Darah Pendekar

12.3K 24 1
                                    

Darah Pendekar


Jilid I
KALAU kita membayangkan keadaan manusia pada ribuan tahun yang lalu seperti dapat kita
baca di dalam kitab-kitab sejarah, kita memperoleh kenyataan betapa manusia telah memperoleh
kemajuan yang amat hebat di dalam keadaan lahiriah, yaitu soal-soal teknik, ilmu pengetahuan
dan sebagainya. Gerobak- gerobak sederhana ditarik lembu atau kuda kini telah diganti dengan
mobil, kereta api, bahkan pesawat terbang jet. Senjata-senjata pelindung diri yang tadinya hanya
berupa pedang, tombak dan sebagainya kini telah diganti dengan senjata api, peluru kendali,
bahkan bom dan senjata nuklir yang maha dahsyat. Memang, tidak dapat disangkal lagi bahwa
manusia telah memperoleh kemajuan yang amat hebatnya. Itu di bidang lahiriah. Akan tetapi
bagaimana dengan bidang batiniah, rohaniah ? Majukah kita ? Kembali kita dapat menyelidikinya
dengan bantuan catatan- catatan sejarah dan kita akan memperoleh kenyataan yang amat
mengejutkan, memalukan, bahkan mengkhawatirkan.
Menurut catatan sejarah, di jaman dahulu, ribuan tahun yang telah lalu, kita sudah
mengenal perebutan kekuasaan, korupsi, benci- membenci, bunuh-membunuh, tipu-menipu
karena manusia saling berlumba untuk meraih kesenangan sebanyak mungkin. Dan bagaimana
keadaannya sekarang ? Sama saja, bahkan semakin hebat! Di jaman dahulu, manusia sudah
mengenal kesengsaraan dan di jaman sekarang ini, belum juga manusia dapat merobah keadaan
batinnya, masih saja kesengsaraan merajalela dan manusia lebih banyak mengenal duka dari pada
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
suka dalam hidupnya. Mungkin pertentangan antar manusia tidaklah sekasar dahulu lagi, namun
hal itu bukan berarti bahwa pertentangan itu berkurang atau lebih lunak. Bahkan pada dasarnya
lebih keji lagi. Dan keadaan seperti ini, yaitu kemajuan pesat pada bidang lahiriah namun tetap
atau hampir dapat dikatakan mundur pada bidang batiniah, terjadi di seluruh bagian dunia ini,
tanpa kecuali!
Cerita ini terjadi duaribu tahun lebih yang lalu, kurang lebih dua abad Sebelum Masehi, pada
jamannya Cin Si Hong-te, yaitu kaisar pertama dari Dinasti Cin. Ada yang mengatakan bahwa
orang-orang dari Dinasti Cin inilah yang pertama kali melakukan perantauan dan pelayaran sampai
jauh dari negerinya, ke negara- negara asing sehingga dari mereka inilah munculnya sebutan
Negeri China atau Cina, yaitu dari Dinasti Cin.
Menurut catatan sejarah, Cin Si Hong-te dilahirkan pada tahun 259 Sebelum Masehi dan
dalam usia tigabelas tahun, yaitu pada tahun 243. S.M. telah menjadi raja dari Kerajaan Cin. Pada
waktu itu, banyak terdapat raja-raja yang membuat Tiongkok terpecah- pecah menjadi banyak
kerajaan dan timbullah perang antara raja-raja ini, perang yang tak pernah ada henti-hentinya
karena perebutan wilayah dan kekuasaan. Namun, Raja Cin yang muda itu, dengan bantuan para
panglimanya yang pandai, memperoleh kemenangan dan akhirnya, pada tahun 221 S.M. ketika dia
berusia tigapuluh delapan tahun, hampir seluruh kerajaan kecil-kecil itu ditaklukkannya dan diapun
mengangkat dirinya menjadi kaisar pertama berjuluk Cin Si Hong-te dari Dinasti Cin.
Kekuasaan, sejak jaman dahulu sampai sekarang, selalu mendatangkan kekerasan dan
penindasan. Hal ini tidaklah mengherankan karena di mana terdapat para pendukungnya, terdapat
pula pihak-pihak yang menentangnya, terdapat pula pihak-pihak yang merasa iri hati dan ingin
merebut kekuasaan itu, dan pihak yang berkuasa tentu saja berusaha mati-matian untuk
mempertahankan kekuasaannya. Maka, sudah tentu terjadi kekerasan dan penindasan demi
mempertahankan kekuasaan dan dalam perebutan kekuasaan itu, mereka yang menentang tentu
saja memberi cap lalim kepada penguasa yang ditentangnya. Hal ini terjadi sejak dahulu sampai
kini, sejarah berulang sepanjang masa dan agaknya takkan pernah dapat dirobah selama kita
manusia selalu mengejar kesenangan masing-masing.
Cin Si Hong-te juga disohorkan sebagai seorang kaisar diktator, kejam, bertangan besi
sehingga banyak orang-orang cerdik pandai dan para pendekar membencinya di samping juga
menakutinya. Lebih dari itu malah, kaisar ini terkenal sebagai seorang kaisar yang penuh rahasia,
yang aneh, bahkan sering kaisar ini lenyap tanpa ada yang tahu ke mana, untuk menyusup di
antara rakyat dan sering menyamar sebagai rakyat biasa, melakukan hal-hal aneh tanpa ada yang
tahu bahwa dia adalah sang kaisar sendiri.
Seperti terjadi di jaman apapun dan di manapun di dunia ini, setiap kekuasaan di samping
menghadapi tentangan dan tantangan, tentu mempunyai pula pendukung dan biasanya, di antara
para pendukung dan para penentang inilah terjadi bentrokan-bentrokan, merupakan dua pihak
yang berdiri saling berhadapan sebagai musuh. Dan kalau para pendukung ini memusatkan
pembelaan mereka pada tokoh penguasa, adalah para penentang itu memusatkan pembelaan
atau bantuan mereka pada tokoh pemberontak. Dan kalau sudah begitu, rakyatpun ikut terseret,
terpecah-belah, saling bermusuhan sendiri dan negarapun menjadi kacau! Dalam keadaan seperti
itulah cerita ini terjadi.
* * *
Selama beberapa bulan terakhir ini, dunia kang-ouw, terutama kaum sasterawan, menjadi
geger oleh perbuatan kaisar yang dianggap sungguh keterlaluan. Kaisar telah memerintahkan agar
semua kitab pelajaran Nabi Khong Cu dibakar! Tidak seorangpun diperbolehkan menyimpan kitab
dengan ancaman hukuman mati. Tentu saja hal ini mempunyai akibat yang amat hebat. Perlu
diketahui bahwa kitab-kitab pelajaran Nabi Khong Cu telah dianggap sebagai garis- garis
kebudayaan, bahkan dianggap sebagai ukuran tentang kemampuan sastera seseorang. Akan
tetapi, kaisar berpendapat lain. Pelajaran dalam kitab-kitab itu dianggap melemahkan kedudukan
kaisar, dan dianggap mengandung pelajaran kepada rakyat untuk memberontak dan tidak
mengindahkan kaisar lagi sebagai satu-satunya Wakil atau Utusan Tuhan di dunia !
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Banyak sasterawan yang tidak sudi membakar, atau menyerahkan kitab-kitabnya dan
mereka ini mempertahankan pendiriannya dengan mengorbankan nyawa. Para sasterawan itu
dibunuh oleh kaki tangan kaisar. Gegerlah dunia !
Seorang menteri yang amat setia dan jujur, yaitu Menteri Ho Ki Liong yang menjabat
kedudukan sebagai menteri kebudayaan, terkejut bukan main. Dia maklum bahwa perintah kaisar
yang kejam itu terjadi karena hasutan-hasutan kaki tangan kaisar yang menganut agama lain.
Kaisar sendiri condong untuk mempelajari Agama To yang sudah bercampur dengan ilmu-ilmu
hitam dari See-thian (India). Padahal, urusan kitab-kitab itu sebetulnya adalah wewenangnya
sebagai menteri kebudayaan, Maka, tanpa memperdulikan akibat- akibatnya Menteri Ho lalu
menghadap kaisar dan mengajukan protes! Protes dari menteri yang setia ini tentu saja
berpengaruh dan kaisar lalu memerintahkan agar memperlunak pelaksanaan pelarangan atau
pembakaran kitab-kitab itu. Dan Menteri Ho sendiri segera pergi ke daerah selatan untuk
menangani urusan ini, menghentikan kekejaman-kekejaman yang terjadi di daerah itu, di mana
kaki tangan kaisar membakari kitab-kitab dan membunuhi mereka yang menentang dengan
kejam.
Akan tetapi kaki tangan kaisar yang membenci para pemeluk Agama Khong-hu-cu, tidak
tinggal diam. Dengan cerdik mereka menghasut kaisar dan akhirnya mereka berhasil membujuk
kaisar sehingga kaisar menganggap bahwa protes dan penentangan Menteri Ho ini merupakan
sikap memberontak kepadanya. Dan diapun mengirim pasukan untuk menangkap menteri yang
setia itu. Peristiwa ini sungguh amat menggemparkan dunia kang-ouw, karena Menteri Ho, selain
dikenal sebagai seorang menteri yang pandai dan bijaksana, juga dikenal sebagai orang yang
menghargai para tokoh kang-ouw dan bahkan mengenal tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw dan
para pemimpin partai persilatan besar di empat penjuru. Dan orang-orang kang-ouw, para
pendekar itupun lalu bergeraklah!
Pada suatu hari, dusun Han-kung-ce amatlah panasnya. Dusun yang terletak di sebelah
utara kota Kong-goan ini biasanya amat ramai karena dusun itu merupakan tempat simpangan
dari para pedagang dan pelancong yang hendak menuju ke kota raja di utara. Juga dusun ini
berada di sebelah utara Sungai Yang-ce-kiang, menjadi tempat di mana para pedagang bermalam
sebelum mereka berangkat membawa barang- barang dagangan mereka melalui jalan air di
Sungai Yang-ce-kiang. Hari itu amat panas, berbeda dari biasanya sehingga jalan-jalan di dusun
itu, terutama jalan rayanya, nampak sunyi. Orang-orang lebih suka berlindung di tempat teduh,
minum teh di warung-warung, atau beristirahat di bawah pohon sambil mengobrol. Namun, di
balik kesunyian yang timbul karena panasnya hari itu, terasa adanya ketegangan, walaupun tidak
ada di antara para pedagang itu mengetahui apa gerangan yang sedang atau akan terjadi, karena
pada siang hari itu memang tidak nampak ada terjadi sesuatu yang luar biasa di dusun itu.
Para penghuni rumah-rumah di tepi jalan raya, kecuali mereka yang mempergunakan rumah
itu sebagai toko, tidak ada yang mau duduk di depan, karena jalan raya yang kering berdebu
tertimpa cahaya matahari terik itu amat tidak enak bagi mata. Lebih nyaman untuk duduk di
belakang rumah, di antara pohon-pohon, bertelanjang dada membiarkan tubuh yang kegerahan
dihembus angin semilir. Maka jalan raya itu nampak lengang.
Betapapun juga, panasnya hari itu tidak mampu menghentikan kesibukan para pekerja kasar
untuk bekerja. Dari jauh nampak serombongan pekerja kasar itu, memikul keranjang-keranjang
besar berisi garam, menempuh jalan yang panas berdebu itu. Jalan mereka terseok-seok seirama,
tubuh mereka dipaksa oleh beratnya ayunan keranjang yang tergantung di pikulan mereka,
membuat tubuh mereka bergoyang-goyang dan sebelah tangan yang tidak memegang pikulan
tergantung kaku dan bengkok, digerak- gerakkan untuk mengatur keseimbangan badan yang
dibebani muatan amat berat itu. Pikulan bambu mereka berbunyi kreyat-kreyot, lebih nyaring dari
pada bunyi kaki mereka atau mulut mereka yang kadang-kadang bercakap-cakap tanpa menoleh
kenada kawan yang diajaknya bercakap-cakap. Mereka berjalan beriring-iringan satu-satu seperti
barisan panjang. Biarpun jumlah mereka hanya ada belasan orang, akan tetapi karena setiap dari
mereka memikul garam dengan pikulan bambu yang panjangnya tidak kurang dari satu setengah
meter, maka tentu saja jarak di antara mereka agak jauh, ada dua meter sehingga barisan belasan
orang itu menjadi panjang juga.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Belasan orang yang sebagian besar bertelanjang dada itu nampak kuat-kuat, seperti pada
umumnya para pekerja kasar yang mencari natkah mengandalkan otot-otot badan mereka. Akan
tetapi yang paling menarik adalah orang pertama yang berjalan di depan. Orang inilah yang
seolah-olah ditiru oleh orang di belakangnya dan dengan demikian gerakan semua orang itu
seperti gerakan pasukan yang terlatih saja. Orang pertama ini adalah seorang laki-laki setengah
tua. Usianya kurang lebih empatpuluh tahun dan dia memakai pakaian sederhana dan kasar.
Bajunya tidak ditanggalkan seperti sebagian besar teman-temannya, dan mudah dilihat bahwa
tubuhnya tidaklah kekar dan berotot seperti teman-temannya yang lebih muda. Akan tetapi
keranjang-keranjang garam yang dipikulnya itu dua kali lebih besar dari yang dipikul temantemannya
dan hebatnya, kalau teman-temannya yang bertubuh kekar dan masih muda itu
bermandi peluh dan kelihatan lelah, sebaliknya orang setengah tua ini tidak nampak repot
memikul keranjang-keranjang itu, dan hanya ada sedikit peluh membasahi leher dan dahinya.
Napasnya tidak memburu seperti napas teman- temannya yang mulai terengah-engah ketika
mereka memasuki dusun itu. Pria yang agaknya memimpin rombongan tukang memikul garam ini
bertubuh sedang, tidak mengesankan, dan dia kelihatan seperti seorang petani atau orang dusun
biasa saja. Akan tetapi mukanya putih bersih dengan jenggot dan kumis masih hitam lebat,
membuat mukanya nampak semakin putih lagi. Akan tetapi, muka yang putih itu mengandung
sinar mata kehijauan dan ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli lweekeh atau ahli
tenaga dalam yang telah melatih diri dengan suatu ilmu tenaga dalam yang hebat, dan sepasang
matanya juga amat tajam, walaupun dia nampak tenang sekali sikapnya.
Setelah tiba di depan pasar Han-kung-ce, rombongan pemikul garam itu berhenti dan
memang benarlah bahwa laki-laki bermuka putih itu adalah pemimpin mereka. Hal ini terbukti
bahwa laki-laki setengah tua itu kini memasuki sebuah toko, menjumpai pemilik toko itu yang
agaknya biasa menerima dan memborong garam yang datang dari luar daerah. Ketika pemimpin
para pemikul garam ini bercakap-cakap dengan pemilik toko, belasan orang anak buahnya nampak
berkumpul di pinggir toko di mana terdapat sebuah gang dan mereka itu berteduh di tempat itu,
berlindung dari teriknya sinar matahari yang kini terhalang oleh bangunan toko. Mereka bercakapcakap
dan diselingi sendau-gurau orang-orang muda, nampaknya lega telah tiba di tempat tujuan
dan dapat bersantai membiarkan tubuh yang lelah itu beristirahat. Mereka menggunakan baju
yang mereka lepaskan untuk menyusuti badan mereka yang basah oleh peluh, dan ada yang
menggunakan caping mereka, yaitu topi-topi bundar lebar dengan ujung sebelah atasnya
meruncing, untuk mengipasi tubuh yang gerah. Kadang-kadang, beberapa orang di antara mereka
melayangkan pandang mata mereka ke arah sebatang pohon pek yang besar sekali, paling besar
di antara pohon-pohon pek yang banyak tumbuh di tepi jalan dalam dusun itu.
Dua orang laki-laki yang agaknya ditugaskan oleh pimpinan pamong praja di dusun itu,
sedang menebangi dahan- dahan yang bergantung ke jalan raya. Pasar itu tidak begitu ramai lagi
karena hari telah siang dan sebagian besar dari orang-orang yang datang berbelanja sudah pulang
kembali ke rumah masing-masing. Yang tinggal hanya para pedagang pasar yang dengan sabar
masih menanti datangnya pengunjung-pengunjung yang kesiangan. Akan tetapi ada beberapa
orang di antara mereka yang sudah mulai berkemas-kemas untuk menutup dagangannya dan
pulang. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan debu di atas jalan raya itu mengebul, membuat
suasana menjadi semakin pengap dan panas. Yang datang dari arah utara ini adalah serombongan
piauwsu berkuda dan dari bendera mereka, dapat diketahui bahwa mereka adalah rombongan
piauwsu dari Hek-coa-piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Ular Hitam). Mereka mengawal sebuah
kereta penuh muatan barang dan di atas kereta ini terdapat bendera yang bergambar seekor ular
hitam melingkar disertai empat buah huruf nama perusahaan itu. Belasan orang piauwsu itu
dipimpin oleh seorang piauwsu yang tubuhnya tinggi besar bermuka hitam, nampaknya kuat dan
menyeramkan. Melihat sikap gagah dan muka hitam orang ini, mudah diduga bahwa dialah kepala
atau ketuanya, dan mungkin saja sebutan Ular Hitam itu disesuaikan dengan kulitnya yang hitam.
Rombongan piauwsu ini turun dari kuda masing-masing dan berhenti di depan sebuah kedai arak,
menambatkan kuda mereka dan mereka lalu memasuki kedai, makan minum sambil bergurau. Si
tinggi besar bermuka hitam duduk di dekat pintu kedai, sesekali dia memandang ke arah toko di
mana nampak pria muka putih bercakap-cakap dengan pemilik toko, agaknya mereka itu sedang
tawar-menawar garam. Pemilik toko itupun usianya sudah empatpuluh tahun lebih, tangan kirinya
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mengisap huncwe tembakau yang panjang, dan orang ini memiliki kumis yang kecil panjang dan
bergantung dari bawah hidung melalui sebelah kanan kiri mulutnya.
Setelah melihat bahwa keadaannya sunyi dan di toko itupun tidak ada pembeli lain, yang
ada hanya si tuan toko pedagang garam, maka piauwsu tinggi besar ini lalu bangkit berdiri dan
menghampiri toko itu dengan lagak seperti orang yang hendak melihat-lihat dan hendak membeli
sesuatu. Akan tetapi, setelah jelas melihat bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang lain yang
memperhatikan mereka, diapun segera menghampiri dua orang pria yang sedang bercakap-cakap
itu. Ternyatalah bahwa mereka bertiga ini sudah saling mengenal dengan baik. Piauwsu itu
menegur dengan suara lirih, akan tetapi dengan sikap gembira dan akrab sekali.
"Heii, Kim-suipoa (Suipoa Emas) dan Pek-bin-houw (Harimau Muka Putih), kiranya kalian
sudah datang lebih dulu ?"
Melihat si tinggi besar muka hitam ini, dua orang yang sedang bercakap-cakap itu tersenyum
gembira. Tentu saja mereka tadi sudah melihat datangnya rombongan piauwsu itu dan kini
mereka menyambut dengan tersenyum. "Ah, engkau dan rombonganmu berkuda, akan tetapi
datang terbelakang! Dasar Ular Hitam yang malas !" kata mereka.
Pemimpin Hek-coa-piauwkiok itu tertawa, akan tetapi lalu mendekati mereka dan berkata
dengan suara serius dan lirih, "Awas, kalian berhati-hatilah. Ternyata jagoan kerajaan yang lihai
sekali itu berada dalam rombongan dengan menyamar!" Dia menoleh ke kanan kiri dan jelas
nampak kegelisahan membayang di wajahnya yang hitam kasar itu.
Dua orang itu terkejut. "Benarkah ...... ?" tanya si muka putih atau si pedagang garam yang
berjuluk Pek-bin-houw itu. "Bukankah kabarnya dia diutus kaisar memimpin pasukan untuk
melakukan pembersihan di sepanjang lembah Yang-ce ?"
"Memang kabarnya demikian, akan tetapi entahlah, agaknya fihak istana telah dapat
mencium akan gerakan kita. Mata-mata mereka tersebar di mana-mana. Dan agaknya mereka lalu
merobah siasat dan mempergunakan jagoan itu untuk mengawal. Hal ini sudah jelas karena anak
buah Sin-kauw (Kera Sakti) ada yang berhasil menyelundup ke sana dan dialah yang memberi
kabar kepadaku," jawab pemimpin piauwkiok yang berjuluk Hek-coa (Ular Hitam).
"Wah, kalau begitu berbahaya sekali! Orang itu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali. Padahal
kita tidak memperhitungkan dia, hanya mengira bahwa rombongan itu akan dikawal oleh Ciongciangkun
saja yang sudah cukup lihai," kata pemilik toko yang berjuluk Kim-suipoa.
"Lalu bagaimana baiknya'?" tanya pedagang garam yang berjuluk Pek-bin-houw atau
Harimau Muka Putih itu.
"Kita bukan penakut dan untuk perjuangan kita, mati bukanlah apa-apa. Akan tetapi kita
harus waspada dan kita tahu bahwa menghadapi jagoan istana itu satu lawan satu, kita bukanlah
tandingannya. Akan tetapi, kalau kita bertiga maju bersama menandinginya, kukira belum tentu
kita akan kalah olehnya," kata Kim-suipoa.
"Benar, dan biarlah Sin-kauw yang menandingi Ciong- ciangkun, komandan pasukan
pengawal itu," kata Pek-bin-houw.
"Dan anak buah kita berempat akan menyerang pasukan pengawal. Semua ini memang baik
dan tepat. Akan tetapi, lalu siapa yang akan bergerak melarikan dan menyelamatkan Ho-taijin
(pembesar Ho) ?" tanya Hek-coa.
Mereka bertiga mengepal tinju dan menjadi kebingungan mendengar pertanyaan ini. Kimsui-
poa membanting kaki kanannya. "Sungguh di luar dugaan ! Kita mengira bahwa dengan
mengerahkan empat orang dan kita bersama anak buah kita, urusan ini akan dapat diselesaikan
dengan mudah. Tidak tahunya manusia itu ikut datang dan merusak rencana kita. Biarpun Hosiocia
(nona Ho) dapat diharapkan akan berhasil dan datang tepat pada waktunya, namun kita
tidak ingin membuatnya terancam bahaya. Kalau tahu begini, aku tentu akan minta persetujuan
Ho-siocia untuk mengajak Liu-twako supaya membantu kita."
"Benar, agaknya memang hanya Liu-twako yang akan mampu menandingi iblis itu," kata
Hek-coa.
Selagi mereka bercakap-cakap dengan hati agak gelisah karena terjadinya perobahan tibatiba
itu, muncullah seorang anak buah piauwkiok dengan sikap tergopoh-gopoh. "Rombongan
kerajaan yang mengawal kereta tawanan telah tiba di luar dusun," demikian orang itu melapor.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Baik, atur semua kawan menurut rencana semula. Kurung tempat di depan pasar dan
bersembunyi. Laksanakan siasat bumi hangus !" kata Kim-suipoa yang dalam gerakan ini agaknya
menjadi pemimpin. Orang itupun memberi hormat dan pergi untuk melaksanakan perintah.
"Mari kita bersiap. Kalian tahu adanya perobahan rencana. Kita bertiga harus menghadapi
jagoan istana itu dan biar Sin-kauw menghadapi Ciong-ciangkun yang mengepalai pasukan
pengawal. Hek-coa, harap kau cepat beri tahu Sin-kauw yang bersembunyi di pohon itu."
"Baik!" kata si muka hitam yang cepat pergi ke arah pohon. Tak lama kemudian, semua
orang ini sudah tidak nampak lagi, akan tetapi sambil bersembunyi mereka telah melakukan
persiapan untuk menyerbu dan di belakang rumah-rumah di sekitar pasar itupun telah terjadi
kesibukan-kesibukan para anak buah mereka.
Akhirnya terdengarlah derap kaki kuda para perajurit itu. Debu mengebul tinggi dan dari
arah selatan nampaklah rombongan itu memasuki dusun. Belasan orang perajurit berkuda nampak
paling depan, kemudian sebuah kereta berkuda empat yang dikusiri oleh seorang laki-laki muda
yang berpakaian biasa saja, tidak seperti para perajurit sehingga mudah diduga bahwa kereta itu
bukanlah kereta pasukan dan kusir itupun bukan perajurit. Kemudian, di kanan kiri kereta itu
nampak beberapa orang perajurit berkuda, lalu di belakang kereta masih ada puluhan orang
perajurit lagi. Jumlah seluruh perajurit tidak kurang dari limapuluh orang! Pakaian seragam
mereka tertimpa sinar matahari mengeluarkan cahaya berkilauan, bersama kilauan tombak dan
golok mereka!
Ketika pasukan ini tiba di depan pasar, tiba-tiba saja terjadi kebakaran di empat penjuru !
Suasana menjadi gempar. Teriakan "api! api!" terdengar dan para penduduk menjadi panik.
Orang-orang lari berserabutan, keluar dari rumah dan memenuhi jalan raya yang tadinya sunyi itu.
Asap yang terbawa angin juga ikut menambah kacaunya suasana. Kuda para perajurit menjadi
ketakutan juga karena para penduduk itu berteriak-teriak, lari ke sana-sini, ada yang mencari anak
mereka, ada pula yang lari mencari air dan ada pula yang berteriak-teriak, minta tolong karena
rumah mereka kebakaran.
Ciong-ciangkun, komandan pasukan itu, nampak keluar dari dalam kereta bersama seorang
perajurit yang bertubuh pendek cebol. Keduanya lalu melompat ke atas kereta yang telah
dihentikan oleh kusir. Komandan pasukan yang bertubuh tinggi besar dan nampak gagah itu, lalu
berteriak-teriak dari atas atap kereta, mengatur para perajuritnya agar waspada dan berhati-hati
karena dia menaruh kecurigaan akan peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba ini. Mana mungkin ada
kebakaran rumah terjadi sedemikian tiba-tiba dan sekaligus terjadi di empat penjuru ?
Dan kecurigaannya itu memang segera terbukti. Dua orang perajurit mengeluarkan pekik
keras dan mereka jatuh terjungkal dari atas punggung kuda mereka. Ternyata mereka telah
diserang oleh anak buah para penghadang tadi.
"Awas, jaga kereta tawanan !" teriak Ciong- ciangkun dan dari atas kereta diapun
mengeluarkan aba-aba sehingga semua perajurit itu cepat mengepung kereta dan melakukan
penjagaan dengan ketat. Pada saat itu, tidak kurang dari tigapuluh orang, yaitu gabungan dari
anak buah para penghadang, tukang-tukang pikul garam, para piauwsu, pegawai-pegawai toko,
mulai menyerbu dan terjadilah pertempuran yang ramai di tengah jalan di depan pasar itu. Para
penduduk dusun itu yang tadinya dengan panik lari berserabutan, kini menjadi ketakutan dan
cepat merekapun lenyap bersembunyi, tidak ingin terbawa dalam pertempuran yang tidak mereka
ketahui sebabnya itu.
Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian tanpa banyak bicara lagi karena kedua
fihak sudah tahu mengapa mereka bertempur dan para perajurit itupun dapat menduga bahwa
orang-orang ini tentulah orang-orang yang ingin merampas dan menyelamatkan tawanan.
Biarpun jumlah para perajurit itu lebih banyak, akan tetapi karena para penyerbu itu ratarata
memiliki kepandaian silat yang lumayan, maka pertempuran itu dapat berimbang. Setiap
orang penyerbu dikeroyok dua orang perajurit, akan tetapi keadaan mereka tidak terdesak,
bahkan sebaliknya, fihak pasukan pemerintah mulai kewalahan dan beberapa orang perajurit mulai
berjatuhan. Terutama sekali karena adanya tiga orang pemimpin penyerbu yang mengamuk
hebat, yaitu Kim-suipoa yang menyamar sebagai pedagang toko, Pek-bin-houw yang menyamar
sebagai pedagang garam, dan Hek-coa ketua piauwsu. Tiga orang ini mengamuk hebat dan makin
mendekat ke arah kereta di mana duduk seorang tawanan yang hendak mereka bebaskan.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Melihat sepak terjang tiga orang ini, Ciong-ciangkun, komandan pasukan itu menoleh kepada
perajurit pendek cebol yang berdiri di atas kereta pula sambil menonton pertempuran. Ciongciangkun
berkata dengan sikap hormat, "Harap taihiap suka menjaga kereta. Saya akan menahan
mereka !"
"Baik, ciangkun, jangan khawatir," jawab si pendek dengan sikap tak acuh dan melihat sikap
komandan itu demikian hormat kepadanya, sungguh amat mengherankan orang. Si pendek itu
berpakaian perajurit biasa saja, akan tetapi komandan itu demikian menghormatnya.
Kini Ciong-ciangkun, komandan pasukan yang kelihatan gagah perkasa itu mencabut
pedangnya dan meloncat turun dari atas kereta, lalu dia berlari menyerbu ke depan. Lawan
tangguh yang paling dekat adalah Hek-coa si ketua piauwkiok, akan tetapi sebelum dia dapat
mendekati si muka hitam itu, tiba-tiba saja nampak bayangan berkelebat dan dia telah disambut
oleh seorang laki-laki berusia limapuluh tahun yang berpakaian sederhana dan yang gerakannya
gesit bukan main. Laki-laki ini mukanya kecil dan hidungnya pesek seperti hidung seekor monyet.
Inilah Sin-kauw, seorang di antara empat orang gagah yang berusaha menghadang pasukan dan
hendak merampas tawanan itu.
Seperti telah mereka rencanakan, Sin-kauw inilah yang bertugas menghadapi komandan itu,
maka begitu melihat komandan itu turun dari kereta, diapun segera menyambutnya dengan
senjata tongkatnya. Melihat munculnya orang ini, Ciong-ciangkun membentak marah.
"Bagus sekali! Kiranya si monyet sakti kini telah menjadi pemberontak !" Komandan ini
mengenal Sin-kauw, seperti juga dia mengenal tiga orang pimpinan yang lain itu, karena mereka
berempat itu adalah orang-orang kang-ouw yang cukup ternama sebagai tokoh-tokoh yang
memiliki kepandaian tinggi dan sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa.
"Ciong-ciangkun," kata Sin-kauw si Monyet Sakti, "kita sama-sama mengabdi, hanya
bedanya, kalau engkau mengabdi kelaliman karena memperoleh bayaran, sebaliknya aku
mengabdi kebenaran tanpa mengharapkan upah apapun juga."
"Keparat, pemberontak tetap pemberontak hina !" Dan Ciong- ciangkun sudah menyerang
dengan marahnya, mempergunakan pedangnya. Sin kauw menangkis dengan tongkatnya dan
membalas dengan cepat dan tidak kalah dahsyatnya, Mereka sudah berkelahi dengan hebat,
mempergunakan senjata dan mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua jurus-jurus
simpanan mereka. Dan memang keduanya memiliki kepandaian yang seimbang sehingga
perkelahian antara mereka amat hebatnya. Tidak ada anak buah dari kedua fihak berani
mencampuri, karena jauhnya tingkat kepandaian mereka membuat pembantu-pembantu itu bukan
membantu, malah mengantar nyawa dengan konyol saja.
Melihat betapa komandan itu telah dihadapi oleh Sin-kauw dan kereta tawanan itu
ditinggalkan, yang nampak berjaga hanyalah seorang perajurit pendek dan kusir yang nampak
ketakutan, juga hanya beberapa orang perajurit di kanan kiri kereta, maka Kim-suipoa menjadi
girang sekali. Ternyata, tidak seperti berita yang diterimanya, di situ tidak terdapat jagoan istana
yang kabamya amat lihai itu.
"Mari cepat, kita serbu kereta!" katanya kepada dua orang temannya dan tiga orang gagah
ini lalu mengamuk lebih hebat, makin mendekati kereta. Setelah mereka berhasil mendekati
kereta, Kim-suipoa berseru dengan suara lantang, "Ho-taijin, kami datang membebaskan tuan !"
Akan tetapi begitu mereka tiba di dekat kereta, tiba-tiba saja ada angin puyuh menyambar
ke arah mereka. Angin yang mempunyai tenaga berputaran hebat dan sedemikian kuatnya tenaga
angin ini sehingga gerakan mereka tertahan dan tiga orang ini tidak mampu bergerak maju,
betapa kuatpun mereka berusaha untuk menerjang ke depan! Tentu saja tiga orang gagah ini
terkejut bukan main. Mereka baru tahu bahwa angin puyuh itu tim bul dari gerakan tangan
perajurit pendek yang berdiri di atas kereta setelah si pendek itu tertawa bergelak dengan suara
yang menggeledek, tidak sesuai dengan tubuhnya yang pendek cebol itu.
"Hua-ha-ha-ha...... ! Sungguh tak kusangka, di tempat ini benar-benar ada penjahatpenjahat
kecil yang tak tahu diri!"
Baru sekarang tiga orang gagah itu sadar. Inilah kiranya jagoan istana yang dikabarkan ikut
dalam pasukan pengawal ini! Pantas saja disohorkan orang karena memang ternyata
kepandaiannya hebat sekali. Mereka memang hanya mendengar saja tentang jagoan istana yang
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
memiliki kepandaian hebat, dan baru sekarang mereka memperoleh kesempatan untuk bertemu
dan merasakan kelihaiannya.
Maka, ketika si pendek itu melompat turun, tiga orang gagah ini sudah menerjang dan
mengeroyoknya. Sambil tertawa mengejek, perajurit pendek cebol itu menyambut mereka.
Jelaslah bahwa si pendek ini memandang rendah karena dia hanya menggerakkan kaki tangan
saja untuk melawan mereka. Padahal, Kim-suipoa menyerang dengan senjatanya yang aneh, yaitu
sebuah alat penghitung (suipoa) yang lingkarannya terbuat dari pada baja, sedangkan biji-bijinya
terbuat dari emas. Agaknya senjatanya inilah yang membuat dia memperoleh julukan Suipoa
Emas. Pek-bin- houw menyerang dengan senjata pikulan dan ternyata pikulannya bukan terbuat
dari pada bambu, melainkan dari baja yang kedua ujungnya meruncing dan tajam. Orang ke tiga,
yaitu Hek-coa mempergunakan sebatang golok besar tipis yang amat tajam. Menghadapi tiga
orang gagah yang lihai dan yang semua memegang senjata andalan mereka masing-masing tanpa
senjata di tangan, sungguh merupakan hal yang amat berbahaya sekali. Akan tetapi, si pendek ini
benar-benar amat lihai. Dengan kaki dan tangannya yang kecil pendek, tidak saja dia mampu
menandingi tiga orang pengeroyoknya, bahkan sebelum lewat duapuluh jurus, tiga orang lawan
yang mengeroyoknya itu telah menjadi kalang-kabut! Tentu saja tiga orang gagah itu merasa
penasaran bukan main. Mereka adalah tiga orang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal sebagai
orang-orang yang berkepandaian tinggi dan jarang bertemu tanding! Mereka terkenal sebagai
pendekar-pendekar yang ditakuti para penjahat.
Kim-suipoa adalah seorang pendekar yang pandai berdagang, berkepandaian tinggi dan
berhati dermawan, suka membantu fakir miskin dan berani menentang kejahatan, sedangkan alat
sui-poa di tangannya itu merupakan senjata ampuh yang sukar dilawan. Pek-bin-houw adalah
seorang pendekar yang suka berkelana ke gunung-gunung dan ditakuti para perampok karena dia
selalu membasmi gerombolan perampok yang suka mengganggu orang yang berlalu-lintas di
hutan-hutan yang sunyi. Senjatanya berupa pikulan ini menunjukkan bahwa dia berasal dari
keluarga petani, dan senjata ini tidak kalah terkenalnya dibanding dengan senjata suipoa itu. Dan
orang ke tiga, Hek-coa juga amat ditakuti para bajak di sepanjang Sungai Huang-ho, karena
lihainya. Sebagai seorang piauwsu, diapun amat terkenal dan banyak memperoleh kepercayaan
orang untuk mengawal barang sangat berharga, bahkan mengawal anggauta keluarga yang
melakukan perjalanan jauh melalui tempat-tempat berbahaya. Ya, mereka adalah tiga orang
pendekar yang terkenal, dan berempat bersama Sin-kauw, mereka itu pernah bekerja sama dan
dijuluki Huang-ho Su-hiap (Empat Pendekar Huang-ho) karena mereka berempat berhasil
membersihkan para penjahat di sepanjang sungai itu ! Akan tetapi, kini menghadapi seorang
lawan saja yang bertangan kosong, mereka malah tidak mampu menang dan terdesak hebat.
Mereka pernah mendengar akan nama jagoan istana ini yang hanya mereka ketahui
julukannya saja, yaitu Pek-lui-kong (Malaikat Halilintar), seorang aneh yang berilmu tinggi, dan
kabarnya merupakan seorang tokoh yang menguasai ilmu dari partai persilatan terkenal yang
disebut Soa-hu-pai (Partai Persilatan Danau Pasir). Menurut penuturan Liu Pang, yaitu seorang
bengcu (pemimpin rakyat) amat terkenal di sepanjang lembah Yang-ce- kiang, dan merupakan
pendekar dengan siapa mereka berempat itu bekerja sama, Pek-lui-kong memang seorang yang
lihai sekali. Menurut bengcu itu, setahun yang lalu kepandaian Pek-lui-kong itu sudah hebat, akan
tetapi masih belum mampu menandingi ilmu kepandaian Liu Pang. Sekarang, melihat kehebatan
gerakannya, agaknya hanya Liu Pang saja yang akan mampu menandinginya.
Mereka terus menggerakkan senjata untuk berusaha mengalahkan lawan. Akan tetapi, setiap
kaki si pendek itu mengeluarkan seruan sambil mendorong, mereka bertiga tentu terdorong ke
belakang oleh hawa pukulan yang amat kuat dan dingin sekali. Tak dapat mereka bertahan, dan
betapapun mereka mengerahkan tenaga sinkang, tetap saja mereka terdorong ke belakang,
terhuyung dan menggigil kedinginan !
"Haiiiittt......!" Kim-suipoa berteriak panjang sebagai isyarat kepada dua orang temannya
untuk melakukan gempuran dengan serentak. Senjata di tangannya menyambar, nampak sinar
keemasan berkelebat dan senjata suipoa itu telah menghantam ke arah kepala lawan. Pada saat
itu, Hek-coa juga sudah menyerang dengan babatan goloknya ke arah pinggang lawan, sedangkan
Pek-bin-houw memutar tongkatnya yang meluncur dan menusuk ke arah anggauta rahasia si
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pendek itu. Sungguh tiga serangan ini amat dahsyat dan berbahaya sekali karena satu saja di
antaranya mengenai sasaran, tentu akan merupakan cengkeraman maut menyambar nyawa !
Akan tetapi, si pendek itu sama sekali tidak merasa gugup dengan serangan serentak itu.
Sambil tersenyum, tiba-tiba tubuhnya melesat ke atas sehingga semua serangan itu mengenai
tempat kosong, kemudian dari atas, dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan dengan
tubuh berjungkir-balik, kepala di bawah, tubuhnya melayang ke bawah dan kedua tangannya
melakukan gerakan mendorong. Serangkum angin yang berputar menyerang ke bawah. Belum
pernah tiga orang pendekar itu melihat serangan macam ini, maka mereka menyambut tubuh
lawan yang melayang turun itu dengan senjata mereka. Akan tetapi, sebelum senjata-senjata itu
sempat menyentuh tubuh Pek-lui-kong, tiga orang itu terpelanting oleh sambaran hawa pukulan
yang dahsyat sekali. Rasa dingin menyelinap ke dalam tubuh mereka, menggetarkan jantung dan
membuat mereka menggigil. Sejenak ketiganya tidak mampu bergerak dan saat itulah yang amat
berbahaya karena dengan mudah lawan akan dapat mempergunakan kesempatan itu untuk
memukul mati mereka tanpa mereka mampu melindungi diri sendiri.
"Suhu, teecu datang...... !!"
Nampak bayangan berkelebat dan sebatang pedang yang digerakkan dengan sangat cepat,
menyerupai segulung sinar yang menyilaukan mata telah menyambar ke arah Pek-lui-kong dan
menghalangi si pendek itu untuk mengirim pukulan susulan yang akan mematikan tiga orang
pengeroyoknya. Melihat betapa lihainya gerakan pedang ini, Pek-lui-kong terkejut dan
memandang heran. Yang memegang pedang menolong tiga orang lawannya itu adalah seorang
dara yang cantik jelita ! Karena pedang itu gerakannya cepat dan amat kuat, Pek-lui-kong tidak
berani memandang rendah dan cepat dia meloncat ke belakang untuk menghindar. Kesempatan
itu dipergunakan oleh nona cantik ini untuk menyerbu ke arah pintu kereta.
"Ayah...... !" teriaknya.
Akan tetapi, serangkum angin puyuh yang dingin menyambar dari kiri. Kiranya si pendek
sudah menyerangnya. Nona cantik itu agaknya maklum akan kehebatan angin pukulan ini, maka ia
terpaksa mundur lagi, tidak jadi menyerbu ke arah kereta dan cepat ia memutar pedangnya,
dengan marah ia sudah menyerang lagi kepada si pendek.
Sementara itu, tiga orang pendekar yang tadi rebah kedinginan, sudah dapat memulihkan
dirinya dan sudah bangkit lagi, lalu membantu nona cantik tadi untuk mengeroyok si pendek yang
amat lihai. Kini terjadilah pertempuran yang makin hebat, dan setelah nona itu datang
mengeroyok, ternyata kekuatan mereka hampir seimbang dan si pendek menjadi lebih sibuk
menghadapi pengeroyokan mereka.
Siapakah nona cantik itu yang menyebut suhu kepada empat orang pendekar akan tetapi
yang ternyata memiliki kepandaian yang agak lebih tinggi dari pada mereka itu ? Seperti yang
pembaca agaknya dapat menduganya, tawanan di dalam kereta itu bukan lain adalah Menteri
Kebudayaan Ho yang telah berani memprotes kepada kaisar tentang pembakaran kitab kitab
pelajaran Nabi Khong Hu Cu. Ho-taijin atau Menteri Ho ini melakukan perjalanan ke selatan untuk
mengakhiri pembakaran kitab-kitab dan pembunuhan para sasterawan yang mempertahankan
kitab-kitab itu, akan tetapi kaisar yang kena dihasut oleh kaki tangannya itu lalu mengirim pasukan
yang dipimpin oleh Ciong-ciangkun untuk menyusul dan menangkapnya. Bukan ini saja, malah
keluarga Menteri Ho telah ditangkap lebih dulu dan dijebloskan dalam penjara!
Untung bahwa satu-satunya anak keluarga Ho ini, yaitu seorang anak perempuan yang
telah remaja, bernama Ho Pek Lian, telah berhasil diselamatkan oleh empat orang gurunya. Hotaijin
yang sasterawan itu ternyata mempunyai hubungan baik dengan para pendekar, bahkan
puteri tunggalnya itu sejak kecil menjadi murid dari Huang-ho Su-hiap Maka, ketika terjadi
penangkapan atas seluruh keluarga Ho, nona Ho Pek Lian berhasil melarikan diri, dan ia ditolong
oleh empat orang gurunya yang membawanya lari kepada Liu-bengcu, yaitu Liu Pang yang
menjadi memimpin rakyat yang amat disegani di waktu itu. Liu Pang ini juga merupakan seorang
pengagum Ho-taijin. maka dia menerima Ho Pek Lian yang selanjutnya disebut Ho-siocia dengan
suka hati, bahkan dia mau pula menerima Ho Pek Lian menjadi muridnya. Sarang atau pusat yang
dijadikan tempat para pendekar berkumpul di bawah pimpinan Liu Pang ini, yang menjadi tempat
rahasia mereka, terletak di sebuah puncak yang bernama Puncak Awan Biru di Pegunungan Funiu-
san.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Liu Pang sendiri marah sekali mendengar akan tindakan kaisar yang bukan hanya menyuruh
tangkap Ho-taijin, bahkan telah menangkap semua keluarga pembesar yang bijaksana itu. Maka,
selain memberi petunjuk kepada murid barunya ini dalam hal ilmu silat, juga Liu Pang lalu
mengangkat Ho-siocia menjadi pimpinan dalam usaha mereka untuk membebaskan Ho-taijin dari
tawanan. Usaha ini dibantu oleh Huang-ho Su-hiap, yaitu guru-guru pertama dari Pek Lian seperti
telah diceritakan di bagian depan. Dan biarpun Pek Lian menjadi murid-murid mereka, namun
karena ia telah menguasai ilmu-ilmu dari mereka, maka penggabungan ilmu inilah yang membuat
ia menjadi tidak kalah lihainya dibandingkan dengan seorang di antara guru-guru mereka. Apa lagi
ia telah memperoleh petunjuk dari gurunya yang baru dan amat lihai, yaitu Liu Pang.
Demikianlah, seperti telah direncanakan, ketika terjadi pertempuran di dusun itu. tiba-tiba
Ho Pek Lian yang disebut Ho-siocia oleh semua orang gagah pengikut Liu Pang, muncul untuk
membebaskan ayahnya. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa tiga di antara
guru-gurunya kewalahan menghadapi seorang lawan yang bertubuh pendek cebol, sedangkan
seorang guru yang lain. Sin-kauw, sedang bertanding dengan serunya melawan komandan
pasukan. Maka Pek Lian cepat bergerak menolong tiga orang gurunya yang terancam bahaya
maut itu dan kini ia bersama tiga orang gurunya itu mengeroyok si pendek yang kini iapun dapat
menduga tentu Pek-lui-kong yang kabarnya diam-diam menyelundup ke dalam pasukan pengawal
yang menangkap ayahnya.
Setelah kini Pek Lian membantu, dan mereka berempat mengeroyok, maka Pek-lui-kong
menjadi sibuk juga. Terpaksa dia mengeluarkan senjatanya, yaitu sabuk rantai baja, akan tetapi
dia hanya mampu mengimbangi saja empat orang pengeroyoknya. Sementara itu, pertempuran
antara Sin-kauw yang melawan Ciong-ciangkun juga amat seru dan keduanya sudah menerima
hantaman dari lawan, telah menderita luka-luka yang tidak membahayakan nyawa, akan tetapi
mereka masih terus bertanding dengan hebatnya. Hanya keadaan para anak buah yang
mengalami pembahan. Biarpun jumlahnya lebih banyak, namun perajurit itu tidak dapat bertahan
menghadapi amukan para pendekar yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lebih tinggi. Banyak di
antara perajurit yang roboh terluka atau tewas. Melihat keadaan ini, Pek Lian cepat berseru
kepada para pembantunya,
"Cepat...... bebaskan Ho-taijin !" Teriakan ini ditujukannya kepada para anak buah yang
berhasil mendekati kereta. Ia sendiri bersama tiga orang gurunya tidak berani meninggalkan Peklui-
kong. karena berkurang satu saja di antara mereka berarti keadaan mereka akan terdesak dan
berbahaya. Dengan berempat, mereka mampu mengimbangi kelihaian Pek-lui-kong.
Mendengar perintah dari Ho-siocia (nona Ho) ini, seorang di antara para anak buah Puncak
Awan Biru ini cepat meloncat ke atas kereta. Di bagian depan, kusir muda yang sejak tadi tidak
ikut berkelahi, masih menelungkup di atas bangkunya dan menutupi muka dengan kedua tangan,
tubuhnya gemetar dan nampaknya dia merasa ngeri dan ketakutan.
Melihat ini, anggauta Puncak Awan Biru itu menendang dan kusir itu mengeluarkan seruan
keras, tubuhnya terguling ke bawah dan jatuh ber debuk ke atas tanah. Dia menjadi semakin
ketakutan, dengan kedua tangan masih menutupi mukanya dan tidak memperdulikan rasa nyeri
karena terbanting tadi, dia berteriak-teriak, "Jangan dirusak keretaku! Kereta ini duma disewa oleh
perajurit-perajurit itu ! Jangan dirusak, ini keretaku!"
Pada saat itu, beberapa orang pendekar anggauta Puncak Awan Biru telah berloncatan dan
mereka hendak membuka pintu kereta yang agaknya terkunci kuat sekali. Melihat betapa pintu
kereta itu ditarik-tarik dan agaknya hendak dibuka dengan paksa, si kusir itu takut kalau-kalau
keretanya rusak, maka diapun lari menghampiri dan dengan marah dia menarik dari belakang
beberapa orang pendekar sambil berteriak- teriak, "Jangan dirusak keretaku ini!"
Para pendekar itu tentu saja menganggap si kusir sebagai kaki tangan pasukan perajurit
biarpun mengaku bahwa keretanya hanya disewa. Mereka menjadi marah dan seorang di antara
mereka yang menjadi gemas itu mengayun goloknya sambil menghardiknya. "Pergi kau!"
Kusir muda itu mencoba untuk mengelak, akan tetapi karena agaknya dia memang tidak
mengenal ilmu silat sama sekali, gerakannya kaku dan kurang cepat sehingga golok itu sempat
menggores lengan kirinya.
"Crett...... ! Aduhhh...... !" Darah mengucur dari lengan yang terobek kulitnya dan sebuah
tendangan membuat kusir muda itu terlempar dan jatuh terbanting.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Dan terjadilah hal yang amat aneh, diawali dengan suara ketawa yang mendirikan bulu
roma. "Ha-ha- hi-hi-hi...... !" Suara ketawa ini nyaring sekali sehingga semua orang menengok ke
arah pemuda kusir yang tertawa itu. Para pendekar yang tadinya berusaha membuka pintu kereta
juga menengok. Baru sekarang mereka memandang kusir muda itu penuh perhatian dan melihat
bahwa kusir itu masih muda sekali, berperawakan tinggi tegap, pinggangnya ramping dan
nampaknya kuat. Juga wajahnya yang membayangkan kesederhanaan, bahkan kebodohan itu,
nampak tampan dan gagah. Akan tetapi, kini sepasang matanya yang lebar dan yang dilindungi
alis hitam tebal seperti golok itu terbelalak dan beringas. Lengan kirinya berdarah, matanya
beringas memandang ke kanan kiri seperti orang gila. Semua orang yang memandangnya menjadi
terkejut dan juga ngeri. Kusir muda itu telah menjadi gila.
"Heh-heh, hi-hi-hi... darah..... darah.....! Hemmm... !" sambil berjingkrak-jingkrak seperti
menari-nari, pemuda itu lalu menjilati darah yang keluar dari luka di lengannya!
Melihat ini, semua orang menjadi semakin ngeri. Mereka mengira bahwa tentu kusir muda
itu menjadi gila karena takutnya setelah lengannya terbacok luka itu. Seorang perajurit yang
merasa ikut malu melihat ulah kusir kereta yang tadi dikawalnya itu, membentaknya dan
memukulnya untuk mengusirnya pergi dari situ.
"Pergi...... aiiiiihhhhh...... !" Bentakan itu disambung dengan jeritan yang mengerikan dan
tubuh perajurit yang menghantam itu terlempar seperti didorong oleh tenaga dahsyat, lalu
tubuhnya terbanting ke atas tanah dan ternyata perajurit itu telah tewas dengan kepala retakretak
! Padahal tadi dialah yang memukul pemuda yang seperti gila itu ! Tentu saja semua orang
menjadi kaget setengah mati. Kiranya kusir muda yang gila itu memiliki kepandaian yang luar
biasa hebatnya.
Ketika kusir itu melihat perajurit terbanting tak jauh dari situ, dia berlari maju dan menubruk
mayat itu, dipelukinya dan diapun menangis. Diangkatnya mayat itu, dipangkunya dan
dirangkulnya
dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan ratap tangis, "Ayaahh...... ayaahhh...... !"
Dan kusir itupun menjadi semakin beringas. Setelah menurunkan kembali mayat itu ke atas
tanah, diapun meloncat berdiri dan mulailah dia mengamuk ! Tidak perduli siapapun yang berada
di dekatnya, perajurit maupun pendekar, tentu diamuknya. Dan tidak ada seorangpun yang
mampu bertahan terhadap amukannya. Setiap ayunan kaki atau tangan tentu membuat orang itu
terlempar sampai jauh ! Melihat ini, semua orang menjadi gempar dan ketakutan, semua lari
menyingkir setelah mencoba melawan yang hanya berakhir dengan tubuhnya terlempar jauh dan
terbanting keras. Karena semua perajurit dan pendekar menjauhinya, kusir muda yang gila itu
kemudian lari ke arah Sin-kauw yang masih bertanding dengan serunya melawan Ciong-ciangkun.
Mereka berdua sudah luka-luka dan sudah agak lemas, namun masih tidak mau saling mengalah.
