Episode 4

21 4 0
                                    

Ketika kamu melihat sesuatu yang baru, wajar saja jika pandangan matamu tercekat menatapnya.
Begitulah alasan Amar, saat Tyo terus saja meledeknya sepanjang pulang dari belanja kebutuhan camping.
"Aku tidak mungkin suka dengan perempuan seperti itu," sanggah Amar untuk ke sekian kalinya.
Apalagi Tyo terus saja mencecarnya dengan pertanyaan, "Kowe naksir, toh?"
"Tidak, Tyo. Tidak naksir. Hanya saja, ini pertama kalinya melihat perempuan aneh, bajunya kurang bahan, langsung di depan mata. Koyok ndelok turis." Amar mengakhiri kalimatnya dengan tertawa pelan. "Sudah ya, jangan dibahas lagi."
Ganti Tyo yang tertawa. "Baru ini aku ketemu cowok yang bilang gak naksir sama Anaya, gadis cantik dan kaya. Kamu normal kan, Mar?"
"Hus! Pertanyaan opo iku? Wes, lah! Aku pulang duluan." Dari pada obrolan ini berubah jadi ghibah, Amar pamit duluan. Bukan karena ia sengaja mau meninggalkan Tyo di jalan. Tapi mereka sudah sampai di persimpangan jalan, ke mana letak indekos, tempat Amar tinggal. Masih terdengar suara tawa Tyo meledek. Tak terasa pula, ada senyuman tersungging di bibir Amar. "Astaghfirullaah ..."

*

Hari camping.

Pihak kampus sudah menyiapkan tiga buah bus. Karena peserta Ospek cukup banyak.
Bertrand, dibantu oleh panitia Ospek lainnya mengarahkan mereka semua agar segera naik ke bus, setelah dipanggil namanya. Ada yang hadir, ada yang tidak. Di antaranya Anaya dan ... Amar.

Tampak Tyo yang tidak tenang. Kelihatan dari kaca jendela bus. Ia khawatir, mungkin Amar akan tertinggal, lalu nanti akan dihukum.

Sebenarnya, Amar yang tidak punya kendaraan pribadi walau sekedar sepeda onthel itu naik angkot dari indekosnya. Ia menumpang sebuah angkot. Eh, dirinya malah ketiduran, dan kebablasan hingga ke terminal. Dirinya baru terjaga setelah dibangunkan oleh sopir angkotnya.
"Ya Allah, aku di mana ini?" Ia pun sadar kampusnya jauh dari sini. Ia segera numpang ojek.

Setelah sepuluh menit ojek berjalan, tiba-tiba motor ojeknya memelan, dan berangsur mati.
"Wah, nih motor bikin gue apes aje," gerutu si tukang ojek dengan logat Betawi yang khas.
"Kenapa motornya, Mas?" tanya Amar.
Si tukang ojek menghela nafas. "Bannye bocor, Mas. Kayaknye mesti ditambal dulu, deh. Mau menunggu atau tidak? Kampus lu udah deket, tuh."
"Tidak usah, Mas. Saya harus cepet sampai ke kampus. Ini ongkosnya." Amar menyerahkan uang pada tukang ojek, lalu lanjut ke kampus dengan jalan kaki.

Jauh juga ...

Di belakang Amar muncul sebuah mobil Corolla Altis keluaran terbaru, datang dari arah tikungan. Mobil itu memelan. Pas di samping Amar yang sudah ngos-ngosan jalan kaki sejauh hampir dua kilometer.
Kaca jendela mobil itu turun. Muncul Anaya, lalu berseru, "Yuk, bareng aja!"
"Tidak usah. Sudah dekat, kok."
"Deket apaan? Yuk, buruan!" Anaya menyuruh sopirnya menepikan mobil. "Pak, tolong bantuin dia."
"Baik, Non." Pak No segera membantu Amar. "Sini, Den, ranselnya simpan di bagasi saja."
"Eh, tapi..."
Pak No mengarahkan Amar agar duduk di jok depan. Barulah pria itu tampak lega. Raut wajahnya nampak memantul dari kaca depan mobil. Anaya melihatnya.

Sesampainya di kampus ...
Bus masih menunggu. Tampak Bertrand berdiri di depan salah satu pintu bus, ditemani beberapa panitia lainnya, seperti Tiara. Gadis itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada, ketika melihat Anaya keluar dari mobil. Apalagi bersama Amar. Yang tercengang bukan hanya panitia.
Lihatlah, di balik kaca jendela bus. Tyo melongo menyaksikannya. Ia mencebik. "Halah! Ngomong e tok, ojo zina mata. Lah, saiki semobil. Ancene Pak Ustadz keseleo!"

