Prolog

609 11 0
                                    

Aku ingin memiliki diriku sendiri, aku ingin diriku benar – benar milikku. Tapi nyatanya tubuhku ini milik mereka yang disebut dengan rakyat. Apa aku mampu menjadi pendamping bagi ‘Pemimpin’ mereka. Yang katanya keberhasilan seorang pemimpin besar dibaliknya ada seorang wanita yang teguh. Mampukah aku ?

King’s Lady

            Sejenak tulisan itu tercetak jelas di layar besar, lengkap dengan narasi di bawahnya.

            “Aku selalu menjadi yang kedua. Berada dalam bayang – bayangnya. Bukan, aku tak pernah membencinya. Aku sangat menyayangi kakakku. Hanya saja kapan orang mau melihatku sebagai sosokku yang sebenarnya. Sebagai Song Ji Hyun bukan Song Ji Hyun adik dari Song Ji Ah. Bahkan, hah- miris sekali. Bahkan saat Sang Raja-pun menjadikannya Sang Permaisuri pendampingnya, dan aku sebagai selir. Aku selalu menjadi yang kedua.”

 

***

            Ji Hyun berdiri menghadap sang rembulan yang terlihat penuh malam ini dari jendela kamar yang biasanya tertutupi kain sutra putih dengan sulaman benang emas. Gadis remaja yang menginjak usia empat belas tahun itu termenung memikirkan pembicaraan utusan kerajaan dengan kedua orang tuanya.

           

            “Yang Mulia Raja menginginkan putri anda Song Ji Ah yang mendampingi Yang Mulai Putra Mahkota kelak. Perjanjian tetap berlangsung hanya saja menurut Yang Mulia Permaisuri nona Ji Ah lebih pantas dan mampu menjadi ibu negara ini.” Tuan Song menghela napas, sedangkan Nyonya Song hanya menunduk. Ia merasa kasihan dengan putri kecilnya, Ji Hyun. Namun perintah Raja tak mungkin ditawar.

 

            “Apa bedanya nona Ji Ah dengan nona Ji Hyun yang mendampingi Putra Mahkhota ? Anda tetap besan dari keluarga raja Menteri Song.”Tuan Song mengangguk paham. Namun raut gelisah masih jelas tercetak di raut wajahnya. “Mohon sampaikan pada Yang Mulia, saya sudah terlanjur berjanji pada putri bungsu saya bahwa ia kelak akan menjadi pendamping putra mahkhota.” Utusan kerajaan itu mengangguk. Tak ingin mendengar lebih, Ji Hyun akhirnya memilih menuju kamarnya.

 

***

 

            Genap dua bulan setelah lahirnya sang Putra Mahkota baru. Ji Hyun memang tetap menjadi pendamping Raja yang baru tapi ia hanya menjadi seorang Selir. Ia tak punya kekuasaan apapun atas diri orang yang kini bisa dikatakan adalah “suaminya”. Kakaknya, Song Ji Ah kini memiliki segalanya. Bahkan rakyat-pun sangat simpati pada Ratu mereka.

 

            Dulu, dua tahun yang lalu dimana ia diangkat untuk dijadikan seorang selir, sang Raja pernah berucap, “jika malam akan terasa hampa dan dingin tanpa cahaya, aku ingin kau yang menjadi cahayaku. Kumohon, percayalah padaku.” Dan sekarang Ji Hyun hanya mampun memaki dirinya sendiri karena sekarang ia terlanjur memberikan hatinya secara utuh pada pemilik negeri Goryeo itu.

 

            Lahirnya Putra Mahkota adalah hal yang membahagiakan baginya. Negeri ini memiliki penerusnya dan ia memiliki seorang keponakan yang sangat mewarisi wajah ayahnya. Namun di sisi lain, ia akan benar – benar kehilangan sosok yang sangat dibutuhkannya untuk dapat bertahan dilingkungan istana yang kejam dan dipenuhi oleh orang – orang yang berambisi tinggi ini.

 

            Purnama menjelang, genap empat purnama ini ia lalui sendiri. Biasanya ia dan Sang Raja akan duduk di atas batu yang ada di pinggiran kolam teratai. Menatap refleksi dari cahaya bulan yang terlihat penuh dengan candaan hangat yang mampu mengusir dinginnya angin malam bahkan di musim dingin sekalipun.

 

            “Yang Mulia Raja datang Nyonya.” Hanya lima kata itu saja yang ingin ia dengar dari mulut sang kepala dayang. Sangatkah sulit untuk mengucapkannya ? tidak, namun untuk membuat kalimat itu menjadi nyata saat ini hanyalah khayalan. Sudut bibir sang Selir terangkat dan bergetar saat menatap bunga teratai yang sedang mekar di permukaan kolam. Kakinya melangkah hingga kini ia berdiri tepat di atas jembatan yang dicat merah menyala. Tangannya mencengkram erat pembatas jembatan dari kayu itu dan napasnya terasa naik turun tak karuan. Dayang dan beberapa pengawalnya hanya berada di pinggir kolam sebagai mana mereka biasa berada saat sang Selir menghabiskan waktunya dengan Pemilik Goryeo ini.

 

            “Walaupun bunganya tak indah mawar, tak seharus melati, tapi teratai adalah bunga yang sangat kuat. Ia mampu bertahan di genangan air yang dapat membusukan pohonnya. Ji Hyun-ah kuharap kau bisa bertahan di sini untukku.” Tangannya yang gemetar melepaskan cengkramannya pada pembatas jembatan, ia kini mencengkram ujung lengan hanboknya erat. Setetes, dua tetes air mata sudah turun dari sana. Tubuhnya mulai bergetar bukan karena angin musim gugur namun karena ia menangis dalam diam.

 

            Pemilik suara lembut yang biasanya bicara dengan nada penuh ketegasan itu mendekat. Menyentuh pundak sang Selir dan memutar tubuhnya hingga kini tepat menghadap ke arahnya dengan kepala tertunduk. Sang Raja pun merengkuh ‘istrinya’ dengan erat, mengusap punggung itu dari luar hanbok kebesaran yang tengah dipakainya.

 

            Pertama kalinya mereka bertemu setelah tiga bulan lamanya. Disaksikan sang rembulan dengan dayang dan para pengawal yang hanya terdiam bagai patung. “Kaisar menginginkanmu, apa yang harus aku lakukan ?” bisik sang Raja lembut nyaris tak terdengar.

 

***

The QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang