"Kau." Mereka melihat elf perempuan itu mengarahkan mata dinginnya pada Valias. "Ikut denganku."

Pralta kemudian mengarahkan pandangannya pada satu persatu ketiga orang lainnya. "Mereka diam di sini."

Pralta melihat anak berambut hitam membawa tangannya di depan anak berambut merah. Anak berambut perak terlihat mendapatkan keberaniannya dan membawa dirinya berlutut di depan anak berambut merah yang sama. "Kemana kau akan membawanya?" Anak dengan mata emas itu memandangnya waspada. Pralta memperhatikan bagaimana anak di depannya itu mengenakan pakaian mewah dengan lencana dan hiasan emas. Penampilannya terlihat seperti seorang bangsawan tukang pamer. Pralta juga menyadari bagaimana anak itu memanggilnya 'kau'.

Pralta mencemooh. "Dia yang mengajak bicara duluan. Lagipula kalian duluan lah yang mengganggu kami. Kenapa malah kalian yang takut?"

Wistar merasa hatinya tertusuk jarum. Memang benar dirinya tadi agak takut. Apalagi untuk pertama kalinya dia merasakan seseorang mengacungkan senjata padanya. Tapi tetap saja. Dia adalah seorang pangeran. Besar untuk menjadi pelindung warganya. Dia akan melindungi teman-temannya. Termasuk Valias.

"Kenapa dia harus ikut denganmu?"

Dylan angkat bicara. Memandang manusia bertelinga runcing di depannya dengan mata dingin juga.

Pralta merasa kesal. Merekalah yang mendatangi dan mengajak bicara duluan. Kenapa justru Pralta yang jadi orang jahatnya di sini? "Kalau memang tidak mau maka tidak apa. Kalian bisa diam di sana sampai besok atau menerima serangan dari teman-temanku jika mencoba masuk. Pilihannya ada di tangan kalian." Pralta tidak bisa menahan kejengkelannya. "Dasar bocah."

Pralta merasakan bagaimana teman-temannya memandangnya dengan mata bulat.

Secara turun menurun keluarga mereka mengajari bahasa manusia. Banyak anak bertanya-tanya kenapa mereka harus mempelajari makhluk yang berbeda dengan mereka tapi Pralta adalah anak yang menyukai ilmu pengetahuan. Dia lah yang paling pandai dalam bicara bahasa asing itu.

'Dasar bocah' bukanlah bahasa yang diajarkan tetuanya. Tapi Pralta memanglah selalu mengulik sendiri buku-buku yang ada di gudang buku. Teman-temannya pasti terkejut bagaimana Pralta mengucapkan kalimat kasar yang hanya diketahui oleh mereka pada manusia-manusia itu.

Vetra merasakan bagaimana keringat dingin mengaliri kulitnya. Wistar dan Dylan masih belum bergerak. Valias menepuk bahu Dylan. "Kalian diamlah di sini. Aku akan segera kembali."

"Tidak."

"Valias... kita tidak tahu apapun tentang mereka. Bagaimana mungkin kami membiarkanmu masuk ke sarang mereka?"

Pralta merasakan kepalanya pusing oleh rasa jengkel.

Sarang? Kau pikir kami hewan?!

"Hey! Apa yang kau sebut sarang? Dasar bocah!" Pralta kembali merasakan reaksi kaget dari teman-temannya.

Vetra terkejut dan mulai ingin menangis. Dylan memandang Wistar ingin memukul tengkuknya. Wistar tidak mengerti kenapa elf itu tiba-tiba marah. "...Kenapa kau marah? Aku mengkhawatirkan temanku di sini."

Lupakan tombak. Yang ingin Pralta lakukan hanyalah memukul kepala perak itu.

Valias merasa situasi itu konyol dan memutuskan untuk berdiri. "Sudah. Aku akan masuk. Kalian tunggu di sini, mengerti?"

"Valias!"

"Nona itu benar, Wissy. Akulah yang membuka pintu mereka. Aku akan ikut dengan mereka," Valias menepis seruan anak muda itu.

Dia memberi senyum ramah sederhana pada Pralta. "Aku akan masuk."

Pralta mendecih pada Wistar sebelum membawa matanya pada Valias. "Kau kurus sekali. Kau laki-laki kenapa lemah begini?" Pralta berkata jutek seraya menggerakkan kepalanya memberi sinyal pada Valias untuk masuk ke dalam lubang. Valias tidak memiliki reaksi.

[HIATUS] Count Family's Young Master 백작가의 젊은 주인Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