x. Pulangnya Mau Dijemput?

53 5 2
                                    

"Eh, eh! Nak Ayodya! Bentar, nak!"

Dari sini Bunga bisa dengar Ibu berteriak-teriak di depan pagar. Gadis itu berusaha keras untuk tak memedulikan. Setelah menyelesaikan sarapannya, ia bergegas meraih ransel besar hitamnya, lalu melangkah keluar rumah.

"Nah, ini Bunga-nya! Ayo, dek, cepetan dikit udah ditungguin Mas Ayodya."

Bunga hanya bisa pasrah saat sang Ibu menarik tangannya. Dirinya yang bahkan belum selesai memakai sepatu dengan sempurna pun berakhir dengan menginjak bagian belakangnya. Oh, dan tentu, kena semprotan Ibunya lagi yang berbunyi, "Wuoh, sepatunya mbok ya dipake yang bener, kalau rusak Ibu nggak punya uang lagi buat beliin!"

Yang diomelin hanya merengut malas, sama sekali tak berminat mengelak walaupun sebenarnya ia sangat ingin. "Iyaaa, buuu," balasnya tidak niat sambil memperbaiki sepatu.

"Udah, sana itu buruan pakenya, nanti Mas Ayodya telat!"

"Santai aja, Tante." Akhirnya sosok di balik helm full-face yang tiap hari Bunga lihat itu mengeluarkan sepatah dua patah kata dengan suara basnya yang sudah akrab di telinga.

Namanya Mas Ayodya, begitu Bunga dan Ibunya memanggil, padahal nama lengkapnya Devandra Ayodya Biru dan Bunga sudah sering mendengar satu keluarga mas itu selalu memanggilnya dengan 'Devan'. Tapi, ya sudah lah, orangnya saja tidak protes dan kalau sudah kehendak Ibu Bunga bagaimana lagi mau dilawan?

"Mas, besok-besok nggak usah di-iyain aja permintaan Ibu, aku bisa kok pergi sendiri," ucap Bunga terdengar ketus ketika ia hendak naik ke motor besar pemuda itu.

Mas Ayodya ini memang terlihat seperti pemuda sempurna, hits nan gaul yang sering Bunga temukan di platform fiksi di internet. Sudah jelas sekali kalau orangnya berparas rupawan, baik hati, murah senyum, kondisi keluarga oke, motor gede cukup untuk mengangkut badak (ohhh, hiperbolaa) apalagi yang kurang?

Oh, kurang bisa dimiliki.

Enggak deng, bercanda.

Rasanya Bunga ingin menggeplak kepalanya sendiri agar tidak memikirkan yang iya-iya (baca: tidak-tidak). Yaaa, maklumi sajalah, memang siapa sih yang tidak akan jatuh pada sosok di depannya ini? Ditambah Bunga selalu berjumpa dengannya tiap lima hari dalam seminggu di pagi hari (karena Ibu Bunga, tentu saja). Bisa dibilang nyaris setiap hari, bukan? Hal ini bahkan sudah bisa mengalahkan rekor Raihan, teman sekelasnya, bertemu dengan sang pacar.

"Ibu masih denger loh, ya! Nak Ayodya nggak usah dengerin kata Bunga, ya? Nanti Tante kasih uang beli bensin kok, yang pertamax!"

Mas Ayodya hanya tersenyum simpul, meski yang kelihatan hanya dua buah mata yang melengkung membentuk sabit. Sedangkan Bunga yang sudah duduk sempurna di atas motor dan bahkan sudah memegang jok belakang erat, mendengus malas.

"Ck!"

"Ya sudah, Tante, saya sama Bunga pergi dulu! Assalammualaikum!"

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Tidak ada yang bersuara selama perjalanan, seperti biasa dan memang harusnya begitu. Hanya semilir angin pagi yang kadang suka membuat Bunga mulas sendiri dan suara klakson pengendara lainnya di kala lampu merah yang suka ditanggapi Bunga dengan decakan ketus seperti,

"Ck! Nggak sabar banget, sih?"

Walaupun ia sudah menyiasati omelannya dengan suara sepelan mungkin ditambah dukungan deru mesin motor yang seharusnya menyamarkan omelan gadis itu dengan sempurna, Mas Ayodya yang hanya berjarak kian senti dari dirinya tentu mendengar segalanya. Dia tak membalas, hanya sesekali tertawa kecil di balik helm full-face itu dan tentu tanpa disadari oleh Bunga.

Setiap Hari / Seperti BiasaWhere stories live. Discover now