Dan begitu pemuda itu menyerbu, keduanya telah dapat ditangkap pada tengkuk masing-masing
dan sekali menggerakkan kedua tangannya, kusir muda itu telah berhasil melemparkan Sin-kauw
dan Ciong-ciangkun sampai lima meter jauhnya! Mereka berdua jatuh terbanting, tidak terluka
parah tetapi juga nanar dan merangkak bangun dibantu oleh anak buah masing-masing. Semua
orang terkejut. Bukan main hebatnya kepandaian kusir muda itu. Dan kini kusir itu telah
menerjang ke arah pertempuran antara Pek-lui-kong yang bertubuh pendek dan yang dikeroyok
oleh empat orang lihai itu. Dan rusaklah perkelahian itn setelah kusir muda ini masuk. Dia
memukul dan menendang, tanpa berpihak, bahkan diserangnya mereka kelimanya dengan
gerakan kacau dan kaku, secara membabi-buta saja.
Hek-coa, Pek-bin-houw dan Kim-suipoa terdorong mundur sebelum menangkis, terdorong
oleh angin pukulan yang keluar dari kedua tangan kusir muda itu. Mereka terkejut sekali, dan Pek
Lian juga cepat menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi, kusir muda itu menangkis dengan
mengipaskan tangannya dan akibatnya, tubuh nona itu terlempar sampai dua tiga meter jauhnya !
"Hyaaahhh...... !" Pek-lui-kong mengeluarkan bentakan nyaring sambil menyambut pukulan
kusir muda itu dengan dorongan kedua telapak tangannya.
"Dess...... !" Dua tenaga aneh yang dahsyat berjumpa dan akibatnya, si pendek itu tergetar
hebat dan terhuyung ke belakang, sedangkan kusir itupun terpelanting jatuh. akan tetapi dia
sudah cepat bangkit kembali dan menangis melolong-lolong seperti anak kecil ! Si pendek terkejut
setengah mati karena dia mendapat kenyataan bahwa tenaga kusir ini ternyata tidak kalah
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kuatnya dibandingkan dengan tenaga sinkang yang dikeluarkannya tadi. Dia menjadi gentar,
karena dia tidak tahu di pihak siapakah kusir itu berdiri. Tadinya kusir itu jelas membunuh seorang
perajurit, akan tetapi diapun melihat kusir gila itu menyerang kalang-kabut tanpa memilih orang.
Selagi semua orang dari kedua pihak gentar memandang kepada pemuda yang menangis
melolong- lolong itu, tiba-tiba jendela kereta terbuka dari dalam dan nampaklah kepala seorang
pria tua tersembul dari dalam. Pria itu bukan lain adalah Menteri Ho sendiri. Dengan suara penuh
wibawa pembesar yang menjadi tawanan ini berkata, suaranya tegas dan tak mungkin dapat
dibantah lagi oleh mereka yang menghormati dan mengaguminya.
"Pek Lian...... anakku, dan para sahabatku semua. Kalian pulanglah. Aku tidak menghendaki
kalian memberontak kepada pemerintah. Semenjak turun- temurun, nenek moyang keluarga Ho
adalah orang orang yang setia mengabdi kepada nusa dan bangsa, setia kepada pemerintah yang
berkuasa dan tidak pernah ada yang menjadi pemberontak. Aku tidak ingin menodai nama
keluarga Ho dengan pemberontakan. Nah, pulanglah. Bagaimanapun juga, aku tidak mau
melarikan diri dari tahanan pemerintah."
"Ayahhhh...... !"
"Anakku, pergilah ! Semoga Thian selalu memberkahimu, selamat berpisah !" Daun jendela
kereta itu tertutup kembali.
Ho Pek Lian menangis, akan tetapi Kim-sui-poa, gurunya, menuntunnya dan mengajaknya
pergi dari situ. Pertempuranpun berhenti ketika kedua fihak menyerukan agar anak buah masingmasing
itu mundur. Ciong-ciangkun yang maklum bahwa pasukannya akan menderita kekalahan
kalau pertempuran dilanjutkan merasa lega bahwa Ho-taijin sendiri yang menghentikan
pertempuran dan para penyerbu itu mundur dan meninggalkan tempat itu. Dia lalu mengumpulkan
sisa pasukannya, meninggalkan yang tewas dan luka, lalu tergesa-gesa melanjutkan perjalanan
dengan pengawalan sisa pasukan itu yang kini tinggal separuhnya saja. Kusir muda yang gila
tadipun telah pergi sambil menangis dan kadang-kadang tertawa, agaknya dalam kegilaannya itu
dia sudah lupa akan kereta dan kudanya, ditinggalkannya begitu saja dan entah kemana dia pergi
tak ada seorang yang mengetahuinya.
Sikap seperti yang diperlihatkan oleh Menteri Ho itu sudah sering kali diperlihatkan oleh
orang-orang yang disebut sebagai "orang besar" di sepanjang sejarah. Memang amat
mengherankan sekali. Kalau direnungkan secara mendalam, apakah gunanya sikap seperti itu ?
Dia tahu bahwa dirinya difitnah, bahwa kaisar telah bersikap lalim dan tidak benar, bahwa dia
telah menjadi korban kelaliman kaisar. Akan tetapi, mengapa dia tidak mau menyelamatkan diri,
dengan dalih tidak mau memberontak terhadap pemerintah ? Bukankah hal ini didasari oleh
kebanggaan diri dan ketinggian hati yang konyol belaka ?
Nama baik! Kehormatan! Semua ini hanya sebutan, sebutan yang diperhalus saja untuk
menutupi rasa bangga diri dan ketinggian hati itu. Kita melihat betapa diri kita ini kosong
melompong tidak ada artinya, bahwa diri kita ini dangkal sekali, menjadi hamba dari pada nafsu
belaka dan bahwa hidup ini hanya fana, bahwa tubuh kita ini akhirnya akan hilang ditelan usia dan
kematian, bahwa semua pada diri kita ini akhirnya akan lenyap. Karena itulah, di antara harapanharapan
dan sebutan-sebutan lain, maka nama kita anggap takkan lenyap. Karena itu, nama harus
dijaga sebaiknya, agar hidup selama-lamanya biarpun badan ini telah tiada ! Dan demi nama dan
kehormatan ini, kita mau saja melakukan segala-galanya, bahkan berkorban nyawa sekalipun,
bahkan mati konyol sekalipun seperti yang diperlihatkan oleh sikap Menteri Ho itu! Apakah
gunanya nama besar ? Berguna bagi anak cucu ? Belum tentu ! Yang jelas, apapun gunanya bagi
si empunya nama, tidak ada artinya lagi karena si empunya nama telah mati. Akan tetapi, kita
mengejar-ngejar nama baik ini, kehormatan ini. Bukan untuk sesudah mati, melainkan untuk
sekarang, agar kita dapat berbangga hati dan agar kita merasa tenteram mengingat bahwa kalau
kita mati nama kita akan terus dipuji-puji orang, dikagumi orang !
Kalau nama baik dan kehormatan sudah menjadi tujuan, maka semua jalan untuk
mencapainya merupakan kepalsuan. Tujuan menghalalkan segala cara. Perbuatan apapun, cara
apapun yang kita lakukan, kalau sudah ditujukan untuk sesuatu demi keuntungan diri sendiri lahir
maupun batin, maka perbuatan itu, cara itu, tidaklah wajar dan palsu, merupakan pura-pura
belaka.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Namun, seperti tercatat dalam sejarah bahkan sampai kinipun masih dilakukan orang, kita
tergila-gila akan hal-hal yang kita anggap menyenangkan, seperti harta kekayaan, kemuliaan,
kehormatan, nama besar, dengan ukuran dalam pikiran kita bahwa semua itulah sarana untuk
mencapai kebahagiaan. Harapan kosong belaka !
* * *
Rombongan Ho Pek Lian dan empat orang gurunya yang gagal membebaskan Menteri Ho
karena dilarang oleh menteri itu sendiri, pulang ke pegunungan dengan lesu. Mereka telah
kehilangan beberapa orang kawan yang tewas dan yang mayatnya mereka bawa dan mereka
kuburkan di tengah perjalanan, dan beberapa orang pula luka-luka dan kini ikut melakukan
perjalanan pulang. Di antara empat orang pendekar itu, Sin-kauw mengalami luka-luka pula dalam
pertandingannya melawan komandan pasukan, bahkan yang lainpun tidak keluar dari
pertandingan itu dengan utuh. Bekas hantaman Pek-lui-kong dan kemudian tangkisan-tangkisan
pemuda gila yang menjadi kusir, itu masih terasa oleh Pek Lian dan guru-gurunya. Namun, semua
pengorbanan itu ternyata sia-sia belaka! Menteri Ho sendiri, pada saat mereka hampir berhasil
membebaskannya, menolak dibebaskan dan menyuruh mereka pergi.
"Ayaahhh...... " hati kecil Pek Lian menjerit dan air matapun berlinang di kedua matanya.
Keempat orang gurunya menghibur.
"Kami dapat mengerti akan sikap ayahmu, nona," kata Kim-suipoa. Keempat orang
pendekar ini selalu menyebut nona kepada murid mereka ini, mengingat bahwa Pek Lian adalah
puteri tunggal Menteri Ho yang mereka hormati. "Bagi seorang pejabat seperti ayah nona itu,
keluarga sendiri dan nyawa sendiri tidak dipentingkan lagi, yang terpenting adalah mengabdi
kepada pemerintah dengan penuh kesetiaan."
"Tapi, suhu !" Pek Lian membantah dengan hati penuh penasaran. "Teecu sendiri juga
bukan seorang yang suka berkhianat, bukan pula seorang yang berjiwa pemberontak dan tidak
setia kepada negara dan bangsa. Kita yang menamakan diri pendekar dan patriot, memang
mencinta negara dan bangsa dan rela mati demi membela nusa dan bangsa. Akan tetapi, kalau
negara dipimpin oleh seorang kaisar yang lalim dan jahat, kalau bangsa ditindas demi kepuasan
nafsu kaisar lalim, apakah kita juga harus bersetia kepada kaisar seperti itu ? Bukankah kalau kita
setia kepada kaisar lalim, berarti kitapun membantu kaisar untuk menindas bangsa sendiri, untuk
membawa negara ke ambang kehancuran? Lihat, betapa banyaknya rakyat terbunuh, ratusan ribu,
jutaan, untuk membangun Tembok Besar. Dan pembakaran kitab-kitab itu ! Apakah semua itu
harus dibiarkan saja ?"
"Tentu saja tidak, nona !" kata Pek-bin-houw. "Dan buktinya, Ho-taijin yang mulia sudah
bertindak, memprotes kaisar !"
"Dan akibatnya, dia sendiri ditangkap !" nona itu berseru marah. "Dan semua keluarga ayah,
bibi, paman, keponakan-keponakan, bahkan pelayan-pelayan, semua ditangkapi dan dijebloskan
tahanan !"
"Itulah yang dinamakan membela kebenaran, nona. Ayahmu bukan setia kepada kaisar,
melainkan kepada nusa dan bangsa, kepada kebenaran. Demi kebenaran, ayahmu berani
menentang kaisar dan berani menghadapi hukuman. Kami mengerti, dengan perbuatannya itu,
ayahmu ingin menyadarkan kaisar akan kelalimannya !"
"Benarkah kaisar akan sadar ? Aku tidak percaya akan hal ini. Kaisar telah lalim, dan untuk
itu, siapa lagi kalau bukan kita kaum pendekar yang bergerak untuk membebaskan rakyat dari
kelalimannya ? Ini bukan pemberontakan terhadap negara dan bangsa, melainkan pemberontakan
terhadap penguasa lalim yang akan menyeret negara dan bangsa ke lembah kehancuran !"
Empat orang gurunya mengangguk-angguk dan diam-diam mereka merasa bangga akan
semangat murid mereka itu. "Ucapanmu benar, nona. Pengorbanan ayahmu tidak akan sia-sia,
mata para pendekar akan lebih terbuka dan akan makin banyaklah orang gagah yang menentang
kaisar yang lalim. Akan tetapi, urusan ini bukan urusan kecil, oleh karena itu kita semua harus
menyerahkan segala urusan ini di bawah pimpinan Liu-toako (kakak Liu)."
Mereka melanjutkan perjalanan dan kini empat orang pendekar itu bercakap-cakap tentang
kelihaian orang-orang yang mereka temui dalam pertempuran siang tadi. Pek Lian mendengarkan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
percakapan mereka dengan hati tertarik, karena di dalam hatinya iapun merasa kagum akan
kepandaian Pek-lui-kong dan terheran- heran akan perobahan pada diri kusir muda yang tiba-tiba
saja menjadi gila dan setelah gila ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat sehingga si
pendek Pek-lui-kong sendiri sampai tidak mampu menandinginya!
"Kepandaian Pek-lui-kong yang lihai itu tidak perlu diherankan lagi," antara lain Kim-suipoa
yang lebih berpengalaman sebagai pedagang yang suka merantau dari pada saudara- saudaranya
berkata, "dia adalah murid dari Soa-hu-pai tingkat tinggi, tentu saja ilmunya hebat bukan main
dan masih baiklah kalau kita berempat tadi masih mampu menandinginya dan tidak sampai tewas
di tangannya."
"Suhu, teecu rasakan tadi pukulannya mengandung hawa yang berputaran seperti angin
puyuh, dan juga terasa dingin bukan main. Pukulan apakah itu ?" Pek Lian sejenak melupakan
kedukaannya karena ditangkapnya ayahnya dan mengajukan pertanyaan itu.
"Itulah pukulan yang disebut Pukulan Pusaran Pasir Maut!" jawab Kim-suipoa sambil
bergidik. "Pukulan itu merupakan inti dari ilmu Perkumpulan Danau Pasir itu. Aku hanya
mengetahui sedikit saja, nona, akan tetapi perlu juga kaudengarkan agar kelak dapat berhati-hati
kalau bertemu dengan tokoh dari Soa-hu-pai itu. Danau itu sebetulnya kini lebih tepat disebut
rawa berpasir yang terletak di sebuah puncak, merupakan kawah yang sudah mati, dan mirip
sebuah danau, akan tetapi bukan air yang berada di danau itu, melainkan pasir. Pasir ini amat
panas, kadang-kadang mengepulkan asap yang panas dan berbau keras. Dan dalamnya pasir ini
tak pernah ada yang dapat mengukurnya, mungkin saja tak dapat diukur selamanya. Selain amat
dalam dan juga amat panas, pasir ini mempunyai sifat yang mengerikan, yaitu dapat bergerak
menyedot segala sesuatu yang terjatuh di situ. Biar binatang yang kuat seperti harimau sekalipun,
sekali terjatuh ke dalam pasir, jangan harap akan dapat keluar lagi karena tersedot terus sampai
lenyap tanpa meninggalkan bekas.
"Ih, mengerikan...... !" kata Pek Lian, membayangkan betapa mengerikan kalau sampai ia
terjatuh ke dalam kubangan pasir itu.
"Dan hasil ilmu dari tempat itupun mengerikan, kata lagi Kim-suipoa. "Tokoh yang
menemukan ilmu itu kemudian mendirikan partai Soa-hu-pai berjuluk Kim-mou Sai-ong, seorang
pendeta berambut keemasan yang amat terkenal abad lalu, Dan ilmu itu bertingkat-tingkat.
Kabarnya hanya Kim-mou Sai-ong seoranglah yang dapat mencapai tingkat ke tigabelas. Ilmu itu
luar biasa sukarnya dan mempelajarinya harus dengan taruhan nyawa, maka jaranglah ada murid
yang mencapai tingkat tinggi. Kabarnya, guru dari Pek-lui-kong itu sendiripun hanya mencapai
tingkat ke sepuluh! Akan tetapi, melihat ilmu si pendek itu, sungguh aku heran sekali entah tingkat
berapa sekarang telah dicapainya"
"Bagaimana sih mempelajarinya, suhu ?" tanya Pek Lian, tertarik.
"Akupun hanya mendengar beritanya saja, nona. Karena danau pasir itu luas sekali dan Kimmou
Sai-ong kebetulan bertapa di tempat itu, pertapa yang sakti ini lalu mencari daya upaya
untuk dapat menanggulangi bahaya dari danau pasir ini. Dia lalu menciptakan ilmu yang
didasarkan untuk mengatasi kehebatan pasir itu. Dengan latihan sinkang di atas pasir itu, Kimmou
Sai–ong berhasil menemukan tenaga sinkang yang kekuatannya menolak daya sedot pasir
itu. Dapat di-bayangkan betapa hebatnya tenaga sinkang itu kalau sudah mampu menolak daya
sedot seperti itu. Selain ini, juga untuk melawan panasnya pasir ketika berlatih di atas pasir,
diapun berhasil membuat hawa sinkangnya menjadi dingin untuk menahan panas. Oleh karena itu,
setelah ilmunya yang dinamakan Ilmu Pukulan Pusaran Pasir Maut itu sempurna, ilmu itu
mengandung hawa yang memutar dan mendorong untuk melawan sedotan itu, dan juga
mengandung hawa dingin yang dapat mematikan lawan."
Perjalanan mereka kini tiba di tepi Sungai Yang- ce-kiang yang amat lebar. Di situ sudah
menanti beberapa orang teman mereka yang sudah mempersiapkan perahu-perahu untuk mereka.
Maka perjalanan dilanjutkan dengan naik beberapa buah perahu. Akan tetapi Pek Lian tidak mau
naik perahu.
"Harap suhu sekalian dan saudara-saudara semua melanjutkan perjalanan dengan perahu,"
katanya kepada empat orsng suhunya. "Teecu lebih senang mengambil jalan darat naik kuda,
karena teecu ingin menghibur hati dengan melihat pemandangan alam yang indah."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Ah, jalan darat lebih berbahaya dari pada jalan air, nona," kata Sin-kauw yang masih lemah
oleh luka-lukanya.
"Teecu tidak takut, suhu."
"Kalau begitu, biarlah aku menemani nona Ho mengambil jalan darat," kata Hek-coa.
"Tidak, Ular Hitam, engkau lebih ditakuti para bajak, maka sebaiknya kalau engkau
menemani Si Monyet Sakti yang terluka itu mengambil jalan air. Biarlah aku dan Harimau Muka
Putih yang mene-mani murid kita mengambil jalan darat," kata Kim-suipoa yang merupakan orang
tertua dan juga menjadi pemimpin setelah Ho Pek Lian yang mereka anggap sebagai pemimpin
mereka seperti yang telah ditentukan oleh Liu-toako.
Si Ular Hitam tidak membantah, lalu dia bersama teman-temannya menggunakan perahuperahu
itu, mendayung perahu ke tengah dan sebentar saja perahu-perahu itu telah menghilang
di suatu tikungan. Kim-suipoa dan Pek-bin-houw lalu mengajak murid mereka melanjutkan
perjalanan.
"Matahari telah mulai condong ke barat, sebaiknya kalau kita mempercepat perjalanan agar
dapat melewati hutan di depan, nona. Hutan ini tidak kita kenal, dan kalau sudah melewati hutan
barulah kita sampai di sebuah dusun nelayan di mana kita boleh beristirahat."
"Baiklah, suhu."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan memasuki hutan. Akan tetapi, jalan setapak yang dilalui
oleh kuda mereka itu makin lama makin menjauhi sungai dan akhirnya sungai tidak nampak sama
sekali karena jalan itu terhalang oleh tebing-tebing dan batu-batu besar di tepi sungai. Akhirnya
mereka sama sekali terputus dari sungai dan berada di tengah-tengah hutan yang amat liar dan
gelap. Sementara itu, cuaca menjadi semakin gelap. Mereka melanjutkan perjalanan, akan tetapi
kegelapan malam membuat mereka tersesat jauh ke dalam hutan, makin menjauhi jalan setapak
dan akhirnya mereka terpaksa menghentikan kuda karena mereka tidak tahu lagi mana jalan yang
benar. Tiga orang itu adalah pendekar-pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja
mereka tidak takut berada di dalam hutan itu. Mereka tidak takut terhadap binatang buas, juga
tidak takut akan orang jahat. Betapapun juga, mereka merasa tidak enak kalau harus melewatkan
malam di dalam hutan lebat yang tanahnya lembab dan hawanya dingin itu.
Pek-bin-houw lalu memanjat pohon besar sampai ke puncaknya dan dari situ dia mencaricari
dengan pandang matanya. Akhirnya, di sebelah kirinya, di tempat yang agak meninggi, dia
melihat sinar api kecil yang tak lama kemudian lalu padam. Cepat dia turun kembali dan berkata,
"Di sebelah sana kulihat ada sinar api. Mungkin ada rumah orang."
Kim-suipoa menjadi girang. "Bagus, sebaiknya kalau kita tuntun saja kuda kita, lebih mudah
mencari jalan kalau begitu."
Demikianlah, di bawah penerangan bulan yang baru saja muncul, dan dengan hati-hati
sekali, mereka lalu berjalan sambil menuntun kuda. Pek-bin-houw di depan karena dialah yang
melihat api tadi dan dia yang selalu mengingat-ingat di mana letak api yang dilihatnya tadi. Pek
Lian di tengah sedangkan Kim-suipoa di belakang. Mereka sudah berjalan selama dua jam, namun
belum juga melihat ada rumah orang. Yang ada hanyalah pohon-pohon raksasa dan tanah yang
penuh dengan alang-alang, rumput dan tumbuh- tumbuhan liar. Akan tetapi, jalan mulai mendaki
dan Pek-bin-houw berseru, "Agaknya kita tidak salah jalan. Api itu memang berada di tempat yang
agak tinggi."
Dan makin menanjak jaian itu, makin berkuranglah pohon- pohon besar, terganti padang
rumput sehingga tiga orang itu menjadi lapang pula. Akan tetapi mereka masih belum tahu jalan
mana yang menuju ke arah jalan setapak yang akan membawa mereka kembali ke tepi sungai.
Dan selagi mereka mencari-cari, tiba-tiba Pek Lian yang masih remaja dan penglihatannya lebih
tajam dibandingkan dengan dua orang gurunya, berseru lirih, "Nah, di sana itu ada rumah !"
Dua orang gurunya cepat menengok dan mengerutkan alis untuk dapat memandang lebih
jelas dan merekapun dapat melihat bayangan remang-remang di bawah sinar bulan. Merekapun
merasa gembira dan cepat tiga orang ini menuntun kuda mereka menuju ke arah bayangan rumah
itu yang ternyata masih cukup jauh. Setelah tiba di pekarangan rumah, mereka menambatkan
kuda mereka pada pohon di depan rumah, kemudian merekapun menuju ke pintu depan.
Rumah itu besar sekali, besar dan menakutkan karena gelap dan rumah itu kuno. Suasana
menyeramkan meliputi rumah besar yang gelap itu. Tidak nampak penerangan sedikitpun
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sehingga Pek-bin-houw menyatakan bahwa mungkin bukan ini rumah yang dilihatnya dari atas
pohon dalam hutan, karena dari atas tadi ia melihat sinar penerangan walaupun hanya sebentar.
"Rumah siapapun juga, ada penghuninya atau tidak, cukup lumayan untuk kita mengaso
malam ini, dari pada di hutan yang lembab dan dingin," kata Kim-suipoa dan mereka lalu
mengetuk pintu. Pek Lian memandang ke kanan kiri. Rumah itu terpencil, tidak terdapat rumah
lain di sekeliling tempat itu. Padang rumput yang luas dengan beberapa batang pohon di sana-sini.
Ketukan pintu mereka tak terjawab dan Pek-bin-houw mendorong daun pintu. Terdengar
bunyi berkriyet ketika daun pintu itu terbuka dengan mudahnya. Kiranya memang tidak terkunci.
Mereka lalu memasuki daun pintu itu. Mereka tidak banyak cakap karena biarpun tempat itu
sedemikian sunyinya namun mereka bertiga merasa seolah-olah ada banyak orang mengintai
mereka dari empat penjuru. Maka ketiganya memasuki rumah itu dengan sikap yang waspada,
siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Di tempat yang angker seperti ini, tidak akan
mengherankan mereka kalau tiba-tiba ada bahaya mengancam.
Biarpun rumah itu nampak kosong dan tidak berpenerangan, namun ketika mereka masuk,
mereka melihat kebersihan dalam rumah, dan perabot-perabot rumah sederhana. Hal ini
menunjuk kan bahwa rumah itu sebenarnya bukan kosong, tentu ada penghuninya atau
setidaknya baru saja ditinggalkan para penghuninya. Mereka berjalan terus dengan hati-hati,
memasuki lorong dalam rumah. Di kanan kiri lorong itu terdapat
-lewat halaman gak adaka,"
Kim-suipoa menunjuk ke kamar di sudut sebelah belakang akan tetapi tiba-tiba dari
dalam kamar yang berada di sudut paling kiri terdengar suara wanita, suaranya halus agak parau,
pantasnya suara seorang wanita tua.
"Hong-ji, kulihat hanya tiga orang tamu kita malam ini, benarkah ?"
"Benar, ibu. Mungkin masih ada yang lain di luar, tapi koko belum bergerak!" jawaban yang
terdengar dari gubuk di dekat kolam ikan di taman itu amatlah merdunya, jauh berbeda dan
bahkan menjadi kebalikan dari suara wanita pertama.
Mendengar dua suara yang tiba-tiba ini, tentu saja Pek Lian dan dua orang gurunya menjadi
terkejut dan mereka bertiga sudah menghentikan langkah dan memandang ke arah suara itu
dengan penuh perhatian. Suara nertama datang dari dalam sebuah kamar, dan ketika mereka
mencari ke arah suara merdu yang datang dari gubuk di tengah taman itu, nampaklah oleh
mereka bayangan seorang wanita yang tinggi ramping sedang berdiri dan bersandar pada tiang
gubuk tadi. Melihat ini, dan mendengar percakapan tadi, ketiganya merasa tak enak dan malu
sekali karena mereka maklum bahwa dua orang yang bersuara itu tentulah fihak nyonya rumah.
Maka, cepat Kim-suipoa mengajak Pek-bin-houw dan Pek Lian untuk pergi menghampiri wanita
yang berada di gubuk itu dan setelah dekat, di bawah sinar bulan mereka dapat melihat bahwa
orang ini adalah seorang gadis yang tubuhnya ramping sekali dan garis-garis wajahnya
membayangkan kecantikan. Sebagai wakil rombongannya, Kim-suipoa lalu menjura, diikuti oleh
Pek-bin- houw dan Pek Lian, lalu pendekar ini berkata dengan suara penuh hormat,
"Kami mohon maaf sebesanya kepada kouw-nio (nona) atas kelancangan kami bertiga
memasuki rumah ini tanpa ijin. Kami adalah tiga orang yang sesat jalan ingin berteduh
melewatkan malam dan karena kami mengira bahwa rumah ini kosong maka kami berani
memasukinya."
Wanita yang memiliki suara merdu itu berkata, suaranya masih merdu dan enak didengar
walaupun mengandung kemarahan, "Hemm, banyak sekali srigala yang berkedok domba selama
tiga hari orang-orang jahat berkeliaran di sini, membuat kami banyak pusing. Siapakah yang dapat
percaya omongan kalian ?"
Mendengar jawaban ini Ho Pek Lian mengerutkan alisnya. Ia sendiri adalah seorang wanita
yang halus wataknya, berpendidikan sebagai puteri seorang menteri kebudayaan walaupun sejak
kecil ia mempelajari ilmu silat tinggi. Maka, melihat betapa tadi gurunya bersikap hormat dan kini
wanita itu sebaliknya bersikap kasar, iapun merasa tidak senang.
"Hemm, jangan sembarangan menuduh orang!"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Akan tetapi sebelum Pek Lian dapat melanjutkan kemarahannya, tiba-tiba terdengar suara
nyaring sekali, didahului siulan panjang yang terdengar dari jauh. Suara nyaring itu terdengar dari
atas genteng, "Hong-moi, awas mereka datang lagi!"
Mendengar suara ini, gadis yang bersuara merdu itu keluar dari gubuk dan diam-diam Pek
Lian memandang dengan kagum bukan main. Gadis yang bersuara merdu itu ternyata memiliki
kecantikan yang sama indahnya dengan suaranya. Amat cantik jelita dan manis, dan hal ini mudah
dilihat biarpun hanya dengan penerangan sinar bulan saja. Sementara itu, dengan tiba-tiba,
seolah-olah muncul dari tiada, di situ telah berdiri seorang wanita tua berusia lebih dari limapuluh
tahun, dan ternyata ialah pemilik suara parau tadi karena dengan sikap sembarangan wanita ini
berkata kepada mereka bertiga, "Kalau sam-wi (kalian bertiga) memang tidak berniat jahat,
lekaslah pergi dari sini agar selamat!" Setelah berkata demikian, wanita itu bersama puterinya lalu
pergi ke dalam rumah.
Kim-suipoa dan Pek-bin-houw yang sudah banyak pengalamannya di dunia kang-ouw,
maklum bahwa mereka memasuki rumah keluarga yang agaknya sedang menanti datangnya
musuh-musuh mereka, maka karena dia tidak ingin terlibat dengan urusan orang lain, Kim-suipoa
lalu mengajak Pek-bin-houw dan Pek Lian untuk cepat keluar dari tempat itu. "Mari kita cepat
pergi, tidak ada gunanya kita berdiam lebih lama di sini."
Mereka bertiga lalu bergegas keluar, akan tetapi ketika mereka tiba di pintu depan, mereka
berhenti. Dari jauh mereka melihat datangnya tiga orang laki-laki yang rambutnya riap-riapan, tiga
orang ini semua memakai jubah seperti jubah pendeta, dua di antara mereka berjubah hijau
sedangkan orang ke tiga berjubah biru. Di bagian dada dari jubah mereka itu terdapat lukisan
seekor naga. Ketika tiga orang itu, yang berjubah biru di tengah sedangkan yang berjubah hijau
berada di kanan kirinya, tiba di depan pintu pekarangan, tiba-tiba nampak ada dua bayangan
orang berkelebat melayang turun dari atas genteng dan ternya-ta mereka itu adalah seorang
kakek berusia hampir enampuluh tahun, berjenggot panjang, dan seorang pemuda tampan gagah
bertubuh jangkung tegap. Begitu kedua pasang kaki itu menyentuh tanah, keduanya berdiri
dengan tegak, di sebelah depan Kim-suipoa dan dua orang temannya, menghadapi tiga orang
berambut riap-riapan itu.
Orang yang berjubah biru itu cepat menjura ke arah kakek berjenggot panjang, diikuti oleh
dua orang berjubah hijau dan terdengarlah suaranya yang bernada kasar, "Selamat berjumpa,
supek, kami bertiga datang menghadap!"
Kim-suipoa, Pek-bin-houw dan Pek Lian merasa serba salah. Mereka tidak sengaja
memasuki rumah orang, dan tidak sengaja pula mereka menjadi saksi pertemuan dua fihak yang
agaknya diliputi ketegangan. Oleh karena itu, atas isyarat Kim-suipoa, mereka bertiga lalu
melangkah maju, lalu ketiganya menjura sebagai penghormatan ke arah kakek berjenggot dan
pemuda tampan karena mereka menduga bahwa tentu keduanya itu yang menjadi tuan rumah.
Kakek berjenggot itu hanya mengangguk sebagai balasan, akan tetapi pandang matanya masih
terus ditujukan ke arah tiga orang laki-laki berambut riap-riapan itu. Melihat ini, Kim-suipoa dan
dua orang temannya lalu melanjutkan langkah mereka, bermaksud untuk pergi mengambil kuda
mereka dan mening-galkan tempat itu.
Akan tetapi ketika mereka hendak melewati tiga orang berambut riap-riapan itu, si baju biru
membentak, suaranya kasar dan keras sekali, "Berhenti...... !!" Sebelum Kim-suipoa dan temantemannya
menjawab, si baju biru itu lalu menghadapi kakek jenggot panjang dan berkata, "Supek,
seorangpun tidak boleh meninggalkan halaman ini sebelum tuntutan kami yang kemarin itu supek
penuhi dan berikan kepada kami!"
Kakek itu tidak menjawab, akan tetapi pemuda jangkung di sebelahnya yang menjawab,
suaranya dingin, "Mereka adalah orang luar, tidak ada sangkut-pautnya dengan kita !"
"Biar orang luar biar setan, sebelum tuntutan kami dipenuhi, tidak boleh keluar dari tempat
ini dalam keadaan bernyawa!" bentak si jubah biru dengan nada suara, keras dan tegas.
Mendengar ucapan ini, Ho Pek Lian sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dara ini telah
mencabut pedangnya. Terdengar suara berdesing dan nampak sinar berkilau ketika sinar bulan
menimpa pedang yang tajam itu.
"Aku hendak keluar dari sini, ingin kulihat siapa yang akan berani melarangku !" katanya
sambil melangkah maju.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Si jubah biru mundur dan berkata kepada dua orang berjubah hijau, "Bekuk bocah ini!"
Dua orang berjubah hijau itu bergerak maju. "Baik, suhu!" kata mereka dan keduanya lalu
menggerakkan kedua tangan, jari- jarinya ditekuk dan dibuka seperti kuku harimau dan
terdengarlah suara berkerotokan dari buku-buku jarinya.
"Nona, biarlah kami berdua menghadapi mereka," Kim-suipoa berkata dan bersama Pek binhouw
diapun melangkah ke depan. Melihat dua orang suhunya sudah maju, Pek Lian lalu mundur
kembali dan menyimpan pedangnya, namun pandaug matanya berapi-api ditujukan kepada si
jubah biru, hatinya panas dan marah sekali. Siapapun adanya mereka, ia tidak takut untuk
menghadapi nya.
"Kalian hendak melarang kami pergi dari sini. Nah, perlihatkanlah kepandaian kalian!" kata
Kim-suipoa sambil tersenyum mengejek. Akan tetapi diam-diam dia dan Pek-bin-houw merasa
heran sekali dengan munculnya orang-orang berambut riap-riapan yang berjubah dan jubahnya
bergambar naga ini. Selama mereka malang-melintang di dunia kang-ouw dan terutama di daerah
lembah Huang-ho dan Yang-ce, mereka berempat telah dikenal oleh semua penjahat, akan tetapi
mereka belum pernah bertemu dengan golongan seperti yang mereka hadapi sekarang ini.
Dua orang berjubah hijau itu mengeluarkan suara gerengan keras, lalu mereka menubruk
seperti gerakan seekor harimau atau seperti cakar naga. Gerakan mereka cepat dan juga kuat
sekali karena dari gerakan ini menyambar angin yang berhawa panas. Namun. Kim-suipoa dan
Pek-bin-houw bukanlah orang-orang lemah dan dengan cekatan mereka sudah mengelak dan
balas menyerang dengan sama dahsyatnya.
Pek-bin-houw adalah seorang pendekar yang memiliki lweekang yang amat kuat, maka
begitu bergebrak selama belasan jurus, lawannya yang berkumis tebal itu beberapa kali
menggereng- gereng marah karena pertemuan antara lengan mereka membuatnya kenyerian.
Sedangkan Kim-suipoa adalah seorang pendekar yang memiliki banyak macam ilmu silat dan juga
memiliki gerakan yang aneh dan cepat sehingga biarpun lawannya juga amat tangguh, namun dia
dapat menandingi bahkan mengatasinya. Dua orang berjubah hijau itu memang hebat sekali
gerakannya dan tingkat merekapun seimbang dengan dua orang pendekar ini, namun mereka itu
mulai terdesak dan melihat hal ini, si jubah biru menjadi marah bukan main. Tak disangkanya
bahwa dua orang muridnya yang amat diandalkannya itu, yang kepandaiannya sudah tinggi dan
tidak banyak selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, tidak mampu mengalahkan dua orang pria
yang menjadi tamu tuan rumah. Dia bersiul panjang dan nyaring sekali. Dari jauh terdengarlah
siulan sebagai jawabannya, dan diapun menggereng lalu menerjang ke depan untuk membantu
dua orang muridnya.
"Singggg ....!" Gulungan sinar terang berkelebat dan si jubah biru terpaksa melompat ke
samping. Pedang di tangan Pek Lian menyambar ganas dan memaksa si jubah biru untuk
menghadapi dan melawan ia, tidak dapat mengeroyok kedua orang suhunya. Si jubah biru
menjadi semakin marah dan dengan gerengan dahsyat diapun balas menyerang, gerakannya
seperti seekor naga marah, kedua tangannya membentuk cakar, kedua lengannya bengkok seperti
dua ekor ular yang berdiri dan siap menyerang, dan kedua tangan ini melakukan serangan dengan
cara mencengkeram dan menotok, kadang-kadang juga membuat gerakan hendak menangkap.
Gerakannya aneh, gesit dan terutama sekali mengandung hawa panas yang membuat Pek Lian
menjadi agak kewalahan. Biarpun pedangnya telah digerakkan dengan cepat, namun selalu
pedangnya bertemu dengan hawa pukulan kuat yang membuat gerakannya menyimpang. Tentu
saja Pek Lian merasa terkejut dan terheran-heran sekali. Dalam waktu singkat saja dari sejak
percobaan membebaskan ayahnya sampai sekarang, ia telah berjumpa dengan banyak sekali
orang pandai. Mula-mula Pek-lui-kong si pendek yang lihai itu, lalu si kusir gila, dan sekarang
orang-orang yang berambut riap-riapan ini ternyata lihai-lihai bukan main. Iapun menduga bahwa
tentu fihak tuan rumah ini merupakan keluarga yang berilmu tinggi, apa lagi mendengar bahwa si
jubah biru yang amat lihai ini menyebut kakek berjenggot panjang itu sebagai supek (uwa guru)!
Selagi ramai-ramainya mereka berkelahi, terdengar siulan nyaring dan nampak berkelebat
dua bayangan orang yang begitu tiba di situ terus menggerakkan tangan ke arah Pek Lian dan dua
gurunya. Angin pukulan yang dahsyat dan panas sekali membuat dara dan dua orang garunya ini
terkejut dan cepat meloncat jauh ke belakang. Kiranya yang datang adalah dua orang yang
rambutnya riap-riapan juga, yang seorang berjubah biru dan seorang lagi berjubah coklat. Si
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
jubah coklat ini usianya sudah enampuluh tahunan, rambutnya yang riap-riapan itu sudah
setengahnya putih, matanya berkilauan dan tajam sekali, wajahnya membayangkan kekerasan
hati. Dengan matanya yang tajam dia memandang kepada Pek Lian dan dua orang gurunya, lalu
berkata dengan suara mengandung ejekan, "Huh, kiranya Bu-suheng telah menjadi penakut dan
mengandaikan bantuan orang luar, he-he...... !"
"Bhong-sute, jangan menuduh sembarangan. Ketiga orang ini adalah tamu-tamu yang tidak
ada hubungannya sama sekali dengan urusan kita. Akan tetapi murid-muridmu yang tak tahu diri
dan menyerang mereka."
Jilid II
"SUDAHLAH," kata si baju coklat, "katakanlah murid-muridku salah, akan tetapi mereka
inipun tidak penting. Sekarang aku ingin minta dengan cara persaudaraan yang baik kepadamu,
Bu-suheng. Guruku ingin melihat pusaka yang diberikan oleh mendiang kakek guru kepada
mendiang supek, ayah suheng. Kata guruku, pusaka itu hanya hendak dipinjam sebentar, setelah
dipelajari akan dikembalikan kepadamu."
Kakek berjenggot panjang itu menghadapi tamunya yang bersikap kasar dengan tenang.
Kemudian terdengar dia berkata, suaranya tenang dan halus namun lantang dan mengandung
ketegasan,
"Bhong-sute, mendiang kakek guru adalah se-orang sakti yang bijaksana dan adil sekali. Di
an-tara, tiga orang muridnya,. masing-masing telah diberi sebuah pusaka, Mendiang ayahku
sebagai murid pertama menerima pemberian pusaka, demikian pula ji-susiok (paman guru ke dua)
yang menjadi gurumu, dan juga sam- susiok (paman guru ke tiga), masing-masing telah
menerima pemberian pusaka. Kenapa sekarang ji-susiok ingin memiliki pusaka yang telah
diberikan kepada mendiang ayahku dan telah diwariskan kepadaku ?"
"Tapi suhu hanya ingin meminjam sebentar, Bu-suheng."
"Sute, engkau tentu sudah tahu, dan demikian pula ji-susiok bahwa pusaka sama dengan
jiwa, tidak boleh dipinjam-pinjamkan."
"Ha-ha-ha, jiwa tidak boleh dipinjamkan akan tetapi bisa saja diambil!" Kakek berambut riapriapan
itu tertawa. "Mendiang sucouw kita tidak adil dalam pembagian itu, demikian kata suhu.
Kalau yang lain hanya diberi sebuah kitab pusaka, ternyata supek diberi dua kitab. Yang pertama
ada-lah rahasia ilmu tenaga dalam yang merupakan inti perguruan kita, juga supek masih diberi
kitab rahasia ilmu ketabiban. Padahal guruku hanya diberi rahasia ilmu silat perguruan kita dan
susiok hanya diberi rahasia ilmu ginkang kakek guru yang termasyhur itu. Nah, karena itu maka
guruku merasa curiga, jangan-jangan dalam kitab ilmu ketabiban itu diterangkan mengenai
kelemahan-kelemahan ilmu yang lain. Ini namanya tidak adil!"
"Sute, kita golongan muda tidak tahu sama se-kali akan hal itu. Pembagian itu adalah urusan
orang-orang tua. Kalau ji-susiok merasa tidak adil, kenapa tidak sejak dahulu mengurusnya
dengan mendiang sucouw, atau dengan mendiang ayahku?"
"Bu Kek Siang!" Si jubah coklat membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka
kakek jenggot panjang itu. "Ucapanmu sungguh menghina ! Dengan menyuruh suhu berurusan
dengan orang-orang yang sudah mati, bukankah itu berarti engkau menyuruh suhu mati ?
Keparat..., pendeknya serahkan kitab itu atau terpaksa aku akan melakukan kekerasan!"
Sepasang mata kakek berjenggot panjang itu berkilat karena diapun marah sekali. "Bhong
Kim Cu, jangan mengira bahwa aku takut akan ancamanmu. Sebelum tubuh ini menggeletak
tanpa nyawa, jangan harap untuk mendapatkan kitab pusaka kami !"
Orang yang bernama Bhong Kim Cu itu me-ngeluarkan suara gerengan seperti seekor
binatang buas dan diapun sudah menerjang ke depan, me-nyerang kakek berjenggot yang
bernama Bu Kek Siang itu. Kakek berjenggot itupun menyambut serangan ini dengan sikap tenang
dan merekapun sudah saling serang dengan hebat, masing-masing mengeluarkan pukulanpukulan
yang mengandung tenaga sinkang sedemikian hebatnya sehingga terasa angin
menyambar-nyambar di sekitar tempat itu.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Sementara itu si baju biru yang baru datang bersama Bhong Kim Cu itupun sudah maju dan
disambut oleh pemuda jangkung putera Bu Kek Siang dan merekapun ternyata memiliki
kepandaian seimbang sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru.
Ketika si baju biru yang pertama hendak maju Pek Lian membentak, "Mari kita lanjutkan
pertandingan kita !" dan iapun sudah menyambut dengan pedangnya. Akan tetapi, tiba-tiba dua
orang berbaju hijau telah menerjangnya dari kanan kiri sehingga terpaksa Pek Lian melayani
pengeroyokan dua orang ini. Sedangkan si baju biru telah menerjang dan disambut oleh
pengeroyokan Kini-suipoa dan Pek-bin-houw. Ternyata fihak penyerbu itu cerdik sekali. Tadinya
mereka tahu bahwa kepandaian nona berpedang itu tidak banyak selisihnya dengan kepandaian
dua orang pria yang menjadi tamu di tempat itu, maka untuk mengimbangi mereka, si jubah biru
lalu bertukar tempat dengan dua orang muridnya. Kini, si jubah biru menandingi pengeroyokan
dua orang kakek sedangkan nona itu yang dianggap lebih lihai dikeroyok oleh dua orang berjubah
hijau. Terjadilah pertempuran yang amat hebat di pekarangan rumah kuno itu.
Memang fihak penyerbu cerdik sekali. Setelah bertukar tempat, kini jelaslah bahwa
dikeroyok oleh dua orang jubah hijau, Pek Lian mulai terdesak Dua orang itu juga sudah
mengeluarkan senjata, yaitu keduanya mempergunakan semacam cambuk baja bergigi, semacam
joan-pian ak.an tetapi dibentuk mengerikan, seperti ekor ikan pi-hi yang panjang. Menghadapi
kedua orang lawan ini, Pek Lian terdesak dan terpaksa ia memutar pedangnya untuk melindungi
tubuhnya dari desakan dua buah senjata panjang yang berbahaya itu. Sedangkan Kim- suipoa dan
Pek-bin-houw sudah mainkan senjata pikulannya yang tak pernah terpisah dari tubuhnya itu, akan
tetapi si baju biru itu biarpun bertangan kosong, ternyata memiliki gerakan ilmu silat yang aneh
dan cepat sekali. Perobahan-perobahan gerakan kedua tangannya amat hebat dan juga gerakan
kedua kakinya gesit dan kadang-kadang si jubah biru ini berloncatan dan meni haritam dengan
tiba-tiba secara tidak terduga-duga, membuat kedua orang pendekar itu benar-benar kewalahan.
Sebaliknya, pertandingan antara pemuda jangkung dan jubah biru yang lain amat ramai,
sungguhpun perlahan-lahan si pemuda dapat mendesak lawan. Juga tuan rumah, yaitu kakek
jenggot panjang yang bernama Bu Kek Siang itu mulai dapat mendesak lawan. Si jubah coklat
yang bernama Bhong Kim Cu itu memang memiliki ilmu silat yang lebih hebat dari pada lawannya,
lebih cekatan dan perobahan pada gerakan tangannya amat aneh dan indah sehingga dia dapat
memperoleh lebih banyak kesempatan untuk melakukan serangan terhadap lawan. Namun jelaslah
bahwa dalam hal tenaga dalam, dia kalah oleh tuan rumah. Setiap kali mereka bertemu lengan,
tentu si jubah coklat itu terhuyung, dan dengan kelebihan tenaga dalam inilah fihak tuan rumah
dapat menahan lawan.
"Manusia-manusia tak tahu malu !" Tiba-tiba nampak dua bayangan berkelebat dan ternyata
seorang nenek dan seorang dara muda telah ber-loncatan keluar dan masing-masing membawa
sebatang pedang, lalu keduanya menerjang ke dalam medan pertempuran. Mereka tadi telah
melihat siapa yang perlu dibantu, maka dara cantik seperti bidadari tadi telah menggunakan
pedangnya membantu Pek Lian sehingga tentu saja dua orang berjubah hijau itu seketika berbalik
terdesak oleh dua orang dara cantik itu. Sedangkan nenek itupun segera menyerbu dan
membantu Kim-suipoa dan Pek-bin-houw. Gerakan pedangnya juga amat kuat sehingga si jubah
biru yang hanya lebih unggul sedikit saja menghadapi pengeroyokan dua orang pendekar itu, kini
menjadi terdesak hebat dan terus main mundur.
Melihat keadaan yang amat tidak menguntungkan ini, di mana semua anggauta fihaknya
terdesak dan kalau dilanjutkan tentu akan menderita kekalahan mutlak, Bhong Kim Cu lalu
mengeluarkan siulan nyaring dan meloncat mundur, diturut oleh semua muridnya dan tanpa
mengeluarkan kata-kata lagi, lima orang itupun melarikan diri dan menghilang ke dalam gelap.
Setelah semua lawan menghilang, kakek itu menarik napas panjang, lalu dia bersama
keluarganya, yaitu isterinya, puteranya dan puterinya, menghadapi Pek Lian dan dua orang
gurunya. Kakek itu menjura dan berkata dengan halus, "Kami sekeluarga menghaturkan terima
kasih atas bantuan nona dan ji-wi sicu."
Tentu saja Pek Lian dan dua orang gurunya menjadi kikuk sekali dan tergopoh-gopoh
mereka membalas penghormatan mereka. Kim-suipoa mewakili rombongannya berkata sambil
tersenyum ramah,
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Ah, harap cu-wi tidak bergurau ! Mana bisa dinamakan bahwa kami membantu cu-wi ?
Bahkan kalau tidak ada toanio dan siocia yang menolong, mungkin kami bertiga telah mati konyol
Kepandaian kami bertiga disatukan ini saja masih belum dapat menyamai kelihaian putera-puteri
locianpwe."
Ucapan ini bukan hanya merupakan sikap merendahkan diri saja, melainkan mengandung
kebenaran yang benar-benar merupakan pukulan dan kekecewaan bagi mereka bertiga. Mereka
kini baru sadar dan seolah-olah baru terbuka mata mereka bahwa kepandaian mereka yang
selama ini mereka anggap sudah cukup lihai, ternyata belum apa-apa. Berturut-turut mereka
bertemu dengan orang-orang yang amat lihai, yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari
pada mereka, membuat mereka merasa bodoh sekali.
"Sekarang kami mohon diri dan maafkanlah kalau kami bertiga tanpa sengaja telah
mengganggu cu-wi," kata pula Kim-suipoa dan mereka bertiga lalu menjura dan berpamit.
"Ah, malam telah mulai larut dan bulan bersem-bunyi di balik awan, malam akan gelap.
Sebaiknya kalau sam-wi bermalam saja di sini untuk malam ini," kata kakek Bu Kek Siang dengan
ramah.
"Maaf, kami tidak ingin mengganggu locianpwe lebih lama lagi," kini Pek-bin-houw berkata.
"Tidak ada yang mengganggu. Kalian boleh bermalam di sini, kecuali kalau kalian merasa
takut akan ancaman lawan terhadap tempat ini, tentu kami tidak dapat menahan kalian " kata
nenek itu pula.
Pek Lian mengerutkan alisnya dan ia menjawab, "Biarpun kami tidak mempunyai
kepandaian, namun kami tidak takut akan ancaman orang jahat! Kami dapat melawan sampai titik
darah terakhir untuk menentang kejahatan!"
Kakek berjenggot itu tersenyum menyaksikan semangat nona ini, dan pemuda jangkung
itupun lalu berkata, "Maafkan kalau tadi kami semua merasa curiga kepada nona dan paman
berdua. Akan tetapi, sekarang kami tahu bahwa paman berdua adalah Kim- suipoa dan Pek-binhouw,
dua orang pendekar terkenal di sepanjang lembah Huang-ho dan Yang-ce itu, bukan ?"
Dua orang itu terkejut dan menjura. ''Ah, sungguh pengetahuan kami dangkal bukan main,
Taihiap telah mengenal kami, sebaliknya kami sama sekali tidak pernah menduga akan bertemu
dengan orang-orang sakti yang sama sekali belum pernah kami kenal namanya. Maaf, maaf" kata
Kim-suipoa.
"Masuklah dan jadilah tamu kami untuk malam ini, dan kami akan memperkenalkan diri,"
kata kakek Bu Kek Siang dengan ramah. Kini tiga orang itu tidak berani menolak lagi, apa lagi
ketika dara yang cantik jelita dan manis sekali itu segera menggandeng tangan Pek Lian dan
berkata dengan manis,
"Enci, engkau gagah sekali, aku suka padamu !" Pek Lian juga tersenyum dan balas
merangkul. "Ah, tidak ada setengahnya kepandaianmu, adik yang manis."
Merekapun beramai-ramai memasuki rumah itu dan di bawah penerangan beberapa buah
lilin, karena keluarga itu tidak berani membuat terlalu banyak penerangan, tiga orang tamu ini lalu
dijamu dengan makanan malam sederhana. Namun, kesederhanaan jamuan dan sikap fihak tuan
rumah yang amat ramah itu cukup menggembirakan para tamu itu dan sebentar saja mereka telah
berkenalan dengan akrab sekali. Terutama sekali Pek Lian yang segera menjadi sahabat baik dari
dara yang bernama Bu Bwee Hong itu.
Dalam percakapan mereka, Bu Seng Kun, pemuda jangkung itu, mewakili keluarganya
menceritakan keadaan keluarga Bu. Ayahnya bernama Bu Kek Siang, seorang pewaris ilmu tinggi
sekali namun yang tidak suka akan ketenaran nama sehingga sampai bertahun-tahun mereka
sekeluarga itu tinggal di rumah kuno di tempat sunyi ini, tanpa mencampuri urusan dunia karena
menurut ayahnya, dunia sedang kacau dan negeri dikuasai oleh orang-orang yang suka menindas
rakyat demi mencapai keinginan mereka untuk menyenangkan diri mereka sendiri. Seperti juga
suaminya, nyonya Bu pandai ilmu silat pula, terutama memiliki ginkang yang mengagumkan.
Suami isteri pendekar yang mengasingkan diri ini mempunyai dua orang anak, yaitu Bu Seng Kun
yang kini telah berusia duapuluh tahun dan Bu Bwee Hong yang cantik jelita dan manis seperti
bidadari itu, yang telah berusia delapanbelas tahun. Mereka berdua mewarisi ilmu-ilmu silat ayah
mereka, dan juga ilmu ketabiban. Biarpun mereka berdua tinggal di dalam hutan dan hanya
berhubungan dengan peng-huni dusun di sekitarnya, dan jarang pergi me-ngunjungi kota, namun
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
keduanya terdidik baik sekali dalam hal kesusasteraan oleh ayah mereka sendiri. Di rumah gedung
yang kuno dan besar itu, mereka mempergunakan tenaga beberapa orang dusun sebagai pelayan,
akan tetapi semenjak datang gangguan-gangguan itu beberapa hari yang lalu, semua pelayan
disuruh pulang ke dusun agar mereka itu tidak ketakutan dan tidak perlu terancam bahaya karena
keluarga mereka.
