BAB 5

84.5K 2.2K 27
                                    

Pukul tujuh pagi Bapak Bambang, Dimas dan Andum sudah berkumpul di ruang makan. Ketiganya belum mengatakan apapun sejak tadi, bahkan untuk saling menyapa pun mereka merasa canggung. Bapak mengangkat matanya dari roti bakar yang Bi Arsih sajikan, lalu memperhatikan Dimas dan Andum yang berada dihadapannya.Kedua anaknya tertunduk, memainkan sendok.Tubuh mereka mungkin disana tapi pikiran keduanya entah dimana.

Bapak kembali menundukan matanya dan menyantap roti bakarnya, mungkin keduanya membutuhkan waktu untuk mencerna semuanya, tenang Bapak akhirnya.

Dimas yang pertama bangkit. "Aku berangkat dulu Pak, ada wawancara hari ini." Pamitnya pelan –dan canggung.

Bapak mengangguk pelan. "Baiklah, hati-hati dijalan Dim."

Dimas membalas dengan mengganggukan kepalanya sekali, kemudian mencium punggung tangan Bapak.

"Kamu masih belum berangkat, Nduk?" Tanya Bapak mengejutkan, bahkan Dimas yang sudah berjalan cukup jauh menghentikan langkahnya.

Andum mengerjap. "Belum Pak, sepuluh menit lagi." Jawabnya.

Bapak kembali menganggukan kepalanya. " Ya udah itu sarapannya dimakan kalo gitu."

Andum mengangguk lalu memasukan potongan roti sedikit demi sedikit kedalam mulutnya. Sedangkan Dimas sudaktak terlihat lagi.

***

Dimas akhirnya terima bekerja di Perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Pria itu menjabat sebagai seorang Manajer Pemasaran di dalam perusahaan tersebut. Posisi yang sulit di dapat dalam waktu singkat, mungkin perusahaan mempertimbangkan latar belakang pendidikan Dimas dan pengalamannya bekerja saat pria itu masih tinggal di Prancis. Maka dari itu Dimas mendapat posisi Manajer dengan lebih cepat.

Dua minggu sudah berlalu sejak surat wasiat itu, dan keadaan masih sama –terasa canggung.Walaupun sekarang Dimas dan Andum sudah bisa 'berkomunikasi' meski hanya sekedar saling menyapa jika keduanya tidak sengaja berpapasan.

Awalnya Bapak Bambang merasa kelakuan kedua anaknya masih wajar, mengingat berita itu memang 'sedikit' mendadak. Namun setelah dua minggu keadaannya masih terasa sama, Bapak Bambang sepertinya harus melakukan sesuatu, pasalnya masih ada berita yang masih belum tersampaikan olehnya.

"Baru pulang Nduk? Sekarang pulangnya telat terus kalo Bapak perhatikan, lagi banyak kerjaan dikantor?" todong Bapak saat Andum baru selangkah memasuki kediamannya.

Andum memegangi dadanya, gadis itu kaget melihat Bapak sudah duduk diruang tamu saat dirinya pulang, persis seperti tiga minggu lalu saat Bambang menyuruhnya menjemput Dimas di bandara. Andum kemudian mendekati Bambang dan duduk di kursi sebelah Bapaknya. "Iya Pak, sebentar lagi kan mau tutup buku, lagi banyak laporan yang mesti di olah."

Bambang manggut-manggut. "Udah nemu jalan keluarnya sama Dimas?" tanya Bambang tepat sasaran, karena Andum nyatanya sedang menghindari topik 'panas' tersebut.

Tepat setelah Bambang menyelesaikan pertanyaannya, Dimas muncul dari balik pintu depan rumah. Mata pria itu yang semula lelah, kini mengencang karena tegang melihat Bapak dan adiknya yang sedang menatatapnya. Tanpa komando Dimas menghampiri keduanya dan duduk disamping Andum. Posisinya sama seperti saat Bapak menyerahkan surat 'wasiat' ibu Aina.

"Gimana kalian udah nemu jalan keluarnya?" Bambang mengulang pertanyaannya.

Andum meremas ujung rok hitamnya pelan, kebiasaannya jika sedang merasa gugup.Namun hidup adalah pilihan bukan? Dan dia sudah menentukan pilihan hidupnya. Dua minggu cukup membuatnya berfikir secara baik, dirinya memang tidak mencintai Dimas, namun ia akan mencoba meskipun pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dianggap main-main. Anggap saja ini sebagai tanda bakti kepada kedua orang tuanya yang sudah merawat dirinya dengan baik. "Aku mau nerima permintaan ibu." Jawab gadis itu mengejutkan. Wajahnya sengaja dia tekuk, agar Dimas ataupun Bapak tidak melihat matanya yang memerah. Menahan tangis

Because Of YouWhere stories live. Discover now