A man before him. Part 1

24 4 5
                                    

Sabtu, 20 Juni 2020

Masih seperti kemarin. Mentari masih nyaman bersembunyi dari semesta. Ia memilih meringkuk dibalik gumpalan mega kelabu yang menyelimutinya disertai dengan rintik-rintik gerimis kecil yang berguguran ke permukaan tanah. Aku pun begitu. Masih sama. Aku meringkuk di atas hamparan kasur lipatku dengan lampu yang menyala terang. Tumpukan cucian bajuku memanggil-manggilku dari sudut kamar seolah meminta jatah untuk segera dimandikan. Wajahku masih saja masam. Masih dengan kantuk yang menjejali kepalaku, aku duduk dan menyandarkan punggungku pada almari usang ditepi kamar.

Aku membuka laptopku. Masih dengan wajah masam dan sakit pinggang yang setia menyerang sejak kemarin petang, aku bulatkan keinginan untuk menuliskan sedikit kisahku yang bertahun-tahun terpendam.

Agustus, 2014.

Hari ini hatiku patah lagi. Aku pikir kita cukup dekat dari sekedar kakak dan adik kelas. Aku salah. Masih dalam balutan baju pramuka, aku berlari ke halte depan sekolah. Air mataku sudah tak mampu lagi kubendung, mengalir pelan membanjiri pipiku. Tanganku melambai, memberhentikan angkot hijau yang tak lama kemudian lewat. Sepanjang perjalanan pulang tak henti kedua punggung tanganku menyeka bulir-bulir air mata yang berlelehan.

“Stop, om”, ujarku sembari menyodorkan lembaran uang tiga ribu rupiah pada sopir angkot berkumis klimis itu.

Kakiku berlari kencang. Berharap segera sampai kerumah lalu menangis sejadi-jadinya. Kurogoh kompartemen tasku lalu mengambil kunci rumah. Pas sekali. Kakakku kerja dan si emak pasti masih mengajar ngaji. Tanpa babibu aku membuka pintu lalu menguncinya lagi. Aku berlari kekamar. Mengunci daun pintuku rapat-rapat dan menangis sejadi-jadinya.

Hari ini, bulan Agustus, tepat tiga hari setelah ulang tahunnya, aku mendengar berita dia jadian dengan teman sekelasku. Bukan teman dekat, genk kami pun sering adu pendapat. Beda bubuhan kalau kata orang Banjar.

Syawal. Kakak kelas dua tingkat diatasku. Wajahnya biasa saja, tapi tubuhnya kekar. Maklum, dia anak persatuan salah satu bela diri disekolah. Aku memang suka padanya. Belum lama. Mungkin baru dua bulanan. Tepat setelah aku dikerjainya habis-habisan ketika masa orientasi. Aku dekat dengan teman-teman satu genk-nya karena kami sama-sama didapuk menjadi anggota OSIS. Kami juga ikut ekstrakulikuler yang sama, drumb band. Dia membawa bass, aku membawa senar drum. Kami juga sama-sama pernah melatih drumb band di sekolah dasar yang sama. Jadi sering berbagi cerita dan pengalaman seputar permusikkan. Spesialisku terompet atau brass, sedangkan dia kuarto dan senar drum. Dia bukan tipikal orang yang suka menyapa. Kalau dia lewat di depan kelasku, aku pasti diam-diam meliriknya. Dia punya pesona sendiri dengan sikap dinginnya.

Cukup dengan sedikit pesonanya. Singkatnya, sejak aku dengar berita dia jadian, yahh,.. aku langsung lari pulang meski jam pelajaran belum selesai. Bayangkan, kami sudah cukup dekat sampai sering berkirim pesan. Kalau lagi latihan, kita saling bertukar saran, bahkan dia pernah meminjam namaku untuk menipu orang. Jangan tanya kenapa aku mau, aku memang punya bakat bucin dari dulu. Tapi teman-teman dekatnya tau, dia suka sama aku. Begitupun sebaliknya.

“Dia juga suka sama kamu. Dia sering cerita ke kita. Tunggu aja, nanti pasti kamu ditembak dia.” Begitulah penggalan kalimat yang sering diucapkan teman-teman satu genknya kalau lagi ngumpul denganku diruang OSIS bersama. Bara, mantan ketua OSIS periode sebelumnya juga sering berbagi informasi tentang kak Syawal. Begitu juga kak Kiki dan Risky. Kami saling bertukar informasi kalau sedang kumpul bersama.

“Kamu bisa nggak lebih dewasa? Dia tuh nggak suka cewek pecicilan dan kekanak-kanakan.” Kalimat kak Kiki selama perbincangan di kantin seminggu yang lalu terngiang di kepalaku. Bodohnya aku. Aku tiba-tiba jadi kalem setelah itu. Aku siapkan secarik kertas untuk mengumpulkan poin kalau aku berhasil menghindari perilaku konyol dalam sehari. Belum genap seminggu berusaha, kabar buruk sudah datang aja.

Aku meringkuk dikasur. Menangis sejadi-jadinya. Kuambil ponselku dari dalam tas.

Kak, kenapa kak Syawal malah pacaran sama Anis?. Aku mengetik pesan singkat. Tidak. Aku mengurungkan niatku. Alih-alih mengirim ke kak Syawal, aku malah mengirim pesannya ke kak Kiky.

“Bip”, notifikasi pesanku menyala.

Dia nggak nembak. Dia ditembak sama Anis.

Jemariku gemas ingin membalas.

Tapi kenapa diterima? Kata kak Kiky, kak Syawal suka sama aku. Balasku singkat.

“Bip”, notifikasiku menyala lagi.

Dia nggak enak sama Anis, Anis sudah sering kasih-kasih dia barang-barang. Dia sebenarnya suka juga sama kamu. Dia bilang kamu baik, pinter, cantik, tapi dia nggak suka kamu pecicilan. Dia terima Anis karena Anis dewasa katanya.

Aku makin menangis. Tidak lagi ku balas pesan singkat kak Kiky. Kubenamkan wajahku pada tumpukkan bantal piglet hadiah kakakku dan menangis sepuas-puasku sebelum orang-orang pulang memergokiku.

Bersambung,…

***

 

 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 23, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

50 Days to Let You GoWhere stories live. Discover now