"Kalau boleh kami mengetahui, keluarga locianpwe ini dari perguruan manakah ?" Kimsuipoa
memberanikan diri bertanya sedangkan yang lain-lain yang juga hadir di situ hanya
mendengarkan saja. Pek Lian duduk di dekat Bwee Hong dan mereka itu nampak akrab sekali.
Kakek Bu Kek Siang menarik napas panjang. "Biarpun kami tidak pernah memperkenalkan
diri, namun agaknya sam-wi pernah mendengar nama kakek guruku. Kurang lebih seratus tahun
yang lalu, di dunia persilatan terdapat dua orang tokoh yang dianggap sebagai datuk golongan
pendekar atau golongan putih, dan dua orang datuk golongan hitam atau kaum sesat. Apakah jiwi
sicu mengenal nama mereka itu ?" tanyanya kepada Kim-suipoa dan Pek-bin-houw. Dua orang
ini saling pandang dan cepat mengangguk.
"Kalau kami tidak salah, dua orang datuk go-longan putih itu adalah Sin-yok-ong (Raja Tabib
Sakti) yang dipuja sebagai datuk di selatan, dan ke dua adalah Sin-kun Bu-tek (Tangan Sakti
Tanpa Tanding) yang menjadi datuk di utara. Sedangkan dua orang datuk kaum sesat itu kalau
tidak salah adalah Cui-beng Kui-ong (Raja Iblis Pengejar Roh) yang mendirikan Tai-bong-pai, dan
yang ke dua adalah Kim-mou Sai-ong (Raja Singa Bulu Emas) pendiri dari Soa- hu-pai. Benarkah
?"
Kakek itu mengangguk-angguk dan mengacungkan jempolnya. "Ternyata ji-wi mempunyai
pengetahuan yang cukup luas. Nah, agaknya, jarang ada yang tahu karena memang murid- murid
beliau tidak pernah menonjolkan diri. Akan tetapi, mendiang Sin-yok-ong mempunyai tiga orang
murid. Yang pertama adalah mendiang ayahku, dan masih ada dua orang lagi, yaitu ji-susiok
(paman guru ke dua) dan sam-susiok (paman guru ke tiga). Nah, mereka yang datang tadi adalah
murid-murid atau para pengikut dari ji-susiok."
"Ah....... !" Kim-suipoa berseni kaget dan heran. "Maaf, locianpwe. Kiranya keluarga
locianpwe adalah keluarga yang mewarisi ilmu dari seorang yang terpandai di antara empat tokoh
besar itu seperti yang pernah saya dengar dari guru saya. Akan tetapi, locianpwe Sin-yok-ong
terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang budiman, dan kami tidak heran melihat locianpwe
sebagai keturunan beliau. Hanya anehnya, mengapa para murid- murid dari ji-susiok lociannwe
tadi seperti itu sikapnya seolah-olah maaf, seolah-olah mereka itu dari golongan sesat saja ?"
Kembali kakek itu menarik napas panjang. "Nyatanya memang demikianlah. Mereka
berjumlah tigapuluh orang, termasuk ji- susiok. Ji-susiok sendiri berjubah hitam, mempunyai dua
orang murid berjubah coklat, dan setiap orang murid itu mem-punyai masing-masing dua orang
murid berjubah biru, yang berjubah biru masing-masing mempunyai dua orang murid berjubah
hijau dan yang berjubah hijau masing-masing mempunyai dua orang murid berjubah kuning. Jadi
jumlah keseluruhannya tigapuluh satu yang merupakan tenaga inti dari perguruan ji-susiok. Para
pelayan dan penjaga adalah orang-orang biasa yang tidak termasuk murid perguruan itu."
"Tapi, kalau locianpwe Sin-yok-ong terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang budiman,
bagaimana muridnya."
"Tak perlu diherankan, sicu. Apakah seorang guru itu dapat menentukan watak atau cara
hidup muridnya, apa lagi kalau guru itu sudah meninggal dunia ? Tidak. Watak dan cara hidup
seseorang hanya ditentukan oleh si orang itu sendiri, dan mungkin saja keadaan sekelilingnya
amat mempe-ngaruhinya. Oleh karena itu, kami lebih senang tinggal di tempat sunyi, bergaul
dengan kembang-kembang, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang hutan. Atau paling banyak
kami bergaul dengan orang-orang gunung dan dusun yang masih bersih dan polos batinnya."
Dua orang pendekar itu mengangguk dengan penuh kekaguman. "Locianpwe adalah pewaris
dari mendiang Raja Tabib Sakti, sungguh kami merasa berbahagia sekali dapat kesempatan
berjumpa dengan locianpwe sekeluarga," kata Pek-bin-houw.
"Tidak biasa kami memperkenalkan diri, dan kalau kami menceritakan keadaan kami kepada
sam-wi, adalah karena sam-wi telah mendengar akan semua urusan tadi. Harap sam-wi suka
menyimpan rahasia kami ini dan tidak menceritakan kepada orang-orang luar, karena kami tidak
suka akan banyak urusan."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Para tamu itu menyatakan kesanggupannya dan fihak tuan rumah lalu mempersilahkan para
tamunya beristirahat di dalam kamar tamu yang banyak terdapat dalam rumah besar itu. Akan
tetapi Pek Lian menolak dan berkata, "Bagaimana kami dapat tidur kalau keluarga tuan rumah
terancam bahaya? Tidak, saya akan bergadang dan ikut menjaga kalau-kalau ada fihak penjahat
yang berani datang lagi. Sungguh tidak enak kalau selagi kami tidur, fihak tuan rumah sibuk
menghadapi serbuan lagi."
"Wah, enci, kami jadi merepotkan engkau saja, bukankah kau datang untuk beristirahat dan
bukan untuk berjaga ?" Bwee Hong mencela sambil tertawa.
"Tapi sekarang kita sudah berkenalan dan tak dapat dikatakan tamu orang luar. Biarlah aku
akan menemanimu dan kalau ada bahaya, biarpun aku bodoh, aku akan menyumbangkan
tenagaku dan aku tidak takut mati di tangan penjahat untuk membela kebenaran !" Ucapan ini
juga sambil tertawa, akan tetapi pandang mata yang tajam dari kakek berjenggot itu dapat
menyelami hati dara itu dan diam-diam dia merasa kagum.
"Bagus, engkau sungguh seorang berdarah pendekar, nona. Baiklah kalau begitu, akan
tetapi kami belum banyak mendengar tentang dirimu. Ceritakanlah sedikit tentang keluargamu."
Ditanya demikian, tiba-tiba Pek Lian menundukkan mukanya dan wajahnya yang tadinya
bersemangat dan terang itu menjadi muram dan sampai lama ia tidak mampu menjawab.
Terbayanglah kembali ia kepada ayahnya dan hatinya menjadi berduka sekali. Tak dapat
ditahannya lagi, kedua matanya menjadi basah dan ia menahan turunnya air mata dengan
memejamkan kedua matanya. Melihat ini, Bu Kek Siang mengerutkan alisnya. Baru saja dia kagum
menyaksikan kegagahan dan semangat dara ini dan sekarang dia harus melihatnya menjadi
wanita yang cengeng! Dia merasa kecewa dan mengira bahwa dia telah salah menilai orang.
Sementara itu, Kim- suipoa lalu berkata dengan suaranya yang ramah,
"Locianpwe, harap maafkan nona Ho yang dilanda kedukaan. Agaknya sukar baginya untuk
menceritakan keadaannya dan karena kita telah saling berkenalan, kiranya tidak ada salahnya
kalau saya menceritakan keadaannya. Bolehkah, Ho-siocia ?"
"Silahkan, suhu...... " kata Pek Lian dengan suara lirih dan gemetar. Semua anggauta
tuan rumah heran mendengar betapa Kim-suipoa menyebut nona kepada dara itu dan sebaliknya
dara itu menyebut suhu.
Kim-suipoa lalu menceritakan keadaan keluarga Ho yang mengalami bencana di tangan
kaisar itu. Menteri Kebudayaan Ho Ki Liong adalah seorang duda, dalam arti kata, isterinya yang
pertama, yaitu ibu Pek Lian, telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu karena penyakit. Kini
Menteri Ho tinggal bersama dua orang selirnya, dua orang adik perempuan dan seorang ipar
bersama para keponakan dan pelayan-pelayan. Ketika Menteri Ho terkena musibah itu, seluruh
keluarganya ditangkap dan dijebloskan penjara, dan hanya Ho Pek Lian seoranglah yang berhasil
meloloskan dirinya. Kemudian Kim-suipoa menceritakan usaha mereka untuk membebaskan
Menteri Ho dan betapa mereka bertanding melawan seorang tokoh dari Soa-hu-pai yang berjuluk
Pek-lui-kong, dan betapa dalam keadaan hampir berhasil, Menteri Ho sendiri yang mencegah
mereka dan menyuruh mereka pergi. Betapa kemudian mereka bertiga yang menuju ke Puncak
Awan Biru di Fu-niu-san, mengambil jalan darat dan kemalaman serta tersesat sampai ke tempat
itu.
"Penasaran...... !!" Tiba-tiba terdengar Bu Seng Kun menghantamkan tangan kanan ke
telapak ta-ngan kiri sendiri sehingga mengeluarkan bunyi ke-ras dan mengejutkan semua orang.
Pemuda ini bangkit berdiri, wajahnya yang tampan itu kelihatan merah padam. "Bagaimana
negara dan bangsa kita dipimpin oleh seorang kaisar yang begitu laknat ? Kami sudah mendengar
tentang ratusan ribu rakyat yang dipaksa membangun Tembok Besar dan ratusan ribu orang
tewas. Kini kaisar malah membakari kitab-kitab Nabi Khong Cu dan mem-bunuhi para sasterawan !
Sungguh, nama besar Menteri Ho yang membela kaum sasterawan dan berani menentang kaisar
sampai berkorban keluarga patut dijunjung tinggi, akan tetapi mengapa membiarkan diri mati
penasaran ?" Dia duduk kembali dan berkata dengan marah, "Kelaliman, dari siapapun juga
datangnya, harus ditentang !'
Sunyi dan hening sejenak setelah pemuda itu mengeluarkan perasaannya melalui kata-kata
keras. Kemudian terdengar suara kakek Bu Kek Siang yang halus, mendinginkan suasana yang
panas itu,
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Seribu kepala seribu pendapat dan seribu hati seribu selera ! Seng Kun, engkau harus
dapat menghargai pendapat dan selera lain orang. Karena engkau masih muda dan berdarah
panas maka engkau tidak dapat mengerti mengapa Menteri Ho yang budiman itu menolak
puterinya menyelamatkannya. Kalau beliau dipaksa dan dibebaskan, hal itu hanya akan
menghancurkan hati beliau dan beliau akan merasa terhina sekali." .
"Tapi...... !" Pek Lian yang merasa cocok dengan pendapat Seng Kun tadi hendak
membantah, akan tetapi lengannya disentuh oleh gurunya.
"Nona, ayahmu yang mulia itu adalah seorang patriot sejati, seorang pendekar besar yang di
da-lam bidangnya sendiri telah berbakti kepada negara dan bangsa, sama sekali bukan kepada
kaisar lalim. Beliau sengaja menentang kaisar, sengaja membiar-kan dirinya ditangkap agar semua
mata para pen-dekar terbuka. Beliau memberi contoh untuk melawan kaisar dengan taruhan
nyawa. Beliau juga memberontak kepada kaisar, akan tetapi bukan de-ngan cara kasar dari orangorang
golongan bu (silat) seperti kita. Beliau menentang dan membe-rontak dengan cara halus,
akan tetapi hasilnya ti-dak kalah besarnya. Kaisar akan nampak semakin buruk dalam pandangan
kaum patriot sehingga hal itu akan menambah kekuatan mereka yang menentang kaisar. Ayahmu
memiliki kegagahan dan keberanian menentang maut, lebih besar dari pada kita menentang maut
dengan pedang di tangan ! Aku amat menghormatinya, nona."
Setelah mengenal Pek Lian sebagai puteri Menteri Ho dan dua orang guru nona itu sebagai
para pendekar patriot yang membantu Liu Pang, bengcu yang amat terkenal dan dihormati oleh
semua orang gagah itu, hubungan antara tamu dan tuan rumah menjadi semakin akrab. Mereka
lalu melakukan penjagaan dan perondaan dilakukan secara bergilir. Pek Lian bersama Bwee Hong
berada di dalam kamar nona rumah itu, bercakap-cakap dan kemudian mereka mengaso dengan
duduk bersila dan melakukan siulian. Bagi orang-orang yang telah mempelajari ilmu silat tinggi
seperti mereka, tidak tidurpun tidak menjadi persoalan dan mereka cukup duduk bersila
membiarkan tubuh mereka dan pikiran mereka beristirahat, namun kesadaran mereka masih ada
dan biarpun mereka seperti dalam keadaan tidur, namun sedikit perobahan keadaan saja sudah
cukup untuk membuat mereka sadar. Mereka tetap waspada. Kakek Bu bersama isterinya juga
beristirahat di dalam kamar mereka. Kim-suipoa duduk bersila seorang diri di ruangan tengah,
sikapnya penuh kewaspadaan. Pek-bin-houw dan Bu Seng Kun tadinya juga berjaga di situ, akan
tetapi mereka berdua lalu melakukan perondaan di sekitar tempat itu dengan hati-hati dan
waspada sekali. Sambil meronda, Pek-bin-houw yang merasa amat tertarik oleh keluarga yang
menjadi pewaris ilmu dari tokoh datuk yang hidup seabad yang lalu, yaitu Sin-yok-ong itu,
mengajak si pemuda untuk membicarakan soal perguruannya.
"Saya pernah mendengar bahwa seabad yang lalu, nama Sin- yok-ong merupakan nama
yang amat hebat dan terkenal di seluruh dunia sebagai tokoh yang paling lihai di antara datukdatuk
lainnya yang pernah ada."
"Menurut keterangan ayah memang ada benarnya demikian. Akan tetapi sesungguhnya ilmu
silat empat orang datuk itu, dua dari golongan putih dan dua dari golongan hitam, berimbang
tingkatnya. Hanya karena sucouw Sin-yok-ong itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh)
yang hampir dikatakan sempurna, maka beliau mempunyai kelebihan dari pada yang lain, dan
agaknya itulah kemenangannya. Sayang bahwa kami sekeluarga tidak mewarisi ginkang yang
hebat itu," kata Bu Seng Kun.
"Menurut kata-kata Bhong Kim Cu si jubah coklat itu, keluargamu menerima dua macam
ilmu, taihiap."
Bu Seng Kun menarik napas panjang. "Menurut penuturan ayah, di antara tiga orang murid
beliau, tidak ada yang memiliki bakat hebat seperti beliau sehingga tidak ada yang dapat
menguasai semua ilmu dari sucouw Sin-yok-ong itu. Maka agar adil, sucouw lalu membagi bagi
ilmunya, disesuaikan dengan bakat masing- masing. Kakekku, sebagai murid pertama, menerima
pusaka tentang latihan tenaga dalam. Murid ke dua menerima kitab pusaka tentang ilmu-ilmu silat
dari sucouw dan rahasia-rahasianya, sedangkan murid yang termuda menerima kitab pusaka
tentang ilmu ginkang beliau yang hebat itu."
"Sayang bahwa kepandaian yang hebat dari mendiang Sin- yok-ong harus dibagi-bagi seperti
itu. Akan tetapi keluarga taihiap selain menerima pusaka, tentang Iweekang, juga memperoleh
pusaka ilmu pengobatan."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Benar, akan tetapi justeru ilmu ini sekarang akan dijadikan rebutan dan karenanya
memecah-belah persaudaraan seperguruan," kata si pemuda) dengan suara menyesal sekali.
"Lalu di manakah murid termuda yang ahli ginkang itu kini?" Pek-bin-houw merasa amat
tertarik.
"Entahlah, seiak kakekku meninggal beliau tidak pernah terdengar lagi berada di mana. Ilmu
ginkangnya, menurut ayah, amat hebat, bahkan tidak kalah hebatnya dengan ilmu ginkang yang
pernah dimiliki oleh sucouw Sin-yok-ong sendiri."
"Ah, bukan main ! Saya kira di dunia ini tidak ada lagi orang yang dapat menyamai
kesempurnaan ginkang dari Sin-yok-ong seperti yang pernah saya dengar dari guru saya."
"Paman keliru," bantah Bu Seng Kun. "Pada jaman sucouw itu, masih ada seorang lagi dari
golongan hitam yang malang- melintang di utara dan selatan. Dia ini memiliki ginkang yang boleh
dibilang setingkat dengan sucouw, biarpun ilmu silatnya tidak setinggi tingkat keempat orang
datuk itu. Tokoh ini amat terkenal, terutama di dunia kang-ouw, di kalangan liok-lim dan bahkan
ditakuti oleh pemerintah pada waktu itu. Nama julukannya adalah Bit-bo-ong (Raja Kelelawar)."
"Ah, saya pernah mendengar tentang Raja Kelelawar itu. Seperti dalam dongeng saja dan
tidak saya sangka bahwa benar- benar ada orangnya. Kabarnya, tokoh ini menguasai semua
golongan hitam, baik dari para pencopet paling kecil sampai maling, perampok, tukang tadah,
penjudi dan tempat pelacuran semua dikuasainya. Katanya ilmu silatnya juga hebat sekali. Dia
dijuluki Raja Kelelawar karena keluarnya hanya di malam hari, tidak pernah keluar di siang hari.
Benarkah itu ?"
"Kabarnya demikian menurut cerita ayah. Yang sungguh menyedihkan, kalau dulu sucouw
amat terpandang sebagai datuk para pendekar sedangkan Raja Kelelawar sekalipun tidak berani
main-main di depannya. Akan tetapi murid-muridnya membuat perguruan menjadi terpecah-belah,
dan sekarang malah paman kakek guru ke dua mengirim murid-muridnya untuk memaksa ayah
menyerahkan kitab pusaka yang menjadi hak milik ayah. Sungguh membikin hati penasaran dan
menyesal sekali. Mengapa bermusuhan antara saudara seperguruan sendiri sehingga hanya
menimbulkan kelemahan di antara saudara sendiri ?"
Pek-bin-houw menarik napas panjang. Dia sudah banyak pengalaman dan tidak merasa
heran. Betapapun tinggi kedudukan seorang manusia, betapapun pandainya dia, selama sang aku
masih menguasai diri, sang aku yang selalu mengejar kelebihan, sudah pasti hidup ini menjadi
arena persaingan, permusuhan dan kebencian, Dia adalah orang luar, tidak berhak mencampuri
urusan keturunan datuk sakti itu. Akan tetapi, melihat betapa sikap Bu Seng Kun demikian polos,
demikian terbuka terhadap dirinya, diapun merasa tidak enak kalau hanya diam saja.
"Bu-taihiap, sungguh patut disayangkan bahwa ilmu-ilmu dari mendiang kakek buyut
gurumu itu, Sin-yok-ong locianpwe, telah terpecah-pecah dan terbagi-bagi sehingga tentu saja
menjadi berkurang kelihaiannya. Siapa tahu kalau-kalau usaha peminjaman pusaka itu bermaksud
untuk mempersatukan kembali ilmu-ilmu yang tercecer-cecer itu ? Apakah tidak pernah taihiap
mempunyai minat untuk mempelajari semua ilmu keturunan perguruan taihiap, dengan jalan
mempersatukan dan saling mempelajari dengan ilmu- ilmu yang terjatuh kepada murid-murid
yang lain ?"
"Ahhh ...... !" Bu Seng Kun terbelalak dan berteriak kaget. "Benar juga kata-katamu, paman
! Kenapa keluarga kami tidak berpikir sejauh itu ? Bukankah lebih baik kalau kami memberikan
kitab itu dan sebaliknya meminjam pusaka mereka dan kami saudara-saudara seperguruan saling
mempelajarinya sehingga kami semua dapat mewarisi seluruh ilmu dengan lengkap ?"
Pek-bin-houw tersenyum. "Sebuah pikiran yang baik sekali, Bu-taihiap. Akan tetapi, melihat
sikap mereka, agaknya mereka itu tidak dapat di-golongkan pendekar-pendekar dan mungkin saja
akan bertindak curang. Bagaimanapun juga, sebaiknya kalau taihiap memperbincangkannya dengan
ayah taihiap."
Mereka terus meronda dan bulan sudah naik tinggi. Keadaan amat sunyi sekali. Sunyi yang
mengerikan karena mereka masih menduga akan adanya ancaman pihak yang tidak beritikad baik
terhadap keluarga Bu.
Tiba-tiba saja keadaan menjadi terang-benderang di daerah hutan itu. Kiranya awan tipis
yang tadinya lewat dan menghalangi sinar bulan, kini lenyap dan bersih terbawa angin. Langit
nampak terang dan bulan tidak terhalang apapun se-hingga dapat menjatuhkan sinarnya ke bumi,
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
se-penuhnya. Pek-bin-houw dan Bu Seng Kun yang mengadakan perondaan, tiba di tepi hutan.
Keadaan tetap amat sunyi dan tiba - tiba terdengar bunyi gonggong anjing dari jauh. Bukan
seperti anjing menggonggong ke arah bulan purnama, dengan suara yang menyayat hati, seolaholah
anjing yang menggonggong bulan itu menjadi berduka dan menangis, melainkan gonggong
anjing pelacak!
"Sungguh aneh, suara itu bukan suara anjing hutan," kata Bu Seng Kun, "dan setahuku, di
sini tidak ada anjing jinak peliharaan orang."
Akan tetapi, Pek-bin-houw memegang lengannya dan menarik pemuda itu menyelinap di
balik sebatang pohon besar yang gelap dalam bayangan daun-daun lebat. Hidung pendekar tua itu
bergerak mencium-cium seperti hidung anjing pelacak pula.
"Mereka datang...... " bisik kakek itu dan mukanya berobah pucat.
"Apa...... ? Siapa..... ?" Seng Kun bertanya, heran sekali melihat kakek pendekar yang gagah
perkasa itu nampak seperti orang ketakutan.
"Ssttt...... tunggu dan lihatlah..." kata kakek itu.
Pemuda itu kini dapat pula mencium bau harum. Namun dia masih belum mengerti. Dan tak
lama kemudian, terdengar lagi gonggong anjing bahkan suaranya ada beberapa ekor. Kemudian
muncullah empat orang yang memikul sebuah keranjang bambu yang besar dan panjang. Pek-binhouw
memandang kepada rombongan orang itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Memang keadaan mereka itu amat memeramkan. Pakaian mereka putih-putih dan wajah mereka
yang tertimpa sinar bulan itu nampak pucat seperti muka mayat, muka orang yang jarang terkena
sinar matahari rupanya. Mereka semua ada delapan orang, empat orang memikul keranjang dan
empat orang lagi menjaga di kanan kiri. Empat ekor anjing hitam, putih, coklat dan belang
berjalan bersama rombongan ini, kadang-kadang di belakang kadang- kadang mendahului di
depan. Anjing-anjing biasa saja, tidak terlalu besar, namun mereka itu nampak liar dan ganas.
Setelah tiba di luar hutan, delapan orang itu berhenti, dengan hati-hati empat orang pemikul
keranjang bambu itu menurunkan keranjang dan seorang di antara empat yang lain, yang
suaranya nyaring halus mengandung wibawa yang menyeramkan, berkata, "Kita telah sampai di
tempat yang dituju. Kalian harus berhati-hati. Suhu bilang bahwa ilmu silat keturunan locianpwe
Sin-yok-ong amat lihai. Biarlah kita berhenti di sini dulu, nanti setelah lewat tengah malam kita
mengetuk pintu."
Sementara itu, Bu Seng Kun yang memandang penuh perhatian, tidak juga mengenal siapa
adanya orang-orang aneh yang berpakaian putih dan bermuka pucat itu. Melihat bahwa agaknya
kakek Pek-bin-houw mengenal mereka, maka diapun berbisik lirih bertanya.
"Ah, apa kau tidak dapat menduga, taihiap ? Mereka itu jelas adalah orang-orang dari
Kuburan Besar, iblis-iblis dari Tai-bong-pai !"
Kini Seng Kun terkejut sekait dan memandang ke arah rombongan erang yang berhenti agak
jauh dari situ dengan penuh perhatian. Tentu saja dia sudah mendengar banyak tentang Taibong-
pai. Nama Tai-bong-pai muncul pada jaman kakek buyut gurunya, kira-kira seabad yang lalu.
Karena agaknya Pek-bin-houw tahu banyak tentang partai ini, maka dia bertanya lagi,
"Paman, benar - benar hebatkah mereka itu ?"
"Mereka mengerikan!" kata Pek - bin - houw lirih. "Akan tetapi kenapa mereka itu datang ke
sini ? Padahal, mereka hampir tidak pernah keluar dari sarang mereka, yaitu sebuah kuburan kuno
yang amat luasnya, yaitu bekas kuburan para bangsawan di jaman dahulu dan yang letaknya jauh
di daerah barat melalui Gurun Go-bi. Kuburan di bawah tanah itu berisi kamar-kamar seperti
sebuah istana dengan benteng yang kuat dan luas. Seratus tahun lebih yang lalu, tempat ini
dimanfaatkan oleh seorang datuk iblis yang membuat jalan-jalan terowongan antara makammakam
itu dan dijadikan sarang, turun-temurun sampai sekarang."
Seng Kun mengangguk-angguk kagum. "Iblis-iblis Tai-bong- pai ini mudah diketahui karena
kemunculan mereka tentu membawa bau dupa dari tubuhnya apa bila mereka berkeringat. Akan
tetapi mereka itu jarang sekali keluar sehingga keadaan mereka tidak dikenal orang."
"Paman, mari kita keluar dan kita temui mereka. Mereka tiba di daerah kami, perlu kutanya
apa maksud mereka mengunjungi kami di tengah malam begini," kata Seng Kun.
Selagi Pek-bin-houw meragu karena maklum betapa berbahayanya bertemu dengan iblis-iblis
atau kawanan Tai-bong- pai itu, tiba-tiba ada anjing menggonggong di dekat mereka. Tentu saja
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
anjing-anjing itu dengan mudah dapat menemukan terapat persembunyian mereka dan kini empat
ekor anjing pelacak itu sudah mengurung mereka dan menggonggong dengan ribut sekali.
Melihat keadaan anjing-anjing mereka itu, seorang di antara delapan orang aneh itu sekali
menggerakkan kakinya sudah mencelat dan tiba di depan Seng Kun dan Pek-bin-houw yang
terpaksa harus keluar dari tempat persembunyian mereka.
"Orang-orang jahat, keluarlah dari tempat per-sembunyian kalian untuk menerima
hukuman!" kata orang Tai-bong-pai itu yang ternyata adalah si pemimpin yang bersuara nyaring
tadi. Muka orang ini pucat sekali, pakaiannya putih-putih seperti orang dalam keadaan berkabung,
dari mori kasar dan berlengan pendek. Rambutnya digelung ke atas dan keadaannya amat
sederhana, agaknya disesuaikan dengan keadaan orang berkabung. Di tengah dahinya terdapat
sebuah benjolan sebesar kacang yang berwarna merah, membuat wajahnya nampak lebih
menyeramkan lagi.
Pek-bin-houw melangkah maju dan memandang kepada orang itu, lalu berkata tenang dan
sabar, "Harap saudara jangan sembarangan memaki orang sebagai orang jahat. Sebaliknya
kalianlah yang datang di tempat orang di malam buta, sungguh amat mencurigakan."
"Nanti dulu, apakah engkau keturunan dari Raja Tabib Sakti ?" tanya orang itu.
Tentu saja Pek-bin-houw menggeleng kepalanya. Bukan, aku . . . . . ."
"Tak perduli engkau siapa, kalau bukan ketu-runan Raja Tabib Sakti, engkau harus mati
karena telah melihat kami!" Berkata demikian, orang ber-pakaian putih itu sudah menyerang Pekbin-
houw dengan tamparan kedua tangan dari kanan kiri!
"Plak-plak-plak-plakk ! !" Empat kali Pek-bin-houw diserang dan empat kali dia menangkis
dengan pengerahan tenaga, akan tetapi ternyata orang itu kuat sekali dan sama sekali tidak
terdorong oleh tangkisan-tangkisannya, bahkan dia sendiri merasa betapa kedua lengannya
tergetar hebat ! Bukan main, pikirnya. Kembali dia telah bertemu dengan orang yang amat lihai,
yang agaknya memiliki tingkat kepandaian tidak kalah tinggi dari pa-danya. Dan orang berpakaian
putih itupun agaknya penasaran karena empat kali serangannya berturut-turut dapat dihindarkan
lawan, maka dia mendesak terus dengan pukulan-pukulan yang semakin lama menjadi semakin
dahsyat. Pek-bin-houw mengelak, menangkis dan balas menyerang, namun dia segera terdesak
oleh lawan yang memiliki gerakan silat yang luar biasa anehnya itu. Terutama sekali bau dupa
harum itu membuatnya agak muak dan pening.
Melihat keadaan Pek-bin-houw yang terdesak itu, Bu Seng Kun menjadi tidak tega, marah
dan penasaran. "Berhenti!" teriaknya sambil meloncat ke depan. "Tamu dari manakah yang berani
kurang aturan mengacau daerah kami ?"
Si muka pucat itu menghentikan serangannya dan memandang kepada Bu Seng Kun.
"Apakah engkau keturunan Raja Tabib Sakti ?"
'Benar, aku adalah anggauta keluarga Bu !"
"Maafkan kami !" Orang itu lalu menjura dengan hormatnya kepada Bu Seng Kun. "Karena
tidak tahu, kami telah membikin ribut." Dan tujuh orang temannya semua menjura kepada Bu
Seng Kun dengan sikap hormat sekali.
Tiba - tiba terdengar seruan kaget dari Pek-bin-houw. Ujung lengan bajunya terkena noda
merah seperti terkena darah, padahal dia sama sekali tidak merasa telah terluka dalam
perkelahian tadi. Keringatnya yang keluar di lengan telah bercampur darah ! Dengan mata
terbelalak dia memandang kepada bekas lawannya. "Kau...... kau menggunakan ilmu siluman
apakah ?" tanyanya gagap karena dia teringat akan ilmu-ilmu aneh dari Tai-bong-pai yang pernah
didengarnya di dunia kang-ouw.
Si muka pucat itu memandang kepada Pek-bin-houw, sikapnya sama sekali berbeda dengan
sikapnya ketika dia menghadapi pemuda she Bu itu.
Terdengar dia mendengus, lalu berkata, "Hemm, ilmu itu belum kukeluarkan semua. Kalau
tadi di-lanjutkan, sebentar kemudian engkau akan meng-geletak di sini tanpa darah setetespun di
tubuhmu lagi, semua akan keluar membasahi tempat ini."
"Ilmu ...... ilmu penghisap darah...... !" Pek-bin-houw berseru kaget dan mukanya menjadi
pucat. Dia memandang kepada lengannya dan melihat betapa di setiap pori-pori lengan yang
bajunya disingkapkannya itu nampak butiran-butiran darah keluar bersama keringat.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Berterimakasihlah kepada Bu-kongcu karena kalau tidak ada Bu-kongcu yang menghentikan
pertempuran tadi, engkau tentu sudah menjadi mayat tanpa darah. Melihat muka tuan rumah
yang kami hormati, biarlah kuberi obat kepadamu."
"Tidak perlu!" kata Bu Seng Kun. "Paman ini adalah tamuku, maka akulah yang wajib
menolong-nya." Pemuda ini mengeluarkan sebutir pel merah dan memberikannya kepada Pek-binhouw.
Paman, telanlah pel ini."
Pek-bin-houw menjadi girang, menerima pel itu dan menelannya. Hal ini dilihat oleh delapan
orang kawanan Tai-bong- pai itu dengan pandang mata kagum. Mereka agaknya sudah tahu akan
kelihaian tuan rumah dalam ilmu pengobatan, maka mereka merasa kagum sekali betapa hanya
dengan sebutir pel saja, maka seketika darah yang keluar dari lubang-lubang lengan bersama
keringat itu seketika berhenti!
"Siapakah kalian ?" Bu Seng Kun bertanya. "Be-narkah dugaan kami bahwa kalian adalah
para anggauta Tai-bong-pai ?"
Delapan orang itu menjura dengan hormat, dan pemimpin mereka yang tadi melawan Pekbin-
houw menjawab, "Tidak keliru dugaan Bu-kongcu. Harap dimaafkan kalau kami mendatangkan
keributan, akan tetapi kami perlu sekali untuk menghadap keturunan Raja Tabib Sakti yang kalau
tidak salah bernama Bu Kek Siang taihiap dan tinggal di sini."
"Beliau adalah ayahku. Kalau kalian hendak bertemu dengan keluarga kami, mengapa
datang malam-malam ?"
"Maaf, kongcu, akan tetapi kami tidak pernah keluar pada siang hari!" Orang itu berkata dan
agaknya merasa heran dan penasaran. Teringatlah Seng Kun akan kebiasaan yang luar biasa dari
kawanan Tai-bong-pai, yaitu mereka hanya keluar di malam hari saja. Maka, maklum bahwa
mereka itu tentu mempunyai urusan penting sekali dan kalau dia berdua dengan Pek-bin-houw
saja yang harus melayani delapan orang ini, tentu keadaannya akan berbahaya sekali.
"Kalau begitu, marilah kalian ikut bersamaku menghadap ayah."
Beramai merekapun mengikuti Bu Seng Kun menggotong lagi keranjang bambu itu. Pek-binhouw
berjalan mengikuti mereka dari belakang, diam-diam menduga-duga apa gerangan isi
keranjang bambu yang dipikul dengan amat hati-hati oleh empat orang itu. Dia, sudah banyak
mendengar akan kekejaman orang-orang aneh dari Tai-bong-pai yang terdiri dari golongan sesat,
maka diapun merasa curiga dan menduga bahwa kedatangan mereka ini tentu membawa niat
yang kurang baik.
Bu Seng Kun membawa para tamu itu ke pekarangan luar rumah keluarganya. Pemuda ini
bersikap hati-hati sekali maka membawa mereka ke pekarangan, tempat terbuka dan kedatangan
mereka tentu saja dapat dilihat dengan baik oleh ayah bundanya. Dan memang sesungguhnyalah.
Kedatangan rombongan itu sudah dapat dilihat oleh Bu Kek Siang. Pendekar ini telah melihat dan
dapat menduga siapa yang datang berkunjung, maka diapun sudah menanti di ruangan tamu yang
berada di depan sebelah kanan.
"Ayah, tamu-tamu dari Tai-bong-pai datang berkunjung !" teriak puteranya dari luar.
"Persilahkan mereka memasuki ruangan tamu !" jawabnya dari dalam ruangan itu yang
sudah dite-rangi oleh cahaya beberapa batang lilin yang di-nyalakan.
Bu Seng Kun lalu mempersilahkan tamu-tamunya masuk. Dia mendahului sebagai penunjuk,
jalan sedangkan di belakang rombongan itu berjalan Pek-bin-houw. Ketika mereka semua
memasuki ruangan tamu, ternyata di situ Bu Kek Siang telah menanti bersama isterinya,
puterinya, dan juga Kim-suipoa telah siap sedia dan berada di situ Ketika delapan orang itu
memasuki ruangan tamu, bau dupa menyerang hidung. Keranjang bambu diturunkan perlahanlahan
dan delapan orang itu lalu menjura dengan hormatnya.
"Cu-wi jauh-jauh datang ke sini malam-malam, tidak tahu ada urusan apakah dengan kami
?" Bu Kek Siang bertanya dengan sikap tenang dan dialah yang dapat menduga bahwa isi
keranjang itu tentulah seorang manusia, mungkin yang sedang menderita sakit, karena kalau tidak
begitu, apa perlunya mereka ini datang ? Selama hidupnya dia belum pernah berurusan dengan
pihak Tai-bong-pai.
Akan tetapi delapan orang itu tidak menjawab Tiba-tiba terdengar suara melengking halus
dan tinggi sekali, seperti suara beberapa ekor nyamuk beterbangan dalam ruangan tamu itu,
makin lama semakin kuat dan nyaring menyakitkan telinga Kemudian, tahu-tahu di ambang pintu
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
telah berdiri seorang wanita berusia kira-kira limapuluh tahun, membungkuk dan menjura dengan
sikap hormat sekali kepada pihak tuan rumah. Bau dupa kini luar biasa kerasnya, mengalahkan
bau dupa yang dibawa oleh delapan orang pertama tadi!
Wanita itupun memakai pakaian serba putih dan walaupun kainnya terbuat dari bahan yang
lebih baik dari pada delapan orang tadi, namun tetap saja potongannya sederhana sekali.
Wajahnya masih membayangkan kecantikan walaupun sudah mulai keriputan, sepasang matanya
yang bersinar tajam itu kini nampak diliputi kegelisahan dan kedukaan.
"Maafkan kami," katanya dengan suara halus. "Kami datang dari seberang Gurun Go-bi,
untuk minta pertolongan keturunan dari Raja Tabib Sakti yang kami hormati. Puteri kami sedang
menderita sakit hebat akibat kesalahan mempelajari ilmu perguruan kami sehingga lumpuh kaki
tangannya. Sudah setahun ia menderita dan segala usaha kami sia-sia berlaka. Kemudian kami
teringat bahwa di jaman dahulu, Raja Tabib Sakti merupakan satu-satunya orang yang dapat
menyembuhkan segala macam penyakit yang ada di dunia ini. Maka kami mencari keturunannya
yang mewarisi kepandaian beliau dan mendengar bahwa Bu- taihiap adalah keturunan itu, maka
kami datang untuk minta tolong. Harap dimaafkan bahwa kami datang di tengah malam,
maklumlah karena kami tidak biasa melakukan perjalanan pada siang hari."
Setelah berkata demikian, wanita itu mengham-piri keranjang bambu lalu membuka
tutupnya dengan hati-hati sekali. Nampaklah seorang gadis yang berwajah cantik rebah di situ.
Namun gadis itu kurus sekali dan wajahnya, lehernya, kedua tangan yang tidak tertutup itu
nampak pucat kebiruan seperti membeku. Bahkan bibirnyapun nampak kebiruan sehingga
dipandang sepintas lalu saja orang tentu akan mengira bahwa yang rebah di dalam keranjang itu
tentu telah menjadi mayat Wanita itu berusaha untuk menahan perasaannya, namun tidak urung
air matanya berlinang dan menuruni pipinya yang keriputan. Agaknya karena kedukaan maka
wanita ini menjadi kurus keriputan.
"Anakku....... " bisiknya menahan isak.
Bu Kek Siang mengerling ke arah puterinya sendiri yang berdiri di dekat Bu Seng Kun. Dia
dapat membayangkan betapa akan sedih hatinya sebagai seorang tua kalau melihat puterinya, Bu
Bwee Hong mengalami penderitaan seperti gadis dalam keranjang bambu itu. Selain itu, diapun
mempunyai watak sebagai seorang ahli pengobatan tulen, selalu merasa kasihan kepada yang
sedang menderita sakit dan setiap macam penyakit merupakan musuh atau tantangan yang harus
ditanggulanginya dan dikalahkannya. Makin berat penyakit itu, makin besar pula gairah di dalam
batinya untuk mengalahkannya.
"Bu-taihiap, tolonglah anakku...... " Nyonya itu meratap.
"Baiklah, toanio. Biarkan aku memeriksanya." Bu Kek Siang lalu bangkit dari tempat
duduknya, menghampiri keranjang itu lalu melakukan peme-riksaan. Diperiksanya nadi
pergelangan tangan gadis itu, dibukanya pelupuk mata itu, dan setelah dia mengetuk sana-sini
dengan penuh ketelitian, pendekar itu lalu kembali ke tempat duduknya, menarik napas panjang
berkali-kali dan setiap gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata nyonya itu dengan penuh
kegelisahan.
"Bagaimana, Bu-taihiap...... ?" Akhirnya dia bertanya dengan gelisah, akan tetapi penuh
harap-harap cemas.
"Keadaan puterimu memang parah, toanio. Kami suka membantu, walaupun aku tidak dapat
menjamin apakah kami akan berhasil. Untuk menyembuhkan puterimu, selain pengobatan berupa
obat minum dan tusuk jarum, juga dibutuhkan sinkang yang kuat dari aliran persilatan kami.
Tenaga sinkangku sendiri terbatas, maka terpaksa aku harus minta bantuan anak isteriku. Kalau
kami semua turun tangan, kiranya baru berhasil, walaupun aku belum yakin apakah kekuatan
kami itu sudah cukup untuk menembus semua pembuluh darah dan urat-urat syaraf dalam tubuh
puterimu yang seperti sudah membeku itu. Kami dengan segala senang hati akan berusaha
menolongnya, akan tetapi ..... "
"Akan tetapi, bagaimana, taihiap..... ?" sang ibu bertanya penuh kegelisahan.
"Ketahuilah, toanio, pada saat ini keluargaku sedang mengalami gangguan dan ancaman
dari ... musuh-musuh kami!"
Bu Kek Siang menarik napas panjang dan merasa berduka sekali. Alangkah akan baiknya
kalau ji-susioknya itu membantunya mengobati gadis ini, bukannya memusuhinya untuk
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
merampas kitab pusaka seperti sekarang ini. Dengan tenaga sin-kang dari ji-susioknya yang amat
hebat, yang lebih tinggi dari pada ilmunya sendiri, apa lagi kalau, dibantu pula oleh sinkang dari
sam- susioknya, dan dia sendiri turun tangan mengobati, pasti gadis ini akan dapat disembuhkan
dengan cepat.
Mendengar keterangan tuan rumah yang amat diharapkan akan dapat menyelamatkan
nyawa puterinya, wanita itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siang. "Bu-taihiap,
kalau taihiap bersama keluarga taihiap sudi menolong puteriku maka kami yang akan menjaga
rumah ini dari gangguan siapapun juga. Kami anak murid dari Partai Kuburan Besar, biarpun
bukan orang-orang yang disukai oleh kaum persilatan, akan tetapi kami tahu membalas budi
kebaikan orang lain. Selama hidup turun- temurun, anak murid kami akan menjunjung tinggi budi
kecintaan keluarga Bu sampai turun-temurun."
Bu Kek Siang tersenyum. "Toanio salah sangka. Melawan penyakit mengobati orang
merupakan kewajiban seorang ahli pengobatan. Bukan hanya kewajiban, juga merupakan suatu
pekerjaan yang kucinta. Siapapun yang datang minta tolong kepadaku untuk diobati tentu akan
kutolong tanpa pandang bulu, tanpa minta imbalan jasa, tanpa pamrih. Sekarang, baiklah kita
mengadakan pembagian kerja. Aku bersama isteri dan kedua orang anakku akan mencoba untuk
mengobati puterimu. Tiga orang tamu kami dapat membantu kalau mereka suka...... " Bu Kek
Siang memandang ke arah Pek-bin-houw, Kim-suipoa, dan Pek Lian. Sebenarnya, Bu Kek Siang
tidak mengharapkan bantuan mereka untuk mengobati gadis itu, mela-inkan mengharapkan
bantuan mereka untuk menghadapi lawan kalau mereka muncul. Karena, selagi melakukan
pengobatan, kalau musuh-musuh itu datang sungguh amat berbahaya sekali, dan diapun belum
tahu bagaimana nanti sikap orang-orang Tai-bong-pai.
"Jangan khawatir, locianpwe. Saya akan mem-bantu keluarga locianpwe!" kata Pek Lian
yang menghampiri Bwee Hong, gadis cantik jelita yang telah menjadi sahabat baiknya itu.
"Benar, kami berduapun siap untuk membantu," kata Kim- suipoa sedangkan Pek-bin-houw
juga mengangguk menyetujui.
Diam-diam Bu Kek Siang merasa girang, akan tetapi dia masih mencoba lagi, "Akan tetapi,
pengobatan ini akan memakan waktu yang cukup lama, mungkin sampai belasan hari lamanya !
Apakah sam-wi akan dapat membantu terus ?"
Dua orang pendekar dari Puncak Awan Biru itu menjadi ragu- ragu mendengar ini, akan
tetapi mereka telah didahului oleh Pek Lian yang berkata dengan nada suara tetap dan nyaring,
"Tentu saja kami akan terus membantu sampai pengobatan itu berhasil baik!"
Wanita berpakaian putih itu cepat menghadap kepada Pek Lian dan dua orang gurunya, lalu
menjura dengan hormat. "Tak tahu bagaimana kau harus berterima kasih kepada sam-wi, dan
kami sungguh merasa malu sekali bahwa murid kami pernah menyerang penolong kami." Tibatiba
wanita itu menoleh ke arah anak buahnya yang tadi berkelahi dengan Pek-bin-houw dan
membentak, "A-jui, hayo maju dan serahkan nyawamu!"
Orang yang disebut A-jui itu terbelalak, tubuhnya menggigil akan tetapi dia lalu maju
berlutut di depan wanita itu. Semua orang merasa terkejut sekali, akan tetapi ketika wanita itu
mengangkat tangannya, tiba-tiba Pek-bin-houw meloncat ke depan dan berseru, "Tahan !!"
Wanita itu tidak jadi menurunkan pukulan mautnya dan menoleh kepada Pek-bin-houw.
"Apakah saudara hendak turun tangan sendiri ? Lakukanlah, dia sudah menyerahkan nyawanya
untuk menebus dosa tadi."
"Tidak !" bentak Pek-bin-houw, bergidik menyaksikan kekejian ini. "Aku sama sekali tidak
ingin melihat dia dibunuh hanya karena tadi berkelahi denganku. Kami berkelahi karena salah
paham. Toanio, jangan bunuh dia!"
Bu Kek Siang juga melangkah maju. "Siancai ...... ! Aku disuruh menyelamatkan nyawa
seseorang dari ancaman maut, akan tetapi sekarang ada orang hendak dibunuh begitu saja. Sama
sekali tidak boleh hal ini dilakukan. Toanio, kalau engkau hendak membunuh orangmu, terpaksa
aku tidak akan sanggup mengobati puterimu."
Wanita itu nampak terkejut dan matanya terbe-lalak, seperti orang keheranan, lalu iapun
berkata kepada tuan rumah, "Ah, maafkan, Bu-taihiap, akan tetapi sudah menjadi kebiasaan kami
untuk menghukum anak buah kami yang bersalah. Biarpun demikian, melihat betapa para tuan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
penolong kami telah mintakan ampun, terpaksa kamipun akan mentaati. A-jui, tidak lekas
menghaturkan terima kasih kepada tuan-tuan ini yang telah mengembalikan nyawamu ?"
A-jui, laki-laki yang di tengah dahinya ada benjolan merah itu, cepat menghaturkan terima
kasih kepada Bu Kek Siang dan Pek- bin-houw sambil berlutut. Tentu saja pihak tuan rumah dan
tamu- tamunya merasa heran sekali melihat sikap luar biasa ini.
"Nah, kulanjutkan pembagian tugas," kata Bu Kek Siang. "Ho- siocia dan kedua saudara Kimsuipoa
dan Pek-bin-houw membantu kami dalam ruangan ini, juga sambil menjaga keamanan
kami yang sedang mengobati, dan toanio bersama anak buan toanio harap menjaga di sekitar
rumah, dan mencegah masuknya orang luar yang nendak meng-ganggu kami."
"Baik, sekarang juga kami melakukan tugas itu !" kata wanita itu sambil melangkah keluar
diikuti oleh delapan orang anak buahnya, setelah ia melempar pandangnya ke arah puterinya
dengan pandang mata penun harapan. Pek Lian dan dua orang gurunya lalu membantu keluarga
itu mengadakan persiapan. Sebuah meja panjang diangkat ke dalam ruangan itu, juga sebuah
perapian dengan alat-alat menggodok obat dipersiapkan di situ. Kemudian mereka semua
beristirahat karena menurut Bu Kek Siang, pengobatan baru akan dimulai besok paginya.
Malam itu ternyata tidak terjadi sesuatu, tidak ada penyerbuan dari orang-orang yang
rambutnya riap-riapan itu. Hati mereka menjadi lapang dan merasa dapat beristirahat untuk
menghimpun tenaga. Baru pada keesokan harinya, setelah sarapan, keluarga Bu mulai dengan
pengobatannya atas diri gadis yang nampaknya seperti sudah mati itu. Pek Lian dan kedua orang
gurunya menyaksikan cara pengobatan yang amat aneh, yang mula-mula dilakukan oleh Bu Kek
Siang sendiri, yaitu melakukan totokan- totokan pada beberapa jalan darah rahasia yang
merupakan cara pengobatan sukar dan berbahaya sekali. Totokan-totokan pada jalan darah
rahasia itu kalau kurang tepat dilakukan, akibatnya malah akan mencelakakan pasien, dapat
membunuhnya ! Apa lagi totokan-totokan di bagian leher dan kepala. Selain sukar dan harus
tepat, juga membutuhkan pengerahan tenaga yang amat besar sehingga tampak pucat seperti
tanpa darah sama sekali.
Bu Kek Siang, Kim-suipoa dan Pek-bin-houw adalah pria-pria yang sudah tua, akan tetapi Bu
Seng Kun adalah seorang pemuda, sehingga kalau menurut kebiasaan umum, tidak pantaslah bagi
seorang pemuda untuk melihat tubuh seorang wanita muda yang telanjang. Akan tetapi, Bu Seng
Kun tidak danat disamakan dengan orang-orang muda biasa. Seiak kecil dia sudah mempelajari
ilmu pengobatan dari ayahnya dan dialah yang merupakan ahli waris terakhir dari Raja Tabib
Sakti. Sejak muda sekali Seng Kun telah membantu ayahnya mengobati bermacam-macam orang
dengan bermacam-macam penyakit sehingga baginya, tidak merupakan hal aneh untuk melihat
wanita bertelanjang bulat ketika diobati. Apa lagi pengobatan yang harus mempergunakan totokan
atau penusukan jarum di bagian-bagian yang penting, haruslah bagian itu dibuka agar penusukan
dapat dilakukan dengan tepat sekali. Maka, kini melihat keadaan nona yang kadang-kadang harus
telanjang sama sekali itu, dia dapat memandang tanpa bayangan-bayangan cabul sama sekali,
yang dilihatnya hanyalah sebatang tubuh yang menderita dan harus diobati sampai sembuh!
Meruanglah, kecabulan atau yang dinamakan porno merupakan hal yang amat relatip sekali.
Apa dan bagaimanakah porno itu? Apakah porno itu identik dengan tubuh telanjang ? Apakah
porno itu berarti terbukanya tanpa ditutupi anggauta rahasia pria atau wanita, termasuk buah
dada wanita? Itukah porno ? Ataukah juga penulisan tentang hal-hal seksuil, hubungan sanggama
dan yang menyangkut dengan hal itu ? Lalu sampai di manakah batas-batas kepornoannya ? Hal
ini agaknya menjadi masalah yang selalu diributkan karena memang tidak mungkin orang
menemukan batas-batas tertentu, tidak mungkin menggariskan antara porno dan tidak, seperti
juga menggariskan tentang kegilaan dan kewarasan seseorang.
Kecabulan bukan terletak dalam kenyataan di luar. Kecabulan terletak di dalam batin
masing-masing. Cabulkah atau pornokah kalau ada seorang wanita mandi di sungai bertelanjang
bulat ? Pornokah wanita itu dan pornokah yang melihatnya ? Tergantung dari si wanita dan si
pemandang sen-diri. Wanita mandi telanjang di sungai itu adalah suatu kenyataan, dan kalau si
wanita mandi karena tidak ada tempat lain baginya untuk mandi, kalau ia mandi karena kebutuhan
akan mandi tanpa mempunyai dasar untuk memamerkan tubuh telanjangnya itu untuk menarik
perhatian orang, untuk menimbulkan gairah pria yang memandangnya, maka ia sama sekali tidak
porno ! Sebaliknya kalau ia mandi telanjang itu dengan kesengajaan untuk menimbulkan gairah
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pada pria yang melihatnya, maka jelaslah bahwa perbuatannya itu porno! Di lain fihak, kalau ada
pria yang melihat ia mandi, melihat tanpa adanya pikiran yang membayang-bayangkan hal lain
dari pada yang ada, maka diapun sama sekali tidak porno walaupun boleh jadi dia akan melihat
wanita mandi itu. Sebaliknya kalau di waktu dia memandang tubuh wanita telanjang itu dia
membayangkan kemesraan-kemesraan seperti misalnya dia bermain cinta dengan wanita itu
sehingga timbullah napsu berahi, maka tentu saja dia itu porno! Contoh ini dapat saja ditrapkan
dengan pelukis dan penonton lukisan, pengarang dan pembaca karangan, dan sebagainya. Bukan
gambar atau cerita yang menentukan porno tidaknya, melainkan batin si pelaku itu sendirilah, baik
dia itu pencipta keadaan itu maupun si pemandang keadaan. Dan tentu saja, kalau diteliti mudah
saja terasa apakah si pencipta keadaan itu menciptakan sesuatu dengan dasar batin porno
ataukah tidak. Seorang wanita mandi telanjang bulat belum tentu porno, akan tetapi kalau wanita
in dengan pakaian lengkap bersikap memancing gairah dengan menyingkap sedikit gaun
memperlihatkan betis saja, ia sudah porno.
