.
.

Tap... Tap... Tap...

Wanita dewasa itu menghentikan pekerjaannya, melirik ke belakang dan mendapati anak gadis satu-satunya. Sejenak ia tersenyum, lalu menghampiri gadis yang berwajah murung itu.

Ia terlihat mengucek matanya yang sedikit gatal, lalu menatap ibunya. "Ibu, kenapa aku tidak dibangunkan? Ibu memasak semua ini sendiri? Padahal aku ingin bantu." ia terdiam memandangi meja makan yang penuh makanan.

Akita terkekeh pelan, setelah (Y/n) duduk di kursi ia pun melakukan hal yang sama. "Tidak apa-apa, ibu tidak ingin mengganggumu di hari-hari awal liburan."

Tatapannya tak beralih barang sedikitpun dari sang ibu yang mulai memakan makanan bagiannya, ekspresi datarnya tak bisa dipertahankan lagi, ia mengulas senyum tipis saat melihat ibunya terlihat begitu bahagia.

"Ibu ini selalu begitu, padahal tak ada yang spesial dari sebuah liburan." (Y/n) mengangkat tangannya, menutupi mulut yang mengeluarkan kekehan kecil.

Akita mengangkat bahu tak acuh, menunda untuk menjawab perkataan anaknya karena mulutnya penuh oleh makanan. "Habisnya ibu mendengarmu menangis semalaman, ibu jadi tidak tega membangunkanmu, sekarang saja matamu terlihat sembab," jawabnya, menunjuk ke arah mata (Y/n).

"Eh, benarkah?" (Y/n) meraba wajahnya, merasakan perubahan kecil pada matanya yang sedikit bengkak. Tatapannya terarah ke bawah, senyumannya luntur untuk sementara. "Yah, bagaimana lagi, aku tidak terbiasa ditinggal Fukube-kun selama itu."

Memutar bola matanya malas, Akita mengangkat tangannya yang menggenggam sendok, mengarahkannya pada (Y/n). "Hei dengar, ibu tidak membangunkanmu pagi-pagi bukan untuk melihat wajah cemberut itu! Santai saja! Senang senang saja! Tenanglah, ibu kenal baik dengan Fukube-kun, dia tidak akan selingkuh!"

Mata (Y/n) mendelik tajam, tidak percaya akan apa yang ibunya katakan. "A-apa?! I-ibu ngomong apa sih?" terlihat semburat merah tipis di pipinya, nyaris tidak terlihat.

Tentu gadis itu malu, bagaimana bisa ibunya mengatakan hal semacam itu? Terkadang (Y/n) pun terheran-heran, entah kenapa gaya bicara ia dan ibunya itu terdengar seperti teman baik, bukan hubungan semacam ibu dan anak.

Namun, hal itu lah yang membuat dirinya dan Akita semakin dekat. Gadis itu merasa pembicaraan keduanya lebih hangat dan membuatnya nyaman. Untuknya yang memang tidak memiliki banyak teman, ibunya adalah teman terbaik yang ia miliki sepanjang masa.

"Haha, ibu bercanda," kekeh Akita. "Tapi ibu serius soal (Y/n)-chan harus tenang saja, Fukube-kun hanya pergi ke Tokyo. Lagipula kan ada ibu, ibu akan terus menghibur dan membuat (Y/n)-chan selalu bahagia!" Akita mengatakan hal itu dengan ceria, hingga (Y/n) tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum senang.

"Jadi, (Y/n)-chan ingin ibu melakukan apa agar bisa kembali ceria? Membuatkanmu makanan manis? Membuat cake bersama? Atau jalan-jalan?" tanya Akita antusias, secara beruntun hingga membuat (Y/n) sedikit kewalahan.

Gadis itu menggeleng, tersenyum manis hingga matanya nyaris tertutup. "Aku tidak menginginkannya, ibu. Asal bersama ibu, melakukan apapun pasti menyenangkan."

Akita tersenyum lembut, menunjuk makanan bagian (Y/n) dengan sendoknya. "Kalau begitu, cepat makan, bersenang-senang juga butuh tenaga, loh," ujarnya seraya memasukkan sesuap nasi pada mulutnya.

Terkekeh sebentar, lantas (Y/n) mengangguk dengan perasaan yang lebih baik daripada semalam. Iya, harusnya dia bersyukur masih memiliki Akita di sampingnya, Fukube tidak lebih baik sedikitpun dari Akita.

'Ibu sangat menyayangiku, ya?' batinnya bertanya-tanya, tersenyum tipis.

Ia tak bisa berhenti untuk memperhatikan ibunya. Apa yang gadis itu rasakan, rasanya Akita memberikan seluruh kasih sayangnya kepadanya. (Y/n) sungguh bahagia bisa memiliki ibu seperti Akita.

Waiting for You || Hyouka (OrekixReaders) [✔]Where stories live. Discover now