2.2 // pencarian

187 18 13
                                    

pencarian selanjutnya

Dada remaja perempuan berhidung mancung itu naik turun seiring sepasang kakinya menyusuri jalanan dengan langkah tergesa-gesa. Bukan apa-apa, Aster hanya harus menyelesaikan tugas Biologinya di rumah sebelum pukul sembilan tiga puluh, waktu yang telah menjadi jam malamnya. Celakanya, saat ini sudah pukul sembilan lewat lima menit. Salahkan tutor bimbelnya yang tadi datang terlambat ke Fx Student Centre. Jika Aster tidak cepat-cepat pulang ke rumah, besar kemungkinan ia harus bergadang. Aster tidak mau melakukan itu. Waktu tidurnya terlalu berharga.

"Hei, kamu!"

Aster terus berjalan cepat tanpa memedulikan seruan yang baru saja terdengar. Aster tahu, itu suara milik laki-laki yang dua malam terakhir ini terus bertemu dengannya. Memang kali ini Aster tidak menghindar karena ia tahu bahwa laki-laki itu bukan orang jahat seperti yang ia duga sebelumnya—Aster saja yang tidak ingin berburuk sangka terhadap orang lain. Sudah cukup kemarin malam ia menuduh laki-laki itu ingin mengambil sesuatu darinya. Tidak. Aster tidak selicik itu. Hanya saja, saat ini Aster tidak ingin terlalu peduli. Untuk apa mengorbankan waktunya yang sangat berharga hanya untuk orang asing yang tidak jelas asal-usulnya, 'kan? Tugas Biologinya jauh lebih penting.

"Hei!" Aster mendengar bunyi decit ban yang beradu dengan aspal. "Kamu!" seru suara itu lagi yang kontan membuat Aster berhenti, lalu memandang sang pemilik suara dengan tatapan kesal. Laki-laki berwajah tirus tersebut melambaikan tangannya pada Aster dengan ramah. Ia bertengger manis di atas kendaraan oranye miliknya dengan satu lengan bertumpu pada setang sepeda. "Hai! aku manggil kamu, tapi kamu nggak dengar," lanjutnya saat Aster tak kunjung merespon.

Aster mengembuskan napas dengan kasar. Laki-laki di sampingnya itu benar-benar buta situasi. Padahal, sejak pertemuan pertama mereka, Aster sudah berusaha menolak kehadirannya secara halus tanpa harus mengatakan ketidaksukaannya. Tetapi, sekarang? Yang ada, laki-laki itu seperti sengaja menunggunya pulang setiap malam. Aster benar-benar tidak suka ini.

Setelah menetralisir rasa kesal di hatinya, akhirnya Aster mulai membuka mulut, "Aku harus cepat-cepat pulang. Tolong kamu jangan ganggu aku karena kita gak saling mengenal."

"Aku nggak bakal lama," tukas laki-laki yang memakai kemeja denim itu. "Aku cuma minta jawaban dari pertanyaanku semalam."

Aster tidak bereaksi. Jujur saja, sejak laki-laki itu memberikan pertanyaannya, Aster tidak berhenti memikirkan apa yang akan ia katakan jika kembali bertemu dengan sang penanya. Bahkan, Aster sampai harus melewatkan sarapan pagi yang baginya begitu krusial lantaran ia terlalu fokus pada jawaban yang tak kunjung ia dapatkan. Ah, Aster bingung. "Aku nggak tau," jawab Aster akhirnya.

Laki-laki itu tersenyum lebar. Iris matanya berpendar memantulkan cahaya lampu jalan yang temaram, mengingatkan Aster akan sinar bulan sabit di atas mereka. "Atau kamu yang nggak mau tau?"

Aster tercenung. Sebuah tamparan keras seolah baru saja dilayangkan padanya. Mengapa laki-laki asing itu seolah tahu cara untuk membungkam dirinya?

"Berarti aku benar. Kamu yang nggak mau tau kenapa orang-orang pergi dari kehidupan kita. Kamu terlalu takut." melihat perempuan berambut bergelombang di hadapannya tidak kunjung bersuara, laki-laki itu lantas menggerakkan sepedanya ke depan sehingga posisinya kini dua langkah di depan Aster. Punggung lebarnya menjadi pemandangan yang Aster saksikan di bawah gelapnya malam, menyisakan kebingungan bagi Aster.

"Kamu ngapain?" tanya Aster.

"Naik."

"Apa?"

"Kamu bilang kamu buru-buru. Ayo, aku antar."

Aster menatap laki-laki tersebut dan sepedanya bergantian. Ia ragu. Bagaimana bisa ia menaiki sepeda yang tidak ada tempat duduknya? Lagipula, bukankah beberapa menit yang lalu mereka masih membicarakan pertanyaan yang belum dijawab Aster? Aster tidak habis pikir dengan jalan pikiran laki-laki aneh itu.

[✔] Effervescent; sebuah kumpulan cerpenWhere stories live. Discover now