Wanita berpakaian putih bersama delapan orang anak buahnya menjaga dengan tertib dan
dengan teliti, bergiliran siang malam dan mereka itu menyediakan keperluan makan mereka
sendiri, tanpa mengganggu keluarga tuan rumah. Hanya beberapa kali sehari saja wanita itu
menjenguk ke dalam kamar tamu yang menjadi kamar pengobatan itu untuk melihat keadaan
puterinya.
Pengobatan itupun tidak dilakukan terus-menerus. Bermacam- macam cara pengobatan
dilakukan oleh Bu Kek Siang. Tubuh gadis itu telah digosok seluruhnya oleh arak obat, totokan -
totokan dan tusukan - tusukan jarum telah dilakukan. Semua berjalan dengan baik dan lancar,
hanya satu hal yang membuat keluarga itu kewalahan. Mereka belum berhasil menembus
pembuluh - pembuluh darah dan urat-urat syaraf yang seperti membeku itu. Bagaimanapun juga,
lewat lima hari pengobat-an, keadaan gadis itu sudah mengalami banyak sekali perobahan.
Tubuhnya yang tadinya pucat kebiruan seperti tubuh mayat itu kini sudah mulai
memerah. Pemapasannya yang tadinya seperti te-lah hampir terhenti itu kini nampak lebih
lancar dan longgar. Bahkan ada senyum membayang di bibir yang mulai agak merah itu, cuping
hidungnya sudah dapat berkembang - kempis kalau bernapas, hanya gadis itu masih lumpuh sama
sekali.
Ibu gadis itu kelihatan gembira bukan main. Biarpun gadisnya masih lumpuh, akan tetapi
jelas nampak perobahan - perobahan yang menggembirakan, tanda - tanda bahwa usaha
pengobatan sekali ini akan berhasil baik. Dan keluarga Bu juga merasa lega bahwa selama
beberapa hari itu tidak ada gangguan pihak musuh sama sekali. Hal ini tentu saja menggirangkan
hati mereka dan menimbulkan dugaan bahwa agaknya pihak musuh merasa segan mengganggu
karena di situ terdapat orang - orang Tai - bong - pai!
Akhirnya, pengobatan itu mencapai puncaknya pada hari ke sepuluh. "Hari ini bagaimanapun
juga kita harus berhasil menembus jalan darah gadis itu," kata Bu Kek Siang. "Sebetulnya, melihat
keadaannya, nona Kwa sudah berada di ambang pintu kematian. Maka, perjumpaannya dengan
kita dapat dikatakan jodoh, dan kita harus berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkannya."
"Akan tetapi, ayah," kata Seng Kun. "Kalau ayah masih hendak melaksanakan
penggabungan tenaga, bukankah hal itu amat berbahaya sekali bagi kita dan juga bagi nona Kwa
? Kalau terjadi penyerbuan."
"Jangan khawatir, bukankah sudah sepuluh hari ini tidak terjadi sesuatu ? Dan sekali ini, biar
kita beritahukan bahaya itu kepada Kwa-toanio agar ia ikut pula melakukan penjagaan terhadap
diri puterinya."
Selama beberapa hari tinggal di tempat terpen-cil itu, wanita berpakaian serba putih telah
memperkenalkan diri. "Sebetulnya, kami selalu mera-hasiakan nama dan keadaan kami, akan
tetapi me-lihat pertolongan cu - wi yang demikian penuh pe-ngorbanan, kami akan meniadakan
kebiasaan itu dan perkenalkanlah, saya adalah isteri dari Kwa Eng Ki, seorang di antara tokoh Tai -
bong - pai. Dan anak ini adalah puteri tunggal kami bernama Kwa Siok Eng. Penyakit yang diderita
oleh Siok Eng ini sebetulnya adalah karena kelancangannya. sendiri. Diambilnya kitab pusaka
partai kami dan diam - diam ia mempelajarinya tanpa memberi tahu kepada kami, sedangkan
tingkatnya masih terlampau rendah untuk mempelajari ilmu simpanan partai kami itu, maka
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
beginilah jadinya. Nah, setelah saya memperkenalkan diri, maka mulai seka-rang kita telah
menjadi sahabat - sahabat karib."
Tentu saja bagi pihak tuan rumah, cerita itu sama sekali bukan pembukaan rahasia, dan
hanya memperkenalkan sedikit saja, yaitu hanya nama ibu dan anak itu sehingga keadaan mereka
masih tetap diliputi rahasia. Akan tetapi mereka tidak mau bertanya lebih banyak, karena
merekapun sebe-narnya tidak mempunyai minat untuk bersahabat dengan Tai-bong-pai yang
terkenal sebagai per-kumpulan golongan hitam yang disamakan dengan iblis - iblis yang kejam
sekali.
Setelah diberi tahu bahwa hari itu pihak tuan rumah akan mengadakan pengobatan terakhir
yang besar - besaran dengan penggabungan tenaga, nyonya Kwa merasa tegang dan iapun
segera menyatakan siap sedia untuk melakukan penjagaan dengan kuat di luar rumah. Pek Lian
dan kedua orang gurunya juga melakukan penjagaan di luar. Mereka bertiga maklum akan
bahayanya keadaan mereka ketika fihak tuan rumah sekeluarga sedang melakukan pengobatan
dengan penggabungan tenaga itu. Pengobatan dengan pengerahan sinkang membuat orang yang
melakukan pengobatan itu sama sekali tidak berdaya terhadap serangan dari luar, karena kalau
dia melawan, berarti membahayakan nyawa yang diobati. Dan kini, menurut keterangan Bu Seng
Kun terhadap mereka, pemuda itu bersama ayah dan ibunya akan menggabungkan tenaga
sehingga kalau sewaktu mereka mengadakan pengobatan itu datang. musuh, mereka bertiga
takkan berdaya untuk membela diri. Dengan demikian, maka penjagaan seluruhnya hanya berada
di tangan mereka bertiga, dan orang - orang Tai - bong - pai.
Bahkan nona Bu sendiripun membantu pengobatan itu dengan tusukan - tusukan jarum.
Pagi itu mereka sudah besiap - siap. Yang ber-ada di kamar pengobatan, selain si sakit, juga
empat orang keluarga Bu lengkap. Kwa Siok Eng te-lah direbahkan di atas meja panjang dengan
mene-lungkup. Kulit tubuhnya yang putih mulus itu tidak begitu pucat lagi, akan tetapi masih
belum dapat bergerak sama sekali. Ibunya, nyonya Kwa, menjaga di dekat pintu, sepasang
matanya hampir tidak pernah berkedip memandang kepada puterinya dan kadang - kadang
saja beralih kepada empat orang yang sedang mengobati puterinya itu. Hatinya terharu. Nampak
jelas olehnya betapa ke-luarga itu berusaha sungguh - sungguh. Tadi sebelum melakukan
pengobatan, Bu Kek Siang telah memberi penjelasan kepadanya sekedarnya sehingga dia tahu
bahwa mereka berempat itu, sungguh-sungguh berusaha untuk menolong puterinya, terutama
sekali kakek Bu sendiri bersama Bu Seng Kun, pemuda itu. Mereka berdua ini akan mengerahkan
sinkang sekuatnya untuk menembus jalan darah gadis itu yang belum pulih, dan sebagai seorang
ahli silat tinggi, tentu saja nyonya itu tahu apa artinya ini. Pengerahan sinkang untuk meno-long
orang seperti itu amatlah berbahaya karena tenaganya dikerahkan terus - menerus, kalau keliru
sedikit saja tentu dapat membunuh si sakit atau membunuh diri sendiri!
Memang amat menegangkan keadaan dalam ruangan itu. Bu Seng Kun bertelanjang dada,
karena dia mempergunakan dadanya itu untuk menempel pada kedua telapak kaki Kwa Siok Eng
dan dengan penyaluran tenaga sinkang sepenuhnya dia menya-lurkan hawa murni melalui kedua
telapak kaki gadis itu. Pemuda ini memejamkan kedua matanya dan dadanya nampak membesar,
wajahnya menjadi merah dan kedua tangannya mencengkeram belakang lutut gadis itu. Di
seberangnya, ayahnya berdiri dan menempelkan tangan kirinya di ubun-ubun kepala gadis itu.
Seperti juga puteranya, Bu Kek Siang, kakek ini mengerahkan sinkangnya disalurkan melalui ubun
- ubun kepala gadis itu, kedua matanya juga dipejamkan. Isterinya, nenek yang masih nampak
cantik itu, berdiri di tepi meja, kedua tangannya ditaruh di atas pinggang telanjang itu dan nenek
inilah yang menjadi semacam peng-hubung atau penampung saluran tenaga dari atas dan bawah
itu untuk kemudian, setelah dapat bertemu dan bersatu, dipergunakan untuk membobol semua
jalan darah dalam tubuh. Dan di tepi meja seberangnya, Bu Bwee Hong sibuk mempergunakan
jarum-jarum emas untuk menusuki bagian-bagian yang penting untuk mengurangi hambatan -
hambatan penyaluran tenaga ayahnya dan kakaknya. Dan memang, dalam hal ilmu pengobatan,
gadis inilah yang telah mewarisi kepandaian ayahnya dan dibandingkan dengan ibunya dan
kakaknya, ia memang lebih pandai dalam hal tusuk jarum. Peker-jaan gadis ini, seperti juga
ibunya, tak dapat dikatakan ringan, bahkan mengharuskan adanya ketelitian yang luar biasa.
Empat orang itu sungguh mengerahkan dan mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menolong gadis itu. Hal ini nampak jelas sehingga seorang seperti nenek Kwa yang se-lamanya
berkecimpung dalam dunia hitam itu merasa terharu.
Matahari telah naik tinggi. Setengah hari telah lewat dan suasana dalam ruangan
pengobatan itu menjadi semakin tegang. Empat orang keluarga Bu itu bermandi peluh, namun
agaknya usaha mereka itu sia - sia belaka karena seluruh tenaga ayah dan anak itu belum juga
dapat dipertemukan ! Seng Kun yang telah mengerahkan seluruh tenaganya itu hanya bisa
mendorong sampai ke pangkal paha dan dia telah menemui rintangan - rintangan di sepanjang
kedua kaki itu yang seolah - olah telah membeku. Ayahnya lebih sukar lagi, hanya dapat
mendorong sampai di bawah pundak. Bwee Hong sibuk menusuk sana - sini sehingga tubuh
belakang gadis yang diobati itu penuh dengan jarum kecil kecil, perak dan emas. Dan nyonya Bu
juga sibuk sekali, menggunakan sinkang seperti hendak menyedot hawa murni dari atas bawah,
namun belum juga terasa olehnya datangnya sinkang yang disalurkan oleh suaminya dan
puteranya itu.
"Cepat, tambah lagi tenaganya ...!" Ibu ini mendorong dan mengerutkan alisnya.
"....ahhh..tidak...tidak bisa lagi ... ibu, aku tidak kuat lagi ...ahhhh !" Seng Kun mendesah
dan tiba - tiba dari sudut bibirnya mengalir darah segar.
"Koko ...!" Bwee Hong berseru khawatir.
Akan tetapi pemuda itu tidak memperdulikan dirinya.
"Moi - moi, cepat kaubantu ayah....!"
Bwee Hong menoleh memandang ayahnya dan semakin gelisah ia melihat betapa ayahnya
juga payah sekali keadaannya, wajahnya pucat pasi dan dari lubang hidungnya juga mengalir
darah.
"Ibu ..., ayah itu ..."
Akan tetapi, ibunya hanya menggeleng kepala dengan sikap tenang karena ibu ini percaya
bahwa suaminya dan puteranya masih akan dapat menolong diri sendiri. Kalau sudah ada darah
keluar dari mulut atau hidung, berarti bahwa tenaga mereka sudah sampai di puncaknya, dan
tentu mereka akan mengendurkan tenaga karena kalau dilanjutkan berarti mencari mati sendiri.
Ibu gadis yang sakit itu sejak tadi melihat ini. Wajahnya pucat dan beberapa kali ia
memejamkan mata, mengepal tinju dan membanting – banting kakinya. Akhirnya iapun berseru,
"Sudahlah ....!
Sudahlah .....!!" Ia melihat betapa usaha keluarga Bu yang mati-matian itu telah menemui
kegagalan.
Keadaan yang amat menegangkan itu membuat mereka semua tidak sadar bahwa di luar
ramah telah terjadi penyerbuan! Ada beberapa orang yang luar biasa datang menyerang dan tentu
saja serbuan itu disambut oleh para penjaga yang berada di luar rumah, yaitu Ho Pek Lian dan
dua orang gurunya, dan delapan orang anggauta perkumpulan Tai - bong - pai. Akan tetapi, para
penyerang itu-pun lihai bukan main. Dua orang di antara mereka adalah orang - orang yang
berambut riap - riapan dengan pakaian berwarna coklat! Masih ada lagi teman - teman mereka,
yaitu empat orang berjubah biru dan delapan orang berjubah hijau ! Tentu saja pihak penyerbu
menjadi jauh lebih kuat. Seperti telah kita ketahui, seorang yang berjubah biru saja
kepandaiannya sudah sedemikian hebatnya sehingga ketika dikeroyok oleh Kim - suipoa dan Pek -
bin - houw, dua orang pendekar inipun kewalahan. Apa lagi kini terdapat dua orang yang berjubah
coklat, ditambah empat orang murid mereka dan delapan cucu murid. Sebentar saja delapan
orang anak buah Tai - bong - pai sudah terpukul roboh dan Pek Lian sendiri bersama dua orang
gurunya juga hanya mampu menangkis saja ketika dikeroyok oleh orang - orang berjubah biru dan
hijau.
Dua orang yang berjubah coklat itu sudah me-nerjang pintu ruangan dan dengan
mengeluarkah suara hiruk-pikuk pintu itu pun jebol! Tentu saja Bwee Hong dan Kwa - toanio
terkejut bukan main.
"Awas musuh...... !!" Kwa-toanio berseru dan Bwee Hong sudah meloncat dan memapaki
kedua orang itu dengan sambitan jarum - jarumnya, jarum perak dan emas yang tadinya
dipergunakan untuk menusuk dan mengobati Siok Eng. Akan tetapi, dengan amat mudahnya
kedua orang yang berjubah coklat itu meruntuhkan semua jarum dengan kebutan lengan baju
mereka. Dan di belakangnya masih bermunculan orang - orang berjubah hijau. Mereka ini segera
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mengeroyok Kwa - toanio yang merobohkan dua orang di antara mereka. Ketika melihat betapa
jarum - jarumnya tidak ada gunanya, Bwee Hong menerjang ke depan sambil mencabut
pedangnya, menyerang seorang di antara dua orang berjubah coklat itu. Akan tetapi orang itu
mengelak dan dari belakangnya, Bwee Hong merasakan sambaran angin pukulan dahsyat. Dia
mengelak dan membalik, dan ternyata yang menyerangnya telah tidak ada lagi dan juga orang
berjubah coklat yang pertama yang diserangnya tadi sudah tidak ada. Mereka berdua itu telah
meloncat dengan gerakan yang amat cepatnya, seorang berada di belakang ayahnya dan seorang
pula di belakang kakaknya!
Kwa-toanio sendiri sibuk dikeroyok oleh orang-orang baju biru sebanyak empat orang.
Ternyata bahwa Pek Lian dan dua orang gurunya juga sudah terluka dan kini hanya dikeroyok oleh
orang - orang jubah hijau, sedangkan empat orang berjubah biru sudah menyerbu ke dalam dan
mengurung Kwa-toanio, membuatnya tidak berdaya.
Dua orang berjubah coklat itu tahu bahwa di antara mereka semua, yang paling lihai adalah
Bu Kek Siang dan Bu Seng Kun, maka merekapun langsung saja meloncat ke belakang ayah dan
anak yang masih mengerahkan tenaga kepada si sakit itu. Juga nyonya Bu tak dapat
meninggalkan tempatnya, karena hal itu akan membahayakan si sakit. Pula, peristiwanya terjadi
sedemikian cepat dan tiba - tiba. Tahu - tahu kedua orang berjubah coklat itu telah mengirim
serangan kilat ke arah ayah dan anak itu. Kakek berjubah coklat yang pertama sudah
menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari tangan terbuka ke arah lambung Bu Kek Siang,
sedangkan kakek ke dua dengan kepalan tangan kanannya sudah menghantam ke arah punggung
Bu Seng Kun. Kedua pukulan ini datang dengan berbareng dan tepat benar.
"Blaaarrrr.....!!'"
Akibatnya hebat! Ayah, anak dan ibu roboh tersungkur ! Dari mulut mereka muncrat darah
segar dan seketika mereka itu roboh pingsan. Akan tetapi yang lebih aneh lagi, pada saat pukulan
itu tiba, terdengar jeritan nyaring dari mulut gadis yang menelungkup itu, dan beberapa batang
jarum yang masih menancap di tubuhnya mencelat se-dangkan bekas - bekas tusukan jarum itu
menge-luarkan darah, dan iapun terkulai dan pingsan.
Kwa - toanio marah sekali, mengira bahwa pu-terinya tentu menjadi korban dan tewas.
Dengan kemarahan meluap, tokoh Tai - bong - pai ini meng-amuk, dikeroyok oleh empat orang
berjubah biru yang agaknya kewalahan juga menghadapi amuk-an ibu yang marah ini. Bwee Hong
sudah memu-tar pedangnya, menyerang seorang berjubah coklat akan tetapi ia tidak mampu
mencegah ketika seorang berjubah coklat yang lain telah memasuki rumah keluarganya.
Sedangkan menghadapi si jubah coklat itu saja ia sudah merasa amat kewalahan pedangnya tak
mampu berbuat banyak karena lawannya itu sedemikian lihainya sehingga lengan orang itu berani
menangkis pedangnya tanpa terlu-ka sedikitpun, sebaliknya malah setiap kali terjadi benturan
keras, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan karena seluruh lengannya tergetar hebat.
Kwa - toanio yang marah sekali itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Kini ditariknya
sehelai sabuk putih yang ia gerakkan seperti cambuk dan tangan kirinya kadang-kadang
menyambitkan hio-hio yang bernyala. Entah bagaimana hio-hio itu dapat dinyalakan, akan tetapi
senjata-senjata rahasia ini memang hebat sekali sehingga para pengeroyoknya yang berjubah biru
itu menjadi repot juga karena mereka tidak berani menyambut senjata rahasia itu. Melihat
kehebatan nenek ini, si jubah coklat yang mendesak Bwee Hong lalu meloncat dan menyerang
Kwa-toanio, sedangkan dua orang berjubah biru kini mengeroyok Bwee Hong yang masih tetap
kewalahan. Setelah si jubah coklat maju mengeroyok, repotlah Kwa-toanio dan akhirnya sebuah
tendangan kilat dari si jubah coklat mengenai pahanya dan membuatnya terhuyung.
Pada saat itu, kakek berkubah coklat yang tadi memasuki rumah keluarga Bu, muncul
sambil berkata, "Sudah kudapatkan, mari kita pergi!" Teman-temannya yang masih bertempur
segera meloncat keluar dan para anak buah mereka yang berjubah hijau juga sudah melarikan diri
sambil membawa teman-teman yang terluka. Sebentar saja, keadaan di situ menjadi sunyi.
Melihat keadaan pihak keluarga tuan rumah, Kwa- toanio menjadi berduka sekali. Tanpa
memperdulikan lagi puterinya yang masih rebah menelungkup tak sadarkan diri, pertama-tama
yang ditolongnya adalah nyonya rumah karena ia melihat Bwee Hong berlutut dan merangkul
nyonya itu sambil berusaha untuk membuat pernapasan dengan cara meniupkan napasnya sendiri
melalui mulut ibunya dengan menutup lubang hidungnya. Bwee Hong tidak menangis, hanya air
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
matanya saja berlinang. Gadis yang juga telah mempelajari ilmu pengobatan ini berusaha untuk
bersikap tenang sungguhpun hatinya merasa amat gelisah dan bingung. Hati siapa tidak akan
menjadi bingung melihat betapa ayahnya, ibunya, dan kakaknya seluruh keluarganya roboh
pingsan dan semuanya menderita luka yang hebat ? Setelah berhasil mengembalikan pernapasan
ibunya, walaupun masih amat lemah, gadis itu cepat merebahkan kembali ibunya dan
menghampiri ayahnya. Ternyata ayahnya sudah siuman, walaupun keadaannya masih amat payah
karena ayahnya juga menderita luka yang amat berat di sebelah dalam tubuhnya.
"Coba periksa kakakmu..., hentikan jalan darah koan- goan-hiat" ayahnya berkata dengan
napas terengah. Gadis itu bangkit dan menghampiri kakaknya. Ternyata pemuda itu masih
pingsan, akan tetapi setelah memeriksanya, hati Bwee Hong tidak begitu khawatir akan keadaan
kakaknya. Biarpun kakaknya juga menerima pukulan hebat, namun agaknya tubuh muda
kakaknya itulah yang menyelamatkannya dan mampu melindungi isi dadanya.
Jilid III
MEMANG serangan dua orang berjubah coklat yang mendadak itu telah mendatangkan
keanehan-keanehan. Selain ayah dan anak itu yang langsung menerima pukulan dan menderita
luka parah, juga hawa sinkang dari kedua orang penyerang yang kuat itu telah mendorong hawa
sinkang dari ayah dan anak itu sendiri, membuat kekuatan yang mengalir ke dalam tubuh Siok Eng
menjadi berlipat ganda dan tenaga sinkang itu, yang tadinya kurang kuat dan hanya berhenti
sampai pada pangkal paha dan bawah pundak, kini dengan serentak mengalir dan menyerbu
sehingga dapat bertemu dan ditampung oleh nyonya Bu melalui kedua telapak tangannya yang
berada di punggung gadis sakit itu. Seperti aliran listrik yang ditampung dan terlalu besar, maka
ibu inipun tidak kuat bertahan dan seperti menerima hantaman dahsyat dari kanan kiri melalui
kedua telapak tangannya, membuat ia roboh seketika dan menderita luka yang parah sekali. Akan
tetapi, peristiwa ini mendatangkan keuntungan yang besar kepada Siok Eng. Dengan adanya
penambahan tenaga sinkang dari luar, dari kedua orang jubah coklat itu, maka semua pembuluh
darah dan urat syaraf dapat ditembus, dan semua kebekuan telah dapat mencair. Kalau tadinya ia
tak mampu bicara, sekarang tiba-tiba saja ia sudah dapat bicara bahkan ia sudah dapat
menggerakkan semua anggauta tubuhnya. Setelah siuman dari pingsannya, gadis ini dapat
bergerak dan mengenakan pakaian sendiri. Hanya tubuhnya masih amat lemah dan ia masih
belum mampu turun dan berjalan, walaupun sudah dapat bangkit duduk kembali tanpa bantuan
orang lain.
Melihat keadaan ini, Kwa-toanio yang sejak muda telah menjadi tokoh sesat dalam dunia
hitam, sekali ini meruntuhkan air mata dan menangis sesenggukan. Ia melihat betapa keluarga itu
telah berusaha sungguh- sungguh untuk menyelamatkan puterinya, dan akibatnya, puterinya
benar-benar sembuh, akan tetapi keluarga itu sendiri menjadi hancur ! Maka tentu saja ia merasa
berterima kasih sekali, bukan hanya kepada keluarga Bu, akan tetapi juga kepada Ho Pek Lian dan
kedua orang gurunya yang juga mengalami luka-luka dalam pertempuran itu. Biarpun penyerbuan
itu dilakukan orang kepada keluarga Bu tanpa ada sangkut-pautnya dengan rombongannya,
namun kalau tidak ada bantuan Pek Lian dan kedua orang gurunya, tentu akibatnya akan lebih
hebat pula.
Memang akibat penyerbuan itu hebat sekali. Kakek Bu Kek Siang dan isterinya ternyata tidak
dapat menahan gempuran hebat itu. Bahkan pada keesokan harinya, nyonya Bu yang jatuh
pingsan lagi tidak sadar lagi dan tewas ! Juga Bu Kek Siang sendiri napasnya tinggal satu-satu. Dia
lebih banyak menggunakan isyarat tangan dari pada bicara ketika dia minta agar diambilkan
sebuah peti hitam kecil yang disimpannya di tempat rahasia bersama kitab-kitab pusaka. Kitabkitab
pusaka itu telah lenyap diambil oleh si jubah coklat, akan tetapi peti itu biarpun sudah
dibuka, ternyata tidak dibawa pergi. Isinya sebuah kitab catatan kakek Bu Kek Siang sendiri.
"Terimalah ini" katanya kepada puterinya.
"Dan kelak, berdua dengan kakakmu, bacalah"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Hanya itulah pesan yang ditinggalkan pendekar ini. Agaknya, kematian isterinya membuat
dia se-olah- olah ingin mempercepat perjalanannya me-ninggalkan dunia yang penuh kepalsuan
ini.
Tentu saja, kematian ayah bundanya ini meru-pakan pukulan yang amat hebat bagi Seng
Kun dan adiknya. Terutama sekali bagi Bwee Hong. Gadis ini berusaha untuk bersikap gagah dan
tidak menangis, akan tetapi ternyata usaha ini malah membuat ia menjadi pucat sekali dan air
matanya selalu berlinang di kedua matanya dan setiap kali ia ber-kedip, beberapa butir air mata
mengalir ke atas kedua pipinya yang pucat.
Rumah keluarga Bu itu kini menjadi rumah duka yang penuh dengan orang sakit. Karena
kakaknya masih terluka dan belum dapat turun dari pembaringan, maka Bu Bwee Hong
seoranglah yang menjadi wakil keluarga Bu, menghadapi semua itu. Ayah bundanya tewas,
kakaknya terluka berat. Untung di situ terdapat Ho Pek Lian yang menghiburnya, menemani dan
membantunya. Juga kedua orang guru dari Pek Lian yang dengan penuh rasa kasihan membantu
sekuat tenaga. Masih ada lagi nyonya Kwa yang merasa berhutang budi dan berterima kasih sekali
kepada keluarga itu. Maka nyonya ini mengerahkan sisa anak buahnya yang hanya luka ringan,
yaitu hanya enam orang, untuk membantu segala keperluan untuk mengubur jenazah Bu Kek
Siang dan isterinya. Dikubur secara sederhana saja, di belakang rumah di mana terdapat sebuah
bukit kecil.
Sebelum kedua peti jenazah diangkat, diadakan upacara sembahyang dan dalam
kesempatan inilah baru Bu Bwee Hong dapat menangis terisak-isak seperti anak kecil.
Pemandangan waktu itu sungguh amat memilukan hati. Dua peti jenazah itu dijajar-kan dengan
satu meja sembahyang di depannya. Tidak ada orang lain yang hadir kecuali mereka yang berada
di situ semenjak terjadinya penyerbuan itu. Nyonya Kwa dan delapan anak buahnya, dua di
antaranya luka parah. Kwa Siok Eng yang terpaksa dituntun ibunya ketika hendak bersembahyang.
Dan juga Bu Seng Kun yang dirangkul dan dipapah oleh adiknya.
Dua orang kakak beradik itu menjatuhkan diri berlutut di depan peti dan menangis. Seng
Kun ternyata adalah seorang gagah yang cepat dapat menguasai hatinya. Dia menyusut air
matanya dan melihat betapa adiknya menangis seperti tak sadar-kan diri, dia mencengkeram
lengan adiknya itu, mengguncangnya dan berkata, "Moi-moi, mana kegagahanmu ? Apakah
engkau kira ayah dan ibu akan senang hati mereka melihat engkau cengeng seperti ini ?"
Bwee Hong mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang kepada kakaknya
sejenak, kemudian menjerit dan merangkul kakaknya, dan pingsan dalam pelukan kakaknya !
Seng Kun merasa jantungnya seperti diremas-remas, akan tetapi dia menahan diri dan dengan
adiknya masih dalam rangkulannya, diapun menghadap dua peti jenazah itu.
"Ayah, ibu......, ampunkanlah kelemahan moi-moi, ia masih kanak-kanak ...... dan
menghadapi semua ini... ah, ayah dan ibu, aku tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ayah dan ibu
tewas dalam tangan saudara seperguruan sendiri, apa yang harus kulakukan ? Apa yang harus
kulakukan ??" Pemuda itu mengeluh karena hatinya sungguh merasa bingung sekali. Ayahnya
selalu mendidik putera-puterinya agar menjauhi kekerasan, agar mengusir segala perasaan
dendam. Dan kini mereka tertimpa musibah yang demikian hebat, dan yang menyebabkan adalah
keluarga seperguruan sendiri! Karena hendak memperebutkan kitab peninggalan kakek guru
mereka.
Ho Pek Lian yang teringat akan keadaan ayahnya sendiri, segera maju dan mengambil Bwe
Hong dari rangkulan kakaknya, untuk dipondongnya dan dibawanya ke pinggir, lalu dirawatnya
sehingga Bwee Hong siuman kembali dan kedua orang gadis ini saling berangkulan sambil
menangis Melihat keadaan kakak beradik itu, nyonya Kwa dan puterinya juga merasa terharu
sekali.
"Twako Bu Seng Kun, akulah yang menyebabkan kematian ayah ibumu, maka kaubunuhlah
aku untuk menghapuskan penasaran itu !" Tiba-tiba terdengar suara halus dan kiranya Siok Eng
yang mengeluarkan kata-kata itu dari tempat duduknya di sudut.
Seng Kun menoleh ke arah gadis itu yang memandang kepadanya dengan mata merah
menahan tangis. Dia tersenyum pahit lalu menarik napas panjang. "Nona Kwa, ayah dan ibuku
telah mati-matian berusaha menyelamatkanmu, setelah mereka berhasil, engkau minta aku
membunuhmu ! Apakah berarti engkau menyuruh aku berkhianat dan murtad kepada mereka ?"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Ohhh ...... !" Siok Eng terkejut dan menangis, dirangkul oleh ibunya. Kemudian, setelah
Kim-suipoa dan Pek-bin-houw membantu Seng Kun yang masih belum dapat berjalan itu,
mengangkatnya dan membawanya ke pinggir, nyonya Kwa membawa puterinya untuk
bersembahyang di depan sepasang peti mati itu. Mereka menangis sesenggukan ketika
mengangkat hio dan terdengar suara Kwa - toanio yang bicara dengan lantang diseling isak tangis,
"Bu - taihiap berdua semenjak puluhan tahun kami tinggal di dalam kuburan. Kematian
bukan apa-apa bagi kami. Kuburan adalah tempat tinggal kami. Mayat- mayat adalah sahabatsahabat
kami, dan selama hidup kami berkabung. Entah sudah berapa banyak orang yang kami
bunuh. Akan tetapi, taihiap sungguh kematian yang taihiap berdua alami ini membuat hati kami
penasaran!! Kami akan membalas kebaikan ini, kami harus menuntut balas atas kematian ji-wi dan
mulai saat ini kami menganggap keluarga taihiap sebagai keluarga kami sendiri." Dan nenek itu
menangis bersama puterinya.
Pemakaman dilakukan secara sederhana sekali dan setelah pemakaman selesai, Pek Lian
dan kedua orang gurunya masih tinggal di situ selama seming-gu lagi, membantu Bwee Hong
yang masih harus mengobati kakaknya dan juga mengobati Siok Eng. Setelah lewat seminggu,
barulah Pek Lian dan kedua orang gurunya berpamit.
Bwee Hong merangkulnya. "Pek Lian, benarkah engkau hendak meninggalkan aku yang
kesepian ini ?" Gadis itu mengeluh. Setelah menjadi sahabat baik, keduanya tidak menyebut enci
adik lagi, karena memang keduanya sebaya berusia delapan belas tahun. "Apakah engkau tidak
bisa memperpanjang beberapa hari lagi?"
"Bwee Hong, aku juga sayang sekali kepadamu dan aku ingin dapat terus berdekatan
dengan seorang sahabat seperti engkau. Akan tetapi, sudah terlalu lama kami bertiga
meninggalkan kawan-kawan kami, dan engkau tentu tidak lupa akan keadaan ayahku" Sampai di
sini, suara Pek Lian menjadi gemetar mengandung duka.
"Ah, sahabatku yang baik. Aku ikut menyesal dengan keadaanmu yang tidak lebih baik dari
pada keadaanku. Kalau saja kami dapat membantu ......, sayang kakakku masih belum sembuh"
"Terima kasih, engkau baik sekali. Akan tetapi bantuan apakah yang dapat diberikan orang
kepada kami ? Yang memusuhi kami bukan orang biasa melainkan pemerintah !"
Bu Seng Kun kini sudah dapat turun dari pembaringan dan dapat berjalan, walaupun masih
lemah dan perlu beristirahat agar bekas- bekas luka dalam tubuhnya dapat sembuh sama sekali.
Diapun memandang kepada kedua orang guru Pek Lian, dan berkata, "Bantuan sam-wi sungguh
tak ternilai besarnya bagi keluarga kami, dan entah kapan kami kakak beradik akan sanggup untuk
membalasnya. Semoga Thian Yang Maha Esa sajalah yang akan membalas sam-wi dengan berkah
yang melimpah-limpah."
"Ah, Bu-taihiap terlalu sungkan," kata Kim- suipoa. "Bantuan apa yang dapat diberikan oleh
kami orang-orang lemah ini ?"
"Selain itu, sudah menjadi kewajiban kita para pendekar untuk saling bantu, bukan ?" kata
pula Pek- bin-houw. Mereka bertiga lalu pamit dan meninggalkan tempat itu, diantar oleh kakak
ber-adik itu sampai ke pintu depan dan mereka berdua melambaikan tangan sampai tiga orang
tamu itu lenyap di sebuah tikungan.
Dua hari kemudian, setelah dua orang anak bu-ahnya yang terluka itu sembuh, Kwa-toanio
juga minta diri. Sambil memegang lengan kedua orang muda itu, Kwa- toanio berkata dengan
mata basah dengan air mata, "Anakku sembuh adalah berkat keluarga Bu. Sampai mati, aku dan
anakku tidak akan melupakan budi kalian. Aku akan membawa Siok Eng pulang untuk dirawat
sampai sembuh, Kami belum dapat memikirkan bagaimana untuk membalas budi kalian. Untuk
sementara ini, harap kalian suka menerima bendera keramat dari kami ini untuk disimpan.
Bendera ini adalah pusaka Tai-bong-pai, pemegangnya akan dihormati seperti kepada ketua Taibong-
pai sendiri."
Bwee Hong menerima bendera itu, bendera kecil yang terbuat dari pada anyaman kawat
baja lembut yang bersulamkan benang emas dengan lukisan sebuah kuburan dengan huruf Tai
Bong Pai.
"Sayang sekali bahwa kami belum berhasil menyembuhkan sama sekali penyakit yang
diderita oleh Kwa-siocia," kata Seng Kuil dengan suara menyesal. "Padahal, sudah hampir sembuh.
Kalau ia dilanjutkan dengan pengobatan yang menggunakan sinkang dari golongan kami, tentu
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
akan dapat disembuhkan secara cepat sekali. Sayang, aku masih terluka sehingga tidak mampu
melakukannya, sedangkan adikku, hanya mempelajari tusuk jarum dan pengobatan saja, akan
tetapi sinkang-nya belum sekuat itu untuk dapat mengobati. Kalau saja ji-susiok tidak memusuhi
kami, sekali dia turun tangan tentu puterimu akan dapat disembuhkan dengan seketika, bibi Kwa."
Setelah berkali-kali menghaturkan terima ka-sih, ibu dan anak itu lalu pergi pada malam
hari. Karena belum mampu berjalan sendiri, Siok Eng masih dipikul dalam keranjang bambu
seperti ketika ia datang. Ibu dan anak itu berangkat di malam gelap, diiringkan oleh delapan orang
anak buah yang seram-seram itu.
Setelah semua tamunya pergi, barulah kakak beradik itu merasa betapa sunyinya rumah
mereka. Barulah terasa oleh mereka benar-benar bahwa mereka telah kehilangan ayah bunda
mereka. Maka, tak tertahankan lagi, Bwee Hong menangis. Seng Kun juga termenung dengan hati
terasa kosong dan kesepian. Akan tetapi untuk menghibur adiknya, dia cepat berkata, "Sudahlah,
adikku. Dari pada membiarkan diri hanyut dalam kesedihan, apakah tidak lebih baik kalau kita
membaca buku catatan peninggalan ayah itu ?"
Ucapan ini mengingatkan Bwee Hong. Selama ini, mereka berdua belum sempat membaca
buku catatan itu karena di situ terdapat banyak tamu dan Bwee Hong juga sibuk merawat
kakaknya dan Siok Eng. Kini, teringat akan pesan ayah mereka, Bwee Hong segera memasuki
kamar dan membawa keluar peti hitam itu. Mereka duduk berdampingan agar dapat membaca isi
kitab itu bersama-sama, Ternyata pada halaman pertama terdapat tulisan ayah mereka yang
ditujukan kepada mereka berdua !
Seng Kun dan Bwee Hong tersayang,
Surat dan catatan ini memang kupersiapkan untuk kalian, pada saat terakhir kita berpisah,
akan kuserahkan kepada kalian. Sekarang, kuatkanlah hati kalian untuk menghadapi kenyataan,
pahit maupun manis, kenyataan tentang diri kalian yang sesungguhnya. Nah, bacalah catatanku
ini."
Ayah angkat kalian, Bu Kek Siang
"Ayah angkat......? Apa maksud ayah ? Bwee Hong berseru dengan kaget sekali membaca
sebutan itu.
Kakaknya lebih tenang. "Marilah kita baca catatan ini selanjutnya, adikku."
Mereka berdua dengan tidak sabar lalu membaca catatan itu. Dan keduanya terkejut bukan
main Mula-mula mereka memang tidak mengerti ketika catatan itu bercerita tentang keadaan
seorang pangeran. Pangeran itu bernama Chu Sin, seorang pangeran yang berjiwa pemberontak
karena dia tidak suka melihat kehidupan istana yang penuh dengan kepalsuan dan korupsi. Dia
menentang keluarga kaisar, keluarga ayahnya sendiri dan karena dia dimusuhi, dia lalu
meninggalkan istana dan merantau di luar istana. Akan tetapi, karena dia dianggap sebagai
pemberontak yang berbahaya dan mungkin akan menghimpun kekuatan dari rakyat untuk
menentang istana, maka dia lalu dikejar-kejar sebagai buronan. Dalam perantauan-nya ini,
Pangeran Chu Sin bertemu dengan seorang gadis kang-ouw, yaitu keponakan dari nyonya Bu Kek
Siang sendiri, seorang gadis she Sim. Mereka saling mencinta dan akhirnya menjadi suami isteri.
Pangeran Chu Sin dan isterinya tinggal mengasingkan diri di gunung sampai mereka
mempunyai dua orang anak. Akan tetapi pada suatu hari, datanglah pasukan pemerintah yang
telah mengetahui di mana adanya Pangeran Chu Sin. Rumah itu diserbu. Isteri Chu Sin, sebagai
seorang wanita kang-ouw, melakukan perlawanan gigih dan akhirnya tewas. Pangeran Chu Sin
sendiri tertawan oleh pasukan dan dibawa pergi ke kota raja.
Pada akhir catatan itu, barulah Seng Kun dan Bwee Hong dengan kaget membaca bahwa
putera sang pangeran itu bukan lain adalah mereka sendiri!
Ketika itu, demikian menurut catatan pendekar Bu Kek Siang, Seng Kun baru berusia tiga
tahun dan Bwee Hong berusia satu tahun. Mereka lalu ditolong oleh pendekar Bu Kek Siang suami
isteri dan diaku sebagai anak-anak mereka sendiri, digembleng dengan ilmu silat dan ilmu
pengobatan.
"Koko......"
"Moi-moi !" Dua orang anak itu saling berangkulan dan menangis. Kiranya mereka bukan
anak kandung pendekar Bu Kek Siang, melainkan putera-puteri seorang pangeran yang kini entah
masih hidup ataukah sudah mati. sedangkan ibu kandung mereka telah lama tewas dalam
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pengeroyokan pasukan istana. Pendekar yang dianggap ayah itu ternyata malah kakek paman
mereka, karena bukankah ibu kandung mereka itu keponakan dari nyonya Bu ? Kenyataan yang
mereka baca dalam catatan pendekar Bu Kek Siang itu menimbulkan berbagai macam perasaan.
Mereka merasa terharu dengan kenyataan bahwa suami isteri pen-dekar itu biarpun hanya
merupakan ayah dan ibu pungut saja, ternyata telah mencurahkan kasih sayang yang amat besar
kepada mereka. Dan ternyata bahwa she mereka sendiri bukanlah she Bu melainkan" she Chu !
Akan tetapi, kenyataan itu pun mendatangkan suatu harapan tipis, yaitu untuk dapat bertemu
dengan ayah kandung mereka. Bukankah menurut catatan itu, ayah kandung mereka, Pangeran
Chu Sin, masih hidup dan hanya ditawan saja oleh para pasukan istana ?
Ho Pek Lian bersama dua orang gurunya, melanjutkan perjalanan mereka yang telah
tertunda sampai setengah bulan lebih itu. Pengalaman- pengalaman mereka selama beberapa
belas hari ini benar-benar mengejutkan sekali dan membuka mata mereka bahwa di dunia ini
terdapat banyak-sekali orang pandai dan bahwa kepandaian mereka sesungguhnya masih amatlah
rendah. Pengalaman- pengalaman ini terutama sekali amat mengejutkan hati Pek Lian. Dua orang
kakek itu sudah banyak pengalaman, akan tetapi baru sekarang merekapun menghadapi orangorang
yang amat pandai, seolah-olah ada sesuatu terjadi di dunia kang-ouw ini yang membuat
orang-orang sakti bermunculan dari tempat pertapaan dan persembunyian mereka.
Kim-suipoa adalah seorang yang belum pernah menikah dan namanya adalah Tan Sun.
Semenjak muda dia suka bertualang, oleh karena itu maka dia tidak pernah menikah setelah di
masa mudanya pernah gagal bercinta. Kesukaannya, selain ilmu silat, adalah berdagang dan kalau
dia sudah memperoleh keuntungan-keuntungan karena tepatnya perhitungannya, maka
berbahagialah hatinya. Akan tetapi, dia tidak pernah dapat mengumpulkan har-tanya. Hatinya
terlalu perasa dan kedua tangannya terlalu terbuka sehingga semua keimbangan yang didapatnya
karena kelihaiannya mainkan suipoa, selalu habis disumbangkan kepada orang lain. Sekarangpim,
seluruh hartanya diberikannya kepada Liu Pang untuk memperkuat kedudukan pendekar yang
memimpin orang-orang gagah sebagai seorang bengcu itu.
Pek-bin-houw bernama Liem Tat dan dalam usia semuda itu, baru empatpuluh tahun lebih,
dia sudah menduda. Isterinya tergila-gila kepada pria lain dan melarikan diri bersama pria itu. Pekbin-
houw Liem Tat tidak mengejar, membiarkannya saja karena dia berpikir bahwa kalau memang
isterinya itu, sebagai seorang wanita sudah tidak suka hidup bersama dia, perlu apa dipaksa ?
Lebih baik begitu, lebih baik berpisah dari pada memilih seorang isteri yang tidak mencintanya
lagi. Untung bahwa selama pernikahannya itu, dia dan isterinya tidak dikurniai anak. Penyebab
utama mengapa isterinya meninggalkannya adalah karena dia suka bertualang, sebagai seorang
pendekar kang-ouw tidak memperdulikan keadaan kesejahteraan rumah tangga, bahkan tidak
jarang dia bertualang meninggalkan isterinya sampai berbulan-bulan. Ini-lah salahnya kalau orang
memperisteri wanita yang tidak sehaluan dengan sang suami. Andaikata isterinya juga seorang
kang-ouw, tentu keduanya dapat bertualang bersama-sama.
Dua orang ini yang sekarang menjadi pembatu- pembantu Liu Pang, yaitu bengcu (pemimpin
rakyat) yang amat terkenal itu, menjadi terkejut dan terheran ketika melihat munculnya banyak
orang sakti selama ini. Mereka lalu mengajak murid mereka untuk cepat- cepat kembali ke Puncak
Awan Biru untuk kembali ke sarang mereka dan melapor kepada Liu-twako.
Akan tetapi Pek Lian membantah. "Maaf, suhu. Akan tetapi aku ingin sekali mengetahui
bagaimana nasib ayahku. Menurut kabar, ayah akan ditawan di kota Wu-han di Propinsi Hu-peh.
Aku ingin sekali menyelidiki ke sana."
Kim-suipoa mengerutkan alisnya. "Sungguh berbahaya sekali bagimu, nona. Engkau telah di
kenal dan tentu sekarang mereka sudah bersiap-siap. Apa lagi setelah terjadi serangan kita yang
ternyata gagal itu, tentu pemerintah telah menganggap engkau seorang buronan yang akan
dikejar-kejar."
"Dan untuk menyelidiki keadaan Ho-taijin, sebaiknya kalau diserahkan kepada pendapat dan
siasat Liu-twako yang dapat mengirim penyelidik-penyelidik rahasia, tentu hasilnya akan lebih baik
dari pada kalau kita sendiri yang menyelidiki sambil sembunyi- sembunyi," Pek-bin-houw menyambung.
Akan tetapi gadis itu mengerutkan alisnya.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Suhu sendiri tentu akan kecewa kalau melihat muridnya menjadi seorang anak yang tidak
memperdulikan keadaan ayah yang tertawan, dan takut menghadapi bahaya demi menolong
ayahnya. Suhu, aku ingin mencari keterangan tentang ayah," Gadis itu berkata lagi dan teringat
akan ayahnya yang menderita, matanya menjadi basah.
"Nona, kami sama sekali tidak berkeberatan dan memang sepantasnya kalau Ho-taijin
dibebaskan dari cengkeraman kaisar lalim. Akan tetapi apa daya kita kalau beliau sendiri tidak mau
dibebaskan ? Apakah yang akan kita lakukan kalau kita pergi ke Wu-han ?"
"Aku hanya ingin mendengar bagaimana kea-daannya."
"Baiklah," akhirnya Kim-suipoa Tan Sun mengangguk.
"Bagaimanapun juga, untuk pulang ke Puncak Awan Biru, kita dapat mengambil jalan
melewati Wu-han. Mari kita pergi agar sebelum terlampau gelap kita sudah bisa tiba di kota Ki-han
di sebelah selatan Wu-han."
Mereka melakukan perjalanan cepat dan pada sore hari itu tibalah mereka di kota Ki-han,
sebuah kota yang cukup besar dan ramai. Selagi mereka berjalan di jalan raya untuk mencari
sebuah rumah penginapan, mereka melihat betapa di jalan raya itu banyak terdapat perajuritperajurit
pemerintah hilir-mudik dan Suasana nampak sibuk sekali. Melihat ini, Pek Lian lalu
berjalan di belakang kedua orang gurunya untuk menyembunyikan mukanya dan mereka
mengambil jalan di tepi jalan raya itu agar jangan bertemu dengan komandan-koman-dan
pasukan.
Akan tetapi, dara ini tidak mengenal betul watak para perajurit yang sedang mengadakan
suatu gerakan di sebuah tempat. Mereka ini bukan hanya merupakan kelompok orang-orang yang
sudah biasa dengan kekerasan dan juga yang selalu merasa memiliki kekuasaan atas rakyat jelata
sehingga sering sekali melakukan tindakan dan sikap sewenang-wenang, juga mereka yang
bertugas dan agak lama berjauhan dari wanita itu selalu mempergunakan kesempatan untuk
bersikap kurang ajar terhadap wanita-wanita yang dijumpainya di mana saja. Apa lagi kalau
wanita itu secantik Ho Pek Lian! Para perajurit yang berkeliaran di kota Ki-han itu adalah pasukan
yang baru saja kembali dari tugas mereka untuk menumpas gerombolan, yaitu mereka yang tidak
mentaati pemerintah, gerombolan di sepanjang Sungai Yang-ce yang terkenal itu.
Biarpun Pek Lian telah mengambil jalan di pinggir namun kemudaan dan kecantikannya tidak
lolos dari pandang mata seorang perajurit mabok yang kebetulan lewat di dekatnya. Apa lagi
karena siang-siang para wanita kota itu sudah menyembunyikan diri di dalam rumah ketika
pasukan tiba, sehingga di jalan raya itu tidak nampak wanita muda, maka kehadiran Pek Lian
amatlah menyolok.
"Heh, nona manis, hendak ke mana ?" perajurit mabok itu berkata sambil menyeringai dan
tangannya terjulur ke depan untuk meraih dada! Tentu saja Pek Lian mengelak dan menjadi
marah.
"Manusia tak sopan!" desisnya akan tetapi ia tidak melayani perajurit itu dan mengharap
pera-jurit itu akan lewat begitu saja. Akan tetapi dugaannya keliru karena tiba-tiba perajurit itu
membalik dan menubruk pinggangnya yang ramping.
Tentu saja Pek Lian yang sedang berduka memikirkan keadaan ayahnya itu menjadi jengkel
se-kali, apa lagi karena setelah ayahnya ditawan oleh pasukan kerajaan, ia membenci setiap orang
pera-jurit kerajaan, maka tanpa ampun lagi ia menggerakkan kaki tangannya dan perajurit itu
roboh ter-jungkal di atas jalan. Ketika menerima hantaman yang amat keras itu, perajurit mabok
ini berteriak keras, akan tetapi setelah roboh terbanting, dia tidak mampu berteriak lagi.
Tentu saja peristiwa itu menimbulkan kegemparan. Para perajurit yang sedang berkeliaran
itu, cepat berlari mendatangi dan melihat betapa seorang di antara kawan mereka dihantam roboh
oleh seorang dara cantik, tentu saja mereka langsung saja maju mengeroyok! Pek Lian cepat
melawan dan tentu saja dua orang gurunya juga tidak tinggal diam dan membantu murid mereka
itu. Tentu saja banyak perajurit yang roboh malang-melintang ketika tiga orang ini mengamuk.
Akan tetapi makin banyak perajurit berdatangan. Melihat ini, karena khawatir kalau-kalau para
peiwira tinggi yang lihai datang, Kim-suipoa lalu berteriak kepada Pek-bin-houw dan Pek Lian
untuk mengikutinya melarikan diri dan menghilang ke dalam kegelapan malam.
Tentu saja para perajurit mengejar sambil berteriak- teriak. Kim-suipoa terus berlari, diikuti
oleh Pek-bin-houw dan Pek Lian. Mereka lari ke tepi kota dan melihat sebuah rumah di tempat
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
yang sunyi dan gelap, mereka segera menghampirinya. Rumah itu gelap di luar maupun di
dalamnya, maka mereka lalu mendorong daun pintu depan. Daun pintu terbuka dan di dalamnya
gelap sekali. Kebetulan, pikir mereka. Agaknya rumah kosong. Mereka lalu melangkah masuk dan
menutupkan kembali daun pintunya. Dari jauh mereka mendengar derap kaki orang-orang yang
berlari-larian, yaitu kaki para perajurit yang mengejar dan mencari-cari mereka. Agaknya mereka
itu tidak mencurigai rumah ini, buktinya tidak ada perajurit yang menuju ke rumah itu.
Keadaan kamar yang gelap pekat itu membuat mereka tidak berani bergerak. Setelah suara
kaki di jalan raya itu tidak terdengar, lagi, terdengar Kim-suipoa berbisik, "Mereka sudah pergi.
Tempat ini agaknya kosong, sebaiknya kalau kita bermalam di sini saja."
"Sebaiknya begitu, akan tetapi kegelapan ini..." kata Pek-bin-houw.
"Aku membawa batu pembuat api !" kata Pek Lian. "Kalau saja ada lilin di sini."
"Kamar ini tentu ada mejanya, barang kali ada lilin atau lampu" kata Kim-suipoa. Mereka
melangkah untuk meraba-raba mencari meja.
"Ihh... !" Pek Lian menahan jeritnya.
"Ehh... !" Kim - suipoa juga berseru.
"Apa yang terinjak ini?" Pek-bin-houw juga berseru. Mereka merasa menginjak sesuatu yang
lunak.
Karena tidak dapat menyentuh meja, dan ingin melihat apa yang mereka injak itu, Pek Lian
lalu memukul batu apinya. Terdengar bunyi "crek! crek!" dan setiap ada api berpijar, nampak
sinar terang.
