One Shot [Liam Payne]

93 5 0
                                    

Dia adalah tetanggaku yang paling brengs*k. Dia membuatku tersenyum, namun setelahnya aku menemukan fakta gila yang sangat gila. Aku ingin mencakar diriku sendiri. Aku terlalu polos. Hingga aku terjerumus ke dalam lubang yang tak sengaja ia buat. Apa kalian ingin tahu bagaimana kisahku dengannya? Tidak. Aku akan menceritakannya meskipun kalian tidak ingin tahu.

-----

Suatu pagi pada musim dingin. Aku duduk di balkon kamarku. Aku melihat mobil besar membawa barang-barang di sebelah rumahku. Aku melihat seorang laki-laki "Siapa dia?" gumamku. Dia melihatku. Dia tersenyum ke arahku. Aku membalasnya, setelah itu dia masuk ke rumah di sebelah rumahku.

Keesokan harinya, aku melihatnya duduk di balkon kamarnya sambil menyesap tehnya. Aku menyapanya, dia hanya membalas dengan senyuman.

"Aku Barbara" aku berjalan mendekatinya. Dia hanya diam. Sekitar lima menit berlalu, hingga dia membuka suaranya namun tidak memalingkan pandangannya dari i phone-nya "Liam". Setelah itu keadaan kembali hening. Di tambah lagi kecanggungan diantara kami. Aku berusaha memikirkan sesuatu untuk menjadi topik pembicaraan.

"Kau tinggal disini?". Dia mengangguk.

"Darimana?". Belum sempat dia membuka mulut, seseorang memanggilnya "Liam! Sudah kubilang, jangan berbicara dengan orang lain. Tetaplah di rumah jangan berkeliaran".

"Iya mom". Dia masuk kedalam rumahnya tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.

Hari-hari terus berlalu, aku tak tahu apa yang kurasakan. Mungkin suka? Entahlah. Aku selalu memperhatikannya. Meskipun tidak ada percakapan, tapi aku senang.

Sampai sekarang aku masih bingung. Mengapa ia tak boleh berbicara dengan orang lain? Mengapa ia tak boleh keluar rumah?

Liburan musim dingin telah usai, aku bersiap-siap untuk sekolah. Aku melihatnya. Namun kali ini, ia berjalan keluar rumah dan menyalakan mobilnya. Aku tersenyum saat mata kami bertatapan, begitupun dia. Dia mulai melajukan mobilnya.

-----

"Hi! Gimana liburanmu?"

"Sedikit aneh" kataku tersenyum ke arah teman-temanku.

"Apa yang aneh?". Belum sempat aku menjawab, seorang guru perempuan masuk bersama seorang laki-laki yang sepertinya kukenal. Astaga! Dia Liam.

"Good morning! Kalian memiliki teman baru hari ini. Silahkan perkenalkan dirimu"

"Aku Liam Payne. Lebih lengkapnya Liam James Payne"

"Kau bisa duduk disana". Tunggu. Mr. Jay menyuruhnya untuk duduk di sebelahku? Aku senang. Liam berjalan kearahku lalu duduk disampingku. Dia mengeluarkan bukunya. Tapi dia tidak melihat ke arahku sedikitpun.

"Hei, kau ingat aku?". Dia menoleh tersenyum, mengangguk, lalu mulai fokus lagi dengan pelajaran.

-----

Aku memakan makan siangku sambil memperhatikan Liam. Aku memberanikan diri mendekatinya, tak menghiraukan panggilan teman-temanku dan menyapanya. Lagi, ia hanya mendongak dan tersenyum. Ada apa dengan Liam? Aku terus mengajaknya berbicara. Lama kelamaan kamipun mulai akrab.

Dari hari ke hari kami semakin akrab. Dia adalah orang yang menyenangkan. Aku menyukainya. Ya, aku mengaku sekarang.

"Kau tahu? Beberapa bulan lagi, kita akan lulus". Aku mengangguk lemah meng-iyakan perkataannya.

"Setelah lulus, kau akan kemana?"

