8 Cinta adalah ....

Start from the beginning
                                    

Diraihnya selembar syal rajut halus warna ungu gelap. Kamala memosisikan helaian kain itu di atas kepala. Namun, beberapa kali dicoba hasilnya selalu berakhir mengecewakan.

"Ya, ampun. Susah banget sih, pakai kerudung." Wanita itu mengeluh. "X-Tube. Aku harus cari tutorialnya."

Jadilah, awal pagi itu dihabiskan Kamala dengan mencoba berbagai gaya berkerudung. Dia memutuskan puas dengan gaya terakhir bertepatan dengan suara azan subuh berkumandang.

"Salat …."

Kamala mengerjapkan mata. Hatinya bagai tertohok benda keras. Rasa mual menyerang sistem pencernaannya.

Secepat kilat Kamala berlari ke kamar mandi. Dia memuntahkan seluruh isi perutnya. Keringat dingin membanjiri tangan. Wanita itu tidak sadar terisak keras dan menggelosor di lantai kamar mandi.

Tangis Kamala pecah. Tangannya menekan penyiram toilet untuk menyamarkan sedu sedan agar tak terdengar tetangga indekos. Batin wanita itu sangat terpuruk.

"Tuhan …." Kamala memanggil lirih dengan kerongkongan tercekat.

Betapa sudah sangat lama dia meninggalkan semua ritual ibadah itu. Bahkan menyebut nama Sang Pencipta saja Kamala nyaris tidak pernah lakukan.

Suara azan sama sekali tak menggerakkan hatinya untuk beribadah. Puasa hanya dianggapnya sebagai satu metode diet yang dilakukan bersama-sama. Lebaran bahkan jadi penyiksaan bagi wanita itu karena harus berhadapan dengan banyak orang.

Dan kini Kamala terpuruk.

Sesuatu yang asing menggedor-gedor hatinya. Azan kali ini terdengar sangat berbeda dengan biasanya. Batin Kamala terbetot tangan tak kasatmata. Sakit. Sangat sakit.

Dan Kamala harus merasakan semua itu sampai tiba waktu berangkat kerja. Dia menutupi matanya yang bengkak efek dari tangis dengan kacamata hitam. Berdalih sedang sakit mata, Kamala tetap memakai kacamata itu di ruang rapat editor.

"Wah, ini hasilnya memuaskan sekali."

Tepuk tangan membahana di ruangan kecil tersebut. Banyak orang memuji kemampuan Kamala memoles karya hancur menjadi sebuah naskah yang cantik.

"Ada bonus tambahan untukmu, Kama."

Wanita itu mendongak. Kesibukannya membereskan barang-barang di atas meja terjeda sejenak.

"Bonus apa, Pak?"

"Penulis aslinya puas dengan hasil karyamu. Dia mentransfer hadiah untukmu sekarang. Cek rekeningmu."

Kamala patuh. Dia membuka aplikasi m-banking. Dua detik berikutnya mata Kamala terbelalak lebar.

"Pak, ini …." Wanita itu mencicit syok. "Jumlahnya besar sekali."

"Hitung-hitung ucapan terima kasih." Bos besar menepuk bahu Kamala.

Itu hanya sebuah sentuhan biasa. Namun, efeknya luar biasa pada wanita itu. Kamala berjengit. Gerakan halus yang tidak disadari bosnya, tetapi tertangkap jelas oleh mata Ridwan sang penata letak naskah.

"Proyek selanjutnya aku kasih ke kamu saja. Nah, kalian semua. Jadikan Kamala contoh. Dia berdedikasi dan bisa memberikan hasil besar pada penerbitan."

Keheningan memekakkan terjadi di ruangan itu. Sayangnya bos Kamala sangat bebal. Dia tidak menyadari perubahan atmosfer ruangan. Pria itu berjalan keluar setelah menutup rapat siang itu.

"Dasar penjilat," desis satu rekan Kamala dengan nada tidak bersahabat.