Tiba - tiba Pek Lian menjerit ketika ia melihat ke depan pada saat bunga api berpijar. Ia
melihat sepasang mata melotot dari seorang pria berpakaian perwira kerajaan yang duduk di atas
kursi ! Saking kagetnya, ia menjerit dan batu api itu terlepas, jatuh. Ia berjongkok dan dengan
tangan menggigil karena merasa ngeri, ia hendak mencari bata apinya. Akan tetapi, untuk kedua
kalinya ia menjerit karena tangannya meraba - raba sesuatu yang ternyata adalah muka orang!
"Ihhh...!"
"Ada apa, nona ?"
"Ada.... ada orang duduk kursi dan rebah di lantai"
Kim-suipoa meraba-raba dan diapun dapat meraba orang-orang yang malang-melintang di
atas lantai. "Ah, ada beberapa orang dan mereka agaknya telah mati. Ini batumu" katanya dan
cepat mereka mencetuskan batu api sehingga terpancar sinar. Setelah mencetuskan beberapa kali,
mereka dapat melihat tempat minyak dan lampu. Cepat mereka lalu menyalakan api dan betapa
ngeri hati mereka melihat bahwa ada sedikitnya enam orang perwira kerajaan yang tewas malangmelintang
di atas lantai, sedangkan seorang perwira yang telah mati duduk di atas kursi dengan
mata melotot dan lidah terjulur keluar.
Mengerikan sekali. Rumah itu kosong, agaknya tidak ada orang lain, atau orangnya yang
masih hidup kecuali mereka bertiga.
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh perlahan. Mereka bertiga terkejut dan memandang ke
atas. Kiranya di atas tiang yang melintang nampak empat orang yang memiliki wajah yang
menyeramkan, wajah yang gagah dan juga bengis. Tiga orang di antara mereka sudah berusia
limapuluh tahun lebih, akan tetapi seorang di antaranya masih muda, kurang lebih duapuluh tahun
usianya, wajahnya halus dan tampan.
Karena mengira bahwa tentu mereka itu adalah orang- orangnya pasukan yang mengejar
mereka, maka Kim-suipoa sudah menggerakkan tangannya dan empat butir biji suipoa terbuat
dari baja meluncur ke arah empat orang itu. Senjata Kim-suipoa Tan Sun ini adalah alat suipoa,
dan senjata rahasianya juga biji suipoa, tentu saja bukan dari emas melainkan dari baja. Akan
tetapi, dengan tenangnya empat orang itu menyambut sinar yang menyambar itu dengan tangan
mereka ! Kim-suipoa terkejut karena hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya mereka itu.
"Aha, kiranya Kim-suipoa yang dikejar - kejar para perajurit. Ha-ha, ini namanya jodoh !"
kata pemuda itu dan dia sudah mendahului meloncat turun diikuti oleh tiga orang temannya.
Karena sikap empat orang itu tidak bermusuhan, maka Pek Lian dan dua orang gurunya juga
hanya memandang dengan sikap waspada. Orang muda itu menyingkirkan mayat yang
menghalang di depan kakinya dengan menendangnya ke pinggir dan dengan sikap menghina.
Kemudian dia menjura kepada Kim-suipoa.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Maaf kalau kami mengejutkan lo-enghiong berdua dan nona. Kalau boleh kami bertanya,
mengapa sam-wi dikejar-kejar para perajurit ?"
"Aku diganggu perajurit dan kami merobohkan beberapa orang perajurit, lalu kami dikeroyok
dan lari sampai di sini," kata Pek Lian.
Pemuda itu tersenyum. "Hemm, memang begitulah watak mereka. Sudah lama kami
mendengar nama besar Kim- suipoa lo-enghiong, dan kamipun merasa kagum sekali kepada Liutaihiap."
"Beliau adalah guruku !" kata Pek Lian. Men-dengar ini, mereka berempat menjura.
"Ah, kiranya para pendekar dari Puncak Awan Biru. Maafkan kami. Tempat inipun tidak
aman, kami mohon diri lebih dulu !" berkata demikian, pemuda itu berkelebat diikuti oleh tiga
orang temannya dan merekapun lenyap dari situ. Hanya ada angin menyambar yang membuat api
lampu di atas meja bergoyang - goyang. Pek Lian saling pandang dengan dua orang gurunya
sambil menggeleng - geleng kepala. Kembali mereka bertemu dengan orang - orang yang
berkepandaian tinggi.
"Suhu, siapakah kiranya orang-orang tadi?"
Kedua orang gurunya menggeleng kepala karena mereka memang belum mengenal orangorang
tadi dan tidak dapat menduga siapa mereka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara derap
kaki orang di luar rumah dan diikuti teriakan - teriakan para perajurit.
"Mari lari dari jendela !" teriak Kim - suipoa. yang sudah membuka jendela samping dan
mereka berloncatan keluar.
"Tangkap!"
"Serbu...!"
"Kejar...!!
Akan tetapi tiga orang itu dengan cepat telah melarikan diri di dalam kegelapan malam dan
di-kejar- kejar oleh para perajurit. Dan kiranya kota Ki - han itu telah dijaga ketat sekali oleh
banyak perajurit sehingga pintu - pintu gerbang tak mung-kin dilalui orang tanpa pemeriksaan dan
pengge-ledahan yang ketat. Untuk melompati pagar tembok kota juga berbahaya karena agaknya
malam itu para perajurit benar - benar sibuk melakukan penjagaan. Untuk melalui pintu gerbang
tentu saja mereka tidak berani. Dan untuk tetap tinggal di dalam kota, tanpa ada tempat
menginap, selain berbahaya juga akan membuat, mereka tentu menjadi lelah sekali. Akhirnya
mereka dapat menemukan tembok kota yang gelap dan agak jauh dari penjagaan, maka tanpa
ragu - ragu lagi mereka lalu berlompatan dan keluar dari kota Ki-han melalui tembok kota itu.
Betapapun juga, mereka tidak berhenti dan terus berlari sampai akhirnya mereka melihat
sebuah kuil tua di kaki bukit. Ke situlah mereka menuju dan mereka segera mengetuk pintu kayu
tebal kuil itu. Beberapa kali mereka mengetuk dan akhirnya pintu depan terbuka dan seorang
hwesio dengan mata mengantuk berdiri di depan mereka.
Kim - suipoa yang memimpin rombongannya segera memberi hormat kepada hwesio itu.
"Kami mohon kemurahan hati para hwesio di sini untuk dapat menampung kami bermalam di
tempat ini melepaskan lelah."
Hwesio itu mengerutkan alisnya. "Pinceng tidak berani memberi keputusan karena sam - wi
datang di tengah malam begini, apa lagi ada seorang wanita muda sebaiknya pinceng melapor
kepada suhu, yaitu kalau suhu belum tidur. Kalau suhu sudah tidur, tentu saja pinceng tidak
berani membangunkannya dan tidak berani menerima sam-wi."
"Sudahlah, A-ceng, silahkan mereka masuk ke kamar tamu." Tiba-tiba terdengar suara halus
dari dalam.
Hwesio yang dipanggil A-ceng itu tersenyum. "Ah, suhu belum tidur. Silahkan, sam-wi,
silahkan masuk ke sini ......" Dia lalu membawa lampu teng bergagang, menutupkan kembali
daun pintu dan memalangnya, kemudian mengantar tamu-tamu itu menuju ke sebuah ruangan
tamu di samping. Seorang hwesio tua sudah duduk di situ. Kim-suipoa selain terkenal sebagai
seorang pendekar gagah perkasa, juga terkenal sebagai seorang dermawan, maka mengingat
bahwa dia banyak dikenal oleh kuil-kuil yang sudah banyak disumbangnya, dia lalu
memperkenalkan diri setelah memberi hormat.
"Saya Kim-suipoa Tan Sun dan dua orang teman mohon maaf kalau mengganggu losuhu.
Kami bertiga kemalaman di jalan dan mohon diperkenankan mengaso sampai pagi di kuil ini."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Mendengar julukan ini, benar saja hwesio tua itu segera merangkapkan kedua tangan di
depan dadanya. "Omitohud..., kiranya Tan-sicu yang datang. Apa lagi Tan-sicu yang telah banyak
melimpahkan budi kepada kaum miskin dan tempat-tempat ibadah, biar orang lain sekalipun kalau
kemalaman tentu akan pinceng terima dengan hati dan tangan terbuka. Silahkan, sicu." Hwesio
tua itu lalu menyuruh hwesio bernama A-ceng itu untuk membawa tiga orang tamunya ke kamar
tamu, dua buah kamar, sebuah untuk siocia (nona) dan yang ke dua untuk kedua orang sicu
(orang gagah) itu.
Malam itu Pek Lian dan kedua orang gurunya dapat beristirahat dengan tenang dan daffat
tidur nyenyak sehingga pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi mereka bangun, mereka merasa
segar dan tenaga mereka telah pulih kembali. Pagi-pagi sekali, mereka bertiga sudah bangun,
mereka membersihkan diri, berkemas dan bersiap-siap untuk berpamit dari ketua kuil untuk
melanjutkan perjalanan mereka, karena mereka merasa bahwa terlalu lama berada di sekitar
daerah di mana sedang diadakan pembersihan itu, tidaklah menguntungkan. Pula, yang mereka
tuju adalah Wu-han, di mana Menteri Ho kabarnya ditawan.
Akan tetapi, pada saat mereka berjalan menuju ke ruangan depan, terdengar ada orang
membuka pintu depan dan menutupkannya kembali, lalu terdengar suara ketua kuil yang halus
dan sabar. "Hei, A-hai, ke mana sajakah engkau semalam ?
Omitohud.., pinceng benar-benar mengkhawatirkan dirimu. Kenapa engkau tidak pulang ?
Apakah terjadi kesukaran lagi, Hai-ji (anak Hai)?"
"Maaf, suhu. Aku tidak berani pulang. Habis, banyak sekali perajurit - perajurit di kota pada
mengamuk membabi - buta. Aku jadi ketakutan dan aku tidur bersama para jembel di dalam
pasar." Jawaban suara ini seperti tidak asing dan telah dikenal oleh Pek Lian dan dua orang
gurunya, akan tetapi mereka lupa lagi di mana pernah mendengar suara itu, suara yang ketololtololan.
Kim-suipoa lalu maju dan membuka pinta lalu melangkah keluar. Orang yang disebut Hai-ji
dan baru datang itu telah memegang sebatang sapu bergagang panjang dan sudah siap untuk
menyapu pelataran di mana banyak terdapat, daun-daun sang berguguran semalam. Mudah
diduga bahwa pemuda itu adalah murid atau juga pelayan di kuil itu karena dia bukanlah hwesio,
melainkan seorang pemuda yang bertubuh jangkung tegap, dengan rambut hitam panjang
digelung ke belakang dan pakaiannya sederhana. Mendengar pintu dibuka orang, pemuda itu
menoleh.
"Eh, kau ...??!" Suara Kim-suipoa terdengar kaget sekali ketika dia mengenal pemuda itu.
Pek Lian dan Pek-bin-houw cepat keluar dari pintu itu dan merekapun terkejut, memandang
kepada pemuda yang memegang sapu itu dengan mata terbelalak dan pandang mata gentar.
Tentu saja mereka gentar karena pemuda ini bukan lain adalah pemuda yang pernah menjadi
kusir kereta tawanan yang membawa Menteri Ho, pemuda yang terluka lalu mengamuk dengan
kepandaiannya yang mentakjubkan dan mengerikan itu! Mereka bertiga memandang dengan
muka berobah dan sikap waspada. Siapakah pemuda ini ? Bagaimana dulu pernah menjadi kusir
pasukan pemerintah, dan sekarang menjadi pelayan kuil ?
Ketua kuil, hwesio yang usianya sudah mendekati tujuhpuluh tahun itu kini datang
menghampiri. Diapun tersenyum gembira. "Omitohud..., betapa sempitnya dunia ini. Kiranya sam -
wi (anda bertiga) telah mengenal anak ini ? Sungguh kebetulan sekali! Baru setengah bulan dia
bekerja di sini. dan pinceng tidak tahu siapa dia sebenarnya. Siapakah anak ini, sicu ?" tanyanya
kepada Kim-suipoa.
"Sungguh aneh!" Ho Pek Lian berseru. "Apakah losuhu belum mengenal dia ? Kalau begitu,
bagaimana dia bisa berada di sini ? Kami baru dua kali ini bertemu dengan dia dan kamipun tidak
tahu siapakah dia sebenarnya."
"Orang muda, bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk memperkenalkan diri ?" Pek-binhouw
berkata sambil memandang tajam kepada wajah yang tampan dan gagah sekali itu.
Sejenak pemuda tinggi besar itu memandang kepada mereka satu demi satu. Alisnya yang
tebal hitam berbentuk golok itu berkerut, sepasang mata yang bening tajam akan tetapi nampak
bingung itu menjadi semakin muram. Dia membanting kakinya dan nampak jengkel sekali, bahkan
dia lalu membuang sapunya. Wajahnya muram dan membayangkan kekesalan hatinya. Tangan
kirinya menggaruk-garuk kepala di belakang telinga, bahkan lalu mencengkeram dan menjambaki
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
rambutnya sehingga gelungnya terlepas dan rambut yang diikat di bagian belakang itu menjadi
seperti ekor kuda yang besar.
"Suhu... sungguh celaka, semua membuatku menjadi pusing saja! Setiap orang mengatakan
bahwa dia pernah mengenalku, pernah melihatku, malah banyak yang mengatakan bahwa aku
pernah memukulnya. Mereka memandang dengan takut kepadaku, katanya aku lihai dan pandai
silat. Padahal, aku belum pernah melihat mereka ! Dan aku sama sekali tidak bisa silat, apa lagi
memukul orang. Bagaimana ini ? Suhu, siapakah aku ini sebenarnya ? Kenapa begitu banyak
orang mengenalku sedangkan aku belum pernah bertemu dengan mereka ? Ah, aku bisa menjadi
gila kalau menghadapi teka-teki ini... suhu, katakanlah siapa sebenarnya diriku ini."
Kwesio tua itu merangkap kedua tangan di depan dada, pandang matanya diangkat ke atas
seolah-olah dia berdoa. "Omitobud ...... !" Dipandangnya pemuda itu dengan sinar mata penuh iba
kasih mendalam. "Sudahlah, Hai-ji.. engkau masuk dan beristirahatlah dulu. Mungkin engkau
masih merasa kaget oleh ulah para perajurit malam tadi, maka tenangkanlah hatimu dan
mengasolah."
Pemuda itu mengangguk dan melangkah pergi, baru beberapa langkah berhenti dan
mengambil sapu yang dibuangnya tadi, menyandarkannya di batang pohon, barulah dia pergi
meninggalkan tempat itu tanpa menoleh kepada Pek Lian dan dua orang gurunya. Dan melihat
sikap pemuda itu, entah bagaimana ia sendiripun tidak tahu dan tidak mengerti mengapa, hati
Pek Lian terasa amat kecewa. Pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya, melirik sedikitpun
tidak, seolah-olah ia tidak pernah ada di situ ! Dan anehnya, pemuda itu nampaknya seperti
ketakutan benar keti ka diingatkan akan para perajurit. Dan pemuda itu nampak bahwa dia benar
- benar sama sekali tidak mengenal mereka. Benarkah pemuda itu sakit ingatan ? Sungguh sayang
sekali. Pemuda yang demikian gagahnya, tampan dan juga sebetulnya lihai bukan main sehingga
seorang tokoh besar seperti Pek - lui - kong saja dapat dibuat gentar olehnya.
Hwesio tua itu menarik napas panjang, "Sunggun patut dikasihani anak itu. Agaknya sesuatu
yang amat hebat telah menimpa dirinya sehingga jiwanya terguncang hebat. Dia benar - benar
lupa sama sekali akan masa lalunya. Dia tidak tahu sia-pa dirinya dan siapa pula orang tuanya."
"Akan tetapi, losuhu. Bukankah losuhu menyebut namanya dengan Hai - ji (anak Hai) ?"
Hwesio itu kembali menghela napas. "ketika dia mengerahkan seluruh ingatannya, dia
mengatakan bahwa dia hanya ingat orang tuanya menye-butnya Hai-ji (anak Hai). Oleh karena itu
maka pinceng menyebutnya A-hai atau Hai-ji. Agaknya namanya, tak salah lagi, tentu ada huruf
Hai - nya Dia telah berkelana sampai jauh, mencari orang yang tahu akan riwayat hidupnya, yang
benar - benar mengenalnya dan tahu keadaan keluarganya., Namun, sampai sekarang sia - sia
belaka."
"Sungguh aneh sekali. Apakah dia tidak ingat sama sekali peristiwa yang terjadi pada saat
ter-akhir dia dapat mengingatnya, losuhu ?" tanya Pek-bin-houw.
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Keadaan dirinya sendiripun kadang - kadang aneh dan
dia kehilangan ingatan sama sekali. Dalam keadaan sadar, dia adalah seorang pemuda yang rajin,
sopan, biarpun pemurung karena selalu memikirkan dirinya, dan juga seorang pemuda yang
lemah, dalam arti kata tidak mengenal ilmu silat walaupun pada dasarnya dia bertenaga besar dan
bertulang bersih sekali. Akan tetapi apa bila dia mengalami tekanan batin atau melihat darah,
maka dia akan kumat. Dan kalau sudah begitu, dia bisa berbahaya bukan main. Dengan tiba-tiba
saja dia menjadi buas, liar dan memiliki gerakan silat yang luar biasa sekali. Sudah setengah bulan
dia bekerja di sini. Pinceng membawanya ke sini setelah dia roboh pingsan, sesudah kumat dan
mengamuk. Setelah sadar, dia menyatakan bahwa tempat ini menenangkan hatinya dan dia minta
bekerja di sini. Karena kasihan, pinceng menerimanya."
Pek Lian dan dua orang suhunya yang sudah merasakan kelihaian pemuda itu ketika kumat,
lalu menceritakan tentang pertemuan mereka yang pertama kali dengan pemuda itu kepada ketua
kuil yang mendengarkan dengan penuh rasa heran dan kagum.
"Pinceng tidak percaya bahwa dia dengan se-ngaja membantu pasukan," katanya, tidak
mengerti bahwa nona itu adalah puteri Ho - taijin yang terkenal karena mereka tidak menceritakan
hal itu. "Dia tidak berpura - pura. Dalam keadaan sadar, dia sama sekali tidak mengerti ilmu silat.
Pinceng sudah beberapa kali mencobanya. Akan tetapi kalau penyakit aneh itu kambuh, ilmunya
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
hebat bukan main. Sungguh mengherankan sekak, mengapa begitu hilang kesadarannya, dia
malah menjadi lihai sekali."
"Memang mengherankan dan patut dikasihani," kata Kim - suipoa. "Kalau dia tidak cepat
memperoleh pengobatan sampai sembuh, keadaannya seperti itu amat berbahaya dan tentu saja
dia dapat disalahgunakan oleh golongan penjahat."
Hwesio itu mengangguk - angguk. "Memang berbahaya sekali. Tiga hari yang lalu ketika dia
sedang bergembira, pinceng menyuruhnya membetulkan genteng yang pecah dan bocor. Entah
karena kurang hati - hati barangkali, dia terjatuh ke bawah. Kakinya terluka, lecet dan
mengeluarkan banyak darah. Begitu dia melihat darah, langsung saja dia kumat, mengamuk.
Kalau pinceng dan para hwesio tidak cepat melarikan diri, mungkin ada yang terbunuh. Dia
mengejar pinceng dan melawanpun percuma. Pinceng lalu pasrah dan bersila, bersembahyang.
Eh, melihat pinceng bersembahyang, dia tidak jadi memukul walaupun angin pukulan tangannya
sempat membuat pinceng tergetar hebat. Dan diapun melayang naik ke. atas genteng di
wuwungan tertinggi dan duduk menangis! Hebatnya, setelah dia sadar kembali, dia menjadi
ketakutan dan tidak dapat turun se-hingga pinceng terpaksa memasang anak tangga untuk dia
turun."
Pek Lian dan dua orang gurunya merasa heran dan juga geli. Sungguh keadaan pemuda itu
amat aneh dan penuh rahasia. Akan tetapi karena pemuda itu sendiri tidak dapat menceritakan
keada-an dirinya, dan mereka mempunyai urusan penting mereka lalu mohon diri dari ketua kuil.
Akan tetapi, baru saja mereka hendak melang-kah keluar, tiba - tiba terdengar suara
terompet bersahut - sahutan dari jauh, disusul suara derap kaki banyak kuda di sepanjang jalan
tak jauh dari kuil itu. Jelaslah bahwa keributan para perajurit itu menunjukkan bahwa telah terjadi
sesuatu yang hebat. Para hwesio kuil itu berlari - larian keluar untuk menonton, kecuali pemuda
aneh yang malah bersembunyi di belakang kuil. dan ketua kuil yang dengan tenang saja berada di
ruangan depan.
"Maaf, losuhu, kemarin kami bentrok dengan para perajurit ketika saya diganggu, maka kami
ingin tinggal dulu di sini sampai mereka itu pergi," kata Pek Lian. Ketua kuil itu mengangguk dan
mempersilahkan.
“Kami akan menyelidiki keadaan di luar dan melihat apa yang terjadi," katanya, kemudian
dia memanggil beberapa orang hwesio dan memberi perintah kepada mereka untuk pergi
menyelidik.
Menjelang tengah hari, ketua kuil itu menemui para tamunya dengan wajah yang serius.
Setelah duduk berhadapan, ketua kuil itu lalu menarik napas panjang berkali - kali. "Omitohud..... ,
dunia semakin menjadi kacau kalau manusia - manusianya tidak lekas - lekas sadar akan dirinya,
baik yang paling tinggi kedudukannya maupun yang paling rendah."
"Apakah yang telah terjadi, losuhu ?" tanya Pek Lian.
"Ah, sungguh menyedihkan dan mengerikan. Para pendekar mulai memperlihatkan
kemarahannya dan banyak perwira - perwira dibunuh di mana - mana, tidak terkecuali di kota Ki -
han. Beberapa orang perwira yang sedang berkemah di dekat kota dan sedang menghibur diri di
kota, tahu-tahu dibunuh orang. Ahhh..., semua ini akibat dari pada peraturan- peraturan tidak adil
yang dilakukan oleh kaisar. Malah baru saja pemerintah melarang terhadap orang - orang
bersenjata. Pendeknya, semua senjata yang ada dalam rumah dirampas dan disita untuk dilebur
dan dihancurkan, dan tentu saja setiap, orang yang membawa senjata ditangkap, senjatanya
dirampas dan kalau dia melawan akan dipukuli bahkan ada yang dibunuh. Kacau... kacau..., dan
sam-wi sebagai pendekar-pendekar sebaiknya cepat menyembunyikan senjata kalau sam-wi
membawanya."
Pek Lian meraba pedangnya dan saling berpandangan dengan kedua orang gurunya. Kaisar
telah bertindak terlampau jauh. Akan menentang para pendekar dengan terang-terangan agaknya.
Kim-suipoa mengepal tinjunya.
"Tindakan pemerintah sungguh sewenang - wenang. Semenjak ratusan tahun yang lalu,
para pendekar mempersenjatai dirinya untuk melawan kejahatan. Kalau dilarang memegang
senjata, bagaimana harus membela diri terhadap serangan segala macam binatang buas dan
orang jahat ?"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Omitohud...makin tua pinceng mengalami hal - hal yang amat menyedihkan. Semenjak
kaisar yang sekarang berkuasa, memang ada beberapa hal yang pinceng anggap merupakan
kebijaksanaan yang baik sekali. Penertiban ukuran dan timbangan sungguh menguntungkan dalam
dunia perdagangan. Kemudian disamakannya huruf - huruf di seluruh daratan juga merupakan hal
yang amat baik sekali bagi kesusasteraan dam kesenian. Akan tetapi, kenapa akhir - akhir ini
bermunculan perintah - perintah yang begitu jahat ? Kitab - kitab suci dibakar dan dimusnahkan!
Bagaimana mungkin hal itu dilakukan tanpa menggegerkan dunia ? Pinceng sendiri beragama
Buddha, akan tetapi melihat betapa kitab - kitab Nabi Khong Cu dimusnahkan, diam - diam
pinceng merasa ngeri. Jelas itu merupakan persaingan agama yang tidak adil. Kemudian, Menteri
Ho yang bijaksana itu ditangkap seluruh keluarganya! Bukan main..."
"Berita apa lagi yang diperoleh murid - murid losuhu ?" Kim - suipoa bertanya.
"Hebat, dan membuat pinceng merasa tidak enak terhadap sam - wi. Ada berita yang
mengatakan bahwa para perajurit itu mencari seorang gadis dan dua orang laki - laki setengah tua
yang kabarnya pernah membuat onar dan mereka bertiga itu dituduh telah melakukan
pembunuhan - pembunuhan terhadap para perwira kerajaan itu."
"Ah, yang dimaksudkan adalah kami!" kata Pek Lian terkejut.
"Agaknya demikianlah, nona. Maka sebaiknya kalau sam - wi bersembunyi dulu di kuil ini dan
baru pergi setelah keadaan aman dan tenteram."
Tiga orang itu menjura dan menghaturkan terima kasih. Tan Sun si Suipoa Emas dan Liem
Tat si Harimau Muka Putih mengintai dari balik pintu depan, sedangkan Pek Lian pergi ke belakang
untuk mencari pemuda aneh yang sinting itu. Didapatkannya pemuda itu asyik membelah kayu -
kayu bakar dengan pisau dapur yang tidak tajam dan juga kecil. Dari belakang pemuda itu, Pek
Lian memandang kagum. Biarpun dalam keadaan sadar pemuda itu tidak paham ilmu silat, akan
tetapi ha-rus diakuinya bahwa pemuda ini bertenaga besar. Kalau tidak, mana mungkin membelah
kayu bakar hanya mempergunakan pisau dapur kecil yang tumpul pula ? Pemuda itu bertelanjang
baju, hanya memakai celana hitam panjang. Dari belakang nampak tubuhnya yang kekar dan
kokoh kuat, dengan otot - otot yang besar dan hidup. Pek Lian memandang kagum sekali sampai
melongo dan seperti orang menahan napas. Menarik sekali dan indah sekali bentuk tubuh pemuda
itu, membayangkan kejantanan dan kekuatan yang mengagumkan hatinya. Tiba - tiba pemuda itu
menengok, seolah - olah merasa bahwa ada orang memandanginya.
Dua pasang mata bertemu dan sejenak bertaut. Pek Lian segera menundukkan mukanya
yang menjadi merah. Ia telah tertangkap basah sedang "mencuri" pandang. Pemuda itupun
kelihatan canggung dan dihentikannya pekerjaannya.
"Ada ...ada apakah, nona ?" dia bertanya sambil mengusap keringat dari dada dan lehernya,
menggunakan saputangan besar.
"Ah, tidak apa-apa, maaf kalau aku mengganggu pekerjaanmu, eh... saudara A-hai.
Bolehkah aku memanggilmu A-hai ?" Pek Lian melangkah, mendekat dan memandang ramah.
Pemuda itu sejenak menatap wajah itu, lalu me-nunduk dan dengan canggung seperti orang
yang malu-malu membelah lagi kayu di depannya, akan tetapi karena canggung, gerakannya kaku
dan kayu itu tidak dapat terbelah pecah.
"Tentu saja boleh, nona. Memang namaku A-hai."
"Dan namaku Pek Lian," kata dara itu tanpa menyebutkan she-nya yang untuk sementara ini
harus disembunyikan dulu.
"Pek Lian ...?" Pemuda itu mengerutkan alisnya, seolah-olah hendak mengingat-ingat atau
hendak menanamkan nama itu dalam-dalam di batinnya. "Pek Lian..., Pek Lian... !"
Pek Lian menahan senyumnya. Aneh sekali ra-sanya. Mengapa ketika namanya disebut
berulang-ulang itu hatinya terasa senang sekali ?
"Engkau mengenal nama itu ?"
A-hai menggeleng kepala. "Aku hendak mengingatnya agar jangan lupa."
Kembali Pek Lian terasa sejuk nyaman. Senang sekali hatinya dan iapun berjongkok di dekat
pemuda itu yang masih mencoba - coba untuk membelah kayu akan tetapi selalu gagal karena dia
tiba-tiba menjadi canggung sekali.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Begini kalau membelah kayu !" kata Pek Lian dan gadis ini miringkan tangan kanannya,
mengerahkan tenaganya dan sekali "bacok" dengan tangan miring itu pecahlah kayu bakar di
depannya menjadi dua, seperti terbacok golok yang tajam saja.
Wajah A - hai berseri. "Wah, engkau pandai se-kali, Pek Lian!"
Pek Lian semakin girang. Padahal, pemuda ini seharusnya menyebut nona. Lalu iapun
teringat bahwa ia sendiripun menyebut A - hai begitu saja, dan dalam sebutan - sebutan ini terasa
olehnya suatu keakraban yang luar biasa.
"Apa engkau tidak bisa melakukannya dengan tangan kosong, A - hai ?"
Pemuda itu menggeleng. "Mana mungkin ? Dengan pisau inipun amat sukarnya."
"Dengan pisau itu memang lebih sukar dari pada dengan tangan kosong. Cobalah dan tirulah
aku, engkau tentu bisa," kata Pek Lian. "Nah, mula - mula tangan kananmu begini, lalu kerahkan
tenaga, tahan napas dan salurkan tenaga ke tanganmu, pusatkan pada bawah tanganmu dan
curahkan perhatian dan keyakinan bahwa kayu ini tentu akan pecah terbelah oleh pukulan
tanganmu yang tajam seperti golok. Mulai. Lihatlah dulu tanganku. Satu - dua - tiga ! Krakk !"
Kayu itu pecah oleh bacokan tangan Pek Lian. "Sekarang coba kaulakukan dengan kayu di
depanmu itu."
Wajah pemuda itu berseri seperti seorang anak kecil memperoleh suatu permainan baru.
Diapun lalu menegangkan tangannya, dibentuk seperti bentuk tangan dara itu tadi, kemudian
diapun menahan napas dan mengerahkan tenaga. Pek Lian menekuk ibu jari pemuda itu agak
membengkok ke dalam telapak tangan, lalu mengangguk. "Sudah baik begitu, nah, kerahkan
tenaga dan dengar hitunganku. Satu..., dua... tiga... !" Pemuda itu mengayun tangannya
dan "Krakkk!" kayu itupun pecah terbelah! A - hai tertawa gembira biarpun sambil menyeringai
karena tangannya agak nyeri rasanya.
Diam-diam Pek Lian memandang kagum. Tanpa disadari, pemuda ini sebenarnya memiliki
sin-kang yang amat kuat. Kalau saja pemuda ini dapat mempergunakannya, tentu akan hebat
sekali. Kalau begitu, pikirnya, keadaan menjadi sebaliknya ma-lah. Kalau pikirannya sedang sadar
seperti ini, jus-teru ilmu pemuda itu seperti "tidur", akan tetapi sebaliknya kalau pikirannya kacau
dan tidak sadar, ilmunya malah "bangun".
"Engkau baik sekali, Pek Lian," katanya dan sikapnya menjadi ramah.
"Engkau juga baik sekali, A-hai. Benarkah bahwa engkau sudah tidak ingat sama sekali akan
asal - usulmu ?"
Pemuda itu mengerutkan alisnya yang hitam tebal itu, lalu menghela napas panjang.
Dadanya yang bidang dan kuat itu membusung ketika di menyedot napas. "Aahh, Pek Lian, jangan
bicara tentang masa laluku. Aku menjadi pusing kalau memikirkan itu. Aku tidak mau ingat apa -
apa lagi yang penting aku ingat sekarang ini bahwa engkau bernama Pek Lian dan engkau baik
sekali terhadap diriku."
Hati dara itu terasa senang sekali. Ia sendiri merasa heran. Sebagai puteri seorang menteri,
ia sudah biasa dengan kata - kata menjilat dan me-muji, dan sebagai seorang gadis yang cantik
dan lihai, banyak sudah orang memuji kecantikannya atau kelihaiannya. Akan tetapi biasanya, puji
- pujian itu membuatnya merasa muak karena ia tahu bahwa di balik pujian itu tersembunyi
maksud lain Sebaliknya, pujian pemuda ini begitu wajar dan bersih dari pada pamrih apapun, dan
terasa meng-harukan dan juga menyenangkan baginya.
"A - hai, apakah selain aku, tidak ada orang lain yang juga amat baik kepadamu ?"
Pemuda itu cemberut, lalu menggeleng kepa-lanya. "Ada sih ada, seperti losuhu di kuil ini
juga baik kepadaku. Akan tetapi kebanyakan orang amat jahat, jangankan menolong, malah
mereka itu selalu menggangguku. Semua orang jahat kepadaku, Pek Lian, akan tetapi engkau
baik... baik sekali, aku suka kepadamu."
Pek Lian tersenyum dan dalam keharuannya, otomatis jari - jari tangannya menyentuh
lengan yang berotot itu. "Kasihan engkau, A-hai "
Dalam suara Pek Lian terkandung getaran penuh belas kasihan dan agaknya hal ini terasa
dan menyentuh perasaan A - hai karena tiba-tiba saja pemuda itu menangis sesenggukan ! Pek
Lian ter-kejut, memandang pemuda yang menutupi muka dengan kedua tangannya itu dan
melihat air mata mengalir dari celah - celah jari tangan itu.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Pek Lian memegang lengannya. "A-hai, jangan berduka, A-hai .." katanya lirih, hampir tak
dapat menahan air matanya sendiri.
Pemuda itu menggunakan tangan yang dikepal untuk menyusuri air matanya, lalu dengan
muka muram memandang wajah dara itu. "Bagaimana aku tidak akan berduka, Pek Lian, kalau
hatiku terasa berduka sekali? Aku berduka sekali aku sengsara sekali"
"Eh, apakah yang menyebabkan engkau berduka, A-hai ? Apakah yang telah terjadi maka
engkau merasa begini sengsara ?" Dipandangnya wajah itu dengan penuh harap kalau-kalau
pemuda itu sekarang telah menemukan kembali ingatannya. Akan tetapi, pemuda itu menggeleng
kepala dan menarik napas panjang.
"Tidak tahu...aku tidak tahu, tahuku hanya
bahwa aku berduka dan sengsara sekali"
Pek Lian memandangi pemuda itu, dari kepaL sampai ke kaki. Biarpun dalam keadaan
kehilangan ingatannya, ternyata pemuda ini merawat dirinya dengan baik. Rambutnya, kukunya,
terawat dan bersih. Jelas bahwa dia ini bukan seorang pemuda dusun yang bodoh.
Tiba-tiba pendengaran Pek Lian menangkap suara ribut-ribut di luar kuil. Ia khawatir kalaukalau
pemuda ini akan kumat pula, maka ia bangkit berdiri dan berkata, "A - hai, engkau lanjutkan
pekerjaanmu dan latihlah membelah kayu dengari tangan seperti tadi. Aku hendak menemui
losuhu di luar."
A - hai mengangguk dan sudah mulai membe-lah - belah kayu dengan tangan seperti yang
diajarkan oleh Pek Lian tadi. Pek Lian sendiri cepat berlari ke ruangan luar di mana ia melihat
kedua orang gurunya sedang mengintai dari balik pintu dengan wajah tegang. Iapun cepat
menghampiri dan ikut mengintai.
Kiranya di luar kuil sedang terjadi sesuatu yang amat menarik, yaitu suatu perkelahian yang
aneh karena di situ nampak seorang perajurit muda dikeroyok oleh belasan orang perajurit lain.
Perajurit muda itu dikeroyok oleh teman - temannya sendiri ! Akan tetapi, perajurit muda itu lihai
bukan main. Dengan tangan kosong saja dia menghadapi pengeroyokan belasan orang perajurit
bersenjata itu dan berhasil membuat para pengeroyoknya kocar-kacir
Gerakannya cepat dan mantap, setiap tamparan tangannya membuat perajurit yang terkena
seketika roboh dan terlempar. Akan tetapi, karena pihak pengeroyok amat banyak, roboh satu
maju penggantinya, maka perajurit muda itu terkepung. Pek Lian mengerutkan alisnya, merasa
seperti sudah pernah melihat wajah perajurit muda itu.
Dikeroyok banyak orang, perajurit muda itu kelihatan semakin gembira. Dia tersenyum dan
mem-bentak, "Gentong - gentong kosong, majulah kalian semua!" Begitu pemuda itu tersenyum
dan bicara, teringatlah Pek Lian.
"Suhu ...dia itu orang yang berada di atas tiang melintang di rumah itu. Akan tetapi, di
mana tiga orang temannya yang lebih tua itu ?"
Kedua orang gurunya memperhatikan, dan pada saat itu terdengar derap kaki kuda dan
muncullah seorang berpakaian panglima diiringkan oleh dua orang laki - laki gagah berpakaian
preman yang agaknya merupakan pengawal - pengawal panglima itu. Di belakang panglima ini
nampak belasan orang perajurit berpakaian lengkap berlari-lari mengikuti larinya kuda. Sementara
itu, pertempuran itu agak menjauh, maka Pek Lian dan dua orang gurunya juga sudah keluar dari
kuil dan melihat ada sebuah gerobak tertutup yang berhenti di tepi jalan tak jauh dari kuil itu.
"Wah, wah... dia muncul juga" terdengar Kim-suipoa berbisik ketika melihat panglima itu.
Pek-bin-houw juga mengenalnya dan tentu saja Pek Lian yang sudah banyak mengenal panglima -
panglima kota raja itupun mengenal panglima berkuda itu.
Pada jaman itu, di kota raja terdapat dua orang jagoan yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi sekali dan namanya dikenal dan ditakuti orang. Orang pertama adalah Pek-lui-kong Tong
Ciak, jagoan cebol yang jarang keluar karena selalu bekerja secara rahasia dan menjadi panglima
dari Kim - i - wi (Pasukan Baju Emas). Panglima pengawal ini selain memiliki ilmu kepandaian yang
amat tinggi karena dia mewarisi ilmu - ilmu dari Soa - hu - pai, juga mempunyai kekuasaan yang
tak terbatas besarnya di dalam lingkungan istana. Hal ini tidaklah mengherankan, karena selain si
cebol ini amat dipercaya oleh kaisar, juga dia masih sanak dengan Chao Kao, yaitu thaikam
(pembesar kebiri) kepala yang berkuasa di dalam istana dan menjadi orang kepercayaan nomor
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
satu di dalam istana. Bahkan para selir dan keluarga kaisar sendiri menaruh hati jerih terhadap
pembesar ini.
Adapun jagoan ke dua yang ditakuti orang ada-lah panglima yang kini tiba - tiba muncul di
jalan raya tak jauh dari kuil di luar kota Ki - han itu. Panglima ini adalah seorang jenderal yang
menge-palai pasukan - pasukan pilihan. Namanya sudah amat terkenal dan setiap kali jenderal ini
memim-pin pasukannya menghadapi musuh atau melakukan operasi pembersihan, maka selalu
pasti berhasil baik. Namanya adalah Jenderal Beng Tian dan melihat tubuhnya yang tinggi besar
itu saja dia sudah nampak amat gagah perkasa. Dan memang ilmu silatnya kabarnya juga amat
hebat, mendekati kesaktian yang sukar dicari tandingannya, dan ka-barnya setingkat dengan ilmu
silat si cebol Pek - lui-kong Tong Ciak. Tentu saja keduanya memiliki kelebihan, yaitu Jenderal
Beng Tian mahir ilmu perang dan menguasai banyak pasukan, sedangkan Tong Ciak mempunyai
pengaruh besar di istana, dan lebih dekat dengan kaisar.
Dua orang berpakaian preman yang selalu men-dampingi Jenderal Beng Tian adalah
pengawal-pengawal pribadinya. Bukan orang - orang lain, melainkan masih saudara
seperguruannya sendiri. Maka dapat dibayangkan betapa lihai mereka berdua itu, hanya setingkat
lebih rendah dibandingkan dengan jenderal itu sendiri. Jaranglah jenderal itu turun tangan sendiri,
karena setiap lawan yang berani melintang di depannya, cukup ditanggulangi dan ditundukkan
oleh dua orang pengawalnya yang tangguh itu.
Beng - goanswe (Jenderal Beng) kini sudah tiba di dekat tempat perajurit muda dikeroyok
itu. Dia menghentikan kudanya dan menonton dengan pandang mata tertarik. Dia merasa kagum
sekali kepada perajurit muda itu. Diam-diam dia merasa heran dan menduga - duga siapa adanya
orang muda yang demikian tangguh dan beraninya, menyamar sebagai seorang perajurit dan
menyusup ke dalam perkemahan bala tentaranya itu. Sungguh suatu perbuatan yang luar biasa
beraninya dan ke-gagahan yang mengagumkan sekali. Gerakan pemuda itu selain cepat dan gesit,
juga mengandung tenaga kuat dan aneh sekali. Diam - diam Beng-goanswe mempelajari gerakan
- gerakannya itu dan mengingat - ingat, akan tetapi dia tidak mengenal ilmu silat pemuda itu.
Di lain pihak, ketika perajurit muda palsu itu mengenal siapa yang muncul, diam - diam
menjadi terkejut bukan main. Tidak disangkanya sama sekali bahwa orang nomor satu dari
pasukan peme-, rintah pilihan itu muncul di situ ! Tentu saja dia mengenal bahaya dan berusaha
untuk meloloskan diri dari kepungan belasan orang perajurit yang mengeroyoknya. Tiba - tiba
pemuda itu mengeluarkan teriakan melengking nyaring, kedua lengannya membuat gerakan
memutar - mutar membentuk lingkaran - lingkaran yang saling menyambung dan para
pengeroyoknyapun berjatuhan ! Dalam satu gebrakan yang mengandung serangan bertubi-tubi
itu, sekaligus robohlah enam orang perajurit pengeroyok ! Beng - goanswe terkejut dan
mengeluarkan seruan tertahan sambil mengangkat tangan kanannya ke atas. Dua orang sutenya,
atau juga dua orang pengawal pribadinya, maklum akan isyarat ini maka keduanya lalu
berloncatan turun dari atas kuda masing - masing, berjungkir balik dan dengan gerakan indah
keduanya sudah melayang dan memotong jalan lari perajurit muda palsu itu !
Pemuda yang menyamar sebagai perajurit itu terkejut, maklum bahwa dia berhadapan
dengan dua orang lawan yang tangguh, padahal di situ masih terdapat sang panglima dan
puluhan orang perajurit, maka diapun tidak mau membuang banyak waktu lagi, membentak
nyaring dan dia su-dah menyerang dua orang pengawal panglima itu. Dan melihat betapa dua
orang pengawal itupun menghadapi si pemuda dengan tangan kosong, dapat dimengerti bahwa
tingkat kepandaian mereka-pun sudah tinggi sekali.
Sekali ini para perajurit hanya mengurung dari jauh sambil menonton. Perkelahian yang
terjadi memang hebat bukan main. Sang panglima yang masih duduk di atas kudanya memandang
dengan mata semakin kagum. Tak disangkanya sama sekali bahwa musuh yang menyamar itu,
yang masih demikian muda, mampu melayani pengeroyokan dua orang pengawalnya, dapat
membalas setiap serangan dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya, walaupun lambat - laun
pemuda itu nampak kewalahan juga. Panglima ini dapat mengukur bahwa andaikata tidak
dikeroyok, belum tentu su-tenya dapat menang. Kini, mengandalkan pengeroyokan itu, dua orang
pengawalnya dapat menghujani serangan dan dengan cengkeraman- cengkeraman, satu demi
satu pakaian perajurit penyamaran itu dapat dilucuti dan akhirnya nampaklah pakaian pemuda itu
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sendiri, yaitu pakaian yang dipakai oleh pemuda yang semalam telah bertemu dengan Pek Lian
dan dua orang gurunya di rumah kosong.
Tiba - tiba Pek - bin - houw menahan seruannya. Setelah kini melihat wajah pemuda itu di
siang hari, diapun mengenalnya. Pernah dia bertemu dengan pemuda itu, setahun lebih yang lalu.
"Ahhh...! aku ingat sekarang!" Dia berbisik kepada Kim-suipoa dan Pek Lian. "Dia adalah Yang-ce
Siauw-kokcu (Ketua Muda Lembah Sungai Yang-ce) !"
Mendengar ini, Pek Lian memandang tajam. Kiranya inilah pemimpin dari orang - orang
gagah yang bermarkas di sepanjang lembah Sungai Yang-ce, yang kini sedang digempur oleh
pasukan pemerintah itu! Para pendekar lembah Sungai Yang-ce amat terkenal karena gagah
perkasa, dan nama-mereka sejajar dengan nama para pendekar Puncak Awan Biru. Memang
kedua perkumpulan orang gagah ini sama - sama terkenal sekali sebagai orang-orang gagah yang
menentang kelaliman pemerintah. Puncak Awan Biru di Pegunungan Fu-niu--san menjadi sarang
para pendekar yang tentu saja oleh pemerintah dinamakan gerombolan penentang pemerintah
atau gerombolan pemberontak, dipimpin oleh seorang pendekar yang gagah perkasa, yaitu Liu
Pang yang terkenal dengan sebutan Liu—toako. Pek Lian dan empat orang gurunya bergabung
kepada perkumpulan pimpinan Liu Pang inilah. Adapun gerombolan lembah Sungai Yang - ce ini
dipimpin oleh seorang pendekar yang tidak kalah terkenalnya, yaitu yang bernama Chu Siang Yu.
Karena sama-sama sebagai perkumpulan pendekar atau patriot yang menentang kelaliman
pemerintahan dan membela rakyat kecil yang tertindas, maka kedua pihak ini saling menghormat
dan saling membantu. Bahkan Liu Pang yang berasal dari keluarga petani kecil menaruh sikap
hormat sekali kepada Chu Siang Yu yang masih berdarah bangsawan, bahkan terkenal sekali
karena dia adalah keturunan Jenderal Chu Tek yang pernah menggegerkan dunia karena
kegagahannya di jaman dahulu.
"Bukan main ......" kata Pek - bin - houw. "Kok-cu muda ini lihai sekali. Gurunya lebih hebat
lagi, pernah pibu (mengadu ilmu silat) secara persahabatan dengan Liu – toako."
"Ah, lalu bagaimana hasilnya, suhu ?" tanya Pek Lian, tertarik sekali mendengar bahwa guru
pemuda yang lihai ini pernah pibu melawan gurunya yang baru, ketua Puncak Awan Biru.
"Mereka pibu tangan kosong, dan kalau saja pibu itu dilakukan dengan senjata, dengan
keisti-mewaannya bermain pedang mungkin tidak akan "kalah."
"Jadi, suhu kalah ?" tanya Pek Liari kecewa.
"Begitulah, akan tetapi hal itu terjadi ketika. Liu-toako masih muda, masih sama - sama
muda dahulu, sepuluh tahun yang lalu. Sekarang tentu saja Liu-twako telah memperoleh
kemajuan yang amat hebat. Akan tetapi melihat kelihaian pemuda, itu, tentu dapat dimengerti
bahwa ilmu silat gurunya tentu jauh lebih hebat lagi."
"Suhu, ternyata di dunia ini demikian banyak-nya orang - orang yang memiliki ilmu silat
sedemi-kian tingginya." Dalam suara Pek Lian terkandung kekecewaan karena dara ini melihat
betapa ilmunya sendiri masih amatlah dangkalnya.
Dua orang pendekar itu maklum akan perasaan hati murid mereka. Mereka sendiripun
setelah secara berturut - turut mengalami pertemuan dengan begitu banyaknya orang pandai,
merasa beta-pa kepandaian sendiri masih teramat rendah. Mereka maklum bahwa Pek Lian
merasa kecewa seka-li melihat kenyataan yang menghancurkan harga diri itu. Dara itu telah
berlatih silat dengan amat tekunnya, bahkan telah belajar dari lima orang guru dan ilmu
kepandaiannya bahkan sudah melampaui tingkat masing - masing dari keempat Huang-ho Suhiap.
Gadis itu tentu mengira bahwa ilmu silatnya sudah baik dan tidak sembarang orang akan
dapat mengalahkannya. Akan tetapi sungguh merupakan kenyataan yang amat pahit baginya
bahwa begitu ia turun gunung untuk pertama kalinya, bertualang sebagai gadis pendekar
kang - ouw setelah keluarganya hancur, ia mengalami kekalahan karena bertemu dengan orang -
orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Pertama - tama, bertemu dan kalah oleh si ce-bol Pek - lui - kong Tong Ciak. Kemudian
pemuda sinting itupun memiliki kepandaian yang luar biasa lihainya. Setelah itu, bertemu dengan
keluarga Bu yang sakti, yang rata - rata memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari padanya. Juga
orang-orang berjubah naga itu, baru bertemu dengan yang berjubah biru saja ia sudah kalah,
belum lagi kalau harus melawan yang berjubah coklat. Kemudian muncul pemuda Lembah Yang -
ce ini, jelas pemuda ini memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi di atasnya. Dan orang - orang
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Tai - bong-pai itupun lebih lihai lagi. Bertemu dengan demikian banyaknya tokoh - tokoh yang
hebat, tentu saja dara itu merasa betapa dirinya kecil dan lemah tak berarti!
Perkelahian antara kokcu lembah Sungai Yang-ce dengan dua orang pengawal Jenderal
Beng Tian itu menjadi semakin seru, akan tetapi jelaslah kini bahwa pemuda itu terdesak hebat.
Kedua pengero-yoknya itu masing-masing tidak memiliki tingkat lebih tinggi darinya, akan tetapi
mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik sekali. Beberapa kali pemuda itu telah terkena
pukulan - pukulan dua orang pengeroyoknya. Kalau saja tenaga sinkang-nya tidak amat kuat,
tentu pukulan-pukulan dahsyat itu sudah merobohkannya. Pemuda itu terdesak terus, main
mundur sampai akhirnya pertempuran itu tiba di dekat gerobak yang berhenti, di mana Ho Pek
Lian dan kedua orang gurunya bersembunyi. Sementara itu, Pek Lian dan dua orang gurunya
hampir lupa diri saking asyiknya nonton perkelahian itu, lupa bahwa kalau mereka bertiga itu
sampai ketahuan, amat berbahayalah bagi mereka yang memang sedang dicari-cari oleh para
peraju-rit karena mereka dicurigai sebagai pembunuh para perwira itu.
Sebuah pukulan menyambar ke arah kepala pemuda dari Lembah Yang-ce itu. Pemuda ini
menangkis dan sebuah tendangan ke arah pusarnya dapat dielakkannya. Akan tetapi karena dia
terhimpit ke gerobak itu, pukulan yang mengarah lehernya dan sudah dielakkannya masih saja
mengenai pun-daknya.
"Dukk!!" Keras sekali pukulan ini, membuat tubuhnya terdorong dan menabrak gerobak
sehingga gerobak itu bergoyang - goyang. Sebelum pemuda itu dapat memperbaiki kembali
sikapnya, kedua orang lawan itu dengan tenaga gabungan telah dapat menghantamnya lagi.
"Dess !!" Kini tubuh pemuda itu menabrak gerobak dengan keras dan jatuh terlentang ke
bawah gerobak. Dari mulutnya keluar darah segar, tanda bahwa dia telah menderita luka dalam
yang cukup parah. Akan tetapi dua orang lawannya tidak mau memberi ampun, masih mendesak
maju hendak mengirim pukulan susulan yang tentu akan mematikan.
Melihat ini, Ho Pek Lian dan guru - gurunya tidak dapat menahan hatinya lagi. Mereka
adalah pendekar - pendekar yang sejak lama digembleng untuk selalu mengulurkan tangan
menolong pihak lemah atau pihak yang benar, maka melihat betapa nyawa pemuda Lembah Yang
- ce itu terancam, mereka segera keluar dari balik gerobak itu dan. menyerang dua orang
pengawal yang hendak menghabiskan nyawa pemuda Lembah Yang - ce.
"Wuuut! Singgg ....!!" Pedang di tangan Pek Lian menyambar ke arah leher seorang di
antara dua lawan terdekat untuk menyelamatkan pemuda itu. Akan tetapi pengawal itu gesit
sekali, dengan sebuah loncatan menyamping dia dapat menghindarkan diri dari sambaran pedang
ke lehernya, bahkan secepat kilat tangannya sudah menyambar dari samping, mengarah ubun -
ubun kepala Pek Lian!
Melihat ini, pemuda Lembah Yang-ce terkejut. Dia sendiri sudah terluka parah, akan tetapi
me-lihat bahaya mengancam nona yang mencoba me-nyelamatkannya itu, diapun meloncat
bangkit dan menangkis pukulan itii. Kembali dia terlempar, akan tetapi pukulan pengawal itu
meleset, tidak mengenai kepala Pek Lian, dan sebaliknya menyambar dan mengenai tiang gerobak
bagian belakang.
