Pandangan mata Zhang Qiling yang terbawa kacau oleh suasana hati dan pikiran, entah mengapa, mengharapkan benang merah miliknya terhubung dengan siapa pun. Siapa pun itu, untuk menghalau rasa sepi dan gelisah setiap kali pikirannya berjalan masuk ke tepi memori tiga tahun lalu. Sungguh keinginan putus asa yang menyedihkan, dan ia tidak sungguh-sungguh dengan hal itu karena ia tahu pemuda itu bukan Wu Xie. Tapi tunggu!

Tali merah di pergelangan tangan!

"Ahh..!" Zhang Qiling seketika mendesis.

Pemuda berkacamata itu masih memegang satu benda sewaktu ia menoleh pada Zhang Qiling dengan ekspresi terkejut.

"Ada apa?" Ia bertanya, meski terkejut, tetapi sepasang mata di balik lensa berkilau senang. Sepertinya dia memang berharap Zhang Qiling bereaksi atas kehadiran dirinya.

Zhang Qiling mengerjap-ngerjapkan mata, kemudian menyadari bahwa apa yang ia takutkan hanyalah ilusi. Seolah-olah ia melihat benang merah gaib, sebenarnya itu hanyalah gelang biasa yang terpasang di pergelangan tangan pemuda itu. Tali yang dirajut dengan apik dan berwarna merah menyala. Hanya jenis hiasan anak muda biasa.

Syukurlah ..

Dia menyentuh dada sekilas, tanpa senyum ia berkata pada si pemuda.

"Tidak apa-apa.."

Dia menghela nafas sebelum melanjutkan penuh kelegaan.

"Kupikir tadi benang merahnya tersambung. Tapi ternyata tidak."

Pemuda itu menatap bingung sesaat, lirikannya jatuh pada gelang di tangannya, selintas ia memahami Sesuatu dan berkata dengan wajah bodoh. "Apa kau menyukai gelangku?"

Astaga... Zhang Qiling memejamkan mata, lalu bergerak ke rak lain.

"Tidak. Lupakan saja."

Memalukan. Dia begitu putus asa merindukan seseorang hingga bertingkah konyol begini.

Dengan wajah muram, Zhang Qiling kembali beralih pada satu baris pajangan dekat etalase kaca yang menembus jalan ramai di depan toko.

"Apa maksudmu dengan benang merah?" Sekarang pemuda itu mengikutinya secara terang-terangan.

Mendesah bosan, Zhang Qiling memutar bahu menghadapnya. Dia mungkin beberapa tahun lebih muda darinya. Menatapnya dengan penuh kekaguman seperti seorang penggemar. Dalam lensa kacamata yang dikenakan pemuda itu, sekilas Zhang Qiling melihat bayangan wajahnya. Dirinya yang sekarang, tiga puluh tahun. Sendirian, dan kesepian. Menanti seseorang yang berkeliaran entah di mana.

"Bukan apa-apa. Jangan dipikirkan," ia segera memalingkan wajah. Rasanya aneh. Sudah berapa lama ia jarang bercermin dengan baik dan benar.

Jalanan di depan toko memperlihatkan aktivitas para pejalan kaki yang gembira, di bawah langit cerah musim semi, semua warna nampak cemerlang. Tontonan seperti itu justru membuat Zhang Qiling semakin muram. Selalu saja begitu, dia merasa heran kenapa hanya dirinya yang kesepian. Mengapa semua orang nampak gembira kecuali dirinya. Ugh, picik sekali. Semua gara-gara benang merah sialan. Sejak kutukan itu, dia selalu mengutamakan kebahagiaan orang lain di atas miliknya sendiri. Lagipula, kesendiriannya sudah cukup lama hingga ia merasa karatan.
Seharusnya tidak ada bedanya sekarang.

"Kenapa kau mengikutiku sejak tadi?" tanya Zhang Qiling tegas.

Gugup karena Zhang Qiling bisa menebak niatnya untuk menguntit, Pipi pemuda itu merona merah, dua cipratan warna yang ekspresionis.

"Ah tidak. Kau salah paham," elaknya, lantas mengangkat bahu.

Zhang Qiling meliriknya lagi sekilas. Dia pergi. Kekalutan itu meledak di luar kendalinya. Kadang Zhang Qiling berpikir semua orang sangat gila. Tidak ada kualifikasi. Tidak beberapa wanita, tidak banyak pria yang sesuai dengan seleranya. Dia tidak tahu apakah orang-orang yang gila atau justru dirinya.

𝐅𝐢𝐫𝐬𝐭 𝐋𝐨𝐯𝐞 (𝐏𝐢𝐧𝐠𝐱𝐢𝐞) حيث تعيش القصص. اكتشف الآن