Intermezzo

18K 1.2K 22
                                    

Jani     : Lebih enak mana, saingan sama yang masih hidup, atau yang sudah mati?

Dulu, teman-temanku sering sekali bilang iri padaku, punya Kakak yang keren dan care sama adiknya, aku. Okay, aku akui, Kak Juan memang memiliki tingkat ketampanan sedikit di atas rata-rata. Ya buktinya dia sempat jadi aktor juga, walau akhirnya Kak Juan lebih memilih untuk menekuni dunia belakang layar sebagai sutradara. Dan meskipun agak rempong, tapi Kak Juan memang care banget sama aku, yaah… meskipun kadang nyebelin juga sih. Tapi sumpah deh, mereka nggak perlu se iri itu, jadi adik seorang Juananda Hardian nggak seenak itu juga kok. Terhitung beberapa orang mendekatiku cuma biar deket juga sama Kak Juan. Kan bête. Entah itu modus biar bisa sekadar kenalan atau yang lebih parah biar bisa lobby buat main di film atau ftv Kak Juan. Ehm, dan sayangnya Kak Juan bukan tipe orang yang seperti itu, biar kata aku sendiri yang ngemis-ngemis minta untuk jadi sekadar artis pembantu—yang sumpah aku nggak bakal mau ngelakuin ini—Kak Juan nggak bakal ngasih kalau emang nggak cocok. Dia orang yang professional dibalik semua sifat nyebelin, rempong, dan slengekannya. Tapi tetap saja aku yang merasa kecewa, karena mereka tak benar-benar ingin berteman atau pedekate denganku, yeeaah tapi pada akhirnya toh selalu ada sahabat-sahabat yang tulus denganku tanpa ada embel-embel modus pada Kak Juan. Oh iya, satu episode lagi yang membuatku ingin bilang, kalau nggak usah iri punya kakak kayak dia. Yaitu ketika dia galau. Sumpah! Rempongnya ngalahin Sastia yang paling rempong diantara teman-temanku.

Kayak hari ini, aku lagi nggak kuliah. Kak Awan udah berangkat dari pagi, sementara Kak Juan yang sejak semalam nginep di sini beberapa kali aku dapati lagi bengong. Yakin deh. Pasti lagi galau. Aku baru selesai membersihkan dapur dan ruang tengah, saat kudapati Kak Juan lagi bengong sambil nyendokin semangka. Ya, nyendokin semangka. Biasanya semangka kami belah menjadi 2 atau 4 bagian. Lalu kami memakan langsung dengan menggunakan sendok. Sebenarnya itu kebiasaan kami sejak kecil yang paling nggak ningrat. Mami sampai ngomel beberapa kali kalau mendapati kami masih melakukan kebiasaan itu, tapi gimana ya… ternyata memang ada sense tersendiri nyendokin semangka langsung itu. Aku memilih duduk di sebelahnya sambil beristirahat. Aduh, capek juga padahal cuma bebersih biasa. Aku merebut sendok darinya dan ikut menikmati semangka merah segar yang menggoda itu.

Sesaat aku menikmati semangka itu tanpa suara, sama seperti halnya Kak Juan yang akhirnya menyerahkan semangka itu sepenuhnya padaku. Mungkin udah kembung, semangka segede bola voli gitu. Tak lama kemudian ponselku bergetar, kulihat ada notif whatsapp dari Ibu Mertuaku, segera aku membukanya.

Sayang, Mama mau buat macaroni schotel nih. Beserta dengan foto bahan-bahan yang tersedia dihadapan beliau.

Nanti biar Awan bawain ya buat kamu. Lanjutnya.

Aku tersenyum sendiri, aih senengnya punya mertua baik dan perhatian gini.

Aasiiiiik, Makasih Mamaaaa. Balasku senang.

Sama-sama. Oh iya, si Sheryl katanya juga suka banget sama macaroni schotel. Nanti dibagi juga buat dia ya…

Senyumku memudar seketika. Heuuuh, si Tante Sereal lagi. Kayaknya Mama juga seneng bener sama si tante. Huhu, mereka terlihat cocok dan nyambung saat mengobrol. Beberapa kali Mama juga memujinya setelah mereka ketemu hari itu. Emang sih Mama dengan gayanya yang anggun dan baik hati itu, nggak pernah membandingkan aku dan si tante secara langsung. Tapi kok aku jadi was-was sendiri, jangan-jangan mama lebih seneng kali ya kalu punya mantu dia dibanding aku?

Iya, ma.

Balasku singkat, kemudian kembali meletakkan ponsel di meja. Iya nanti aku bagi dia, bagiin bungkusnya aja. Huh!