"Krakkkk ....!!" Tiang itu patah dan sebagian atapnya yang belakang ambruk.
"Kurang ajar! Anak setan sialan dangkalan! !" Terdengar suara parau menyumpah -
nyumpah dari bawah atap gerobak yang patah dan runtuh itu berbareng dengan suara jeritan
serak suara wanita yang juga memaki - maki lebih kotor lagi.
"Anak haram anjing babi monyet!" maki wanita itu.
Semua orang terkejut dan dari bawah atap gerobak yang runtuh itu muncullah sepasang
laki-laki dan wanita setengah tua dengan pakaian ke-dodoran setengah telanjang sambil memaki -
maki. Keduanya berloncatan keluar sambil membetulkan celana yang kedodoran dan diikat
sekenanya saja. Kemudian, tanpa bicara apa - apa lagi pria dan wa-nita ini menggerakkan kedua
tangan mereka dengan cepat luar biasa, tanpa pilih bulu, baik Pek Lian dan kedua orang gurunya,
juga pihak pera-jurit. Dan terjadilah hal yang mengerikan sekali. Tangan pria dan wanita itu
seketika berobah kehijauan dan ketika mereka menggerakkan kedua tangan, angin besar
menyambar - nyambar seperti terjadi angin puyuh. Karena gerakan empat buah tangan itu
cepatnya sukar diikuti dengan mata, orang sebanyak itu merasa seperti mereka masing-masing
menerima pukulan, maka merekapun adu yang mengelak dan ada yang menangkis. Namun
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
akibatnya sama saja. Baik yang mengelak maupun yang menangkis, semua terkena pukulan itu
atau bersentuhan dengan tangan itu dan seketika juga mereka merasa tubuh mereka panas
seperti terbakar api, kemudian berobah dingin sampai menggigil, panas dan dingin menyerang
tubuh mereka seperti orang sakit demam. Pek Lian, dua orang gurunya, juga dua orang pengawal
lihai itu, tak terkecuali, semua menggigil dan kepanasan silih berganti. Hanya pemuda Lembah
Yang-ce, karena tadi ketika menangkis tubuhnya roboh, terbebas dari hawa beracun yang hebat
itu.
Panglima itu, Jenderal Beng Tian, melihat hal ini, berobahlah wajahnya. Dari atas kudanya
dia mengirim pukulan dorongan kedua tangannya berganti - ganti. Pria dan wanita itu terdorong
mundur oleh hawa pukulan ini dan mereka berteriak kesakitan. Sementara itu, Beng - goanswe
sudah berteriak memberi peringatan kepada anak buahnya.
"Semua mundur ! Awas pukulan Im - yang Tok-ciang mereka! Sangat beracun. Mereka
adalah iblis - iblis dari Pulau Selaksa Setan !"
Sambil berkata demikian, Jenderal Beng Tian melompat turun dari atas kudanya agar dapat
ber-gerak lebih leluasa. Akan tetapi, sepasang laki perempuan itu telah meloncat ke atas gerobak
dan dari tangan mereka berhamburan pasir - pasir putih beracun ke arah sepasang panglima
dan para perajurit yang hendak mengejar. Panglima itu dan dua orang pengawalnya saja, yang
masih menggi-gil, yang dapat menghindarkan dirinya. Para pera-jurit, delapan orang banyaknya,
roboh dan menjerit - jerit, bergulingan karena pasir - pasir putih itu mengandung racun yang
mendatangkan rasa gatal - gatal dan panas. Gerobak itu telah dilarikan secepatnya, diseret oleh
dua ekor kudanya meninggalkan tempat itu.
Hampir saja gerobak itu bertabrakan dengan sebuah kereta yang juga bergerak datang
dengan cepat. Akan tetapi ternyata kakek yang mengusiri gerobak, juga seorang laki - laki
setengah tua yang mengusiri kereta itu, amat cekatan. Sambil memaki, kakek pengemudi gerobak
itu dapat menyim-pangkan gerobaknya ke kiri, demikian pula kereta itupun menyimpang ke kiri
sehingga tubrukan dapat dihindarkan. Kereta itu berhenti dan secepat kilat, tiga orang kakek,
yaitu kawan-kawan dari kokeu Lembah Yang-ce, berloncatan keluar. Mereka sudah bersiap-siap
untuk menghadapi panglima yang lihai itu. Akan tetapi tiba - tiba kedua pengawal dari jenderal itu
mengeluh kepanasan oleh racun pukulan suami isteri aneh tadi, maka pertempuran dengan
sendirinya berhenti. Tiga orang kakek itu lalu mengangkat pemuda Lembah Yang-ce, juga Pek
Lian dan dua orang gurunya ditarik naik memasuki kereta, lalu kereta itu dilarikan secepatnya.
Panglima yang masih gentar menghadapi suami isteri yang tiba - tiba saja muncul dan seolah -
olah juga menentangnya itu, apa lagi melihat dua orang pengawalnya sudah terluka, cepat bersuit
panjang memberi isyarat kepada pasukannya untuk mengejar dan menghalangi orang-orang yang
memberontak itu untuk melarikan diri.
Maklum bahwa tidaklah mudah untuk dapat melarikan kereta itu dari pengejaran pasukan,
apa lagi melihat kenyataan yang tidak menguntungkan betapa kokcu Lembah Yang - ce telah
terluka parah, bahkan tiga orang pendekar dari Puncak Awan Biru yang dapat diharapkan
bantuannya itupun telah menggigil panas dingin, maka tiga orang kakek dari Lembah Yang-ce itu
membalapkan kereta sedapat mungkin untuk mencapai hutan di depan.
Jilid IV
AKAN TETAPI, ketika kereta tiba di suatu tikungan, tiba- tiba muncul seorang pemuda
bertubuh tinggi besar. Pek Lian dan dua orang gurunya yang tidak pingsan seperti kokcu Lembah
Yang - ce dan ikut mengintai keluar, mengenal pemuda ini sebagai pemuda tukang sapu di kuil itu.
"A-hai...!" teriak Pek Lian. "Harap berhentikan kereta, mungkin dia mempunyai petunjuk
penting!"
Mendengar seruan nona ini, tiga orang kakek Lembah Yang-ce menghentikan kereta itu.
Kalau saja bukan Pek Lian yang berseru, tentu mereka tidak akan berhenti karena mereka tidak
mengenal pemuda tinggi besar itu, bahkan mencurigainya.
Pemuda itu dengan napas terengah - engah, agaknya ketakutan dan juga gelisah sekali,
berkata, "Cepat turun semua ! Di depan sudah ada perajurit - perajurit menjaga. Penunggang -
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
penunggang gerobak itupun sudah dikeroyok dan terjadi pertempuran mengerikan. Lekas turun
dan mari ikut bersamaku, aku dapat menyembunyikan kalian!"
Pek Lian melihat betapa pemuda itu ketakutan. Hal ini merupakan tanda bahwa pemuda itu
justeru berada dalam keadaan normal dan tidak sedang kumat. Maka diapun lalu turun dengan
menahan rasa dingin tubuhnya, diturut oleh dua orang gurunya.
"Dia dapat dipercaya. Mari cepat!" katanya kepada tiga orang kakek Lembah Yang - ce yang
tentu saja tidak ragu - ragu lagi, karena keadaan amat mendesak. Pemuda tinggi besar itu melihat
Pek Lian menggigil, lalu memegang tangan gadis itu.
"Pek Lian, engkau sakit ? Ihhhh . . . ! Tanganmu seperti salju!" Dan digandengnya dara
itu, dibawanya lari dengan hati-hati. Pek Lian menurut saja karena memang iapun merasa pening
dan larinya terhuyung. Kim - suipoa dan Pek - bin-houw saling bantu dengan bergandeng tangan,
lalu dibantu oleh dua orang kakek. Kakek ke tiga me-mondong tubuh kokcu Lembah Yang - ce.
Pemuda yang menggandeng Pek Lian itu memasuki sebuah kuil kuno yang rusak di tepi
hutan, lalu menuju ke bagian belakang. Tiba-tiba Pek Lian mengeluh, dan tubuhnya menjadi
panas sekali, kepalanya pening dan matanya berkunang - ku-nang. Hampir berbareng dengan
kedua orang suhunya, iapun terpelanting. Untung A - hai cepat menyambar dan memondongnya.
"Ah, celaka Pek Lian! Pek Lian ! Ah, badannya panas sekali ... ah, jangan-jangan ia mati ...... !"
Tiga orang kakek Lembah Yang-ce itu terheran-heran melihat sikap pemuda ini. Mereka masing
- masing kini memondong seorang. Akan tetapi karena agaknya keselamatan mereka berada
di tangan pemuda itu, merekapun hanya mengikuti saja ketika pemuda itu berjalan terus. Di
kamar belakang yang amat kotor, penuh dengan rumput tinggi, pemuda itu membuka tutup sumur
bekas tempat pembuangan kotoran dari kamar mandi dan kakus! Begitu tutup sumur dibuka, bau
busuk menyerang hidung mereka. Akan tetapi, pemuda itu memberi isyarat agar mereka semua
mengikutinya memasuki lubang sumur kotor itu! Ada tangga di situ dan dengan susah payah,
yang sehat membawa dan menarik yang sakit melalui tangga sampai ke tengah - tengah sumur.
Kakek Lembah Yang-ce yang turun terakhir, tidak lupa menutupkan papan penutup sumur
kembali.
Sebelum mereka tiba di dasar lubang kotoran itu, tangganya sudah habis dan di lambung
sumur terdapat sebuah lubang sebesar perut kerbau. Kini terpaksa yang sakit tidak dipondong
lagi, melainkan dibantu memasuki lubang seorang demi seorang. Kokcu Lembah Yang - ce sudah
siuman, dan dengan gerakan lemah sekali diapun merangkak, dibantu oleh seorang kakek. Tentu
saja perjalanan ini amat sukar karena empat orang dari mereka terluka dan keracunan, walaupun
yang amat parah hanya kokcu Lembah Yang-ce itu saja. Lubang sebesar perut kerbau itu ternyata
amat panjang, gelap dan licin karena becek dan basah.
Pemuda yang menjadi penunjuk jalan itu berkali - kali terpeleset dan kepalanya terbentur
dinding tanah. Pek Lian yang berada di belakangnya dan digandengnya, berkali kali harus menjaga
agar jangan sampai pemuda ini lecet atau mengeluarkan darah. Bergidik ngeri ia kalau
membayangkan betapa di tempat seperti itu, penyakit pemuda itu kambuh. Bisa berabe benarbenar
! Maka iapun mengajak bicara pemuda itu, biarpun kepalanya pening dan tubuhnya masih
kadang - kadang dingin kadang- kadang panas.
"Hati - hati, A - hai, jalannya licin. Awas jangan jatuh dan lihat atas, kepalamu bisa terbentur
batu '"
Akhirnya A - hai tertawa. "Pek Lian, engkau sendiri yang payah dan sakit, masih
memperingatkan aku. Jaga baik - baik dirimu sendiri."
Melihat sikap Pek Lian ini, empat orang tokoh Lembah Yang - ce juga merasa heran.
Memang lucu sekali, pikir mereka. Pemuda tinggi besar itu dalam keadaan sehat dan menjadi
petunjuk jalan, sedangkan gadis itu terluka pukulan sakti akan tetapi kenapa justeru gad's itu yang
terus-menerus memperingatkan pemuda itu agar berha ti - hati ? Akan tetapi tentu saja Kim -
suipoa dan Pek - bin - houw tidak merasa heran, bahkan merekapun diam - diam menyetujui sikap
Pek Lian itu, karena mereka tahu babwa kalau sampai pemuda itu terbentur dan jatuh lalu terluka,
akibatnya mereka tidak berani membayangkan. Kalau pemuda itu kumat, wah, tentu akan
mengerikan sekali dan bukan mustahil kalau mereka semua mati konyol di tangan pemuda itu !
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Setelah merangkak - rangkak secara susah pa-yah lebih dari satu jam lamanya, tibalah di
suatu tempat dataran lapang yang dikelilingi tembok-tembok kuno yang tebal, merupakan ruangan
yang panjang dengan dinding tembok dan atasnya dari batu.
"Tempat apakah ini, A - hai ?" tanya Pek Lian. "Ruangan ini berada di bawah tembok
benteng kota Ki - han," jawab pemuda itu sambil menyalakan sebatang lilin yang terdapat di tepi
tembok. "Aku menemukannya beberapa hari yang lalu secara kebetulan saja. Aku mengejar
seekor kelinci yang memasuki lubang sumur itu dan akupun bisa sampai ke tempat ini. Dari sini
ada terowongan yang menembus keluar, ke parit - parit di luar benteng. Malam nanti kita dapat
melarikan diri melalui terowongan itu."
Empat orang tokoh Lembah Yang-ce, ketika merangkak- rangkak di belakang tadi, sudah
diberi tahu dengan bisikan-bisikan oleh Kim-suipoa dan Pek-bin-houw tentang diri pemuda ini yang
sama sekali tidak dapat ditanyai riwayatnya. Karena itu, merekapun diam saja dan membiarkan Pe
Lian saja yang bicara, karena agaknya pemuda itu kenal baik dengan Pek Lian. Mendengar
keterangan tentang tempat ini, mereka menjadi lega. Untuk sementara, agaknya para perajurit
tidak akan dapat menemukan mereka dan diam-diam merekapun berterima kasih kepada pemuda
yang dipanggil dengan nama A-hai itu. Tanpa adanya pemuda itu, dalam keadaan luka-luka,
sukarlah bagi mereka untuk dapat diselamatkan oleh tiga orang kakek Lembah Yang-ce.
A-hai lalu memanjat dinding yang kasar itu untuk menaruh lilin di dalam sebuah lubang. Setelah
dia meletakkan lilin itu di dalam lubang, maka ruangan itu menjadi lebih terang. Akan tetapi
ketika dia turun, sebuah batu tembok terlepas, ka-kinya terpeleset dan diapun jatuh terduduk. Pek
Lian dan dua orang gurunya terkejut dan memandang dengan mata terbelalak dan muka berobah.
Akan tetapi mereka menarik napas lega ketika-melihat pemuda itu hanya menyeringai kemalumaluan
dan bangkit kembali.
Bagaimana pemuda yang setolol ini dapat berubah menjadi demikian luar biasa lihainya ?
Demikian Pek Lian berpikir sambil memandang penuh keheranan. Apakah benar-benar dalam
keadaan sadar selemah ini ? Akan tetapi kenapa ketika diajarnya membelah kayu dengan tangan
kosong, pemuda ini dapat melakukannya sedemikan mudahnya ? Apakah semua ini hanya
permainan sandiwara belaka ?
Keheranan hati Pek Lian bertambah ketika pemuda itu kini mengeluarkan berbagai macam
bungkusan dari dalam saku bajunya. Kiranya dia tadi menyalakan lilin dan menaruhnya di atas
memang ada maksudnya, yaitu agar dia memperoleh cukup penerangan untuk mengeluarkan
obat-obatan dari dalam saku bajunya. Sambil membuka-buka bungkusan bermacam - macam itu
ia menunjuk kepada obat - obatan yang berupa bubuk berbagai warna dan butiran-butiran besar
kecil sambil berkata, "Ini obat untuk luka akibat senjata beracun, dan ini dapat menyedot racun
yang mengeram di dalam tubuh, dan pel kecil ini dapat diminum untuk membebaskan darah dari
keracunan, dan yang besar ini untuk membersihkan isi perut. Bubuk putih ini kalau disedot dapat
menawarkan racun yang tersedot orang melalui asap beracun, dan yang ini kalau ditelan dapat
mempercepat kembalinya tenaga murni."
Semua orang memandang bengong. Kiranya pemuda ketolol-tololan ini adalah seorang ahli
pengobatan, terutama sekali pengobatan tentang orang keracunan ! Bukan keracunan biasa,
melainkan akibat dari serangan- serangan pukulan sakti yang beracun. Biasanya, ilmu pengobatan
seperti ini hanya dimiliki oleh ahli-ahli silat tingkat tinggi atau orang - orang yang memang ahli
dalam menggunakan segala macam serangan beracun itu. Akan tetapi Pek Lian yang cerdik itu
tidak memberi komentar apa-apa. Dara ini menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada A-hai. akan
tetapi iapun maklum akan keadaan pemuda ini yang seolah-olah berada di antara dua dunia atau
dua kesadaran, yang kadang-kadang membuatnya nampak ketolol-tololan. Maka, melihat obatobat
itu, iapun lalu berkata dengan suara yang sungguh-sungguh,
"A-hai, aku menjadi korban pukulan yang men-datangkan panas dingin, pukulan beracun
yang di-lakukan oleh iblis- iblis bertangan hijau."
"Ah ! Itu tentu pukulan kalajengking hijau !" seru A-hai dan nampak gembira. "Kebetulan
sekali, inilah dia obatnya. Lekas telan sebutir dan engkau akan sembuh, Pek Lian!"
Pek Lian tidak sangsi lagi, mengambil sebutir pel berwarna hitam dan menelannya. Begitu
ditelan, terasa olehnya hawa panas sekali dan terasa seolah-olah pel itu hancur dalam
pencernaannya dan mengeluarkan hawa panas dan pedas seperti lada. Akan tetapi, rasa dingin
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
yang tadinya sudah membuatnya menggigil itu lenyap ! Dan ketika ia menggerahkan sinkangnya.
diputar-putar di sekitar perut dan dada, sudah tidak terasa lagi kenyerian seperti tadi.
"Dia benar! Pel ini manjur bukan main !" so-raknya. "A-hai, berilah mereka masing-masing
sebutir, merekapun menjadi korban pukulan itu tadi!" Dan dua orang guru Pek Lian itu menerima
masing-masing sebutir pel yang segera mereka telan dan seperti juga Pek Lian, keduanya seketika
menjadi sembuh dan sehat kembali! Tentu saja mereka berduapun menjadi girang bukan main.
"Wah, terima kasih, A-hai. Tak kusangka engkau sehebat ini, pandai mengobati! Sekarang
apakah engkau mempunyai obat untuk sahabat kami ini ?" Pek Lian menunjuk kepada pemuda
kokcu dari Lembah Yang-ce yang terluka lebih parah itu. "Dia juga terkena pukulan- pukulan yang
hebat sekali" Pek Lian tidak dapat melanjutkan karena di waktu ia menonton perkelahian itu, ia
melihat pemuda ini roboh oleh pukulan gabungan dari dua orang pengawal Jenderal Beng Tian,
akan tetapi ia tidak tahu jelas apa macam pukulan itu.
Melihat keraguan dara itu, kokcu dari Lembah Yang-ce lalu berkata dengan suara lemah dan
mulut menyeringai menahan nyeri, "Pukulan mereka tidak mengandung hawa beracun, akan tetapi
karena amat kuat, mematahkan dua tulang iga dan aku terluka karena tenaga sendiri yang
membalik.”
A-hai tidak kelihatan bingung, malah terse-nyum. "Bagus! Itu ada obatnya ! Nah, lebih dulu
telan ini untuk membebaskan darah dari keracunan, lalu yang ini untuk menguatkan isi perut yang
terguncang oleh pukulan kuat, kemudian ini ditelan untuk mempercepat kembalinya tenaga murni.
Adapun tulang patah itu, ah, mudah saja. Aku mempunyai obat param untuk itu." Dia membuka
sebuah bungkusan lain yang terisi bubuk kuning yang cukup banyak. "Ini harus dicampur dengan
putih telur, lalu diparamkan dan dibalut kuat-kuat. Dalam waktu satu dua hari saja tulang-tulang
itu akan tersambung kembali!"
Melihat hasil obat-obat itu pada diri Pek Lian dan dua orang gurunya, kokcu Lembah Yang-ce
percaya bahwa agaknya pemuda tinggi besar ini adalah seorang pandai yang menyamar sebagai
orang tolol, maka diapun tanpa ragu-ragu lagi lalu menelan obat-obat itu. Dan memang
manjurnya bukan main! Dia cepat duduk bersila setelah jalan darahnya pulih kembali dan
pernapasannya normal, untuk melakukan siulian dan menghimpun tenaga dan hawa murni. Akan
tetapi A-hai yang kebingungan.
"Wah, di tempat seperti ini, di mana mencari telur ?" Dia menoleh ke sana-sini dan akhirnya
melihat burung- burung walet beterbangan dengan cepatnya memasuki ruangan itu dan lenyap di
sebuah lubang di atas. "Ah, di sana tentu terdapat banyak telur burung. Akan tetapi, bagaimana
mencari dan mengambilnya ?"
"Jangan khawatir, aku akan mencari dan meng-ambilnya !" tiba-tiba seorang kakek dari
Lembah Yang-ce berkata dan diapun lalu memanjat dinding itu dengan mempergunakan Ilmu
Cecak Merayap sehingga kaki tangannya seperti menempel pada dinding ketika perlahan-lahan dia
terus merayap ke atas, sampai di lubang di mana burung-burung walet tadi beterbangan. Begitu
dia tiba di lubang, dan memasuki lubang gelap itu, burung-burung walet beterbangan keluar
dengan mengeluarkan bunyi panik. Kakek itu terus merayap masuk sampai tubuhnya lenyap ke
dalam lubang dan hanya nampak kedua kakinya saja. Tak lama kemudian, kakek ini sudah keluar
lagi dan meloncat turun sambil membawa dua genggam telur burung!
"Bagus ! Wah, paman sungguh lihai sekali !" A-hai memuji dengan girang ketika dia
menerima telur-telur burung itu.
"Ah, apa artinya sedikit kemampuanku itu di-bandingkan dengan kelihaian taihiap ?" Kakek
itu merendah dan menjura kepada A-hai dengan penuh kekaguman karena memang hatinya
girang dan kagum sekali melihat betapa kokcunya dapat disembuhkan secara demikian mudahnya.
"Apa ? Siapa yang paman sebut taihiap ? Aku ? Wah, jangan bergurau, ah!" A-hai berkata
dan dengan hati- hati diapun lalu mencampur putih te-lur-telur itu dengan obat kuning di atas
permukaan batu yang sudah ditiupnya sampai bersih betul. Kemudian, dia menaburi iga yang
patah itu di atas dada kokcu Lembah Yang-ce setelah tiga orang kakek membantunya dan
membuka baju pemuda itu. Dan A-hai tanpa ragu-ragu lagi lalu merobek sabuknya yang panjang
untuk membalut dada itu. Melihat ini, diam - diam semua orang kagum sekali. Pemuda ini, biarpun
nampak tolol, ternyata selain ahli pengobatan, juga mempunyai budi yang mulia, tanpa ragu-ragu
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mengorbankan pakaiannya untuk menolong orang. Pandang mata Pek Lian terhadap pemuda ini
menjadi semakin kagum dan mesra.
Setelah diberi obat dan dibalut dada itu, kokcu Lembah Yang-ce, orang muda yang berilmu
tinggi itu, merasa betul betapa hawa hangat yang aneh masuk dari luar. Tahulah dia bahwa obat
itu memang mujarab sekali, maka diapun lalu menjura ke arah A-hai. "Saudara telah melepas budi
yang amat besar kepada kami. Mudah-mudahan pada saat lain kami akan berkesempatan untuk
membalasnya."
A - hai hanya tersenyum dan balas menjura de-ngan canggung, tidak tahu harus berkata
apa. Me-lihat ini, Pek Lian mendekatinya. Kini semua orang telah diobati. Dua orang gurunya,
seperti juga kokcu Lembah Yang-ce itu, duduk bersila menghimpun hawa murni untuk
menyempurnakan pengobatan itu. Ia sendiri merasa sudah sembuh sama sekali, terdorong oleh
rasa girang dan juga bangga. Sungguh aneh mengapa ia berbangga atas kemampuan pemuda
tolol ini!
"A-hai, sungguh mati aku merasa kagum dan heran. Baru saja mengenalmu, ternyata
engkau memiliki kepandaian mengobati orang dengan hebat ! Siapa sih gurumu dalam ilmu
ketabiban ini ?" Ia sengaja bertanya sambil lalu, dan sambil bergurau tersenyum agar jangan
sampai mengejutkan pemuda itu.
Akan tetapi, ia menjadi heran ketika melihat pemuda itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha,
ketabiban apa lagi ? Aku bukan tabib dan tidak mengenal ilmu ketabiban sama sekali! Aku
mendapatkan obat-obat ini dengan keterangan tentang pengobatannya sebagai hadiah karena aku
membantu orang mencari kalajengking hijau. Hanya aku yang tahu tempat binatang itu di daerah
ini, maka orang itu menjadi girang dan memberi hadiah setelah aku menunjukkan tempatnya
kepadanya."
"Orang apa ? Siapa dia ?" tanya Pek Lian, ha-tinya tertarik, bukan kepada orang yang
diceritakan itu, melainkan mengharap kalau-kalau keterangan itu sedikitnya akan membuka sedikit
tentang pemuda aneh itu.
"Wah, dia orang yang aneh, hebat bukan main dia. Ha-ha, seperti orang gila, dan memang
agaknya dia sudah gila. Bayangkan saja, kalajengking hijau itu beracun luar biasa, baru
memegang dengan tangan saja dapat meracuni orang. Dan apa yang dilakukan oleh orang itu ?
Dia menelannya bulat-bulat! Ha-ha-ha !"
"Ah, tidak salah lagi. Tentu dia seorang iblis-dari Pulau Selaksa Setan ! Apakah orangnya
bertubuh gendut, gemuk bulat seperti bola, mata dan kulit tubuhnya kehijau-hijauan ?" tanya
seorang di antara tiga kakek tokoh Lembah Yang-ce.
"Benar sekali, ha-ha, dia bundar seperti bola dan kalau berjalan seperti bola menggelinding
ke sana-sini. Lucu sekali. Dan memang kulitnya hijau seperti seperti kalajengking-kalajengking itu.
Agaknya memang dia terlalu banyak makan kalajengking." Pemuda tolol itu kelihatan begitu
gembira, akan tetapi kalau dia bicara dan tertawa dia selalu memandang wajah Pek Lian yang
memandangnya dengan kagum, walaupun dia menjawab ucapan orang lain. "Apakah kalian
sudah mengenal orang itu ?" Akhirnya dia bertanya.
"Aihh ! Dia tentu seorang tokoh dari Pulau Selaksa Setan ! Sekarang aku yakin akan hal itu."
"Apakah paman sudah mengenal iblis-iblis dari pulau terkutuk itu?" tiba-tiba Pek Lian
bertanya, hatinya tertarik sekali karena selain ia pernah mendengar serba sedikit tentang adanya
Ban-kwi-to (Pulau Selaksa Setan), juga ketika kakek dan nenek iblis yang muncul dari dalam
gerobak itu mengamuk, kepandaian mereka itu hebat bukan main dan Jenderal Beng Tian sendiri,
yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi, nampak terkejut dan gentar, dan menyebut bahwa
kakek dan nenek itu adalah iblis-iblis pulau terkutuk.
Tokoh Lembah Yang-ce itu menarik napas panjang. Setelah para tokoh Lembah Yang-ce itu
me-ngenal Pek Lian sebagai puteri Menteri Ho yang; amat terkenal itu, sikap mereka amat
menghormat-nya. Kakek inipun menarik napas panjang. "Ho-siocia, kalau dibilang mengenal
mereka, saya belum pernah mendapat kesempatan untuk berkenalan dan kalau bisa diminta,
mudah-mudahan selamanya saya tidak mengenal mereka." Dia bergidik dan nampak gentar sekali.
"Akan tetapi saya mendengar banyak tentang mereka. Mereka berjumlah tujuh orang dan menjadi
majikan-majikan Pulau Selaksa Setan itu. Agar nona dan semua saudara ketahui dan bersikap hatiKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
hati kalau tidak kebetulan bertemu muka dengan mereka, biar saya perkenalkan keadaan mereka
itu."
Kakek itu lalu memberi gambaran yang jelas tentang Jit-kwi (Tujuh Iblis) itu. Orang
pertama yang menjadi tocu (majikan pulau) dari Ban-kwi-to adalah seorang yang tubuhnya
pendek kecil, akan tetapi mudah dikenal karena mukanya yang meruncing seperti muka tikus.
Karena mukanya seperti tikus inilah maka dia mendapat julukan Te-tok-ci (Tikus Beracun Bumi),
selain memiliki kesaktian yang luar biasa, juga wataknya licik dan kejam bukan main. Yang
menjadi orang ke dua adalah sutenya, dengan bentuk tubuh yang menjadi kebalikan dari pada
orang pertama. Orang ke dua ini bertubuh tinggi besar seperti raksasa yang berjuluk Tiat-siangkwi
(Setan Gajah Besi) dan kabarnya raksasa ini suka makan daging manusia! Orang yang ke tiga
dan ke empat adalah sepasang wanita kembar. Mereka berdua ini memiliki keahlian untuk pianhwa
(mengubah diri) dan mereka itu sukar dibedakan satu antara yang lain karena bentuk tubuh
dan raut wajah yang serupa benar. Orang-orang di dunia kang-ouw mengenal mereka dengan
julukan Jeng-bin Siang-kwi (Sepasang Tblis Bermuka Seribu). Adapun orang yang ke lima adalah
orang gendut bundar yang mungkin sekali adalah orang yang mencari kalajengking hijau dan
bertemu dengan taihiap eh, saudara ini. Julukannya adalah Thian-te Tok-ong (Raja Racun
Langit Bumi) dan keahliannya tentang racun amat mengerikan. Kemudian orang yang ke enam
dan ke tujuh adalah sepasang suami isteri, kakek dan nenek yang pernah kita lihat muncul dari
dalam gerobak itu.
"Suami isteri tua bangka itu terkenal cabul dan tak tahu malu, akan tetapi juga lihai bukan
main, terutama ilmu pukulan mereka Im-yang Tok-kun. Kita harus berhati-hati kalau bertemu
dengan mereka itu. Untung sekali bahwa orang muda perkasa ini memperoleh obat-obatan dari
Thian-te Tok-kun sendiri. Kalau tidak, sukarlah mengobati dan kita mungkin akan menjadi
penderita cacat, kecuali kalau bisa memperoleh pengobatan dari mendiang Si Tabib Sakti." Kakek
itu mengakhiri ceritanya dan kini mengertilah Pek Lian mengapa mereka begitu berterima kasih
dan menghormat kepada A-hai yang telah menyelamatkan mereka, terutama kokcu mereka.
Ketika malam berikutnya tiba, keadaan mereka telah baik kembali, tubuh mereka telah
sehat dan segar kembali, kecuali Kwee Tiong Li, pemuda yang menjadi kokcu (majikan lembah)
Yang-ce itu. Pemuda yang pendiam dan tampan berwibawa ini, bersikap sederhana dan jarang
bicara, dan ketika mereka saling memperkenalkan diri, dia hanya memperkenalkan namanya
sebagai Kwee Tiong Li. Padahal, pemuda ini yang baru berusia duapuluh dua tahun, adalah murid
terkasih dari bengcu (pemimpin rakyat) yang terkenal itu, yaitu Chu Siang Yu, tokoh para patriot
Lembah Yang-ce yang ditakuti oleh pasukan pemerintah. Kalau yang lain-lain telah sembuh sama
sekali, hanya Kwee Tiong Li saja yang biarpun tubuhnya tidak lagi keracunan berkat obat
pemberian A-hai namun tubuhnya masih lemas dan lemah. Dia harus-banyak beristirahat dan
bersiulian (bersamadhi) untuk memulihkan tenaganya dan menghimpun hawa murni.
Menjelang tengah malam, barulah A - hai ber--kata, "Sekaranglah tiba saatnya bagi kita
untuk, keluar dari sini."
"Keluar ? A-hai, bagaimana kita bisa keluar dari sini ? Kembali melalui jalan ketika kita masuk
?" tanya Pek Lian terkejut dan ngeri mengingat kembali jalan masuk yang amat sukar itu, akan
tetapi yang membuat jantungnya berdebar kalau ia teringat betapa dalam keadaan pingsan ia
dipondong oleh A-hai melalui perjalanan yang demikian sukarnya.
A-hai tersenyum dan menggeleng kepala. "Ada jalan rahasia di tempat ini dan hanya aku
yang tahu, secara kebetulan saja." Diapun lalu mengo-rek - ngorek lantai di sudut ruangan itu dan
nam-paklah sebuah tutup besi bundar yang garis te-ngahnya kira - kira setengah meter. Ternyata
di bawah tutup besi itu terdapat lubang yang hitam gelap dan kalau saja di situ tidak ada A-hai
yang sudah mengenal jalan, tentu mereka akan mempertimbangkan masak - masak lebih dulu
sebelum memasuki lubang yang menganga hitam gelap itu.
"Saudara A - hai, lubang ini akan membawa kita ke manakah ?" Kim-suipoa Tan Sun
bertanya. Sebagai seorang kang-ouw yang berpengalaman, dia selalu bersikap hati- hati dan
memasuki lubang gelap seperti itu tanpa mengetahui lebih dulu apa yang menanti di dalam lubang
itu, sungguh merupakan perbuatan yang lengah dan berbahaya.
"Kita akan tiba di luar benteng melalui lubang ini," jawab A-hai dengan sikap sederhana,
kemudian dia menoleh kepada Pek Lian. "Pek Lian, sudah siapkah engkau ? Mari kauikuti aku,
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pegang ta-nganku dan melangkah hati-hati saja kalau merangkak, ikuti ke mana aku pergi." A-hai
sudah memasuki lubang itu dan merangkak. Biarpun dia tidak mengerti ilmu silat, namun jelas
bahwa A-hai memiliki keberanian yang besar sekali. Pek Lian adalah seorang gadis yang sejak kecil
digembleng oleh orang-orang pandai dan kini telah memiliki tingkat kepandaian silat yang tinggi,
lebih tinggi dara pada tingkat Kim-suipoa atau Pek-bin-houw, namun melihat lubang gelap itu,
iapun gentar juga.
"Yakin benarkah engkau bahwa kita akan sampai di tempat yang aman, A-hai ?"
"Tentu saja, aku sudah beberapa kali menggu-nakan jalan ini. Bahkan ketika di kota para
pasu-kan mengamuk, aku mengambil jalan ini juga."
Mulailah mereka merangkak melalui lubang sempit yang gelap itu. Mereka bergandeng
tangan, A-hai di depan, lalu Pek Lian, Kim-suipoa, Pek-bin-houw, Kwee Tiong Li yang dibantu oleh
seorang kakek, dan dua orang kakek lainnya. Ketika mereka merangkak-rangkak di tanah yang
licin dan basah itu, Pek Lian berpikir dengan penuh kekaguman bahwa pada saat itu, mereka
semua yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, menganggap A-hai sebagai pimpinan mereka !
Semua harapan dan kepercayaan dilimpahkan kepada pemuda yang nampaknya sinting itu !
Setelah merangkak agak lama juga, tiba-tiba A-hai berhenti dan bertanya kepada dara yang
merangkak di belakangnya, "Pek Lian, apakah engkau dapat berenang ?"
"Eh, Berenang ?" Pek Lian merasa heran dan. geli juga mengapa di tempat seperti itu, tibatiba
saja A-hai bertanya tentang berenang. "Kalau se-dikit-sedikit sih bisa saja."
"Bagus, asal engkau tidak sampai tenggelam saja sudah baik, nanti aku yang menarikmu."
Baru mengertilah Pek Lian bahwa perjalanan ini akan melalui air! Dan pemuda itu agaknya
tidak perduli apakah yang lain-lain dapat berenang atau tidak, hanya Pek Lian seorang yang
ditanya.
"Wah, aku tidak pandai berenang!" kata Pek-bin-houw Liem Tat.
"Dan akupun tidak bisa!"
"Aku juga tidak dapat berenang!"
Dua orang kakek tokoh Yang-ce dan Pek-bin-houw nampak gugup dan gelisah. Betapapun
pan-dainya mereka di daratan, kalau harus menghadap air yang dalam mereka menjadi takut dan
gelisah, maklum bahwa sekali berada di air yang dalam mereka lebih lemah dari pada seorang
anak kecil yang pandai berenang. Mereka akan mati lemas dan tenggelam.
"Jangan khawatir !" tiba-tiba terdengar Kim-suipoa berkata. "Yang tidak dapat berenang
akan dibantu oleh yang pandai berenang dan aku tidak membual kalau mengatakan bahwa aku
pandai berenang dan sanggup menyeberangkan mereka yang tidak pandai berenang seorang
demi seorang."
Mereka merangkak terus dan kini terowongan itu menjadi agak lebar, akan tetapi menjadi
semakin licin dan basah. Dari atas berjatuhan air yang menetes-netes membasahi kepala dan
pakaian mereka, kemudian terowongan itu mulai menurun, terus menurun sampai akhirnya
mereka berdiri di tempat yang digenangi air. A-hai berhenti dan berkata, "Sebaiknya semua
barang yang penting dibungkus baju dan diikatkan di atas kepala agar jangan basah." Berkata
demikian, dia sendiri me-ngeluarkan bungkusan-bungkusan obat dan membuntalnya dengan
bajunya yang sudah ditanggal-kannya, kemudian mengikatkan baju itu di atas kepalanya. Orangorang
lain juga melakukan hal ini, kecuali Pek Lian tentunya. Mana mungkin dia menanggalkan
bajunya ?
"Pek Lian, kalau engkau mempunyai barang yang kau tidak ingin sampai terkena air, berikan
padaku," kata A-hai dan untuk kata-kata ini, Pek Lian merasa berterima kasih sekali.
Bagaimanapun juga, agaknya A - hai adalah seorang pemuda baik hati yang teringat akan
kesukarannya menghadapi persoalan melepaskan baju ini.
"Tidak, aku tidak mempunyai apa-apa yang perlu dijaga agar tidak basah."
"Baiklah. Apa semua sudah siap ?" tanya A—hai lalu memegang tangan Pek Lian dan berkata
lagi, "Biar aku berenang lebih dulu mengantar Pek Lian. Paman yang tidak pandai berenang boleh
berpegang pada pundakku. Yang lain-lain harus bantu agar kita sekaligus dapat menyeberang
semua."
Mereka lalu mengatur diri. Seorang kakek tokoh Yang-ce berpegang kepada pundak A-hai.
Pek Lian berenang di sebelah kiri A-hai yang bersikap melindunginya. Pek-bin-houw dibantu oleh
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kim-suipoa dan seorang kakek Yang-ce membantu temannya yang tidak pandai berenang, Kwee
Tiong Li sendiri adalah seorang ahli berenang, akan tetapi karena tenaganya masih lemah, diapun
lalu berenang di dekat A-hai dan Pek Lian agar kedua orang ini dapat membantunya kalau perlu.
"Nah, inilah perlunya belajar berenang," kata Kim- suipoa kepada temannya, Pek-bin-houw.
"Jangan karena engkau berjuluk harimau, lalu tidak pandai berenang."
"Jangankan aku yang berjuluk harimau, sedangkan dua orang saudara yang menjadi tokoh
Yang-ce inipun tidak pandai berenang !" Pek-bin-houw menjawab olok-olok sahabatnya. Dua
orang ka-kek Yang-ce itupun lalu berjanji bahwa setelah pulang mereka akan belajar berenang di
Sungai Yang-ce.
A-hai melangkah terus ke depan, diikuti oleh Tiong Li dan di belakang kokcu ini baru Pek
Lian berjalan sehingga ketua lembah ini diapit oleh dua orang, sedangkan yang lain-lain mengikuti
dari belakang. Air yang tadinya sampai ke lutut itu mulai makin dalam dan dinginnya luar biasa
sekali, sampai menyusup ke dalam tulang rasanya. Dan mulai terasa arus air. Untung bahwa
arusnya tidak begitu kuat. Setelah melangkah beberapa belas langkah lagi, mulailah air itu dalam
dan mereka harus berenang. Air yang dingin itu seperti mendatangkan tenaga pada tubuh Tiong Li
sehingga dia dapat berenang tanpa dibantu, hanya dijaga saja oleh A-hai dan Pek Lian. A-hai
berenang dengan pundaknya dipegangi oleh kakek Yang-ce. Ternyata pemuda ini pandai sekali
berenang dan mempunyai tenaga yang kuat. Yang lain-lain mengikuti di belakang. Setelah mereka
berenang beberapa lamanya, paling lama sepuluh menit akan tetapi bagi mereka yang tidak
pandai berenang terasa amat menegangkan dan lama sekali, akhirnya mereka tiba di tempat
terbuka. Mereka lalu berenang ke tepi dan ternyata air itu mengalir keluar dan bergabung pada
sebatang anak sungai yang berada di luar benteng. Mereka cepat naik ke darat dan keadaan
masih amat gelap dan sunyi. Tidak segelap tadi karena mereka telah berada di tempat terbuka
dan sinar bulan membuat mereka dapat saling melihat.
Semua orang bergembira dan berterima kasih sekali kepada A-hai. Kwee Tiong Li memegang
tangan A-hai dan berkata, "Terima kasih, saudara A-hai. Tanpa adanya bantuanmu, belum tentu
aku dapat hidup sampai sekarang. Percayalah bahwa aku Kwee Tiong Li tidak akan dapat
melupakan budimu ini!"
A - hai tersenyum dan menggeleng kepala. "Se-baliknya, mungkin sebentar saja aku sudah
lupa akan namamu itu. Aku pelupa sekali dan aku masih merasa sedih mengapa aku meniadi
pelupa seperti ini." Juga tiga orang kakek Yang-ce mengucapkan terima kasih yang diterima oleh
A-hai dengan biasa saja. Sebaliknya pemuda sinting ini merasa gembira melihat Pek Lian telah
sembuh sama sekali.
"Pek Lian. pakaianmu basah semua, sebaiknya kalau engkau bertukar pakaian kering, karena
eng-kau bisa masuk angin kalau begitu," kata A-hai dan Pek Lian merasa terharu sekali. Pemuda
ini, biarpun sinting dan nampak ketolol-tololan, namun sungguh amat baik hati dan amat
memperhatikan dirinya. Juga yang lain-lain merasa terharu dan dari gerak-geriknya, mereka itu
semua dapat melihat betapa dengan caranya yang polos dan bo-doh, pemuda ini amat mencinta
Pek Lian!
"Aku telah kehilangan semua pakaianku dalam keributan tadi. Akan tetapi jangan khawatir,
A-hai. Sebagai seorang gadis perantau, sudah terbiasa aku oleh keadaan yang sukar, maka
basahnya pakaian ini tidak akan menggangguku," jawab Pek Lian.
"Kalian tidak bisa tinggal terlalu lama di sini. Tempat ini dekat tembok benteng, dan
sewaktu-waktu akan ada pasukan meronda," kata pula A-hai.
"Kami memang harus cepat pergi dari sini," kata Kwee Tiong Li. "Dan engkau dan kedua
orang paman ini hendak ke mana, nona Ho ? Kalau kalian mau, mari ikut bersama kami menemui
teman-teman kami. Kami telah berjanji akan mengadakan pertemuan setelah tempat kami di
Lembah Yang-ce diobrak-abrik pasukan."
"Memang sebaiknya demikian," kata Kim-suipoa. "Kami bertigapun harus dapat melaporkan
kepada pimpinan kami tentang keadaan para sahabat dari Lembah Yang-ce yang mengalami
musibah itu."
"A-hai, engkau sendiri hendak ke manakah ?" Pek Lian bertanya.
"Aku harus kembali, pulang ke kuil. Ke mana lagi ?"
"Kalau begitu, selamat tinggal, A-hai. Jaga dirimu baik-baik," kata Pek Lian.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
A-hai mengangguk-angguk. "Engkau yang harus menjaga dirimu baik-baik, Pek Lian.
Apakah... apakah kita tidak akan saling jumpa kembali ?" Dalam pertanyaan yang diajukan dengan
nada suara seperti anak kecil kehilangan sesuatu ini jelas nampak betapa pemuda itu bersedih hati
sehingga Pek Lian merasa terharu sekali, akan tetapi juga malu karena banyak orang yang
mendengarkan.
"Biarlah lain kali aku akan singgah di kuilmu itu."
"Benarkah, Pek Lian ? Benarkah engkau akan singgah ? Ah, akan kutunggu kedatanganmu !"
kini suara itu demikian girang dan penuh harapan, membuat semua orang makin terharu.
Sampai lama A-hai berdiri bengong dan merasa kehilangan, memandang kepada bayangan
tujuh orang itu sampai bayangan itu lenyap ditelan kegelapan malam. Baru dia pergi
meninggalkan tempat sunyi itu.
***
Kwee Tiong Li adalah seorang kokcu (ketua lembah) yang muda akan tetapi telah dapat
meng-himpun banyak anak buahnya, yaitu para pendekar patriot yang memberontak karena
melihat kelaliman kaisar yang dirasakan amat menindas rakyat. Mereka membentuk suatu
kelompok yang bermarkas di lembah Sungai Yang-ce, dipimpin oleh Kwee Tiong Li yang dibantu
oleh tiga orang kakek yang dikenal sebagai Yang-ce Sam-lo (Tiga Kakek Gagah dari Yang-ce).
Kelompok yang dipimpin oleh Tiong Li ini hanya merupakan kelompok cabang saja dari
perkumpulan para patriot yang berpusat di sebuah bulat di Lembah Yang-ce sebelah barat, yang
merupakan pusat. Dan pusat perkumpulan para pendekar patriot ini dipimpin oleh Chu Siang Yu,
yaitu pendekar berilmu tinggi yang juga menjadi guru Tiong Li. Gerakan para anggauta
perkumpulan pendekar ini dilakukan oleh kelompok-kelompok cabang, di antaranya yang paling
aktip adalah yang dipimpin oleh Tiong Li. Sedangkan Chu Siang Yu sendiri yang sudah lama
menjadi buronan pemerintah, bersembunyi dan mengatur pasukan - pasukannya dari tempat
rahasia.
Ketika tempat yang dijadikan sarang oleh Tiong Li dan anak buahnya itu diserbu oleh
pasukan pemerintah yang besar jumlahnya dan dipimpin oleh perwira-perwira pandai pula, Tiong
Li dan Yang-ce Sam-lo sedang pergi mengadakan kunjungan kepada perkumpulan pusat, untuk
berunding dan melaporkan kepada Chu Siang Yu. Maka, dapat dibayangkan betapa marah dan
berduka rasa hati Hong Li dan tiga orang pembantunya ketika mereka mendapatkan sarang
mereka telah kosong, kebanyakan dari para anak buahnya tewas dan sebagian lagi ada yang
tertawan dan hanya sebagian kecil saja yang dapat melarikan diri. Maka, dengan hati yang
berduka dan marah sekali, Tiong Li mengumpulkan sisa anak buahnya dan menyuruh mereka
bersembunyi lebih dulu. Dia sendiri bersama Yang-ce Sam-lo mengejar para perajurit yang
menyerbu sarangnya, dan di kota Ki-han dia berhasil menculik dan mem
-hal terlewatbyang
terbasmi, disuruh berkumpul di sebuah tempat rahasia yang mereka tentukan, yaitu
di sebuah kuil rusak yang kosong dan yang terletak di puncak Bukit Merak Putih. Maka kini,
setelah diselamatkan oleh A - hai, mereka itu, bersama Ho Pek Lian dan dua orang gurunya,
menuju ke puncak Bukit Merak Putih di mana telah dijanjikan untuk menjadi tempat pertemuan
sisa para anak buah Lembah Yang-ce itu.
Pada keesokan harinya, menjelang senja, tiba-lah mereka di bawah puncak Bukit Merak
Putih. Mereka tidak langsung menuju ke kuil tua yang sudah nampak dari situ, karena keadaannya
amat sunyi. Tiong Li mengajak mereka bersembunyi di balik semak-semak belukar, kemudian dia
minta kepada ketiga orang Sam-lo untuk melakukan penyelidikan ke kuil, untuk melihat apakah
teman-teman mereka sudah ada yang tiba di tempat itu. Menurut perhitungan, karena mereka
sendiri terha-lang di jalan, tentu teman-teman mereka itu sudah tiba di situ, akan tetapi mengapa
keadaannya begi-tu sunyi ? Yang-ce Sam-lo dengan hati-hati sekali lalu menuju ke kuil dari tiga
jurusan karena mereka berpencar. Dan mereka tiba di kuil untuk mendapatkan kenyataan bahwa
tempat itu memang kosong tidak nampak ada seorangpun, hanya ada nampak bekas-bekas
pertempuran, darah dan patahan-patahan senjata.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Yang-ce Sam-lo terkejut sekali dan terpaksa mereka kembali ke tempat persembunyian
kokcu untuk melaporkan keadaan. Mendengar laporan itu, kokcu merasa terkejut dan juga
penasaran. Maka dia sendiri lalu pergi ke kuil, diikuti oleh mereka semua. Dan melihat bekas-bekas
pertempuran itu, hati Tiong Li meniadi bersedih sekali. Apakah teman-temannya sudah tiba di sini
dan diketahui oleh pasukan pemerintah lalu merekapun mengalami penyerbuan kedua kalinya dan
mereka semua ditawan oleh pasukan ?
"Ah, seharusnya di antara kami ada yang mene-mani mereka, bukan kami tinggalkan seperti
ini ..." seorang di antara Sam-lo membanting kaki penuh penyesalan. Melihat kesedihan terbayang
pada wajah kokcu yang mereka kasihi itu, mereka bertiga merasa menyesal bukan main.
"Sudahlah, sam-wi tidak perlu menyesali diri sendiri, sebenarnya akulah...... " Tiong Li
tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu telinganya menangkap suara seperti
lengkingan tinggi dari tempat jauh. Mereka semua cepat memasuki kuil, bersembunyi sambil
mengintai keluar. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan agaknya suara tadi datang dari tempat
yang jauh sekali. Mereka tidak dapat menentukan suara apakah itu. Tadinya mereka merasa
khawatir bahwa itu adalah suara tanda dari pasukan yang akan datang menggempur mereka lagi.
Akan tetapi karena tidak terjadi apa-apa, merekapun lalu beristirahat di dalam kuil rusak itu
sambil makan daging kelinci panggang yang mereka tangkap di belakang kuil Biarpun mereka
dapat beristirahat tanpa gangguan namun mereka tidak dapat tidur, siap siaga menghadapi segala
kemungkinan dan kesunyian malam itu amat menegangkan hati.
Menurut kokcu, mereka akan menanti di sini sampai dua hari dua malam. Kalau selama itu
tidak ada anak buah Lembah Yang-ce yang muncul mereka baru akan meninggalkan tempat itu.
Kare-na merasa setia kawan dan satu golongan dengan para tokoh Lembah Yang-ce ini, maka Pek
Lian dan kedua orang gurunya juga mau mendampingi mereka sampai dua hari dan setelah dua
hari barulah mereka akan kembali ke tempat mereka sendiri.
Pada keesokan harinya, baru saja matahari menyinarkan cahayanya yang gemilang, kembali
mereka mendengar suara melengking tinggi itu, se-perti yang mereka dengar senja kemarin.
Mendengar suara ini, cepat mereka bertujuh masuk ke dalam kuil dan mengintai keluar, siap sedia
untuk membela diri kalau ada musuh datang. Tiong Li sendiri masih lemah, tak mungkin dapat
melawan musuh yang tangguh, maka Yang-ce Sam-lo selalu mendekatinya untuk siap melakukan
perlindungan terhadap kokcu yang mereka kasihi itu. Kembali terdengar suara melengking tinggi
itu, seperti suara suling ditiup dengan nada yang tertinggi, suara lengkingan itu berulang-ulang,
makin lama makin nyaring seolah-olah suara itu makin dekat saja dengan kuil itu. Dan selagi
mereka merasa tegang, tiba-tiba saja terdengar suara batuk-batuk, bukan batuk karena memang
sakit batuk, melainkan semacam batuk buatan seperti biasa dilakukan orang untuk memberi
isyarat kepada orang lain! Tentu saja tujuh orang itu terkejut bukan main. Suara batuk itu
terdengar seperti di belakang mereka dan ketika tujuh orang itu cepat sekali menoleh, ternyata di
belakang mereka tidak nampak seorangpun! Tentu saja mereka saling pandang dan merasa
serem, seolah-olah yang batuk tadi adalah iblis yang tidak kelihatan.
Akan tetapi perhatian mereka kembali tertuju keluar ketika Pek Lian memberi isyarat
dengan tangannya karena dara ini yang lebih dahulu meli-bat bayangan itu. Bayangan seorang
manusia yang bergerak cepat sekali menuju ke kuil itu ! Sungguh luar biasa sekali ilmu berlari
cepat orang itu, seperti terbang saja dan tahu-tahu bayangan itu telah tiba di pekarangan kuil.
Pek Lian merasa kagum bukan main. Lagi-lagi ia bertemu dengan orang sakti yang memiliki
ginkang seperti itu he-batnya. Orang itu berdiri membelakangi kuil sehingga yang nampak hanya
bagian belakang tubuhnya saja, perawakannya agak kecil dan pakaiannya serba hitam. Setelah
tiba di depan kuil dan melihat sunyi saja, orang itu termangu-mangu, kemudian iapun berdongak
lagi ke atas memandang langit yang cerah karena matahari sudah mulai memancarkan sinarnya
yang kemerahan. Kemudian! terdengar pula suara melengking yang amat nyaring itu, yang
mendirikan bulu roma karena selain nyaring dan menggetarkan jantung, juga terdengar
menyeramkan, bukan seperti suara manusia lagi.
