9.1 Jerit Kepanikan (a)

81.5K 10.9K 2.6K
                                    

Setelah berada dalam bus, Tara yang hendak berjalan menuju area wanita, seketika teringat Deva yang berjalan di belakangnya. Kemudian ia memutar langkahnya jadi ke bagian belakang bus. Deva yang tidak pernah naik TransJakarta hanya mengikuti Tara saja.

"Kenapa gak di sana?" tanya Deva, ketika mereka sudah berdiri sambil berpegangan pada tempat yang sudah disediakan.

"Di sana buat cewek doang."

"Kamu kan cewek."

Benar juga, ngapain dia mikirin Deva, padahal niat Tara baik, takut Deva nyasar dan bingung turun di mana. Akhirnya ia melepaskan tangannya pada pegangan yang ada di bus, lalu hendak berjalan menuju area wanita.

"Eh, mau ke mana?" Deva menarik pergelangan lengan Tara, menahan cewek itu untuk berjalan.

Tara melotot dengan gerakan tangan Deva. Jantungnya nyaris saja merosot ke perut saking terkejutnya. Oh, oke. Mungkin terdengar hiperbolis. Namun, ia benar-benar tidak mengantisipasi Deva akan menyentuh tangannya.

"Aku becanda, di sini aja. Nanti aku gak tau turun di mana."

Lalu Deva tertawa pelan, membuat Tara melongo. Oh, dia ngajak bercanda.

"Wah kalo aku suruh kamu asal turun, nurut aja kali, ya. Kamu buta arah gitu." Tara kembali ke posisinya, diperhatikannya jalanan yang selalu ramai namun belum terlalu macet.

Deva tersenyum. "Tinggal tanya orang, kamu kira aku nyasar di luar negeri."

Tara menggerakkan kepalanya perlahan, ingin menoleh ke samping, tempat Deva berdiri. Bukannya ia tidak sadar, sepanjang bersama Deva, cowok itu tak pernah lepas memperhatikannya, membuatnya salah tingkah.

Saat melirik melalui ekor matanya, Deva masih memperhatikan Tara. Akhirnya ia kembali memperhatikan jalanan melalui kaca TransJakarta.

Selama sisa perjalanan, mereka tidak banyak bicara. Sampai akhirnya terdengar suara kondektur menyebutkan halte Pasar Senen. Tara pun segera bergegas, mengajak Deva mengikutinya. Deva hanya mengikuti saja tanpa banyak komentar.

Sesampainya di halte Senen mereka berjalan menuju tempat menunggu bus ke arah Matraman. Masih melewati jembatan penghubung halte, bus arah Matraman sudah datang. Tara yang terbiasa dengan hal ini mengajak Deva berjalan cepat- -nyaris berlari-- untuk mengejar bus.

"Ayo lari, nanti ketinggalan busnya."

"Hah?" Deva tidak mengerti maksud Tara, tapi melihat cewek itu yang berlarian menuruni anak tangga, ia hanya mengikutinya.

Mereka berhasil masuk ke dalam bus yang tadi dikejar, nahasnya bus tersebut sangat sesak, bahkan setelah Tara masuk dan hanya berdiri dekat pintu, masih banyak orang berdesakan untuk masuk.

"Stop, bus belakang masih ada, ya." Kondektur Trans Jakarta segera menyetop orang-orang yang hendak masuk.

Deva melihat sekelilingnya, ini sesak sekali, belum pernah Deva naik bus sesesak ini, ia bahkan tidak tahu bahwa kapasitas TransJakarta sampai segininya. Mereka tidak bisa masuk ke dalam karena penuh, alhasil mereka berdiri di dekat pintu.

"Kok penuh banget gini?" tanya Deva, karena bus sebelumnya yang mereka naiki tidak sesesak ini.

"Ini bus Ancol-PGC, jadi lebih rame, biasanya kalo yang sepi itu Ancol-Kampung Melayu."

"Kenapa gak nunggu yang Kampung Melayu?"

"Lama. Aku males nunggu."

"Kamu kayak kondektur ya, ampe hafal rutenya gitu."

Tara tertawa mendengar ucapan Deva, tentu saja Tara hafal, ia kan tidak memiliki kendaraan pribadi, sejak SMA sudah terbiasa naik kendaraan massal ini.

"Kamu kalo sering naik juga hafal."

"Gak bakal deh, naek lagi kalo penuh sesak gini."

Bus berhenti pada halte berikutnya, beberapa orang berjalan untuk keluar. Tara dan Deva yang berdiri di pintu jadi tersenggol-senggol, sampai kabel earphone yang terpasang di telinga Deva terlepas akibat tertarik oleh orang yang hendak keluar.

Seketika mata Deva membesar. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Ia dapat merasakan seluruh atmosfer dalam bus ini. Napasnya seketika memburu, tubuhnya gemetar, bahkan ia tidak bisa melakukan apa yang ingin dilakukannya. Earphone itu masih menggantung sebelah, sampai kemudian tersenggol lagi oleh orang lain dan lepaslah kedua earphone dari telinga Deva.

"Enggak ... Shh ... enggak...." Deva bergumam dengan napas yang memburu, seketika keringat membanjiri tubuhnya, yang ditangkap matanya bukan lagi suasana bus yang penuh penumpang, suara-suara riuh dalam bus perlahan berubah menajadi suara mengerikan yang sangat dibencinya.

Tara yang mendengar suara Deva seketika menoleh. Dilihatnya Deva yang terus bergumam tidak jelas, dengan napas yang terengah-engah. Mata Deva terlihat ketakutan, ia menggelengkan kepalanya, dan kini kedua tangannya menutup telinga.

"Dev? Dev, kamu kenapa?"

Deva tidak menjawab. Napasnya masih terengah. Tara benar-benar tidak mengerti, Deva seperti lupa cara bernapas sampai wajahnya memucat.

Tara mengguncang lengan Deva. "DEVA!" teriak Tara yang kini mulai panik, membuat perhatian penumpang bus tertuju ke arah mereka.

Deva masih tidak menjawab. Cowok itu seperti kerasukan, jiwanya seolah tidak ada di sana.

"Mbak, temennya bawa turun aja. Takutnya kenapa-napa." Salah seorang penumpang memberi saran. "Yuk, saya bantu."

Tara bingung, ia tidak mengerti. Deva kenapa?

Dilihatnya penumpang wanita itu kini berbicara pada kondektur, agar membukakan pintu kembali.

"Pak, pintunya buka lagi, ada yang sakit!" Kondektur yang juga melihat keadaan Deva seketika berteriak pada supir, beruntung bus belum beranjak dari halte.

Pintu pun akhirnya terbuka.

"Ayo, Mbak, saya bantu bawa turun temennya," ucap kondektur sambil membimbing Deva.

"O-oh, iya- iya." Tara hanya mengangguk, masih kebingungan.

_______________

Titik Nadir Where stories live. Discover now