"Mungkin New York". Liam terlihat sedih mendengar jawabanku

-----

Hari ini adalah hari kelulusanku. Aku dan Liam berada di mobil milik Liam. Ya, kami adalah sahabat. Tapi, perasaanku? Entahlah. Aku menyukainya lebih dari sahabat.

Dia telah menceritakanku banyak hal tentang dirinya. Dan pertanyaanku yang dulu selalu kutanyakan di dalam hatiku telah terjawab. Dia di hukum ibunya, ya hanya itu yang kutahu.

Setelah hari kelulusan itu, aku pindah ke New York. Meskipun aku pindah, aku dan Liam masih menjalin komunikasi lewat social media. Tentang perasaanku, dia belum tahu. Aku takut perasaanku menghancurkan persahabatanku dan Liam.

Hingga suatu hari kami bertemu dengan tidak sengaja. Hal yang tak kuduga pun terjadi. Ia mengajakku ke sebuah toko perhiasan. Aku hanya mengikutinya. Dia menyuruhku memilih cincin. Dalam hati, aku bertanya 'Untuk siapa?'. Setelah itu, Liam mengajakku ke sebuah tempat. Seakan menjawab pertanyaanku, ia menyodorkan cincin itu ke arahku sambil berlutut.

"Will you marry me?". Pertanyaannya membuatku memasang wajah tidak percaya. Aku tak menyangka ia memiliki perasaan yang sama denganku. Mengangguk dan tersenyum. Aku hanya menjawabnya dengan itu, susah untukku berbicara pada saat itu. Liam memasangkan cincin itu di jari manisku. Setelah itu aku merasakan bibirnya menyentuh bibirku. Dia menciumku lembut.

Namun kebahagiaan itu hanya berlangsung satu hari. Keesokan harinya, saat kami sedang berjalan bersama, seorang perempuan memanggilnya. Dia terlihat marah saat melihatku.

"Kau siapa?"

"Aku Barbara, calon istrinya Liam"

"Hah?! Kau gila?! Liam jelaskan semua ini! Kita akan menikah minggu depankan? Siapa dia?!" tanyanya. Liam menunduk. Tak lama kemudian, dia meninggalkan aku dan perempuan ini. Aku melihat perempuan itu, dia menatapku sinis.

"Kau akan menikah dengannya minggu depan?". Perempuan itu mengangguk "Ya, apa yang kau inginkan? Mengapa kau mengaku-ngaku calon istrinya Liam?"

"Aku pacarnya Liam. Aku bukan mengaku-ngaku. Kemarin Liam melamarku. Kalau kau tak percaya, aku ada bukti. Nih" jawabku sambil menunjukkan cincin yang Liam berikan. Perempuan itu mematung sambil menunjukkan wajah kaget. Dia menarikku "Kita perlu penjelasan".

Perempuan itu mengajakku ke rumah Liam. Sesampainya aku di rumah Liam, aku dan perempuan itu diminta duduk oleh ibunya Liam. Dia menjelaskan semuanya.

"Maafkan Liam. Dia tidak bermaksud menyakiti kalian. Hanya saja, Liam memiliki penyakit. Dia mengidap gamomania. Gamomania adalah penyakit dimana seseorang terobsesi untuk mengajak seseorang untuk menikah. Jadi, tolong maafkan Liam". Dari penjelasan itu saja aku sudah dapat mengambil kesimpulan yang menyakitkan. Liam tidak bersungguh-sungguh. Dan kalian juga dapat menebak. Itu adalah fakta gilanya.

Aku melalui berbagai kesulitan untuk melupakannya. Setelah aku mendengar penjelasan itu, aku pulang dengan air mata bercucuran. Setiap hari, aku hanya mengurung diriku di kamar. Hingga batinku bersuara untuk aku melupakan brengs*k itu. Aku bertekad untuk melupakannya. Dan kini, aku sudah melupakannya. Bahkan aku tidak ingin lagi mengingat namanya sekalipun.

|END|

Innocent-Liam Payne [One Shot]Where stories live. Discover now