Dan tak lama kemudian dari bawah puncak Bukit Merak Putih itu terdengar suara geraman
yang seperti meraungraung, menggetarkan jantung dari biarpun terdengar dari jauh, akan tetapi
seperti menusuk anak telinga sehingga orang-orang yang berada di dalam kuil itu cepat
mengerahkan sin-kang untuk melindungi jantung mereka, sedangkan Tiong Li yang masih lemah
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
itu sudah menggunakan kedua tangan untuk menutupi daun telinganya. Biarpun demikian, tetap
saja tubuhnya tergetar hebat. Setelah raungan itu berhenti, terdengar pula suara bersuit nyaring
yang diikuti oleh suara anjing melolong-lolong pula ! Pek Lian teringat akan orang-orang Tai-bongpai.
Bukankah orang-orang Tai-bong-pai yang memelihara anjing-anjing yang ganas dan terlatih ?
Kalau orang-orang Tai-bong-pai datang, tentu ada urusan penting dan ia dapat menduga bahwa
suara-suara tadi tentu dikeluarkan oleh orang-orang yang sudah memiliki tingkat ilmu kepandaian
yang luar biasa tingginya. Ada terjadi apakah di dunia ini maka bermunculan orang-orang sakti
yang biasanya hanya bersembunyi mengasingkan diri di dalam guha-guha di pegunungan dan
tempat-tempat yang terpencil dan jarang bertemu dengan orang lain ?
Sebentar saja setelah semua suara itu menghi-lang, nampaklah bayangan orang-orang
berkelebatan cepat dari pelbagai jurusan menuju ke kuil itu dan segera nampak betapa
pekarangan yang luas di depan kuil itu kini telah penuh dengan manusia. Ada yang datang
seorang diri, ada yang berdua, bertiga dan yang paling banyak adalah delapan orang. Pakaian
mereka bermacam-macam, akan tetapi rata-rata mereka terdiri dari orang-orang yang aneh
bentuknya, wajahnya, maupun pakaiannya. Dan dari sikap mereka, sinar mata mereka, mudah
diduga bahwa mereka itu tentu bukanlah terdiri dari orang yang baik- baik, melainkan dari,
golongan kaum sesat atau golongan hitam. Mereka semua tiba di situ dan berdiri diam tak
bergerak seperti arca, seolah-olah mereka itu sedang menanti munculnya seseorang. Keadaan
sungguh amat menyeramkan bagi tujuh orang yang bersembunyi di dalam kuil. Mereka merasa
seolah-olah menjadi saksi pertemuan para iblis, setan dan siluman ! Begitu banyak orang
berkumpul di pekarangan itu, namun tidak terdengar suara apapun, bahkan tidak nampak gerakan
apapun! Ada seperempat jam keadaan diam-diam seperti ini sehingga suasana menjadi semakin
menegangkan hati. Akhirnya, orang berpakaian serba hitam yang sejak tadi berada di situ karena
merupakan pendatang pertama, nampaknya menjadi tidak sabar. Agaknya ia sudah bosan
menunggu. Kembali ia menengadah dan terdengarlah lengkingannya yang menyeramkan tadi,
sekali ini agak panjang dan gemanya terdengar dari lereng bukit. Setelah berhenti mengeluarkan
suara lengkingan yang tidak lumrah suara manusia ini, maka terdengar ia bicara sambil menoleh
dan memandang kepada sebatang pohon siong yang tumbuh di sudut kanan depan kuil.
"Eh, Ciong tua cebol, agaknya kita kena diakali orang! Orang yang menyombongkan diri
meng-undang kita untuk menjadi pemimpin golongan kita itu agaknya sudah ketakutan melihat
kita, hi-hik ! Lebih baik kita pulang saja dari pada membuang-buang waktu!"
Pek Lian dan teman-temannya yang berada di dalam kuil menjadi terkejut ketika
mendengar suara itu. Baru mereka tahu bahwa orang berpakaian serba hitam ini adalah seorang
wanita! Mereka menduga-duga siapa gerangan wanita yang mengeluarkan suara melengking
seperti itu dan yang memiliki ginkang yang amat hebat tadi.
Kini dari balik pohon siong itu muncul seorang laki-laki yang tubuhnya pendek cebol, akan
tetapi kekar. Badannya tidak berbaju dan basah oleh keringat, penuh dengan otot-otot besar,
nampak kokoh kuat sekali. Laki-laki ini nampak kuat dan perkasa, bukan hanya karena otot yang
melingkar-lingkar di seluruh tubuh, akan tetapi juga lengan, dagu dan dadanya ditumbuhi bulu
hitam yang lebat. Melihat orang ini, seorang di antara Yang-ce Sam-lo berbisik, "Ah, dia tentu
perampok tunggal daerah selatan yang terkenal itu, she Ciong dan julukannya Tiat-ciang (Si
Tangan Besi) karena lengannya seperti baja!"
Orang she Ciong yang cebol ini terkekeh, dan suaranya parau besar. "Heh-heh, Siauw-kwi
(Iblis Cantik), jangan sembarang membuka mulut kau! Orang yang sudah mengundang begini
banyak orang tentu tidak berani main-main. Siapa tahu kalau-kalau dia itu benar keturunan dewa
pelindung kita yang sudah tiada, mendiang yang mulia Bit-bo-ong (Raja Kelelawar)! Kalau salah
omong, apa kaukira akan dapat dengan leluasa engkau menjadi Maling Cantik lagi ?"
Kim-suipoa yang mendengar ucapan ini, berbisik kaget, “Kiranya Si Maling Cantik. Wah, bisa
ramai ini!”
"Akan tetapi aku mendengar dari Jai-hwa Toat-beng-kwi (Iblis Pencabut Nyawa Pemetik
Bunga) si manusia cabul itu bahwa Bit-bo-ong tidak mempunyai murid, tidak pernah mau
menurunkan ilmunya dan ... eh, kau di sini ?" Wanita itu menoleh dan memandang kepada
seorang laki-laki yang tahu-tahu muncul pula di situ Laki-laki ini usianya tentu sudah tigapuluh
tahun lebih, ganteng dan pesolek. Agaknya dia sedang melamun memandang ke bawah puncak di
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mana terbentang pemandangan alam yang indah. Dia nampak kaget ketika mendengar ucapan
wanita itu, maka diapun menoleh dan pipa huncwenya nampak berkilat, lalu mulutnya bersiul
nyaring mengejutkan wanita cantik yang sedang bicara ta-di. Dan kini mereka yang berada di
dalam kuil dapat melihat bahwa wanita yang disebut Iblis Cantik dan juga Maling Cantik itu
memang benar-benar memiliki wajah yang cantik manis. Wanita ini sebenarnya berjuluk Pek-pi
Siauw-kwi (Iblis Cantik Berlengan Seratus). Tangan seratus itu me-nyindirkan kemahirannya
mencuri dan mencopet dan biarpun kemahirannya mencuri dan mencopet dan kejam, maka ia
disebut Siauw-kwi.
Maling Cantik itu memandang kepada pria tampan itu dengan senyum mengejek yang
mengandung penuh daya pikat, dan pria tampan yang selain kejam juga mempunyai watak buruk
yaitu suka memperkosa wanita sehingga dijuluki Pemetik Bunga itu tersenyum pula. "Aha, kiranya
engkau si maling yang cantik jelita!" Suaranya halus dan penuh rayuan. "Bukankah tadi engkau
memanggilku ? Nah di sini aku, manis, kalau memang engkau merindukanku!" Biarpun dia
mengeluarkan kata- kata merayu, namun Jai-hwa-cat (Penjahat Pemerkosa Wanita) ini tidak
berani terlalu mendekati wanita itu. Dia tahu betapa lihainya si Maling Cantik. Telah beberapa kali
dia bentrok dengan wanita ini dan selalu dia mengalah dan menghindarkan diri sehingga di antara
mereka belum pernah secara sungguh-sungguh ber-tanding untuk membuktikan siapa yang lebih
kuat.
"Huh, rayuanmu tidak laku bagiku! Apa engkau ingin berkelahi lagi? Hayo, kulayani di sini,
bangsat cabul!" tantang wanita itu.
"Hushh, jangan main - main kau ! Bagaimana kalau benar-benar di sini hadir keturunan yang
mulia dewa pelindung kita ?" Kini Jai - hwa - cat itu tidak bicara main-main dan kelihatan takuttakut.
Mendengar ini, wajah Maling Cantik itupun agak pucat dan dia memandang ke arah kanan
kiri dengan matanya yang tajam, dan iapun tidak berani sembarangan membuka mulut lagi.
Bit - bo - ong atau Raja Kelelawar memang amat ditakuti oleh setiap tokoh kaum sesat yang
manapun juga. Biarpun sudah lama sekali dia dikabarkan mati, namun namanya masih ditakuti
orang, sehingga Jai-hwa-cat dan Maling Cantik dua orang tokoh sesat dari selatan, juga Tiat -
ciang si cebol dari selatan pula, membicarakan namanya saja sudah merasa gentar. Padahal,
sudah bertahun - tahun dikabarkan bahwa datuk itu telah meninggal dunia. Memang, dahulu
ketika masih hidup, Bit - bo - ong merajalela di dalam dunia hitam, mengangkat diri sendiri
menjadi "maha raja" kaum sesat, berkuasa dengan menggunakan tangan besi. Siapa saja yang
berani menantangnya tentu akan tewas dalam keadaan yang amat mengerikan. Dan karena Bit -
bo - ong ini memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya, bahkan kabarnya mengalahkan ahli
ginkang Si Tabib Sakti sendiri, maka semua orang gentar kepadanya. Datang dan pergi seperti
iblis yang pandai menghilang saja ! Padahal, Sin - yok - ong atau Tabib Sakti juga dijuluki orang
Bu - eng (Tanpa Bayangan), namun menurut kabar di dunia kang - ouw, puluhan tahun yang lalu
pernah Tabib Sakti itu bertanding ginkang dan dikalahkan oleh Raja Kelelawar, walaupun dalam
hal ilmu silat, Raja Kelelawar masih belum mampu menandingi Tabib Sakti. Sebenarnya, bukan
ginkang yang membuat Raja Kelelawar itu sedemikian cepat gerakannya melebihi Si Tabib Sakti,
melainkan alat - alat ciptaannya sendiri yang dipasangnya pada sepatunya, lalu alat yang berupa
sayap disembunyikan di dalam jubahnya sehingga dia dapat meloncat dengan bantuan alat seperti
per dalam sepatunya dan melayang dengan bantuan alat se-perti sayap di bawah jubahnya.
Pertengkaran mulut antara Jai - hwa - cat dan Maling Cantik itu terhenti, akan tetapi tiba -
tiba dari atas genteng kuil yang sudah banyak rusak itu melayang turun seorang laki-laki yang
bertubuh gemuk pendek. Biarpun dia tidak secebol Tiat-ciang, akan tetapi dia termasuk orang
yang tubuhnya pendek.
"Jangan ribut di sini!" kata orang yang baru melayang turun dan kedua kakinya sengaja
menginjak tanah sampai halaman itu tergetar. "Kalau mau adu ilmu, tunggu sampai pertemuan ini
selesai !" Orang gemuk pendek itu mengayun - ayun sebatang tongkat besar pendek yang terbuat
dari baja putih.
Melihat orang ini, Kim - suipoa Tan Sun berbi-sik dengan nada suara gemas, tangannya
dikepal, "Wah, si jahanam ini juga datang ?"
Tentu saja Kim - suipoa marah melihat orang ini. Orang gemuk pendek ini berjuluk Sin - go
(Buaya Sakti) dan bernama Mo Kai Ci, seorang bajak tunggal yang luar biasa lihainya, yang
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
malang melintang di sungai - sungai besar, bahkan di pantai-pantai selatan dan timur. Semua
bajak takut kepadanya, dan menjadi buruan pemerintah yang selalu gagal menangkap atau
menewaskannya. Bahkan Kim-suipoa sendiri pernah kehilangan perahu berisi dagangannya ketika
dihadang oleh bajak ini dan dia sendiri mengalami luka - luka karena bajak ini me-nguasai ilmu
dalam air yang luar biasa sekali. Pa-ra nelayan dan pedagang yang sering mempergunakan perahu
untuk mengangkut dagangannya, selalu gelisah kalau - kalau bajak yang tak pernah diketahui
tempat tinggalnya yang tetap ini tiba-tiba muncul. Sin - go Mo Kai Ci memang malang melintang
tanpa tempat tertentu, mengacau dan membajak seenak perutnya sendiri, tanpa memper-dulikan
daerah kekuasaan para bajak lain. Pendek-nya, dia merupakan seorang tokoh bajak tunggal yang
ditakuti orang. Melihat munculnya orang ini, yang berada di dekatnya otomatis surut beberapa
langkah.
Mendengar teguran orang ini, si Maling Cantik terkejut dan marah bukan main, akan tetapi
iapun mengenal orang. Kalau saja yang berani mencelanya itu orang lain, tentu sudah dihajarnya
sejak tadi. Akan tetapi ia mengenal betul siapa orang gemuk pendek bertongkat putih yang besar
pendek pula itu, maklum bahwa betapapun lihainya, melawan bajak tunggal ini sungguh amat
berbahaya. Ia tahu bahwa di kalangan liok-lim ada tiga orang yang kadang - kadang dinamakan
raja kejahatan dalam hal mencari nafkah. Mereka bertiga ini sering dinamakan orang Sam-ok (Tiga
Jahat), dan mereka mempunyai daerah kekuasaan sendiri, walaupun kadang-kadang, maklum
watak orang jahat, merekapun melakukan pelanggaran-pelanggaran wilayah.
Orang pertama dari Sam-ok ini berjuluk Tung-hai-tiauw (Rajawali Laut Timur), seorang
bajak laut yang lihai sekali, raja dari sekalian bajak laut dan mempunyai banyak anak buah. Dia
sangat kaya raya, dan kapalnya mempunyai bendera ber-gambar burung rajawali pada dasar
hitam. Adapun orang ke dua adalah Sin-go Mo Kai Ci itulah, se-orang bajak sungai yang kadangkadang
suka me-langgar wilayah Si Rajawali Lautan Timur, akan tetapi karena dia merupakan
bajak tunggal, maka pelanggaran itu tidaklah terlalu menyolok. Orang ke tiga adalah San - hek -
houw (Harimau Gunung Hitam), yang dianggapnya sebagai raja perampok yang malang melintang
di seluruh daratan, ditakuti oleh kawanan perampok, maling, begal dan copet. Bahkan juga si
Maling Cantik dan Tiat-ciang Ciong Lek perampok selatan itu tidak berani menentang San-hekhouw
yang dianggap rajanya semua penjahat di daratan. Pendeknya, Sam - ok adalah tiga orang
"raja" yang menguasai daerah masing-masing, yaitu seorang di lautan, orang ke dua di sungaisungai
dan orang ke tiga di daratan.
Itulah sebabnya mengapa Pek-pi Siauw-kwi atau si Maling Cantik yang biasanya amat kejam
dan memandang rendah lawan, kini tidak berani banyak lagak ketika ditegur oleh orang ke dua
dari Sam-ok. Ia sendiri termasuk orang yang berada dalam "lindungan" San-hek-houw, dan kini ia
hanya melirik sana-sini, dengan pandang matanya mencari-cari untuk melihat apakah
pelindungnya itu berada di situ. Kalau di situ terdapat San-hek-houw, tentu ia berani menentang
Sin-go Mo Kai Ci, karena kalau si jahat penguasa sungai-sungai itu berani mengganggunya, tentu
pelindungnya itu akan turun tangan membantunya. Hatinya kecewa karena tidak melihat
bayangan San-hek-houw. Tidak mungkin kalau rajanya penjahat daratan itu sampai tidak
menerima undangan, sedangkan golongan yang lebih rendah tingkatnya saja menerimanya.
Mereka yang berada di dalam kuil, kini merasa tegang dan diam-diam juga merasa gelisah
sekali. Tak disangkanya bahwa di tempat ini mereka tidak bertemu dengan para anak buah
Lembah Yang - ce, bahkan melihat pertemuan antara golongan - go-longan kaum sesat. Tentu
saja mereka merasa ge-lisah melihat hadirnya begitu banyak orang pandai dari golongan hitam
itu, apa lagi hadirnya seorang di antara Sam - ok yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
Bagaimanakah para penjahat itu kini berani terang - terangan mengadakan pertemuan, seolah -
olah mereka itu "mendapat angin" dan menjadi berani ? Dan siapakah yang mengundang mereka
semua, yang katanya hendak menjadi pemimpin mereka, semacam "bengcu" di antara golongan
sesat, menjadi raja dari dunia hitam ? Dahulu, puluhan tahun yang lalu, memang terdapat raja
dunia hitam, yaitu Bit - bo - ong si Raja Kelelawar, dan setelah raja itu meninggal dunia, semua
golongan menjadi terpecah - pecah kembali, terutama yang sifat pekerjaan mereka berlainan.
Mereka hidup sendiri - sendiri di daerah masing - masing dan tidak saling mengacuhkan, bahkan
tidak jarang terjadi bentrokan di antara mereka. Hal ini tentu saja melemahkan dunia hitam
sehingga mereka tidak mampu lagi menahan tentangan para pendekar atau pihak pemerintah.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Inilah sebabnya maka muncul tokoh - tokoh yang berkuasa di dalam bidang dan daerah masing -
masing, seperti halnya ketiga Sam-ok itu.
Dan kini, pada pagi hari ini, di depan kuil kuno di puncak Bukit Merak Putih itu berkumpul
penjahat dari semua golongan, mengadakan pertemuan kembali untuk bersatu padu seperti ketika
mereka mempunyai raja dunia hitam, yaitu Raja Kelelawar dahulu. Mereka semua datang
berkumpul karena diundang oleh seseorang yang mengaku menjadi keturunan Raja Kelelawar
yang hendak memimpin mereka kembali. Benarkah demikian? Kalau memang benar, alangkah
akan gegernya dunia kang-ouw dan hal ini merupakan peristiwa yang amat hebat dan
mengancam, baik terhadap para pendekar maupun terhadap rakyat jelata dan juga pemerintah.
Kwee Tiong Li yang biarpun masih muda akan tetapi telah menjadi kokcu atau ketua
lembah, dan sebagai murid seorang yang terkenal sebagai seorang bengcu, pemimpin para
pendekar patriot, telah mempunyai pengetahuan luas sekali tentang keadaan di dunia kang - ouw.
Maka, ketika dia dalam pengintaiannya itu melihat keadaan para tokoh sesat yang mengadakan
pertemuan di situ, sejak tadi dia mengerutkan alisnya dan hatinya merasa terguncang dan gelisah
sekali. Bukan gelisah memikirkan nasib dia dan semua kawannya yang pada saat itu berada di
dalam kuil sedang di luar kuil berkumpul demikian banyak tokoh sesat yang pandai, melainkan
prihatin memikirkan keadaan dunia kalau semua orang jahat itu benar-benar bersatu. Tentu akan
terjadi kemelut di dunia persilatan, pikirnya dan teringatlah dia akan penuturan gurunya. Menurut
gurunya, di waktu dahulu pada jamannya Raja Kelelawar menjadi datuk atau raja kaum sesat,
para pendekar merasa gelisah sekali dan juga berduka mendengar akan kejahatan yang merajalela
di dunia tanpa dapat berbuat sesuatu. Sukarlah dicari pendekar yang mampu menandingi Raja
Kelelawar ! Hanya ada empat orang saja di dunia pada waktu itu yang mampu menandingi Raja
Kelelawar. Mereka berempat itu adalah kedua orang datuk, yaitu Bu-eng Sin - yok - ong datuk
selatan dan Sin-kun Bu-tek datuk utara, dan dua orang datuk sesat yaitu Cui - beng Kui - ong
pendiri Tai-bong-pai dan Kim-mo Sai - ong pendiri Soa - hu - pai. Akan tetapi, dua orang datuk
putih dan dua orang datuk hitam ini sudah terlampau tinggi kedudukan mereka sehingga mereka
tidak pernah mencampuri urusan dunia dengan turun tangan sendiri. Atau lebih tepat lagi, dua
orang datuk golongan putih itu tidak mau mencampuri urusan dunia ramai sedangkan dua orang
datuk golongan hitam tidak mengambil pusing dan tidak mau mencampuri urusan Raja Kelelawar
walaupun hal ini bukan berarti mereka tidak berani. Sebaliknya, biarpun merajalela di dunia
dengan congkaknya, namun Raja Kelelawar selalu menghindarkan bentrokan dengan pihak empat
orang datuk itu. Tentu saja karena empat orang datuk itu tidak mau mencampuri urusannya, Raja
Kelelawar malang melintang di dunia kang-ouw dengan leluasa.
Akan tetapi pada suatu hari, Raja Kelelawar melakukan suatu kesalahan besar sekali. Tanpa
disengaja dia bentrok dengan seorang pemuda perkasa dan Raja Kelelawar membunuhnya.
Barulah dia menyesal dan terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa pemuda itu bukan lain
orang adalah putera dari Sin-kun Bu-tek, datuk golongan putih dari utara itu. Sin-kun Bu-tek
mendengar akan kematian puteranya, langsung keluar dari tempat pertapaannya, mencari Raja
Kelelawar. Setelah keduanya saling jumpa, tidak dapat dicegah lagi terjadilah perkelahian yang
amat hebat, sampai berlangsung semalam suntuk dan akhirnya, hanya karena selisih sedikit saja
tingkat kepandaian mereka, Raja Kelelawar terluka parah dan beberapa bulan kemudian dia
meninggal dunia dalam keadaan sengsara, tanpa ada seorangpun yang menjaganya.
Demikianlah yang didengar oleh Kwee Tiong Li dari suhunya, oleh karena itu, melihat betapa
kini ada orang mengundang semua tokoh penjahat dari tiga daerah kekuasaan itu, darat, sungai
dan lautan itu berkumpul di situ dan orang itu mengaku sebagai keturunan Raja Kelelawar, tentu
saja hati pendekar ini merasa gelisah sekali. Apa lagi peristiwa ini muncul pada saat pemerintah
dipimpin oleh seorang kaisar yang lalim seperti Kaisar Cin Si Hong - te !
Sementara itu, keadaan di luar kuil itu menjadi semakin menegangkan. Jai - hwa Toat -
beng - kwi dan Pek-pi Siauw-kwi tidak berani membantah ketika Sin - go Mo Kai Ci menegur
mereka dan me-lihat betapa si Maling Cantik itu kelihatan jerih kepadanya, Sin - go Mo Kai Ci yang
merasa unggul itu menjadi bangga dan diapun tertawa menyeringai lalu berkata, "Maling cilik,
apakah engkau ingin mengadu kepada rajamu, si Harimau Hitam Ompong itu ? Ha - ha - ha !"
Tentu saja ucapan ini sifatnya amat mengejek. Maling Cantik disebut Maling Cilik, dan San - hek -
houw si Harimau Gunung Hitam dinamakan Harimau Hitam Ompong.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Biarpun jerih terhadap si gendut pendek itu, namun Pek - pi Siauw - kwi bukanlah orang
penakut. Penghinaan itu, yang didengarkan oleh banyak orang, apa lagi penghinaan terhadap
pelin-dungnya, si Harimau Gunung, membuat mukanya yang cantik menjadi merah sekali. Ia
mengeluarkan suara mendengus, lalu kembali ia melengking nyaring dan tubuhnya berkelebat
cepat. Melihat gelagat ini, orang - orang lain sudah surut ke belakang. Wanita cantik itu lalu
meloncat cepat dan tangan kanannya menampar ke arah kepala Sin - go Mo Kai Ci si Buaya Sakti.
Akan tetapi sambil menyeringai dan memanggul senjata penggadanya yang berat di atas pundak
kanan, si Buaya Sakti mengangkat tangan kirinya dan dengan tangan terbuka didorongkan tangan
kirinya ke arah tubuh wanita yang sedang menerjangnya dari atas itu.
"Ihhh......!" Maling Cantik menjerit, rambut dan bajunya berkibar tersambar angin pukulan
itu dan ia sendiri terpaksa harus berjungkir balik tiga kali ke samping untuk menghindarkan diri
dari pukulan jarak jauh yang amat kuat tadi. Semua orang berseru kagum akan kelihaian tenaga
sin-kang dari Buaya Sakti dan kelincahan tubuh Maling Cantik itu. Akan tetapi, segebrakan itu saja
sudah cukup untuk dimengerti orang bahwa Maling Cantik akan kalah. Melihat ini, terpaksa Tiat -
ciang Ciong Lek dan Jai - hwa Toat - beng - kwi serentak melompat ke depan. Tak mungkin
mereka berdiam diri melihat Maling Cantik diancam oleh Buaya Sakti. Boleh jadi mereka berdua
kadang-kadang saling gempur sendiri, namun betapapun juga, mereka adalah segolongan, yaitu
golongan penjahat daratan. Kini melihat rekannya terancam oleh raja bajak sungai tentu saja
mereka tidak tinggal diam. Tiga orang tokoh sesat golongan darat ini sudah siap sedia untuk
mengeroyok Buaya Sakti yang masih nampak tenang sambil tersenyum mengejek itu.
"Ciiiittt... cuiitttt... plak-plak-plakk..." Suara ini terdengar secara tiba - tiba di angkasa.
Semua orang terkejut sekali ketika berdongak dan melihat ke angkasa. Seekor kelelawar raksasa
hi-tam, dengan panjang sayapnya tidak kurang dari satu setengah meter, beterbangan di atas,
berpu-tar-putar di atas kuil!
Semua orang yang hadir, baik yang berada di luar maupun yang bersembunyi di dalam kuil,
belum pernah ada yang bertemu dengan Raja Kelelawar. Akan tetapi mereka semua sudah
mendengar akan ciri-ciri kebesaran datuk junjungan dunia sesat itu. Menurut keterangan yang
mereka peroleh, dahulu Raja Kelelawar selalu berpakaian serba hitam dengan jubah kebesaran
yang berwarna hitam pula, jubah hitam yang kabarnya dapat menahan segala macam senjata. Di
pinggangnya terselip dua batang pisau panjang yang gagangnya berbentuk kepala kelelawar.
Pisaunya berwarna kuning keemasan dan gagangnya dihias berpuluh permata berlian sehingga di
dalam gelap atau terang, gagang itu gemerlapan dan berpijar - pijar. Sepasang pisau panjang itu
kabarnya mengandung racun yang tak dapat disembuhkan dengan sembarang obat, kecuali obat
dari Kelelawar Hitam itu sendiri atau mungkin juga hanya Si Tabib Sakti sajalah yang tahu akan
obat penawarnya. Dan ada kabar pula bahwa ke manapun Raja Kelelawar itu pergi, selalu ada
seekor kelelawar raksasa yang mengikutinya dari atas. Tentu saja berita itu ham-pir merupakan
dongeng dan mereka hanya percaya setengahnya saja. Akan tetapi, setelah kini muncul kelelawar
raksasa itu, semua orang saling pandang dan bergidik, bulu roma mereka serentak meremang dan
mulailah mereka menduga - duga dengan harap - harap cemas bahwa pengundang mereka itu
benar - benar ada hubungannya dengan mendiang Raja Kelelawar Hitam !
Hati semua tokoh dunia sesat yang berada di situ mengikuti gerakan kelelawar yang
beterbangan di atas itu. Bermacam perasaan mengaduk di hati mereka. Ada rasa gembira karena
kalau betul-betul ada keturunan Raja Kelelawar yang hebat seperti Raja Kelelawar itu sendiri,
maka berarti derajat mereka akan terangkat tinggi dan dunia hitam akan memperoleh
kejayaannya lagi. Akan tetapi juga ada semacam rasa takut, karena mereka mendengar bahwa
Raja Kelelawar berperangai aneh dan kejamnya tidak lumrah manusia lagi, melainkan seperti
setan-setan penjaga neraka!
Sin-go Mo Kai Ci, si Buaya Sakti, raja dari sekalian orang jahat yang beroperasi di sungai -
sungai, merasa betapa jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya gemetar. Teringat dia akan
penga-lamannya sebulan yang lalu. Dia sedang berperahu di waktu malam, di Sungai Huang-ho.
Kemudian, muncul sesosok tubuh manusia yang hanya nampak sebagai bayangan hitam di tepi
sungai. Bayangan itu mengeluarkan kata - kata yang terdengar seperti bisikan di dekat telinganya
bahwa dia adalah keturunan Raja Kelelawar! Kemudian orang itu melemparkan sesuatu yang
ternyata adalah sehelai gulungan surat undangan. Lemparan dilakukan dari tepi sungai dan yang
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dilemparkan hanya benda yang ringan saja. Akan tetapi surat itu dapat meluncur sedemikian
cepatnya, merobek layar perahu dan menempel di tiang perahu! Ke pandaian seperti itu amatlah
luar biasa, maka Bua-ya Sakti ini merasa yakin dan diapun datang ke puncak Merak Putih,
memenuhi undangan. Dan kini, benar saja ada seekor kelelawar raksasa be-terbangan di tempat
itu.
Semua mata mengikuti gerakan kelelawar itu, Biasanya, kelelawar tidak muncul di pagi hari
se-telah matahari bersinar terang, karena kabarnya binatang itu tidak dapat melihat di waktu
siang. Akan tetapi kelelawar itu beterbangan mengitari tempat itu sambil matanya yang
mencorong ditujukan ke bawah, kepada orang-orang yang me-mandang ketakutan itu. Kemudian
binatang itu menukik ke bawah dan memasuki kelebatan daun siong yang berdiri di ujung depan
kuil, lalu mencengkeram dahan dan bergantung di tempat itu. Dahan itu melengkung bergoyang -
goyang saking beratnya kelelawar raksasa itu, telinganya yang panjang bergerak - gerak, juga
kepalanya bergerak menoleh ke kanan kiri dan kadang-kadang moncongnya memperdengarkan
suara bercicitan nyaring.
Tiba - tiba terdengar auman suara harimau ! Semua orang terkejut mendengar auman
nyaring yang tiba - tiba ini, apa lagi karena baru saja hati mereka terguncang penuh kengerian
oleh munculnya kele-lawar raksasa. Akan tetapi Sin - go Mo Kai Ci Buaya Sakti lalu tersenyum
sendiri. Kenapa dia begitu bodoh ? Dia tahu bahwa itu adalah pertan-da munculnya tokoh
saingannya yang berat, yaitu San - hek - houw, raja dunia hitam di darat. Di tidak perlu merasa
takut karena dia maklum bahwa tingkat kepandaiannya seimbang dengan tingkat si Harimau
Gunung itu. Apa lagi, baru saja dia mematangkan ilmunya dengan jalan bertapa sampai tiga bulan
lamanya. Dia berdiri tenang dan meng ambil sikap seenaknya, seolah - olah dia memandang
rendah dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Tak lama kemudian semua orang yang sudah menoleh ke arah datangnya suara auman
harimau tadi melihat munculnya bayangan seorang pria yang tinggi besar, mendaki puncak
menuju ke arah kuil. Di belakang orang tinggi besar ini nampak sepasang harimau kumbang
berlari - lari mengikuti, jinak seperti dua ekor anjing saja, padahal dua ekor binatang itu besar dan
nampak kuat sekali. Bulunya yang berwarna hitam itu mengkilap karena peluh. Sebentar saja,
orang tinggi besar itu telah berada di tengah - tengah halaman kuil. O-rang - orang agak menjauh
melihat dua ekor harimau itu yang melangkah tenang di kanan kiri majikannya, sepasang mata
mereka mencorong dan kadang - kadang terdengar geraman lirih dari kerongkongan mereka
diikuti bibir yang ditarik naik sehingga nampak taring yang meruncing. Dua ekor binatang itu
nampak ganas dan buas, juga kuat sekali. San - hek - houw yang usianya kurang lebih limapuluh
tahun dan nampak gagah perkasa itu gelangkah mendekati Maling Cantik, Penjahat Ca-bul dan Si
Tangan Besi yang tadi sudah siap mengeroyok Buaya Sakti itu. Mereka bertiga kelihatan pucat dan
merasa ngeri berhadapan dengan raja kaum penjahat di daratan ini, karena merekapun tahu
betapa galaknya raja mereka itu.
Tiba-tiba kakek tinggi besar ini menggerakkan lengan kirinya, cepat sekali gerakannya dan
tahu-tahu terdengar suara "plakk!!" dan pipi Maling Cantik telah ditamparnya sampai tubuh wanita
itu terhuyung dan hampir terpelanting.
Pek Lian yang mengintai dari dalam, hampir saja berteriak marah menyaksikan kebiadaban
si tinggi besar ini, yang tanpa alasan tahu-tahu menampar pipi seorang wanita di depan banyak
orang. Sungguh tidak sopan dan keji sekali. Akan tetapi setelah ia teringat bahwa mereka semua
itu adalah orang - orang dari dunia hitam yang tidak beradab, maka iapun menahan
kemarahannya dan ha-nya mengintai dengan penuh perhatian.
"Kau tadi berkata apa ? Berani engkau bicara yang bukan-bukan tentang beliau ? Apa lagi
engkau, sedangkan aku sendiri saja tidak berani melawannya dan semua orang di sini tidak ada
yang dapat dibandingkan dengan beliau. Kepandaian kita semua tidak ada sekuku hitamnya.
Engkau berani memamerkan ginkangmu ? Huh... tidak ada sepersepuluh kepandaian beliau !"
Si Maling Cantik tentu saja merasa malu dan marah sekali, akan tetapi dimarahi oleh
"rajanya* tentu saja ia tidak berani melawan, apalagi mende-ngar betapa rajanya ini memuji-muji
pengundang mereka yang mengaku keturunan Raja Kelelawar itu setinggi langit.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Si Buaya Sakti, sebagai raja dari golongan yang beroperasi di sungai-sungai dan merasa
menjadi saingan berat dari San-hek-houw, diam - diam merasa girang dan juga untuk mengejek
saingannya, diapun mencela, "Sudahlah, kaya anak kecil saja ribut-ribut untuk urusan sepele !"
Si Harimau Gunung merasa tersinggung, matanya mendelik marah ketika dia memutar
tubuhnya memandang kepada saingannya. "Kau bilang apa ? Coba katakan sekali lagi!" Dia
menantang sambil melangkah maju menghampiri.
Ditantang di depan orang banyak oleh saingan-nya, tentu saja Si Buaya Sakti menjadi
marah juga. Dia memanggul penggadanya, kakinya memasang kuda-kuda dan diapun mengejek,
"Aku bilang bahwa engkau bukan harimau melainkan kucing! Nah, kau mau apa ?"
Tentu saja San-hek-houw marah sekali dan semua orang yang hadir memandang dengan
jantung berdebar dan hati penuh ketegangan. Tentu akan hebat sekali kalau dua "raja" ini
berkelahi! Tiba - tiba San - hek - houw mengeluarkan suara mengaum dari mulutnya, diikuti pula
oleh dua ekor harimau kumbangnya itu. Tangan kanannya bergerak dan dari balik jubahnya yang
terbuat dari Pada kulit harimau itu nampak keluar dan dipegang oleh tangannya sebatang rantai
panjang yang ujungnya diberi mata tombak yang ada kaitannya di kedua ujungnya, seperti
jangkar kecil.
Sin - go Mo Kai Ci si Buaya Sakti juga siap sia-ga dengan senjata tongkat pendek besar itu
tetap dipanggul di atas pundaknya, pandang matanya bersinar dan mulutnya mengejek. Dia tidak
merasa gentar menghadapi musuh bebuyutan ini. Semua orang sudah memandang dengan hati
tegang gem-bira, mengharapkan untuk dapat menyaksikan perkelahian yang bermutu dan seru.
Akan tetapi, tiba - tiba saja terdengar suara melengking tinggi seperti suara wanita menjerit,
mencicit menyakitkan gendang telinga, disambung teriakan penuh wibawa, "Tahan ! !"
Kedua orang tokoh jahat itu terkejut dan jantung mereka berdebar karena mereka mengenal
suara itu sebagai ciri khas dari suara si Raja Kelelawar seperti dikabarkan orang dalam dongeng
tentang datuk dunia hitam itu. Di dunia kang - ouw terdapat kepercayaan bahwa suara si Raja
Kelelawar itu menjadi kecil tinggi dan tajam seperti suara cicitan seekor kelelawar karena ilmunya.
Selagi semua orang, juga kedua jagoan yang sudah berhadapan itu memandang ke sana-sini
untuk mencari suara tadi, terdengarlah suara itu melanjutkan kata- katanya yang melengking
tinggi dan penuh wibawa, "Aku menghendaki agar kalian semua menjadi satu lagi seperti pada
jaman kakekku dahulu, kenapa sekarang belum apa-apa sudah mau saling berhantam sendiri ?"
Suara mencicit ini terdengar marah dan aneh, menggetarkan jantung dan mendirikan bulu
roma kedua orang tokoh Sam - ok itu. Dan semua orang juga merasa gentar dan bingung, karena
suara itu seolah - olah datang dari segala penjuru dan sukar untuk menentukan dari jurusan mana
datangnya. Inipun merupakan satu di antara ciri khas ilmu ajaib dari si Raja Kelelawar di jaman
dahulu, yaitu ilmu sinkang tingkat tinggi yang disebut Pat - hong Sin - ciang (Tenaga Sakti
Delapan Penjuru). Menurut dongeng tentang si Raja Kelelawar, Ilmu Pat - hong Sin - ciang ini
amat ditakuti oleh orang-orang di dunia persilatan, karena ilmu ini mengandung semacam tenaga
sihir yang mujijat. Seorang lawan yang tidak memiliki sinkang yang amat kuat akan merasa
terhimpit oleh suatu tenaga sakti yang datang dari delapan penjuru sehingga membuatnya sukar
untuk dapat bergerak. Apa lagi bertemu pandang dengan sinar mata si Raja Kele-lawar yang
mencorong seperti mata burung hantu di waktu malam itu, membuat semua anggauta tubuh
terasa lemas dan kehilangan tenaga dan tentu saja lawan yang berada dalam keadaan seperti ini
akan amat mudah dirobohkan.
Ho Pek Lian dan kedua orang gurunya, juga Kwee Tiong Li dan ketiga Yang - ce Sam - lo,
saling pandang dan bergidik mendengar suara itu.
Sebagai orang - orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, mereka maklum betapa
hebatnya tenaga khikang yang mendorong suara itu. Suara itu seolah - olah dikeluarkan oleh
mulut orang yang berada dekat sekali dengan mereka, akan tetapi entah di depan, di belakang,
atau di samping mereka. Selagi semua orang, baik yang bersembunyi di dalam kuil maupun yang
hadir di luar kuil, me-nengok ke sana - sini dan mencari - cari dengan pandang mata mereka
untuk menemukan orang yang bersuara tadi, terdengar lagi suara yang bernada tinggi itu, yang
ditujukan kepada si Buaya Sakti dan si Harimau Gunung.
"Hayo kalian berdua simpan kembali senjata-senjata kalian itu ! Ataukah kalian ingin aku
mem-buangnya ?"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Sin-go Mo Kai Ci dan San-hek-houw adalah dua di antara Sam - ok yang pada waktu itu
menganggap diri mereka bertiga sebagai raja - raja dari para tokoh sesat di dunia hitam. Kini, di
depan sekian banyaknya orang, ada suara yang memerintah mereka, tentu saja kalau mereka
mentaati begitu saja, hal ini sungguh membuat mereka kehilangan muka. Akan tetapi, hati
merekapun sudah merasa jerih akan nama Raja Kelelawar yang walaupun belum pernah mereka
lihat, namun sudah mereka kenal tanda - tanda dan ciri - ciri khasnya. Maka, keduanya merasa
ragu-ragu, tangan memegang senjata masing - masing dengan kuat dan mata mereka jelilatan
mencari - cari orang yang berani mengeluarkan perintah dan memandang rendah mereka itu.
Dan tiba - tiba saja kedua orang tokoh sesat ini terbelalak memandang ke depan, sinar
mata mereka tertumbuk dengan sinar mata dingin menye-ramkan dari sesosok tubuh yang tiba -
tiba saja sudah berdiri di samping si Maling Cantik Pek - pi Siauw - kwi! Saking kagetnya, hampir
saja senjata di tangan mereka itu terlepas karena tangan mereka tiba - tiba gemetar keras. Yang
memiliki mata dingin menyeramkan itu bertubuh tinggi kurus dengan jubah dan pakaian hitam
mengkilat dari sutera halus. Inilah gambar si Raja Kelelawar se-perti yang pernah mereka dengar
dari dongeng !
Pek - pi Siauw - kwi sendiri menjadi kaget setengah mati. Ia terkenal memiliki ginkang yang
hebat, akan tetapi kini ia sama sekali tidak mengetahui akan kedatangan iblis ini, yang tahu - tahu
berada di sampingnya, seolah - olah kemunculannya itu menggunakan ilmu iblis dan pandai
menghilang saja. Iblis berpakaian hitam ini berdiri dekat sekali di sampingnya, antara ia dan Jaihwa
Toat-beng-kwi si cabul pesolek. Tadi ia mengira bahwa yang berdiri dekat sekali dengannya
itu adalah si cabul, demikian pula dengan Jai - hwa - cat itu, yang mengira bahwa yang berdiri di
dekatnya adalah si Maling Cantik. Maka, setelah kini keduanya mengetahui bahwa si iblis itu yang
datang dan berada dekat dengan mereka, keduanya mundur ketakutan dan cepat-cepat menjauh
dengan jantung berdebar dan muka pucat.
Dari dalam kuil, tujuh orang pendekar itu me-mandang dengan penuh perhatian dan mereka
semua merasa betapa darah mereka berjalan ken-cang, jantung mereka berdebar keras. Dari
tempat mereka bersembunyi, mereka dapat melihat jelas. Iblis itu memang mirip gambaran
tentang si raja iblis itu, pergi datang tanpa suara seperti pandai menghilang, saking tinggi
ginkangnya. Mereka bertujuh sejak tadi selalu memperhatikan keadaan di luar kuil, namun
merekapun tidak melihat da-tangnya Raja Kelelawar itu, tahu - tahu tokoh itu sudah muncul di
situ.
Sementara itu, melihat ke kiri, ke arah Pek-pi Siauw-kwi yang mundur-mundur ketakutan,
iblis berpakaian hitam itu tertawa. Suara ketawanya juga bernada tinggi, seperti suara ketawa
wanita lalu terdengar suaranya yang berwibawa, meme-rintah, "Anak manis, ke sinilah engkau!"
Tangan-nya menggapai ke arah maling wanita yang memang berwajah cantik manis itu.
Pek - pi Siauw - kwi adalah seorang wanita to-koh kaum sesat yang sudah lama malang
melintang di dunia kejahatan sebagai maling tunggal dan ia tidak pernah takut terhadap siapapun
juga. Akan tetapi sekali ini, seperti seorang anak kecil melihat sesuatu yang menakutkan, ia
mundur-mundur dan menggeleng - geleng kepala sebagai tanda bahwa ia tidak mau mendekati
iblis itu, matanya terbelalak dan mukanya agak pucat.
Menghadapi penolakan si Maling Cantik, iblis itu mengerutkan alis dan sinar matanya
berkilat, lalu dia menggerakkan lengannya ke arah wanita itu dan biarpun kakinya tidak kelihatan
melangkah, tahu - tahu dia telah berada dekat wanita itu. Pek-pi Siauw - kwi mencoba untuk
mengelak dan me-. loncat untuk menghindarkan diri. Akan tetapi, tiba - tiba saja ia merasa ada
tenaga aneh meng-himpitnya dari semua penjuru, yang membuatnya sukar untuk bergerak. Ketika
matanya yang keta-kutan itu memandang dan bentrok dengan sinar mata iblis itu, tenaganya
mendadak menjadi lemas dan tubuhnya terkulai. Di lain saat tubuhnya sudah dirangkul oleh si iblis
yang menggunakan jari - jari tangannya untuk menggerayangi tubuh yang gempal padat itu tanpa
si Maling Cantik dapat mencegah sama sekali. Ia hanya menangis ketakutan setengah mati.
"Ha - ha, engkau boleh juga..., engkau tidak merusak tubuhmu.... hemm, manis!" Si iblis
mencium kulit yang putih itu dan si Maling Cantik menggigil, seluruh bulu tubuhnya meremang.
Tiat-ciang Ciong Lek, perampok tunggal yang tubuhnya kekar dan tidak berbaju itu merasa
panas isi perutnya melihat betapa rekannya dihina seperti itu. Tadinya dia sendiripun merasa takut
dan jerih terhadap si iblis, akan tetapi melihat betapa rekannya mengalami penghinaan, hatinya
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
terbakar dan sesaat dia lupa akan rasa takutnya. Dia mengeluarkan suara menggeram dan
bagaikan seekor singa menerkam, dia sudah menggerakkan golok besarnya dan meloncat terus
membacokkan golok besarnya itu ke arah punggung iblis yang masih menggerayangi dan
menciumi si Maling Cantik itu. Si iblis itu diam saja dan agaknya tidak melihat serangan ini,
sedikitpun tidak mengelak atau menangkis, masih menciumi kulit leher yang lunak itu. Semua
orang yang melihat serangan ini menahan napas.
"Singgg...... dukkk !!"
Jilid V
BACOKAN golok yang berdesing itu tepat mengenai punggung yang tertutup mantel hitam,
membacok dengan kuat sekali, akan tetapi golok itu mental dan mantel itu sedikitpun tidak robek,
apa lagi punggungnya. Agaknya terasapun tidak oleh si iblis itu. Tentu saja semua orang,
termasuk mereka yang bersembunyi di dalam kuil, terkejut, kagum dan gentar sekali menyaksikan
kehebatan iblis itu. Kiranya, iblis inipun menggunakan mantel pusaka yang menurut dongeng
memang kebal terhadap segala macam senjata. Kembali terbukti ciri khas dari si Raja Kelelawar !
Setelah bacokan itu mental, barulah iblis itu menoleh dan melepaskan tubuh Maling Cantik
yang tadi dipeluknya. Wanita cantik itu terhuyung dan kedua kakinya masih terasa lemas, akan
tetapi semangatnya pulih kembali setelah ia dilepaskan dan ia hanya dapat memandang jerih. Kini
Tiat-ciang Ciong Lek yang berdiri seperti terpesona memandang iblis itu dan dia bergidik melihat
be-tapa sepasang mata yang mencorong itu dingin sekali terasa menusuk jantungnya. Biarpun
iblis itu tidak membuka mulutnya, akan tetapi terdengar ada suara siulan dari bibirnya. Siulan ini
dijawab oleh suara mencicit dan kelepak sayap. Ternyata binatang kelelawar raksasa yang tadi
bergantung di dahan pohon, sudah terbang ke atas lalu menu-kik ke bawah, ke arah si perampok
tunggal Ciong Lek! Perampok ini tentu saja cepat menggerak-kan goloknya untuk melakukan
perlawanan, akan tetapi tiba - tiba saja dia tidak mampu bergerak goloknya masih diangkatnya
tinggi - tinggi dan tu-buhnya seperti mendadak menjadi kaku. Kelela-war raksasa itu meluncur dan
menyambar.
"Plokk !" Kelelawar itu menerkam ke arah leher si perampok tunggal, mencengkeram leher
itu se-bentar dan ketika binatang ini terbang lagi, nampak darah menyembur keluar dari urat nadi
leher yang putus tergigit dan terhisap oleh kelelawar itu ! Si perampok tunggal Tiat - ciang Ciong
Lek terbela-lak, lalu terdengar lehernya mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya terguling
dan roboh atas tanah, berkelojotan sebentar lalu terdiam ka-rena darahnya habis, sebagian
terhisap kelelawar itu dan sebagian lagi membanjir keluar. Semua orang memandang dengan
mata terbelalak dan muka pucat.
Kembali si iblis mengeluarkan suara ketawa yang menyeramkan, ketawanya mencicit seperti
bunyi kelelawar atau bunyi tikus - tikus bercanda. "Masih ada lagi yang meragukan kemampuanku
dan ingin melawanku ?" terdengar dia bertanya sambil memandang ke sekeliling.
Tidak ada yang berani menjawab biarpun yang hadir adalah tokoh-tokoh dunia hitam yang
biasanya sewenang-wenang dan tidak mengenal takut. Agaknya, nama Raja Kelelawar sudah
sedemikian besar pengaruhnya, ditambah kekejaman iblis ini yang mengaku sebagai keturunan
Raja Kelelawar, juga kelihaiannya membuat semua orang maklum bahwa mereka berhadapan
dengan orang yang pandai sekali.
Sin - go Mo Kai Ci si Buaya Sakti dan San - hek-houw si Harimau Gunung adalah dua di
antara Sam - ok yang dianggap merajai para anggauta liok - lim di bidang masing - masing.
Selama ini, mereka bertigalah yang berdaulat penuh dan dita-kuti semua penjahat, balikan kalau
di antara penjahat timbul pertikaian, mereka inilah yang dianggap berhak untuk mengadili dan
menjatuhkan keputus-an. Kini muncul si iblis yang mengerikan, dan tentu saja kalau iblis ini
hendak mengangkat diri sendiri menjadi datuk kaum sesat, hal ini sama dengan merendahkan
nama Sam-ok sebagai raja-raja kaum sesat. Akan tetapi, mereka berdua adalah orang - orang
yang berilmu tinggi dan yang dapat melihat bahwa iblis yang baru muncul ini memang hebat
bukan main. Si Buaya Sakti dan si Harimau Gunung yang tadi hampir saja berhantam sendiri kini
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
saling pandang dan dari pandang mata ini mereka sudah bersepakat untuk bersama - sama
menghadapi pendatang baru yang mengancam ke-dudukan mereka ini.
San-hek-houw lalu melangkah maju dan ran-tai yang ujungnya bertombak itu telah diiilitkannya
di pinggang. Dia membungkuk sebagai tanda penghormatan, lalu berkata, suaranya lantang
agar terdengar oleh semua tokoh yang hadir.
"Kami semua tentu saja mengenal nama mendi-ang yang mulia Bit - bo - ong dan
menganggap be-liau sebagai datuk atau raja kami yang kami mu-liakan. Akan tetapi, terus terang
saja, kami semua belum pernah mendengar akan adanya murid atau keturunan beliau, dan bukan
sekali - kali kami berani menentang keturunan beliau. Hanya kami mohon petunjuk apakah benar
bahwa locianpwe adalah keturunan beliau. Kalau memang benar demikian dan kalau memang
benar bahwa di antara kami semua tidak ada yang dapat mengatasi kepandaian locianpwe, tentu
saja kami semua akan tunduk dan dengan suka hati mengangkat locianpwe sebagai keturunan
beliau dan menjadi raja baru kami."
Semua orang mengeluarkan suara menggumam menyatakan persetujuan mereka. Si iblis
hitam ter-tawa. Wajah yang nampak angker itu tidak bergerak kulitnya, tanda bahwa di luar kulit
muka itu dia memakai topeng tipis sehingga mudah diduga bahwa wajah yang menyeramkan ini
bukanlah wajah yang sesungguhnya yang berada di balik topeng tipis.
"Ha - ha - ha, omonganmu memang benar, San-hek - houw. Dan untung engkau
berpendapat demikian, karena kalau tidak, tentu ketiga Sam - ok akan kubunuh lebih dulu. Aku
tahu bahwa Tung-hai-tiauw si Rajawali, Sin - go Mo Kai Ci si Bua-ya Sakti, dan engkau sendiri San
- hek - houw si Harimau Gunung, merupakan Sam - ok, tiga se-rangkai yang merajai bidang
masing-masing di Pegunungan, sungai - sungai, dan lautan. Karena kalian memandang kepadaku
maka akupun suka mengangkat kalian meniadi pembantu - pembantu-ku Dan untuk membuktikan
bahwa aku adalah keturunan dari Bit-bo-ong, biarlah kalian berdua maju menandingiku. Dengar
baik-baik. Kalau dalam sepuluh jurus aku tidak mampu mengalahkan kalian berdua, biarlah aku
menarik kembali omonganku dan aku tidak akan mencampuri dunia kalian. Akan tetapi kalau aku
menang, siapapun yang berani membantah akan kubunuh. Mengerti ? Nah, kalian majulah !
Jangan takut, aku tidak akan Membunuh calon pembantu - pembantuku !"
Ucapan ini sungguh tekebur bukan main. Sam-ok terkenal memiliki ilmu kepandaian tinggi,
dan sekarang, dua orang di antara mereka ditantang oleh si iblis untuk dikalahkannya dalam
waktu sepuluh jurus saja! Si Buaya Sakti dan si Harimau Gunung juga saling pandang dan muka
mereka menjadi merah karena merasa marah dan penasar-an sekali. Iblis ini sungguh sombong,
dan lebih dari itu, kalau sampai mereka berdua yang menge-royok seorang sampai kalah dalam
sepuluh jurus sungguh hal ini akan membuat mereka merasa ma-lu sekali.