Kamala menundukkan kepala dalam-dalam. Dia menghindari bertatap muka dengan rekan-rekannya yang masih berada di ruangan.

"Eh, Kama. Elo baru dapat duit gede, kan? Traktir kami-lah," sahut suara lain dari arah kanan.

Kamala mendongakkan pandangan. Suaranya sangat lirih saat berucap.

"Ma–maafkan aku. Uang ini mau aku kirim ke keluargaku."

"Yaelah, masak semuanya? Elo belum pernah traktir kami, loh."

Kamala menggelengkan kepala. Dia tahu definisi traktiran dari teman-temannya ini. Selera mereka mahal. Bisa-bisa bonus yang diterima Kamala berkurang sangat banyak hanya untuk mengakomodasi keinginan teman-temannya.

"Maaf, nggak bisa. Keluargaku butuh banget kiriman bulan ini." Kamala menolak.

"Huuu …, pelit banget jadi orang. Nyebelin, dah. Cabut, yok. Nggak asyik Kamala, nih."

Wanita itu hanya mampu menatap kepergian teman-teman sekantornya dengan hati masygul. Telinganya harus menahan panas mendengar berbagai ejekan dan cibiran.

Hanya Ridwan yang masih tertinggal di ruangan itu. Dia menggeser kursi berodanya mendekati Kamala.

"Baguslah elo nggak iyakan ajakan mereka. Bisa-bisa diporotin terus sama mereka."

Kamala menunduk. Ridwan kembali mengoceh.

"By the way, elo bisa tolak permintaan teman-teman. Harusnya elo juga bisa bilang jangan kalau nggak nyaman sama sentuhan bos."

Kamala menoleh sangat cepat. Ridwan terkekeh.

"Gue tahu, Kam. Sepupu gue ada juga yang kayak elo. Mending elo dari awal bilang "nggak" sama orang yang elo nggak nyaman. Sekadar jaga jarak aja masih belum cukup."

"Tapi …."

"Mereka nggak tahu apa yang ada di pikiran elo. Jadinya, yah, mereka anggap biasa aja sentuh-sentuh elo macam gitu."

Tangan Kamala gemetar. Baru kali ini dia merasa dipahami di tempat kerja. Sejak awal masuk, Kamala belum pernah mendapat perlakuan yang tulus seperti ini.

"Udah, ah. Nggak usah mewek. Gue care sama elo, kok. Saking kita beda divisi aja. Kalau sama, udah gue tawur tuh, orang-orang yang nge-bully elo."

Kamala menatap Ridwan tidak mengerti.

"Astaga, elo itu lugu apa kuper? Gosip soal elo tuh, udah menyebar di seluruh gedung. Kamala si pendiam, Kamala si pemurung, Kamala si aura hitam. Entahlah ada berapa banyak julukan buat elo."

Kali ini wanita itu terperangah lebar. "Kamu serius? Banyak yang kasih julukan ke aku?"

"Iya. Rata-rata julukan jelek, sih. Sorry to say, elo emang nggak kelihatan suka membaur sama semua orang."

Kamala terdiam. Dia membenarkan seluruh tuduhan Ridwan padanya.

"Yah, sebenarnya itu urusan elo. Tapi saran gue, kalau masih mau kerja di sini tanpa di-bully sana-sini, mending elo mulai belajar sosialisasi, deh."

Saran itu menyengat hati Kamala. Sosialisasi adalah momok besar baginya. Lidah wanita itu ingin mengurai kata untuk menjelaskan kesulitannya menjalin pertemanan. Namun, pada akhirnya Kamala hanya mampu terdiam.

"Ngomong-ngomong semalam gue liat elo jalan bareng cowok. Gue pas cari mi rebus. Kelaparan gue." Ridwan menjelaskan tanpa diminta.

"Itu siapa, Kam? Tunangan elo?"

~~oOo~~

Bumi Reog, 20 April 2022
Sorry for typo.

To be continued --------->

Blasio NoteWhere stories live. Discover now