Heran deh, kenapa sih mama seneng banget sama tante itu, Kak Awan juga. Meskipun kata Kak Awan dan mama aku juga nyenengin sih. Tapi kenapa aku jadi bête gini kalau mereka juga ngasih perhatian ke si tante itu. Mama misalnya, yang memang suka memasak dan memperhatikan makanan favorit kami, termasuk makanan favoritku. Tapi kenapa jadi ikutan nyatet juga kesukaannya di tante. Atau Kak Awan yang kadang suka bantuin si tante. Aku jadi merasa kalau kami sekarang ini justru sedang saingan. Oh, iya. Dia jelas-jelas menunjukkan minatnya pada Kak Awan, meskipun Kak Awan selalu saja dengan gaya kalemnya menenangkanku atas feelingku yang satu itu. Sekarang, ia mulai mengakrabi mama juga. Oke, aku memang nggak seharusnya merasa tersaingi akan kehadirannya. Aku jelas istri sah Kak Awan dan menantu mama. Oh tapi dia lebih lama mengenal Kak Awan, dan mama juga lebih nyambung ngobrol sama si tante tentang apapun. Tapi Kak Awan kan cintanya sama aku, tapi Kak Awan juga pernah suka sama dia. Ohooooo aku lebih muda dan energik, tapi dia lebih dewasa, pintar, cantik, dan seksi. Huwaaaaaa kenapa jadi kayak giniiiiii?

Tanpa sadar aku menghentakkan kakiku sendiri karena kesal memikirkan itu semua. Jadi gini rasanya punya saingan? Selama ini kayaknya aku mulus-mulus aja pedekate sama Kak Awan, kenapa dia justru nongol setelah kami menikah?

“Jadi gini rasanya punya saingan.”

Aku menoleh. Sumpah itu bukan suaraku. Tapi kenapa seperti menyuarakan isi hatiku gini?

“Nggak enak ya ternyata?” sambungku menimpali sambil mengembuskan napas panjang. Ah emang nggak enak ternyata.

“Apalagi kalau saingannya udah mati.”

“Yang masih idup juga nyebelin.”

“Tapi yang mati lebih susah diatasi. Kalau idup, lu masih bisa jambak rambutnya atau cakar mukanya, kalau udah mati? Mau bongkar kuburannya ntar dikira sumanto nyari tumbal.”

“Jambak atau cakar muka sekarang juga bisa diperkarakan di pengadilan.”

“Yaa paling enggak elu bisalah saingan cantik-cantikan, alay-alayan, atau saingan apa kek. Lha kalau udah mati? Coba? Gimana perasaan gue, Jan? Gimanaaaa??? Masa gue harus mati juga biar bisa dikenang sama dia? Itupun kalau gue yang menang saingan.”

Aku mengernyit heran. Kenapa lagi sih ni orang? Kumat deh rempongnya.

“Ya kalau udah mati berarti udah nggak bisa dianggap saingan dong. Kan udah nggak ada?”

“Siapa bilang? Saingan sama yang udah mati itu lebih…ah, sudahlah.”

Aku mengernyit lagi, nggak ngerti. aneh. Jelas-jelas udah mati, ya nggak bisa dibilang saingan lah.

Kak Juan menghela napas,”sekarang gini ya, kalau saingan lo masih hidup, paling enggak lo bisa saingan secara terang-terangan. Juga, secara terang-terangan ketahuan siapa yang menang. Tapi kalau saingan udah mati? Coba, nggak mungkin gue saingan sama kenangan?”

“Ih…enggak! pokoknya mending saingan sama yang mati.”

“Mending saingan sama yang hidup.”

“Nggak! Sama yang mati. Eh itu malah harusnya nggak masuk kategori saingan. Apaan? Masa saingan ama kenangan? Mana bisa?” ujarku tetep keukeuh.

Kak Juan mengubah raut wajahnya,”Ya… emang nggak bisa, dan sulit,”

Aku hendak mendebatnya lagi, tapi kuurungkan, kayaknya ini masalah serius.

“Ah, iya. Gue inget. Gue tahu kenapa lo malas saingan. Karna lo emang nggak punya apa-apa buat saingan. Belum saingan lo pasti juga udah kalah duluan.”lanjutnya mencibir membuatku malas menanyakan apa yang sebenernya terjadi sampai dia galau begitu. Aku buru-buru merebut semangka di meja yang tadinya mau diambil Kak Juan saking kesalnya.

“Emang lo saingan sama siapa? Tetangga depan rumah itu, ya? Temennya Awan?” tanyanya lagi santai. Eh, kok tahu?

Aku pura-pura cuek dan memilih menyendokkan semangka berwarna merah segar itu ke dalam mulutku.

“Hahahaha, jadi beneran dia?” lanjutnya lagi melihat aksi diamku.

“Iih…apaan sih?”

“Percaya deh sama gue. Dia bukan saingan lo.”

Ujarnya pelan, melihatku dengan wajah serius. Aku menoleh, eh? Apa sih? Apa Kak Awan cerita sesuatu ya ke Kak Juan?

“Soalnya lo jelas bukan saingan dia. Dia lebih cantik, kelihatannya juga pinter, dan…seksi…” bisiknya membuatku geram,” Nggak kayak lo, udah kkecil, labil, kerempeng lagi!”

“Kak Juaaaaaaaaaaan!!!!!” Teriakku murka sebelum ia melarikan diri sambil tertawa puas.

Tuh kan, siapa bilang punya kakak kayak dia enak? Mana ada kakak yang hobi ngejelekin adiknya sendiri? huhu

***

TBC

Note: Aaaaaah haloooo semuanyaaaa, akhirnya bisa nulis lagi setelah ketumpuk sama tugas yang subhanallah, udah kayak kasih ibu, sepanjang masa! Maaf kalau pendek ya… ini cuma intermezzo, pemanasan dulu deh, sebelum mencoba menulis yang agak serius. Halaaaah kayak bisa serius aja.hahahhaa,  Hope you enjoy it, love!

Baby Maybe [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang