O5. Perempuan Buah Bibir

Start from the beginning
                                    

"Jen---"

"Iya, nggak pa-pa." Jennie mengangguk di depan dispenser, lalu meletakan gelas itu di atas tatakan sebelum akhirnya menghampiri Lisa dan menariknya keluar dari dapur.

"Nanti kalau udah sampai, atau udah ada waktu luang kabarin aku, ya?" Lisa menoleh pada kekasihnya itu.

Sebelum mereka benar-benar meninggalkan apartemen, di ruang tengah Jennie sempat memastikan jendela tertutup. Kemudian mematikan telivisi, dan merampas tasnya yang tergolek di meja. Terakhir, dia kembali mengapit tangan Lisa cukup erat.

"Berarti gabisa lunch bareng, ya?" Suara sensor pintu terkunci bareng dengan cuatan mulut Jennie.

Begitu mendongak, dia mendapati Lisanya sudah tersenyum sembari menepuk pelan kepalanya. Terkadang, walau tanpa jawaban manis, teduh matanya selalu punya jawaban yang lebih romantis. Begitu pula sebaliknya. Kadang-kadang, senyum di matanya bukan hanya tentang pengiyaan. Melainkan tolakan yang halus caranya.

"Kita bisa dinner, okay Princess?"

Jennie mendengus, walau dia agak sedikit keberatan harus berjauhan, namun dia tak bisa mengelak pada apapun. Sembari menyeret langkah mereka pergi, dia menghembuskan napasnya dalam-dalam.

Mengapa rasanya jadi se-candu ini berada di dekatnya? Dimana watak mandiri yang selama ini melekat di tubuhnya?

Jennie tak mengerti.

"Princess..."

"Iya! Udah ah!" Jennie mendengus, kebalikan sekali untuk Lisa yang merasa puas melihat ekspresi bersenderutnya. Gemas sekali; inilah ekspresi favorit Lisa.

》》》》》▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎《《《《《

Jalanan Bandung di hari senin memang macetnya tidak berakal. Berangkat pukul 7, sampai pukul 8. Coba bayangkan saja bagaimana seorang pekerja di hari pertama, namun dia sudah lalai. Bisa terbayangkan di kepalanya, Jennie akan menjemput semua caci maki dari karyawan setempat, atasan, dan langsung dikenakan sp 1. Ini hanya sebuah keuntungan jika Jennie memiliki salinan relasi dan ayah yang hebat.

Walau dia tahu keberadaannya akan aman-aman saja, namun Jennie tetap tak bisa memaafkan kelalaian di hari pertama bekerjanya ini. Setibanya di depan kantor, mobil porsche mewahnya sudah disambut baik oleh penjaga portal. Lalu di dalam, slot-slot parkir motor terpantau sudah penuh. Bahkan di sekeliling kawasan ini para pekerja sudah beroperasi dengan baik. Ada yang bolak-balik berlarian sembari membawa berkas, ada jua yang sedang menelepon di depan teras.

"Selamat pagi, Non Jennie. Selamat datang juga."

Jennie baru saja akan membetulkan tatanan rambutnya, harus buru-buru berbalik dan langsung membungkuk begitu seorang pria berseragam menyapanya.

"Selamat pagi." Hanya itu yang bisa Jennie katakan karena terlalu canggung.

Memasuki ke lantai satu, di lobby sana lebih banyak karyawan yang berlaluan. Para mata resepsionis yang menjemputnya, jajaran rajin cleaning service yang berhenti mengepel untuknya, termasuk dering ponselnya dari saku blazer. Begitu riuh hingga Jennie kelimpungan sendiri untuk menjawabnya.

Namun, dia memutuskan untuk mengangkat ponsel itu sembari melempar senyumnya semerata mungkin. Lapas tergopoh-gopoh memasuki lift di ujung lorong sambil mendengar suara Ayah dari seberang.

"Kamu naik ke lantai 7, terus cari ruangan HRD-nya. Nanti ada Pak Firlan di dalam. Papah sudah perintahkan dia untuk diam menunggumu."

"Alright." Jennie menekan tombol 7 di lift, lapas itu bersandar ke belakang dinding dengan pundak meluruh.

Bandung Love Story | Jenlisa✔Where stories live. Discover now