Katty mengangguk ramah serta mengikuti perempuan tersebut ke sebuah ruang tunggu yang didekorasi dengan simpel tapi mahal. Dia bersyukur karena dia berdandan habis-habisan untuk kesempatan kali ini. Katty memakai gaun musim panas terbaik miliknya yang merupakan pilihan Sev. Terbuat dari sutera yang melambai di ringan memeluk tubuhnya dengan warna lembayung lembut, aksen draperi di bagian atas, dan berpotongan pas di bagian pinggul. Menonjolkan lekuk feminin tubuhnya tanpa berkesan berlebihan dan panjang yang tepat  sepuluh centi di atas lutut. Katty memadunya dengan tas tangan mahal serta sepatu dengan hak yang cukup nyaman dipakai.  

Katty duduk dan menunggu dengan tenang, mengambil majalah yang tersedia di meja kopi. Setelah melihat-lihat sekilas, dia meletakkan kembali ke tempatnya. Majalah hukum dan ekonomi sama sekali bukan bidangnya. Katty bangkit menuju jendela kaca dan melihat lanskap London yang terhampar di depannya.

Beberapa menit kemudian pintu ruang kerja terbuka. Katty membalikkan badannya dan mendapati serombongan pria, sekitar lima orang, keluar dari ruangan diikuti Sev yang berjalan paling belakang. Semua meneriakkan aura yang sama. Penting! Seolah label itu tercetak jelas di dahi mereka. Dan Sev langsung melihat ke arahnya. Senyum terkembang di wajah tampannya dan Ya Tuhan, senyum itu, untuk pertama kali membuat jantung Katty berdetak lebih keras.

Katty sudah terbiasa melihat Sev dalam setelan kerja. Hampir tiap pagi dia memilihkan baju, dasi, maupun setelan yang dipakai. Bahkan dia juga sekali pernah diajak Sev pergi berbelanja, memilih aneka kebutuhan busana untuk laki-laki itu. Namun melihatnya memakai setelan di mansion sebelum berangkat kerja dan melihatnya setelah berada di tempat kerja, ternyata benar-benar berbeda. Tak pernah Katty melihat Sev setampan ini. Sev yang tampan, kantornya yang mentereng, sekretarisnya yang cantik, tiba-tiba semua menjadi begitu berlebihan bagi Katty. Apalagi ketika setitik pemahaman perasaannya kepada Sev menghantam kesadarannya. Ya tuhan!  

“Katty,” seru Sev yang membuat pandangan semua koleganya beralih ke Katty.  

Katty berjalan, berusaha tidak terjatuh meski kegugupan menguasainya, menuju ke arah mereka dan wajahnya terasa membara manakala Sev memperkenalkannya, bukan sebagai tunangan, melainkan sebagai calon istrinya.

Katty dengan senyum menyalami semua kolega Sev yang menggumamkan nama-nama maskulin semisal Larry, John, Ketterman, Colin, dan melupakannya dalam detik berikutnya. Namun Katty menangkap perkataan mereka tentang undangan pesta Kamis malam dan mengharap Katty bisa hadir.  

“Kita berangkat sekarang, sayang?” tanya Sev setelah para koleganya berjalan pergi dan segera menggandeng Katty keluar.

Di depan meja sekretarisnya Sev hanya berkata singkat, “Aku akan pergi dan bersihkan jadwalku untuk 3 jam ke depan.”  

“Tidak ada komentar?” tanya Sev setelah mereka berada dalam lift.  

Katty memandang Sev dengan pandangan sebal. “Kalau kau mengharap aku akan mencak-mencak hanya karena melihat sekretarismu yang cantik dan seksi itu, maka kau salah besar.”

“Benar? Lalu kenapa kau diam saja? Kenapa kau begitu kaku? Katty, aku sangat mengenalmu. Begitulah postur tubuhmu kalau ada sesuatu yang tidak beres.”  

Katty membelalak ingin membalas perkataan Sev, namun pintu lift telah terbuka dan mereka telah tiba di basement. Dengan lembut Sev menggandeng lengan Katty dan membawanya menuju tempat mobilnya diparkir.  

“Nah, sekarang kau bisa mengeluarkan semua kekesalanmu,” kata Sev begitu mobil meluncur melalui pintu security dan membelah jalanan kota London.  

Katty terdiam sejenak. Memilih kata-kata yang tepat. “Kau tampan sekali, Sev. Kau pasti sudah bosan dengan kata-kata itu. Tapi itu benar. Kau tampan, kau sukses, kau kaya, kantormu bagus, sekretarismu cantik dan aku tak akan heran bila dia memujamu habis-habisan, dan aku juga tak akan terkejut bila kalian pernah atau masih atau akan ada affair. Tapi ternyata semua itu tak menutup kenyataan bahwa aku jatuh cinta padamu. Betul, kuakui aku baru menyadarinya. Entah sejak kapan aku tidak tahu, tetapi yang jelas aku mencintaimu dan seperti pernah kukatakan sebelumnya aku memutuskan untuk mencintaimu, mengakuinya, dan menjalaninya.”  

The Last Choiceजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें