Bagian Sebelas: Kutaklukkan Hatiku Untukmu

Začít od začátku
                                    

Aku sudah menetapkannya sebagai pemilik hatiku, pengikat hidupku, penguat napasku, alasanku.

“Aftan, kamu adalah orang paling penting dalam hidup Mas,” bisikku cepat. Aftan mendongak. Pipinya bersemu. Aku tidak tahu karena efek pujianku atau hanya karena imajinasiku. Aftan tersenyum lembut setelahnya, lalu memelukku dan Serintil. Lengan mungilnya melingkupi dadaku, menyalurkan rasa biadab yang membuatku kesal setengah mati. Kesal karena hati ini tiba-tiba bergerak tanpa sebab. Sialan. Menuntut, namun sulit untuk kuraih.

“Mas Adnan juga sama...”

Aku tidak tahu maksud kalimat itu. Sama sekali tidak tahu. Mungkin aku gila kalau menuntut Aftan mengatakan itu karena dia memang mencintaiku. Memiliki rasa sama sepertiku.

“Mas berharga untukmu?”

“Tentu saja! Mas adalah orang yang berharga untukku...” Aftan mengangguk yakin. Aftan tersenyum lalu mengusap pipiku. Allah!

Bisakah aku menutup mata sejenak? Aku ingin menutup mataku untuk menikmati sentuhan ini. Aku ingin mengabaikan semua hal yang menyakitkan saat ini. Aku hanya ingin menikmati sentuhan lelaki ini. Aku ingin merengkuhnya untuk hatiku sendiri.

Sebelah tanganku menarik lengan Aftan, mendekapnya erat dengan separuh lenganku. Aftan tersenyum geli.

“Aftan...”

“Iya, Mas?”

“Kapan ya kita bisa tinggal bersama?”

“Hm? Kenapa?”

Karena melihatmu pertama kali ketika aku membuka mata adalah mimpiku selama ini. Aku menginginkan itu selama ini. Kejadian kecil yang sangat manis. Melihat Aftan ketika aku membuka mata, melihat bagaimana cara Aftan memejamkan mata dan terbaring di sebelahku... jantungku berantakan.

“Hanya ingin saja...”

“Bersama Serintil?” Kepolosan lelaki ini makin membuatku gemas setengah mati. Aftan selalu membuatku keluar dari zona nyaman yang selama ini aku tinggali. Aku ingin mengenal zona itu. Ingin bersandar dan tinggal di tempatnya. Lebih dari itu, bagaimana caraku memuja Aftan adalah bagaimana aku menitipkan hatiku padanya. Meski sampai sekarang aku masih tidak tahu.

“Serintil boleh kalau ingin tinggal bersama kita.”

“Tetapi aku sudah punya kos. Mas Adnan punya kos baru?”

“Mas punya kontrakan, Aftan. Mas memutuskan untuk tinggal di kota sebelah.” Sungguh, naik motor sekitar dua jam sama sekali tidak masalah untukku. Aku akan pergi jauh kalau untuk Aftan. Aku pernah membawa Aftan pergi dengan motor, berkeliling tak tentu arah. Sejauh apapun aku mampu melakukannya.

“Jadi sekarang Mas sudah mulai berjuang untuk mencari kerja?”

Aku tersenyum. Aku sudah punya kerja sampingan sebagai freelance. Jadi tukang foto di salah satu studio. Aku sempat menjadi fotografer untuk acara praweding dan acara besar lainnya.

“Kalau transkrip nilai sudah selesai, Mas akan pindah kerja.”

Aftan antusias mendengar rencanaku. Dia mengangguk senang, lalu memberiku semangat. Jemarinya mengusap bulu halus Serintil sekali lagi. Hatiku berantakan. Bagaimana rasanya jika jemari itu mengusap rambutku, atau punggungku? Bagaimana rasanya kalau jemari itu mencakar punggungku ketika aku menindihnya?

Ya Allah, aku sudah melangkah terlalu jauh dariMu!

Aftan melepaskan diri dariku, lalu kembali menarik lengan bajuku pergi. Dia menyeretku ke UKM Fotografi. Pemilihan ketua sudah selesai. Gian berdiri begitu melihatku dan Aftan datang. Aku memeluk Serintil, sementara jemari Aftan menggenggam lengan bajuku.

Ketika Nama Tuhan Kita BerbedaKde žijí příběhy. Začni objevovat