku." Lagi-lagi aku ingin sekali mengutuk Radit. Keangkuhan dan kenarsisan Radit sudah melebihi ambang batas normal hingga membuat orang yang mendengarnya pasti akan geram sendiri.

"Kita bicarakan ini di dalam." Aku dan Radit masuk ke dalam sebuah ruangan yang memiliki nama Drs. Bondan Pasaribu SH, MH. di pintunya.

"Jadi, Pak ceritanya begini, Radit memaksa saya untuk menikah dengannya, padahal saya sudah bilang tidak mau, saya bahkan rela dipecat supaya tak menikah dengan manusia tak sadar diri ini" ucapku begitu aku sudah duduk.

"Kenapa kau berbohong? Apa kau masih marah, Aku sudah bilang, bukan salahku jika para wanita itu menatapku dengan lapar. Tenang saja, Sayang, hati dan tubuhku hanya milikmu."

"Aku tak butuh hati dan tubuh datarmu itu."

"Kalian jangan menikah, bisa hancur generasi bangsa jika orang tuanya macam kalian," bentak Pak Bondan ketika mendengar Radit dan aku kembali bertengkar. Dia sepertinya tidak suka dengan kehadiran kami karena ia langsung mencari dokumen penting milik keluarga Bramasta dan memberikannya pada Radit.

"Ini surat wasiat ayahmu Radit, kau bisa mengeceknya sekali lagi. Apa kau sanggup memenuhi semua persyaratan yang tertulis di situ?" Pak Bondan memberikan sebuah map pada Radit.

"Tentu saja aku sanggup, aku tak akan membiarkan harta ini jatuh ke tangan orang lain. Anda tunggu saja undangan kami. Kenapa ayahku tak minta cucu sekalian, aku bisa membuatkannya," ujar Radit dengan begitu enteng seolah membuat anak seperti membuat adonan donat.

Tuhan, aku butuh kekuatan Avatar sang pengendali udara sekarang.

*******

Crazy MarriageOn viuen les histories. Descobreix ara