iii. Sekitar Dua Jam Lalu: Jangan Terlalu Berharap Pada Manusia

26 6 1
                                    


Langit kian menggelap seiring mentari yang terus bergerak menuju peraduannya. Meski begitu, Bunga tak kunjung bergerak satu inchi pun dari tempatnya duduk sejak tiga jam yang lalu. Kurang lebih sejak satu jam yang lalu, ia sudah sibuk menjatuhkan pandangan pada tanah kotor sembari menendangi kerikil-kerikil ke sembarang arah.

"Cih, bakso Mas Edi, cilok seberang taman, tai kambing!"

Entah yang tadi merupakan omelan keberapa kali yang sudah ia lontarkan. Bibirnya merengut seperti biasa, menyesali nyaris segala keputusannya hari ini. Termasuk menolak ajakan Dina delapan jam yang lalu untuk pergi ke rumahnya.

Keapesannya pun ikut bertambah setelah rintik hujan jatuh di depan wajahnya. Menit kemudian, sudah ribuan rintik hujan jatuh membasahi bumi. Atap halte bis yang tadi melindunginya kini tak lagi begitu. Bunga mengadahkan kepala, hanya untuk mendapati beberapa bolongan kecil di atap biru itu.

Rambutnya yang ikatannya mulai mengendur bahkan sudah basah separuh. Helaan napas meluncur dari bibir kecilnya. Diikuti dengan makian tidak kasar, alias, "Astagfirullahaladzim, Ya Allah Ya Gusti Nu Agungggg, sabaaaar, Bungaa. Yok bisa yok. Haahh... bakso cilok sialan."

Setelah itu Bunga menepuk mulutnya sendiri setelah menyadari apa yang ia ucapkan.

Dari awal memang sudah salahnya karena menyetujui gratisan yang ditawarkan tadi pagi. Ini salahnya yang terlalu membawa perasaan saat berbincang dengan tetangga cukup baik hati sudah mau menebenginya pergi sekolah berinisial 'D', tapi bagi Bunga cowok itu berinisial 'A'.

Bukan, bukan anjing.

Tetapi Ayodya,

Devan Ayodya.

Sekarang Bunga ingin sekali memakinya habis-habisan. Ini adalah pulang paling larut yang pernah ia alami. Selarut-larutnya ia pulang, inilah yang paling larut! Ibunya pasti panik bukan kepalang saat mendapati putrinya tidak pulang-pulang. Kalau nanti ini berujung dengan Bunga yang dihabisi oleh Ibunya, maka gadis itu tak akan membiarkan hal itu terjadi. Biarlah ia menyeret Ayodya, atau Devan, atau apalah mau orang itu.

Haish, sudahlah! Nggak ada gunanya kalau ia terus-terusan mikirin orang tidak bertanggung jawab itu.


Nggak ada gunanya kalau ia terus-terusan duduk di sana dan masih berharap.


Nggak ada gunanya kalau ia terus-terusan menaruh rasa pada pemuda itu.


Oh, sakitnya ditampar kenyataan.


Dinginnya udara menusuki tulang-tulangnya. Rintik air menerjang masuk ke dalam helaian bajunya. Sukses membuat Bunga menggigil kedinginan dan berakhir memeluk dirinya sendiri.

Meski begitu, rutukan Bunga entah kepada siapa terus berlanjut, "emang manusia tuh suka kenapa, sih?!"

Akhirnya rasa lelah dan tak sanggup berdiam diri di tempat itu datang menghampiri Bunga. Membuatnya beranjak dari duduk, lalu berdiri di penghujung batas atap halte masih melindungi, yaa walaupun tetap basah total (mau ada atap atau tidak tetap sama saja).

Bunga sudah siap menerjang derasnya hujan dan gelapnya malam. Kalau saja nyalinya tidak menciut ketika mengingat kembali rute jalan yang harus dilalui menuju rumah. Naik angkot malam-malam, lalu turun di depan kompleks, eh masih harus melewati komplotan jamet otak kopong yang hobi nongkrong di warung Bu Sari depan gapura, belum lagi berusaha menghindari kejaran anjing Pak Ratno yang sering dilepas.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 15, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Setiap Hari / Seperti BiasaWhere stories live. Discover now