Epilog ini kusadur dari prolog "The Alchemist" salah satu buku kesukaanku saya setelah "The Little Prince", Paulo Coelho menulis:
Di tempat di mana dia (Narcissus) jatuh, tumbuhlah suatu bunga yang dinamakan bunga Narcissus.
Namun ini bukanlah cara sipengarang buku tersebut mengakhiri ceritanya.
Dia mengatakan bahwa ketika Narcissus mati, para dewi hutan dan peri muncul dan menghampiri kolam tersebut yang belum lama berselang berair tawar, namun sekarang menjadi kolam air mata asin.
"Hei... Mengapakah kau menangis?" tanya para dewi dan peri tersebut.
"Aku meratapi Narcissus," jawab kolam itu.
"Ah... Tidak mengherankan kalau kau meratapi dia," kata mereka lagi, "karena walaupun kami selalu mengejar-ngejar di hutan, hanya kau sendirilah yang bisa memandang ketampanannya dari dekat sekali".
"Tapi... Apakah Narcissus benar-benar tampan?" tanya sang kolam.
"Siapa yang lebih tahu soal itu kecuali kau," kata para dewi dan peri terheran-heran, "Dari semuanya, hanya di bibir permukaanmulah dia berlutut setiap hari untuk memandang ketampanannya sendiri!"
Sang kolam terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya dia berkata, "Aku meratapi Narcissus, tapi aku tidak pernah melihat bahwa dia tampan. Aku meratap karena setiap kali dia berlutut di bibir permukaanku, aku dapat melihat, di kedalaman matanya, ketampanan dirikulah terpancar"
KAMU SEDANG MEMBACA
Narcissus, Ketampanan yang Mematikan
Historical FictionCerita ini adalah adaptasiku dari cerita mitologi Yunani yang tentu saja tak sungkan dan tanpa penyesalan dan rasa bersalah kubumbui dengan khayalan-khayalan halu. Sebenarnya cerita ini kutulis beberapa tahun yang lalu di status Facebook dan sekaran...