[Empat]

2K 510 34
                                    

Gue pernah mendengar istilah yang menyebutkan "Kehidupan akan jauh menjadi lebih mudah jika kamu terlahir cantik/ganteng."

Namun sialnya, hidup gue justru jauh lebih sulit karena gen yang diwariskan oleh kedua orangtua gue bisa dibilang terlalu unggul. Entah harus berterimakasih atau merasa sial, gue mewarisi darah Belanda-China dari bokap, dari Batak-Pakistan dari nyokap. Yang mana perpaduan keduanya menghasilkan warna kulit gue yang putih pucat, dengan bentuk wajah yang gado-gado namun sangat enak dipandang (seenggaknya begitu kata Luna).

Wajah dan postur tubuh yang banyak membuat orang iri ini, justru membuat hidup gue susah sejak masih di bangku sekolah. Sebut saja ketika gue terpaksa didepak dari tim basket karena menurut rekan-rekan tampang gue terlalu menyolok dan membuat mereka kehilangan konsentrasi. Padahal sepengetahuan gue, gue didepak karena popularitas kapten tim terancam karena keberadaan gue. Cewek-cewek lebih mengelu-elukan gue daripada doi. Daripada disuruh sebagai pemain cadangan terus, gue memutuskan untuk keluar.

Cerita yang paling gue malesin selama sekolah lainnya adalah ketika gue harus melerai cewek-cewek yang ribut memperebutkan gue. Padahal gue sama sekali nggak kenal satu pun dari mereka. Tapi anehnya, guru selalu meminta gue menengahi. Karena menurut laporan, cewek-cewek itu ribut karena salah satu di antara pembuat onar itu merasa lebih dekat sama gue dibanding yang lainnya.

Sungguh menyebalkan.

Cerita serupa nggak berhenti sampai gue beranjak dewasa. Waktu gue pacaran sama Saphira Diaz. Gue malah ribut sama aktor utama film yang dibintangi cewek gue itu karena sang sutradara tiba-tiba membanding-bandingkan kualitas gue dengan lawan main cewek gue itu. Nonsense banget! Gue sampai nggak dibolehin sama Saphira main ke lokasi syutingnya lagi. Ending-nya, kita malah putus karena ketampanan gue pun dianggap ancaman. Alih-alih menawarkan job, agency lebih sering menginterview Saphira untuk membujuk gue supaya terjun di dunia entertainment. Membuat Saphira merasa lebih baik bubar saja.

Sial?

Belum seberapa.

Hubungan gue dengan Tari Maulida (mantan pacar gue yang lainnya), justru lebih absurd. Doi penulis bestseller. Dia sering terinpirasi dari sekitarnya untuk membuat cerita. Hingga suatu saat gue dijadikan muse. Dia membuat sepenggal kisah asmara yang kami lalui menjadi sebuah naskah cerita yang berakhir tragis. Gue merasa bangga, karena tingkat imajinasi Tari dan caranya menuliskan cerita roman itu memang berhasil menguras airmata. Sialnya, ketika dia mengumumkan pada dunia bahwa tokoh utama karakter novelnya adalah gue. Para pembaca malah mengata-ngatainya. Tidak rela tampang setampan gue ditakdirkan mati muda sesuai naskah cerita itu. Karena begitu besarnya efek nyinyiran netizen melalui media sosial Tari, akhirnya gue diputuskan.

Banyak cerita serupa, tapi ada satu lagi yang paling membekas di ingatan gue. Dian kamal. Gue yang bosan berurusan dengan asmara waktu itu memilih untuk menyibukkan diri dengan olahraga. Atas saran nyokap, gue menyewa jasa trainer khusus. Siapa sangka, trainer yang dipilihkan nyokap buat gue adalah Dian Kamal, seorang cewek cantik nan seksi, yang juga berprofesi sebagai presenter olahraga. Sebagai lelaki normal, jujur gue sendiri nggak bisa menahan diri setiap kali hanya berduaan dengan Dian di ruang gym. Gue dan dia lebih sering berakhir olahraga yang "lain-lain" daripada olahraga fisik yang sebenarnya. Sampai akhirnya kita harus putus, karena rekan sejawatnya-yang notabene adalah cowok-mengaku tertarik sama gue.

See???

Tampang rupawan gue sama sekali nggak pernah membawa berkah di hidup gue. Yang ada justru kesialan. Itu sebabnya gue meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Peter Parker sang Spiderman, my gift is my curse.

Puncak kutukan gue adalah ketika gue bersedia dijodohkan dengan Shila Lorenza. Anak dari sahabat nyokap. Gue nggak terlalu mengenal pribadi Shila karena dia tumbuh dan besar di Singapura. Setau gue, dia pendiam. Sedikit banyak, mirip gue. Setiap kali menghabiskan waktu bareng, kita lebih sering beraktivitas daripada ngobrol. Dia bahkan sudah mengajak gue menginap di apartemennya pada pertemuan kedua. Tergolong cepat kan?

Bangun tidur di apartemen Shila menjadi kegiatan rutin gue setelah menjalin hubungan serius dengannya. Seperti pagi itu misalnya ....

"Hmm, masalahnya ... masalahnya gue nggak tahu durasi orang ML itu biasanya berapa lama, Bang."

Wait, what? Shila nggak sepolos itu juga. Lagipula, itu bukan suara Shila. Lah, kenapa juga mimpi gue jadi acak-acakan begini?

"Gue ... masih perawan, Bang...."

Sebentar-sebentar!!!

Mata gue terbelalak lebar.

Gue mengucek mata. Mencoba memindai sekitar gue. Treadmill di salah satu sudut dengan aksen barble-barble berserakan di sekitarnya, kitchen set sederhana dengan pantry, tv besar di depan sofa, dan tubuh gue sendiri tidur terlentang di sofa bed.

Ya, lagi-lagi gue ketiduran di ruang depan.

Tapi tunggu, kenapa bukannya mimpi buruk, tapi gue malah memimpikan ... Sheza???

**

"Lo masih bisa ketawa di saat-saat kayak gini?" Gue sama sekali nggak habis pikir. Nggak biasanya ada yang bisa membuat Amos tertawa segirang ini kecuali karena Luna.

Masih menyisakan tawa, Amos merespons. "Lo masa nggak ngerasa polosnya keterlaluan banget sih? Dia bahkan nggak tahu durasi ML berapa lama? Means, dia masih perawan, Bro! Di usianya yang sudah begitu matang, dan lingkungan Jakarta yang begitu jahat, dia masih bisa survive, coba!"

Sambil membasuh wajah dengan air dingin, potongan percakapan gue dengan Amos semalam melintas lagi di pikiran gue. Ini dia sumber masalahnya. Nggak salah lagi. Pasti, potongan percakapan itu yang ngebuat gue memimpikan Sheza.

Sialan!

Kenapa harus perempuan ingusan itu sih?

**



My Gift is My CurseWhere stories live. Discover now