Sampai di depan pintu bus, mereka berdua di hadang oleh Bertrand.
"Minggir, deh!" perintah Anaya.
"Lo boleh naik. Tapi dia ..." Bertrand menunjuk Amar tepat di depan hidung. "... harus dihukum dulu."
"Kenapa gitu?" Anaya merasa tidak suka dengan cara Bertrand yang hendak berlaku semena-mena. "Gue juga telat. Kenapa gak dihukum?"
"Itu karena ..." Bertrand bingung harus menjawab apa.
"Itu karena lo keponakan yang punya kampus ini, sedangkan dia bukan." Jawaban itu malah keluar dari mulut Tiara.
"Oh, gitu rupanya? Oke. Gue juga gak mau naik ke bus. Sekalian gak jadi ikut. Kalau Om Shandy nanya, gue tinggal ceritain, deh ... ."
Bertrand segera mencegah Anaya yang sudah balik badan. "Eh, jangan dong, jangan ... . Si Tiara emang suka ngomong sembarangan aja. Oke. Si Jawir ini gak jadi dihukum. Ayo, kita semua naik ke bus, kita berangkat senang-senang."
"Dari tadi, kek!" Anaya segera menyuruh Amar naik ke bus lebih dulu. Dirinya menyusul kemudian.

Amar duduk bersama Tyo. Kursi mereka sebenarnya memamg untuk tiga penumpang.
Tiba-tiba Anaya menyuruh Amar untuk geser. "Buruan geser! Gue mau duduk, nih!"
"Ta, tapi ..." Amar hendak melarangnya. Tapi, gadis itu sudah menendang pelan kaki Amar.
"Cepetan! Busnya mau jalan, loh!"
Terpaksa, Amar membiarkan Anaya duduk bersama mereka berdua.
Sejak bus mulai jalan, Tyo terus menahan tawa. "Cah gemblung. Dicedek i wong wedok kok kelejingan koyok arep dipangan."
"Wes, meneng o! Iki dudu muhrim, loh. Astaghfirullaah ... ."
Memang, sudah tak terhitung berapa kali Amar mengucap istighfar, ketika Anaya terus menempeli dirinya secara tak sengaja, akibat pergerakan bus.

Bertrand mendekati mereka. "Duduk sama gue di depan, yuk!" Ia bicara pada Anaya.
"Males!"
"Ayo, lah ... . Pemandangannya bagus, loh." Bertrand terus merayu.
"Gue bilang males, ya males. Lo budeg?" Anaya bersikap cukup kasar pada Bertrand, berharap pria itu tak terus-terusan mengganggunya.
"Ya udah. Kalau butuh sesuatu, gue ada di depan, deket sopir." Setelah itu Bertrand kembali ke tempat duduknya.

Anaya mulai menggerutu. "Gue gak kenal sama dia sebelumnya. Tiba-tiba sok baik dan sok care. Gue jijik ngeliatnya."
Tentu saja Amar mendengarnya. "Tidak boleh begitu, Mbak. Mungkin niatnya baik."
Anaya menatap Amar. "Lo orangnya lugu juga, ya? Polos banget. Orang kayak gitu itu." Ia menunjuk ke arah Bertrand duduk. "Biasanya ada maksud tersembunyi, kalau melancarkan aksi SKSA."
"SKSA? Apa itu?"
Anaya tertawa pelan. "Aduh, gak habis pikir gue, ada orang yang gak gaul kayak lo. SKSA itu, Sok Kenal Sok Akrab. Kayak dia, tuh."
Amar tersenyum. "Masya Allah, Mbak. Jangan berprasangka buruk dulu sama orang lain."
Saran Amar membuat Anaya cuma bisa geleng-geleng kepala. "Cowok, tapi polos banget. Ya lo ini. Antik!"

Perjalanan masih jauh.
Tak ada lagi obrolan antara Amar dan Anaya. Malah, gadis itu ketiduran. Beberapa kali kepalanya tak sengaja miring, dan jatuh ke pundak Amar. Pria itu  menggesernya kembali. Bahkan mengganjalnya dengan sajadah yang diambilnya dari ransel.

Tyo juga tidur menempelkan pipinya ke dinding bus, dekat ia duduk.

CINTA: Berkah atau Musibah?Where stories live. Discover now