"Baiklah, locianpwe. Kami mohon petunjuk un-tuk meyakinkan hati kami semua!" kata si
Hari-mau Gunung yang sudah melolos rantai dari ping-gangnya sedangkan si Buaya Sakti juga
sudah me-langkah maju dengan melintangkan senjata tong-kat bajanya di depan dada.
"Bagus, majulah. Aku akan memberi kesempat-an kepada kalian untuk masing - masing
menyerang-ku selama lima jurus, baru kemudian aku mem-balas, dan kalau kalian dapat
bertahan sampai tiga jurus saja sudah boleh dibilang bagus!" kata si iblis itu dan ini menambah
kesombongannya.
"Lihat serangan !" Si Buaya Sakti berteriak ma-rah. Biasanya, dalam dunia hitam tidak
berlaku segala macam aturan sopan santun, bahkan biasa-nya mereka itu melakukan serangan
secara meng-gelap, maka bentakan si Buaya Sakti ini merupa-kan suatu keanehan. Hal ini
menunjukkan bahwa biarpun dia marah, pada hakekatnya si Buaya Sakti ini merasa jerih sekali
maka dia mengeluarkan se-ruan yang di kalangan persilatan, terutama di kalangan para pendekar,
sudah menjadi lajim, yaitu sebelum menyerang, memberi peringatan lebih dulu kepada yang
diserang, sebagai tanda kegagahan.
Senjata tongkat pendek besar dari baja putih itu amat berat dan kini digerakkan dengan
cepat sekali, membuktikan besarnya tenaga si Buaya Sakti itu. Tongkatnya menjadi sinar putih
yang besar menyambar ke arah kepala si iblis berpakaian hi-tam, dan tangan kiri si Buaya Sakti
masih menyu-sulkan cengkeraman ke arah pusar. Serangan pertama ini sungguh merupakan
serangan dahsyat sekali dan dapat mendatangkan maut.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
San-hek-houw si Harimau Gunung lebih cerdik. Melihat rekannya sudah menyerang, dia
menggunakan kesempatan ini untuk menggerakkan rantainya dan nampak sinar bergulung -
gulung ketika rantainya itu membuat serangan dari kanan ke kiri, dari bawah menyerang kaki lalu
terus membubung ke atas, merupakan serangan sinar berpusing yang berbahaya dan sukar sekali
dielakkan lawan !
"Satu jurus !" Terdengar suara melengking dari si iblis hitam, akan tetapi hanya suaranya
saja yang terdengar oleh dua orang lawan dan oleh semua orang itu, karena dua orang lawan itu
telah kehi-langan orangnya! Kiranya, dengan menggunakan ginkang yang sukar dapat diikuti oleh
mata saking cepatnya, begitu serangan menyambar, tubuh si iblis itu telah mencelat ke atas
sehingga serangan rantai itu tidak mengenai sasaran bahkan kehilang-an sasaran dan tahu - tahu
kaki si iblis itu telah berada di ujung tongkat baja putih yang tadi dipergunakan oleh Buaya Sakti
untuk menghantam kepa-lanya ! Memang sukar dapat dipercaya kalau tidak dilihat sendiri betapa
orang yang kepalanya dise-rang, tahu - tahu sudah berada di atas dan berdiri di atas tongkat yang
tadi menghantam ke arah kepala itu. Ketika si Buaya Sakti hendak menggerakkan tongkatnya,
tiba - tiba saja tongkat yang diinjak kaki iblis itu menjadi berat dan hampir saja dia tidak kuat
menahan lagi. Akan tetapi ti-ba-tiba iblis hitam itu telah meloncat turun lagi sambil tersenyum.
Dua orang itu merasa penasaran sekali dan mereka lalu menubruk maju lagi dengan
serangan berganda yang lebih dahsyat lagi. Kini rantai itu mengeluarkan suara meledak - ledak
dan menghan-tam dari atas dengan lecutan yang membuat ujung-nya berbentuk tombak berkait
itu menyambar-nyambar ke arah kepala si iblis hitam, sementara itu, tongkat pendek yang berat
itupun sudah me-nyodok ke arah perut.
"Dua jurus !" kembali terdengar si iblis hitam berseru dan sekali ini dia tidak
mendemonstrasikan kelincahan gerakannya melainkan ketangkasan ke-dua tangannya. Tangan
kirinya bergerak ke atas dan tangan kanan bergerak ke bawah dan dengan tepat sekali kedua
tangan terbuka itu telah menangkis dua senjata itu. "Plakk! Plaakkk!"
Dua orang raja para penjahat itu berseru kaget karena mereka merasa betapa tangan
mereka menjadi panas dan nyeri sekali, sedangkan sebelah lengan yang memegang senjata terasa
seperti lumpuh. Akan tetapi hal ini hanya sebentar saja dan lenyap setelah si iblis itu menarik
kembali tangannya sambil tertawa dan dia sudah siap lagi menghadapi serangan kedua orang itu.
Dua orang itu kini menggunakan kecepatan, memutar-mutar senjata mereka menjadi bentuk
sinar bergulung - gulung lalu keduanya menyerang dengan cepat. Dan kembali si iblis
memperlihatkan bahwa gerakannya jauh lebih cepat dari pada kedua senjata itu, tubuhnya lenyap
berkelebatan seolah - olah dia dapat menyusup di antara gulungan sinar kedua senjata itu sambil
terus menghitung jurus - jurus penyerangan lawan sampai lima kali dan kedua senjata itu tidak
pernah dapat menyentuh ujung bajunya sekalipun!
Setelah lewat lima jurus, tiba - tiba iblis hitam itu tertawa melengking disambung suaranya
yang terwibawa, "Awas terhadap seranganku!" Dan tiba - tiba saja dua orang raja penjahat itu
menjadi bingung dan silau karena tubuh hitam itu berkelebat sedemikian cepatnya sehingga
mereka tidak tahu ke mana arah penyerangan lawan aneh ini.
"Jurus pertama!" kata raja iblis itu dan dua orang lawannya menggerakkan senjata mereka
untuk menangkis dan melindungi diri. Akan tetapi tiba - tiba saja tangan yang memegang senjata
terasa lumpuh dan mereka melihat sepasang mata, yang mencorong penuh wibawa, membuat
mereka menjadi lemas seketika dan iblis hitam itu hanya sekali menggerakkan kaki, akan tetapi
kaki itu su-dah dua kali menendang dan tubuh kedua orang itu terlempar sampai tiga tombak ke
belakang dan terbanting keras! Untung bahwa si iblis tidak mempergunakan tenaga sinkang ketika
menendang sehingga dua orang itu tidak terluka parah, hanya babak bundas saja karena
terbanting tadi. Mereka bangkit berdiri, hampir tidak percaya kalau tidak mengalami sendiri.
Mereka telah dirobohkan dalam satu jurus saja ! Akan tetapi mereka bukanlah orang-orang bodoh
dan mereka sudah yakin kini bahwa orang berpakaian hitam di depan mereka itu memang
memiliki ilmu kepandaian, yang muji-jat sekali dan sudah selayaknya kalau menjadi raja mereka
semua. Maka mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut, menghadap iblis hitam itu! Melihat
perbuatan dua orang yang selama ini mereka anggap sebagai raja, tentu saja para tokoh liok-hm
yang hadir di situ terkejut bukan main dan satu demi satu merekapun lalu menjatuhkan diri
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
berlutut, termasuk si Maling Cantik Pek-pi Siauw-kwi dan si penjahat cabul Jai-hwa Toat-beng-kwi
!
"Ha-ha-ha-ha ! Bagus sekali kalau kalian sudah mengakui aku sebagai raja kalian ! Jangan
khawatir, seperti yang telah dilakukan oleh kakek-ku dahulu, aku akan memimpin kalian dan dunia
hitam kita akan menjadi jaya kembali!" Mendengar ini, semua penjahat yang berkumpul di situ
bersorak gembira. Iblis hitam itu mengangkat le-ngan kanannya ke atas dan suara berisik mereka
itu tiba - tiba sirap dan berhenti sama. sekali. "Dan aku tetap melanjutkan julukan kakekku, yaitu
Bit-bo - ong dan kalian semua harus menyebut ong - ya kepadaku!"
Kembali mereka bersorak dan ketika ada yang berteriak, "Hidup ong-ya...!" maka mereka
semua juga ikut berteriak-teriak. Akan tetapi kembali Raja Kelelawar itu mengangkat tangan
kanannya ke atas dan semua orang terdiam kembali. Dengan muka kelihatan marah Raja
Kelelawar atau Bit - bo - ong itu menoleh ke arah kuil dan terdengar suaranya yang melengking
tinggi.
"Siapa berani tidak berlutut kepadaku? Kalian yang berada di dalam kuil, tidak lekas keluar
?" Raja Kelelawar lalu menggerakkan tangannya sambil melangkah mendekati kuil, kedua
tangannya mendorong dan terdengar suara keras ketika sebagian dari dinding kuil tua itu ambruk
menge-luarkan suara gemuruh dan debu mengebul ke atas! Tentu saja Pek kian dan enam orang
lainnya ter-kejut bukan main. Kiranya iblis itu telah mengeta-hui bahwa di dalam kuil ada
orangnya dan kalau tadi iblis itu tidak turun tangan adalah karena mengira bahwa mereka juga
anggauta dunia hitam. Setelah semua orang berlutut dan hanya mereka yang bersembunyi itu saja
yang tidak, agaknya barulah iblis itu tahu dan menegur.
Tentu saja tujuh orang yang bersembunyi di dalam menjadi terkejut dan karena mereka
tahu bahwa tempat persembunyian mereka telah diketahui orang, maka terpaksa mereka lalu
keluar dari pintu kuil, apa lagi karena sebagian tembok dan atap telah ambruk dan tadi terpaksa
mereka harus berloncatan menghindar dan kini mereka semua keluar.
Kwee Tiong Li yang biarpun masih lemah dari belum pulih kembali tenaganya, merasa
bahwa dialah yang menjadi pemimpin dan bertanggung jawab, cepat maju dan memberi hormat
kepada Bit - bo - ong atau Raja Kelelawar. "Harap locian-pwe sudi memafkan kami yang tidak
sengaja hendak mengintai. Kami hanya kebetulan berada di dalam kuil, lama sebelum locianpwe
dan para saudara datang berkumpul di luar kuil."
Sepasang mata Raja Kelelawar yang mencorong itu menyapu tujuh orang yang keluar dari
dalam kuil, alisnya berkerut dan jelas bahwa dia merasa tidak senang hatinya.
"Kenapa kalian bersembunyi dan tidak keluar ?" bentaknya.
"Maaf, locianpwe, kami merasa sebagai orang luar maka kami tidak berani mengganggu"
"Siapakah kalian ?"
"Kami...... kami hanya pelancong-pelancong yang kemalaman di sini " Pemuda itu
tidak mau memperkenalkan diri mereka.
"Dia itu Kim - suipoa !" Tiba-tiba berteriak seorang, di antara para penjahat yang mengenal
pendekar tua itu.
"Dan itu dia Pek-bin-houw !" teriak seorang lain.
Mendengar disebutnya dua nama ini, tiba - tiba Raja Kelelawar tertawa bergelak. "Ha-ha-ha,
kiranya hanya kaum pemberontak hina ? Kalian sudah mengintai kami, harus mampus semua!"
Dan diapun lalu mendorongkan tangannya yang sakti ke arah Kwee Tiong Li! Pemuda ini terkejut.
Dia masih belum memperoleh kembali tenaganya dan sedapat mungkin dia meloncat ke kiri untuk
menghindarkan diri. Akan tetapi tetap saja angin pukulan itu menyambar dan diapun terguling dan
jatuh terduduk di bawah pohon depan kuil. Sambil tertawa Raja Kelelawar melangkah dan hendak
memukul, akan tetapi pada saat itu, Yang - ce Sam - lo tentu saja sudah meloncat ke depan dan
menyerangnya untuk menolong ketua rnereka.
"Dessss... !!" Raja Kelelawar mengibaskan tangannya menyambut mereka dan tiga
orang Yang - ce Sam - lo yang lihai itupun terlempar dan terbanting jatuh semua !
"Manusia iblis!" Tiba - tiba Pek Lian sudah menerjang dengan pedangnya.
"Cringg......!" Pedang itu disampok oleh tangan Raja Kelelawar dan terlepas dari pegangan
Pek Lian, dan sebelum Pek Lian mampu mengelak, pergelangan tangan kanannya telah dipegang
oleh tangan kanan Raja Kelelawar ! Melihat ini, Kim-suipoa dan Pek - bin - houw segera menerjang
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ma-ju untuk menolong, akan tetapi Raja Kelelawar menggerakkan kakinya dan dua orang itupun
terlempar dan terbanting jauh !
"Heh-heh-heh, ternyata engkau cantik sekali lebih cantik dan manis dibandingkan Maling
Cantik. Ha-ha-ha, dan engkau masih perawan. Bagus... !"
Pek Lian yang dipegang pergelangan tangan kanannya meronta dan hendak memukul
dengan tangan kirinya, akan tetapi ketika dia bertemu pandang dengan iblis itu, tiba - tiba
kepalanya terasa pening dan tenaganya menjadi lemas dan habislah semangat melawannya. Iblis
itu menariknya dan agaknya hendak mencium, akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa
perlahan dan lembut dari dalam kuil. Mendengar suara ketawa halus yang mengandung getaran
sampai terasa oleh jan-tungnya itu, Raja Kelelawar terkejut dan mengangkat muka memandang.
Tiba-tiba dari dalam kuil muncul seorang kakek berjenggot putih yang memegang sebatang
tongkat butut. Orang tua ini mengangkat tangan kirinya ke atas dan berkata kepada Raja
Kelelawar,
"Heh - heh - heh, nama Raja Kelelawar terlalu besar dan gagah untuk dirusak oleh perlakuan
ren-dah terhadap seorang nona muda. Raja Kelelawar, kalau memang engkau gagah, lepaskan
nona muda itu !"
Raja Kelelawar sejenak meragu dan dia me-mandang penuh perhatian. Seorang kakek tua
yang sederhana saja, dengan jubah seperti pertapa dan tubuhnya agak kecil, akan tetapi ketika
bertemu pandang mata dengan kakek itu, Bit - bo - ong baru ini terkejut melihat sepasang mata
tua itu berkilat - kilat sebagai pertanda bahwa kakek itu bukan orang sembarangan. Dan kakek itu
memang cerdik, menantangnya untuk melepaskan gadis itu sebagai orang gagah sehingga kalau
tidak dilepas-kannya, sama saja mengakui bahwa dia bukan orang gagah! Maka didorongnya Pek
Lian sehingga gadis itu terjengkang, hampir menimpa tubuh Tiong Li yang masih rebah di atas
tanah.
Kakek itu lalu berkata kepada Pek Lian, "Nona,
lekas bantu dia dan menjauhlah dari sini "
Pek Lian, dibantu oleh Yang-ce Sam-lo dan juga oleh dua orang gurunya yang sudah datang
Mendekat, lalu memapah Tiong Li menjauhi Raja Kelelawar yang kini sama sekali tidak lagi
memperdulikan mereka, melainkan menghadapi kakek bertongkat itu dengan sinar mata tajam.
Dia tahu bahwa kakek ini adalah orang yang pandai sekali dan dia dapat menduga bahwa sekali ini
dia akan menghadapi lawan yang amat tangguh. Dia sama sekali tidak merasa gentar. Tidak ada
apapun di dunia ini yang dapat membuatnya merasa takut. Akan tetapi, di depan semua tokoh
sesat di mana baru saja dia diangkat sebagai raja - di - raja, dia harus dapat cepat menundukkan
orang ini yang dianggap sebagai musuh pertama yang melintang di jalan. Kalau tidak, hal itu tentu
akan menurunkan martabatnya yang telah terangkat tinggi sejak kemunculannya tadi.
"Orang tua, dengarlah baik - baik. Kalau engkau bisa menandingi ilmuku, maka tujuh orang
itu akan kubebaskan. Kalau engkau tidak mampu, mereka semua dan engkau juga akan kubunuh
di sini!" Suara yang melengking tinggi itu terdengar mengerikan sekali.
Mendengar ini, Tiong Li, Pek Lian dan lima orang tua terkejut bukan main. Mereka kini dapat
menduga bahwa suara batuk - batuk yang pernah mereka dengar tanpa melihat orangnya,
tentulah kakek bertongkat ini yang melakukannya, untuk memberi peringatan kepada mereka
akan bahaya yang mengancam dari para orang sesat yang berkumpul di luar kuil.
Akan tetapi kakek itu nampak tenang - teñan saja bahkan lalu terkekeh, kelihatan girang
sekali "Heh - heh, benarkah begitu ? Ah, terima kasih terima kasih ! Akan tetapi, kalau engkau
meman benar keturunan Raja Kelelawar, ilmu yang mana kah yang harus kutandingi ? Sejak muda
suda' kudengar bahwa Raja Kelelawar memiliki beberap ilmu simpanan yang diandalkan, yaitu
antara lain Ilmu Bu - eng Hwee - teng (Loncat Terbang Tanp Bayangan) yang merupakan ginkang
yang ama hebat, Ilmu Kim - liong Sin - kun (Silat Sakti Nag Emas) yang merupakan ilmu silat yang
amat ting gi mutunya, dan Ilmu Pat - hong Sin - ciang (Ta ngan Sakti Delapan Penjuru) yang
merupakan ga bungan sinkang dan sihir! Yang manakah di anta ranya yang harus kuhadapi ?
Kalau harus mengha dapi semuanya, wah, wah, terus terang saja ak yang tua ini tidak akan
mampu menandinginya !
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Mendengar ucapan itu, Raja Kelelawar meras bangga dan girang sekali karena ucapan itu
mengandung pujian- pujian terhadap ilmu - ilmunya yang didengarkan oleh sekian banyaknya
oran sehingga derajatnya makin menaik. Akan tetapi diapun sadar bahwa kakek bertongkat yang
tela mengenal ilmu - ilmu simpanan dari perguruannya ini jelas adalah seorang yang amat lihai.
Dia harus berhati - hati. Orang selihai ini tidak boleh dihadapi! dengan sembrono. Kalau sampai dia
dikalahkan di depan semua anak buahnya, tentu namanya akan runtuh. Dan diapun tidak
mempunyai permus
-hal terlewatuandang
dengan hati diliputi ketegangan, terutama sekali Pek Lian dan kawan-kawannya
yang mengerti bahwa nyawa mereka seolah - olah tergantung kepada kakek bertongkat itu!
"Hemmm kalau aku harus melayani ilmumu Pat-hong Sin-ciang, tentu saja aku akan
kalah karena aku sudah tua dan sudah puluhan tahun tak pernah berkelahi. Kalau melawan Kimliong
Sin-kun, biarpun aku tidak akan kalah akan tetapi akupun sukar untuk bisa menang. Maka
biarlah
aku akan mencoba ilmu kesaktian Raja Kelelawar yang pertama tadi, yaitu Bu-eng Hweeteng
yang kabarnya hebat sekali itu."
Semua orang, terutama sekali Tiong Li dan ka-wan- kawannya, terkejut bukan main
mendengar ucapan kakek itu. Bahkan di antara para tokoh sesat yang hadir di situ, ada yang
tertawa ce-kikikan.
"Kek-kek-kek ! Tua bangka ini sudah bosan hidup !" Jai-hwa Toat-beng-kwi terkekeh dan
mengejek.
"Hi-hik, biar melawankupun takkan menang apa lagi mengadu ginkang melawan ong-ya,"
kata Pek-pi Siauw-kwi si Maling Cantik.
Kaum sesat adalah orang - orang yang tidak memperdulikan kesopanan dan tidak
menghirau-kan peraturan, maka biarpun mereka itu amat ta-kut dan takluk terhadap Bit - bo -
ong si Raja Kelelawar, namun tetap saja mereka itu bersikap sembarangan dan tidak memakai
aturan. Dan Pek-pi Siauw - kwi si Maling Cantik sudah menyebut-nya ong - ya, sebutan untuk
raja, pangeran atau juga biasanya untuk menyebut "raja" di antara mereka. Sebutan yang
sifatnya menjilat, bukan penghormatan dan penjilatan mengandung rasa takut.
Memang pilihan kakek itu amat menggelikan di samping mengejutkan. Hanya orang yang
miring otaknya sajalah yang untuk mengadu ilmu mela-wan Raja Kelelawar memilih adu ilmu
ginkang. Sama saja dengan bunuh diri, seperti ular mencari penggebuk. Seluruh dunia sudah
mendengar bahwa di antara sekian banyak ilmunya yang mujijat, il-mu meringankan tubuh inilah
justeru yang sangat diandalkan dan dibanggakan oleh mendiang Raja Kelelawar tua dahulu dan
ilmu itu telah meng-angkat namanya setinggi langit. Dunia kang - ouw menganggap bahwa sukar
dicari orang yang akan mampu menandingi Bu - eng Hwee - teng, ilmu "terbang" dari raja datuk
kaum sesat itu. Sebaliknya, ilmunya yang lain, ilmu silatnya dan ilmu sinkangnya, masih dapat
ditandingi oleh para tokoh kang-ouw yang sakti. Dan sekarang, kakek itu memilih ilmu yang hebat
itu untuk menandinginya. Gilakah kakek ini ? Ataukah memang disengaja untuk menguji
kebenaran pengakuan iblis hitam itu bahwa dia benar - benar keturunan mendiang manusia iblis
Raja Kelelawar ?
Si iblis itu sendiri juga merasa amat heran dan terkejut. Dia memandang bimbang. Benarkah
ka-kek ini ingin menghadapi ilmu ginkangnya yang tak pernah bertemu tanding itu ? Semenjak dia
mempelajari ilmu warisan dari Baja Kelelawar, justeru ilmu itulah yang dipelajarinya secara sempurna
karena dia tahu bahwa ilmu ginkang Bu-eng Hwee - teng itu sukar dicari bandingannya di
dunia persilatan. Apakah kakek ini sudah putus asa ataukah gila, ataukah justeru orang ini malah
merasa yakin akan dapat mengatasi ilmu itu ? Sia-pakah orang ini ? Dia harus waspada karena
pilihan yang aneh ini menimbulkan kecurigaan dan mungkin saja mengandung sesuatu di
dalamnya. Bagaimanapun juga, dia amat percaya akan kemampuannya sendiri dalam hal ginkang
dan selama ini belum pernah ada orang yang mampu menandingi ilmunya.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kakek itu sendiri, seorang kakek sederhana saja, agaknya maklum bahwa lawannya merasa
bimbang atau memandang rendah dan semua orang men-tertawakan dirinya, maka diapun
tertawa sambil mengangkat muka memandang ke langit.
"Ha - ha - ha - ha ! Kenapa kalian semua heran! mendengar aku ingin menghadapi Bu - eng
Hwee-teng, ilmu yang amat tersohor dari mendiang Raja Kelelawar... eh, yang lama itu ?
Dengarlah kalian semua, aku sejak kecil pertama kali mempelajari ilmu silat adalah tentang
ginkang ini. Sebelum belajar silat yang lain aku lebih dulu belajar ilmu meringankan tubuh! Ini
penting sekali, karena aku dapat berlari cepat dan kalau kalah berkelahi, aku dapat mengandalkan
ginkang ini untuk melari-kan diri dan aman ! Ha - ha - ha !"
Semua orang tertawa, mentertawakan kakek pikun yang mereka anggap sudah t;dak waras
otak-nya ini. Melihat suasana yang tadinya begitu ter-pengaruh oleh kehadirannya sehingga
semua orang nampak serius dan takut kini menjadi hambar oleh suara ketawa mereka karena ulah
kakek ini, Raja Kelelawar menjadi marah. Dengan angkuh dia berkata, "Kakek pikun, menghadapi
ilmuku Bu-eng Hwee - teng, engkau tidak usah memenangkan, asal dapat melayaninya saja
cukuplah sudah. Kalau dapat menandingi saja, engkau boleh membawa pergi tujuh orang itu."
"Heh - heh, benarkah itu ? Heii, dengarlah semua saudara golongan hitam! Pemimpin baru
kalian sudah berjanji dan biarpun golongan hitam, janji seorang pemimpin selalu harus dipegang
teguh sebagai lambang kekuasaannya, karena hanya anjing rendah sajalah yang menjilat
ludahnya sendiri yang sudah dikeluarkan. Terima kasih, marilah kita mulai. Eh, bagaimana aku
harus menandingi ginkang Bu - eng Hwee - teng yang amat hebat itu ?"
Dengan suara yang tetap bernada tinggi, iblis berpakaian serba hitamitu berkata, "Ginkang
mem-punyai dua manfaat, yaitu untuk berlari cepat dan untuk bergerak cepat dalam perkelahian.
Nah, kita pertandingkan keduanya. Pertama - tama, kita berlumba menaruh dua buah batu ini ke
atas puncak bukit di depan sana. Siapa yang kembali ke sini lebih dulu, dia menang."
"Batu - batu ini ?" Kakek itu menudingkan tongkatnya kepada dua buah batu sebesar perut
kerbau yang berada di dekat tempat itu, di depan kuil. "Wah, tentu berat sekali."
"Orang yang berani menandingi Bu - eng Hwee-teng tentu tidak sukar membawa batu itu!"
Tiba-tiba terdengar suara seorang di antara para tokoh kaum sesat itu.
Kakek itu mengangguk - angguk. "Biarlah, biar kucoba tenaga tubuhku yang sudah rapuh
ini. Baik, aku setuju. Dan bagaimana dengan pertandingan ke dua ? Ingat, aku tidak
menantangmu untuk berkelahi!"
"Tidak perlu berkelahi. Untuk pertandingan ke dua, kita masing-masing memakai sebatang
daun pada lubang kancing baju dan kita saling berlumba mengambil daun itu dari tubuh lawan.
Siapa yang kalah dulu dia kalah."
"Heh-heh-heh, bagus sekali permainan itu. Aku setuju ! Hayo kita mulai saja sekarang!" kata
kakek bertongkat butut itu sambil mengangguk-angguk setuju.
Tanpa banyak cakap lagi iblis hitam itu lalu menghampiri dua buah batu. dan sengaja dia
memilih batu yang lebih besar dan sekali kaki kirinya bergerak menendang, batu sebesar perut
kerbau itu seperti sebuah bola karet yang ringan saja me-lambung ke atas dan diterima oleh
tangan kirinya yang menyangganya di atas pundak kiri. Begitu mudahnya!
"Bersiaplah membawa batumu !" katanya kepada kakek itu di bawah tepuk sorak para tokoh
kaum sesat yang memuji kehebatan tenaga si iblis hitam itu, walaupun banyak di antara mereka
yang akan sanggup melakukan hal seperti itu.
Kakek itu memandang dengan mata terbelalak, seperti orang terkejut. "Wah, aku yang tua
mana sanggup menggunakan tanganku yang sudah lemah ini untuk mengangkat batu sebesar itu
? Biar kuminta tolong tongkatku. Hei, tongkat tua, tolonglah aku sekali ini!" Dan tongkatnya itu
lalu ditusukkan
ke arah batu yang sebuah lagi dan "crokkk !" seperti sumpit menusuk ta-hu saja,
tongkat itu amblas memasuki batu itu dan ketika diangkatnya, maka kini kakek itu memanggul
tongkat yang ujungnya sudah menusuk batu! Tentu saja semua orang melongo menyaksikan ini
dan diam - diam si iblis hitam juga terkejut. Kiranya kakek ini memiliki tenaga dalam yang
demikian kuatnya sehingga disalurkan melalui tongkat, dapat membuat tongkat itu menusuk batu
seperti menusuk benda lunak saja. Karena tidak mau kalah membuat kesan, diapun mengeluarkan
suara mendengus dari hidungnya, lalu tiba - tiba saja batu yang disangga tangan kiri itu
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dilontarkannya ke atas dan ketika batu itu meluncur turun ke arah kepalanya, iblis hitam ini
menggunakan tangan kiri yang jari - jarinya diluruskan dan dibuka.
"Crokkk!" Tangan itu amblas memasuki batu sampai dekat siku ! Tentu saja semua orang
ber-sorak memuji. Kalau kakek itu menusuk batu dengan tongkat, sekarang si iblis hitam yang
menjadi pemimpin mereka itu menusuk batu dengan tangan Degitu saja seolah - olah tangan itu
telah berobah menjadi golok tajam runcing dan batu itu berobah lunak sekali!
"Kakek yang nekat, mari kita mulai. Ingat, kita berlumba meletakkan batu ini di puncak bukit
sana itu, lalu kembali ke sini. Kuhitung sampai tiga. Satu... dua... tiga!" Dau orang hanya melihat
dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu dua orang itu lenyap dari tempat mereka berdiri seperti
dua setan yang menghilang saja! Tentu saja semua orang terkejut dan melihat betapa orang -
orang yang memiliki kepandaian tertinggi di antara mereka seperti si Buaya Sakti dan si Ha-rimau
Gunung memandang ke satu arah, mereka-pun ikut-ikut memandang dan dapat dibayang-kan
betapa kagum rasa hati mereka melihat di titik hitam "terbang" menuju ke puncak bukit di depan !
Kehebatan ilmu ginkang dari Raja Kelelawar telah menjadi semacam dongeng, karena Raja
Ke-lelawar telah meninggal dunia puluhan tahun yang lalu. Dan sekarang muncul seorang
keturunan yang menguasai semua ilmu - ilmunya, termasuk ilmu ginkang luar biasa itu. Memang
jarang ada orang yang sanggup menandingi ginkang dari Raja Kelelawar, karena kalau para ahli
yang lain hanya mengandalkan kemampuan tubuh latihan dan kekuatan dalam, Raja Kelelawar
mempunyai rahasia-rahasia yang tidak diketahui orang lain. Ada alat-alat rahasia yang dipakainya,
yang membantunya dapat berlari seperti terbang dan bergerak amat lincahnya. Alat - alat rahasia
itu sebagian tersem-bunyi di dalam jubahnya, dan juga di sepatunya yang membuat kakinya
seperti menginjak pegas yang dapat membuatnya memantul.
Iblis berpakaian hitam itu dapat menduga akan kelihaian kakek yang menantangnya maka
diapun mengerahkan seluruh kemampuannya sehingga tubuhnya bagaikan terbang saja. Dia
terkejut melihat betapa kadang - kadang ada bayangan berkelebat di dekatnya, dan tahulah dia
bahwa kakek itu benar - benar amat luar biasa, dapat menyamai kecepatan gerakannya. Dan dia
menjadi semakin penasaran dan terheran - heran ketika dia meletakkan batu besar itu di puncak
bukit, diapun melihat batu yang tadi dibawa oleh kakek itu telah berada di situ ! Maka diapun tidak
mau menengok lagi ke sana - sini, melainkan "tancap gas" dan ngebut, secepat mungkin dia
terbang menuruni puncak bukit! Ketika dia tiba di situ, terdengar sorak-sorai dan tepuk tangan
para "anak buahnya" menyambutnya. Baja Kelelawar menjadi girang sekali dan merasa menang,
akan tetapi dia mendengar suara terkekeh dan ternyata kakek itupun sudah berada di situ,
agaknya bersamaan waktunya dengan dia ! Jantung Baja Kelelawar terasa berdebar dan perutnya
panas. Dia merasa ditantang benar-benar ! Jelaslah bahwa biarpun kakek ini tidak dapat dikatakan
menang atau mendahuluinya, akan tetapi setidaknya dapat menyamainya !
"Bagus, sekarang pertandingan ke dua kita mu-lai," katanya dengan suaranya yang
melengking tinggi. "Pertandingan pertama masih belum dapat menentukan siapa menang siapa
kalah !" Berkata demikian, sekali menggerakkan tubuhnya, si iblis hitam telah lenyap dari situ dan
sebelum semua orang hilang Kagetnya, tubuhnya sudah melayang turun dari atas pohon dan
tangannya membawa dua tangkai daun. Dia memberikan setangkai kepada kakek, itu dan
memasukkan yang setangkai lagi ke lubang kancing bajunya.
Kakek itupun sambil tersenyum dan terkekeh memasukkan tangkai daun ke lubang
kancingnya, lalu menghadapi Raja Kelelawar sambil berkata, "Bu - eng Hwee - teng memang
hebat bukan main ! Akan tetapi hendaknya diingat bahwa kita tidak sedang berkelahi, melainkan
mempergunakan kecepatan gerakan untuk saling merampas daun, Maka, kita berdua cukup
mengerti banwa tidak dipergunakan pukulan dan tangkisan dalam lumba ini, melainkan hanya
usaha merampas daun dan pengelakan untuk menyelamatkan daun, jadi sepenuhnya
menggunakan kecepatan gerakan. Begitu, bukan ?"
Si iblis hitam mengangguk. "Begitulah, dan mari kita mulai!" Berkata demikian, tiba-tiba
iblis hitam sudah menggerakkan tangannya, cepat sekali, menyambar ke arah dada kakek itu.
"Eeiiiittt, luput !" Si kakek sudah mengelak de-ngan kecepatan yang tak terduga-duga
sehingga tubuhnya seperti menghilang saja. Selanjutnya, semua orang melihat betapa tubuh
dua orang itu benar - benar lenyap bentuknya, yang nampak ha-nya bayangan berkelebatan
sedemikian cepatnya sehingga sukar untuk dapat diikuti dengan pandang mata! Bahkan para
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tokoh kaum sesat yang sudah tinggi ilmunya menjadi pening dan silau mpnyaksikan gerakan dua
tubuh itu dan kadang-kadang bayangan itu seperti menjadi satu, kadang-kadang saling kejar akan
tetapi tidak dapat dibe-dakan siapa yang dikejar dan siapa yang mengejar. Bukan main hebatnya
permainan kejar - kejaran saling memperebutkan daun ini sehingga seperempat jam lewat sudah,
dan semua orang memandang dengan penuh ketegangan. Dua orang yang sedang berlumba itu
sendiripun menjadi kagum bukan main karena sampai sekian lamanya, belum juga mereka mampu
merampas daun. Iblis sakti itu mengeluarkan suara melengking nyaring karena penasaran.
Sungguh di luar dugaannya bahwa dia akan bertemu dengan seorang kakek yang mampu
menandinginya! Dan kakek ini keluar pada saat dia memperkenalkan diri kepada dunia lagi!
Tiba - tiba kakek itu mengeluarkan seruan kaget karena kini tangan yang mencengkeram ke
arah daun itu membalik ke arah lehernya dengan totokan maut! Akan tetapi, kakek ini memang
sudah bersiap-siap, maklum akan curang dan kotornya watak seorang dari dunia hitam. Cenat dia
mengelak dan pada saat itu, daun di lubang kancingnya telah kena dirampas! Si iblis hitam
meloncat ke belakang dan mengangkat tinggi-tinggi daun itu di atas kepalanya.
"Hemm, daunmu telah dapat kuambil!" katanya dan semua tokoh sesat bersorak menyambut
kemenangan ini. Akan tetapi tanpa dilihat siapa-pun, kakek itu membuka tangannya dan melihat
sebuah kancing hitam di telapak tangan kakek itu. Raja Kelelawar terbelalak. Itulah kancingnya,
kancing jubahnya! Kalau kancing jubahnya saja dapat diambil kakek itu, apa lagi daunnya. Sengaja
kakek itu tidak mau mengambilnya dan sengaja kakek itu mengalah! Iblis hitam itu adalah
seorang yang tingkatnya sudah tinggi sekali, maka diapun maklum bahwa lawan telah mengalah
dan memberi muka terang kepadanya. Hal ini berarti bahwa biarpun kakek itu lihai dan mampu
meng-atasinya, namun kakek itu tidak berniat buruk dari hanya ingin menyelamatkan tujuh orang
itu saja Maka diapun lalu membuang daun itu dan berka-ta, suaranya melengking nyaring.
"Sudahlah ! Betapapun juga, ilmu kepandaian mu hebat dan sudah lebih dari cukup untuk
membiarkan engkau membawa pergi tujuh orang itu !" Semua tokoh sesat merasa heran karena
tadinya mereka mengira bahwa Raja Kelelawar tentu akan membunuh kakek itu bersama tujuh
orang lainnya Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara mereka yang berani membantah.
Kakek itupun membungkuk - bungkuk dan tertawa. "Ahh, ternyata Raja Kelelawar seperti
hidup kembali! Kebesarannya sungguh hebat, sesuai dengan perbuatannya dan kegagahannya.
Terima kasih, sobat!" Kakek itupun menghampiri Pek Lian dan teman - temannya, lalu berkata.
"Orang telah bersikap lunak kepada kita, tidak lekas pergi mau tunggu apa lagi ?"
Tujuh orang itu tidak menjawab hanya melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Ketika
kakek itu hendak pergi juga, tiba-tiba Raja Kelelawar bertanya, suaranya melengking, membuat
Pek Lian dan kawan - kawannya terkejut dan merekapun menghentikan langkah dan menengok,
siap menghadapi segala kemungkinan. Hal macam apa saja dapat dilakukan oleh orang - orang
dari dunia hitam!
Akan tetapi, ternyata Raja Kelelawar itu hanya bertanya kepada kakek itu dengan suara
mengandung geram, "Kakek, siapakah engkau sebenarnya ?"
Kakek itu mencoret - coret tanah dengan ujung tongkat bututnya dan menarik napas
panjang ber-ulang - ulang sebelum menjawab. "Aihh, belasan tahun hidup aman tenteram penuh
damai di puncak gunung, siapa kira hari ini terpaksa terjun ke dalam kekeruhan dunia. Dan tidak
nyana sama sekali bahwa mendiang Raja Kelelawar benar-benar telah mempunyai seorang
pewaris sepertimu ini. Sungguh mengagumkan. Terus terang saja, selama hidupku, baru sekali ini
aku mengalami bertemu tanding yang membuatku kewalahan dalam ilmu ginkang. Padahal, aku
mengira bahwa aku telah mewarisi semua kemampuan mendiang guruku yang terkenal, dengan
julukan Bu - eng Sin - yok-ong (Si Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan)." Kakek itu menarik napas
panjang lagi dan memandang kagum kepada iblis berpakaian hitam itu.
Semua orang terkejut mendengar ucapan kakek itu. Nama Si Raja Tabib Sakti amat terkenal,
seperti tokoh dongeng yang sama terkenalnya dengan nama Raja Kelelawar, di jaman dahulu.
Juga Pek Lian dan kawan-kawannya memandang heran. Mereka teringat akan keluarga Bu,
keturunan dari Raja Tabib Sakti pula, keturunan murid pertama manusia sakti itu. Juga mereka
pernah bertemu dengan murid - murid ketua iblis berambut riap-riapan yang jubahnya bergambar
naga, sebagai keturunan murid ke dua si Raja Tabib Sakti. Jadi inikah murid, ke tiga Raja Tabib
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Sakti yang dikabarkan mewarisi ginkang dari manusia sakti itu ? Pantas ginkangnya demikian
hebatnya !
Timbul dalam hati Ho Pek Lian untuk mence-ritakan semua yang telah dialaminya di rumah
ke-luarga Bu, tentang perebutan kitab pusaka pening-galan Raja Tabib Sakti, maka iapun
melanjutkan langkahnya diikuti oleh kawan-kawannya mening-galkan tempat itu.
"Heh - heh - heh, selamat tinggal, Raja Kelelawar, atau engkau hendak mempergunakan
julukan lain ?" kata kakek itu kepada si iblis hitam.
"Tidak ! Aku tetap memakai nama Bit - bo - ong si Baja Kelelawar untuk melanjutkan nama
besar dari nenek moyangku dan mempersatukan semua sahabat di dunia kang - ouw dan liok -
lim."
"Bagus, Raja Kelelawar, selamat tinggal dan sampai jumpa pula."
'Selamat jalan, dan dalam perjumpaan lain kali, bagaimanapun juga aku tidak akan
melepaskan engkau begitu saja!" kata si Raja Kelelawar dengan sikap angkuh untuk meyakinkan
hati para pengikutnya bahwa dia "lebih unggul" dari pada kakek itu, walaupun di dalam hatinya
dia mengakui bahwa ginkangnya masih setingkat kalah oleh kakek itu.
Setelah kakek itu pergi pula mengikuti rom-bongan Pek Lian, si Raja Kelelawar lalu melanjutkan
pertemuannya dengan para tokoh sesat. Dengan suaranya yang melengking tinggi dan penuh
wibawa dia lalu berkata kepada dua di antara Sam - ok yang hadir, yaitu Sin - go Mo Kai Ci dan
San - hek - houw, "Kalian berdua telah datang dan menyambutku. Itu bagus sekali dan biarlah
kalian menjadi pembantu - pembantuku di bidang masing-masing. Akan tetapi mengapa Tung -
hai - tiauw tidak muncul di sini ?"
Setelah berkata demikian, iblis hitam itu me-mandang ke sekeliling, seolah - olah hendak
mencari orang pertama dari Sam - ok itu di sekitar tempat itu. Suasana menjadi tegang dan
semua orang memandang kepada iblis itu dengan rasa takut, khawatir kalau - kalau raja mereka
itu marah.
Akhirnya San - hek - houw memberanikan diri menjawab, "Ong - ya, kami semua tidak tahu
mengapa dia tidak muncul, mungkin saja terhalang sesuatu."
"Selidiki tentang dia!" kata raja datuk sesat itu. "Kalau dia memang sengaja tidak memenuhi
panggilanku, kalian berdua bunuh dia dan bawa kepalanya di depanku ! Akan tetapi kalau
memang terhalang sesuatu, bantu dia, kemudian ajak dia bersama - sama menghadap padaku."
"Akan tetapi, ong - ya, kalau kami sudah bertemu dengan Tung - hai - tiauw, ke manakah
kami harus pergi untuk dapat menghadapmu ?" tanya Sin - go Mo Kai Ci.
"Datang saja ke kuil ini!" jawab sang raja sing-kat. "Akan ada wakilku di manapun kalian
kehendaki untuk menghadapku. Tandanya adalah kele-lawar itu. Di mana ada kelelawar itu, maka
di situ akan terdapat seorang wakilku. Dan kalau kalian ingin langsung menghadapku, dapat kalian
pergi ke kota raja."
"Kota raja......?" Tentu saja dua orang raja kecil kaum sesat itu terkejut sekali. Tentu saja
mereka terkejut karena kota raja merupakan tempat terakhir yang ingin mereka kunjungi, tempat
yang amat berbahaya karena di kota raja terdapat petugas - petugas keamanan yang berilmu
tinggi dan merupakan tempat paling tidak aman bagi penjahat - penjahat yang menjadi tokoh
besar dan mudah dikenal orang.
"Ya, di kota raja. Di belakang istana kaisar terdapat sebuah kuil kecil. Datanglah ke sana,
katakan kepada hwesio penjaga kuil bahwa kalian ingin menghadapku, dan kalau aku kebetulan
berada di kota raja, aku akan datang. Seandainya aku tidak sedang berada di sana, dapat kalian
meninggalkan pesan kepada hwesio di situ."
"Tapi, ong-ya..." San-hek-houw berkata.
"Jangan bantah! Tidak ada orang yang berani menggangguku di sana! Cukup, aku hendak
pergi sekarang."
Akan tetapi dia tidak melangkah pergi, melain-kan memandang ke sekeliling, kepada mereka
semua. "Tidak tahukah kalian bagaimana caranya menyambut dan mengantar kepergian Raja
Kelelawar, pemimpin besar kalian ??"
Semua orang terkejut dan dua orang raja kecil kaum sesat itu lalu membungkuk dengan
dalam, tidak berani memandang. Semua orang mengikuti gerakan mereka. Terdengar suara
melengking tinggi yang dibalas oleh lengking suara kelelawar besar yang tadi bergantung pada
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pohon, lalu terasa oleh mereka angin menyambar. Kemudian sunyi. Setelah beberapa lamanya
dan mereka mengangkat muka, ternyata iblis berpakaian hitam itu telah lenyap dari tempat itu !
Maka kini meledaklah suara berisik di antara mereka, membicarakan pemimpin mereka itu.
Dan rata - rata mereka merasa gembira sekali karena kalau keturunan Raja Kelelawar ini seperti
pada jamannya dahulu, maka dunia hitam akan bangkit dan menjadi jaya! Para pendekar tidak
akan sem-barangan berani menindas mereka, bahkan peme-rintahpun akan bersikap lunak. Dan
dua orang "raja kecil" yang tadinya hampir saja saling serang itu kini hanya dapat saling pandang,
merasa seo-lah - olah ada kekuasaan lain yang mengamati mereka dan merekapun tidak berani
berkutik. Mereka merasa seperti seekor harimau yang dicabuti ca-karnya, tidak berani lagi
merajalela memperlihat-kan kekuasaan. Betapapun juga, mereka tidak merasa menyesal karena
mereka maklum bahwa dengan munculnya seorang datuk besar seperti Raja Kelelawar itu,
kedudukan mereka malah lebih terjamin. Apa lagi sebagai pembantu - pembantu raja datuk itu !
Kemunculan kakek yang mengaku sebagai murid Raja Tabib Sakti saja tentu sudah membuat
mereka semua ketakutan dan mungkin saja celaka di tangan orang sakti itu kalau saja di situ tidak
ada Raja Kelelawar! Maka mereka me-rasa terlindung dan Si Buaya Sakti tiba-tiba ber-teriak,
"Hidup Bit-bo-ong pemimpin kita !" Dan semua orangpun lalu menyambutnya dengan sorakan
yang sama sampai berkali - kali sebelum mereka bubar dengan kacau seperti biasa menjadi watak
mereka yang tak pernah dapat tertib.
***
Tujuh orang itu menuruni bukit bersama kakek yang masih berjalan tertatih - tatih dibantu
tong-katnya. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang mengeluarkan kata-kata ketika mereka
menuruni bukit itu, meninggalkan kuil kuno yang kini menjadi tempat mengerikan. Mereka semua
merasa seolah - olah mata Raja Kelelawar mengikuti mereka sehingga membuat hati terasa
tegang dan tidak enak. Akhirnya, kesunyian yang amat mencekam itu dipecahkan oleh si kakek
sakti yang terkekeh.
"Heh - heh - heh, sejak dahulu nama Raja Kele-lawar selalu mendatangkan perasaan
menyeramkan. Sudah lama meninggalkan dunia, tahu-tahu kini muncul lagi dan aku berani
bertaruh bahwa Raja Kelelawar yang sekarang ini tidak kalah lihainya oleh Raja Kelelawar yang
tua dan yang sudah tidak ada lagi itu. Sungguh berbahaya!" Kakek itu berhenti melangkah dan
tujuh orang itupun Menghentikan langkah mereka. Kini mereka telah tiba di kaki bukit, sudah jauh
dari kuil itu. Melihat kakek itu duduk di tepi jalan kecil, di atas akar pohon yang menonjol keluar
dari permukaan bumi, tujuh orang itu saling pandang lalu merekapun semua duduk menghadapi
kakek itu. Bagaimanapun juga, kakek ini telah menyelamatkan nyawa mere-ka dari ancaman
tangan maut Raja Kelelawar. Mereka maklum bahwa mereka semua sudah pasti akan mati kalau
tidak ada kakek itu. Baru Raja Kelelawar sendiri saja sudah demikian lihainya sedangkan ketua
Lembah Yang - ce, Kwee Tiong Li, masih dalam keadaan lemah, walaupun sean-dainya dia dalam
keadaan sehat sekalipun dia bu-kanlah lawan Raja Kelelawar. Selain merasa ber-hutang budi dan
nyawa, juga mereka semua ingin bicara dengan kakek ini, menceritakan pertemuan mereka
dengan keluarga Bu yang kemudian meli-hat keluarga Bu tertimpa malapetaka sedangkan
keluarga itu masih ada hubungan dekat dengan ka-kek ini, masih sekeluarga perguruan. Juga,
mereka maklum bahwa kakek ini adalah seorang sakti yang menentang kejahatan dan kelaliman,
maka ada ba-iknya kalau mereka "mendekati" orang sakti ini agar kelak dapat membantu mereka
menentang kelaliman kaisar dan kaki tangannya.
Tanpa menanti kakek itu mengeluarkan suara Kwee Tiong Li lalu mewakili teman - temannya
memperkenalkan diri sambil memberi hormat, "Lo-cianpwe, setelah menerima budi pertolongan
locian-pwe sehingga kami semua masih dapat hidup sam-pai saat ini, perkenankanlah kami
memperkenal-kan diri kepada locianpwe."
Kakek itu mengangkat tangannya ke atas sambil tertawa. "Heh-heh, jangan kecewa, aku
sudah mengenalmu, orang muda. Engkau adalah ketua Lembah Yang-ce, memimpin para
pendekar yang sedang melawan kekuasaan kaisar dan namamu Kwee Tiong Li, engkau murid dari
pendekar Chu pemimpin besar para pemberontak, bukan ?"
Tiong Li mengangguk dan memandang kagum. Kakek itu tidak perduli lalu menoleh kepada
tiga orang kakek pembantunya. "Dan kalian ini yang disebut Yang-ce Sam-lo, pembantu ketua
Lembah Yang - ce."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Locianpwe sungguh berpengetahuan luas dan berpemandangan tajam," puji seorang di
antara Yang - ce Sam - lo.
Kembali kakek itu tertawa, ketawanya polos. "Heh - heh, orang yang tahu bukan merupakan
hal yang patut dibanggakan. Kalau sudah mendengar dari orang lain, tentu saja tahu, apa sih
hebatnya ? Aku mendengar nama para pimpinan Lembah Yang - ce dari anak buah Lembah Yang -
ce sendiri."
Mendengar ini, giranglah hati Tiong Li. "Ah, kiranya locianpwe yang telah menolong para
saudara kami pula ? Di manakah mereka sekarang, locianpwe ?"
"Tidak jauh dari sini, di sebuah pondok tua kosong di dalam hutan kecil. Terpaksa
kusembunyi-kan di situ karena aku tahu betapa bahayanya kalau mereka berkumpul di dalam kuil
itu lalu bertemu dengan para tokoh sesat yang mengadakan pertemuan. Akan tetapi harap kalian
maafkan aku. Orang-orang Lembah Yang-ce itu agaknya sudah terbiasa dengan kekerasan dan
selalu mencurigai orang. Mereka tidak percaya kepadaku dan terpaksa aku harus menotok roboh
mereka dan membawa mereka turun bukit ke hutan itu. Maaf !"
"Ah, kami yang sepatutnya minta maaf kepada locianpwe bahwa para saudara kami itu
mencurigai maksud baik locianpwe."
"Dan nona ini siapakah ? Juga dua orang sauda-ra yang gagah ini ? Apakah juga tokoh -
tokoh Lembah Yang - ce ?" tanya kakek itu sambil me-mandang kepada Pek Lian dan dua orang
gurunya dengan penuh perhatian, terutama sekali kepada Pek Lian kakek itu memandang dengan
sinar mata tajam penuh selidik.
Tiong Li lalu memperkenalkan Pek Lian dan dua orang gurunya sebagai rekan - rekan
patriot yang menentang kelaliman kaisar. "Nona Ho Pek Lian ini adalah puteri dari Menteri Ho Ki
Liong yang telah ditangkap oleh kaisar dan yang namanya menggemparkan seluruh dunia orang
gagah itu."
Kakek itu mengerutkan alisnya. "Aku pernah mendengar akan nama besar menteri
kebudayaan itu. Bukankah kabarnya beliau itu menentang pembakaran kitab - kitab Guru Besar
Khong Cu yang dilakukan oleh kaki tangan kaisar ? Apa yang terjadi dengan dia ? Mengapa
seorang pejabat tinggi yang demikian baiknya malah ditangkap oleh kaisar ?"
Tiong Li memandang kepada Kim-suipoa dan berkata, "Kiranya Tan - lo - enghiong yang
dapat berceritera lebih jelas mengenai hal itu, atau nona Ho sendiri."
Ho Pek Lian lalu menceritakan tentang keadaan ayahnya, betapa ayahnya menentang
keputusan kaisar yang dianggapnya keterlaluan dan merusak kebudayaan itu, yaitu menentang
pembakaran kitab - kitab yang dianggapnya sebagai kitab - kitab kesusasteraan dan kitab - kitab
yang menjadi pe-gangan seluruh rakyat tentang cara hidup tata su-sila mereka. Pada waktu itu,
biarpun pelajaran dari Nabi Khong - cu masih belum dianggap sebagai suatu agama dan Nabi
Khong - cu sendiri disebut sebagai seorang Guru Besar, namun pelajarannya banyak dianut oleh
rakyat sebagai pedoman hidup mereka. Setelah Pek Lian selesai bercerita tentang ayahnya yang
ditangkap oleh kaisar, tentu saja karena hasutan - hasutan pembesar - pembesar lalim dan
penjilat, Kim - suipoa dan Pek-bin-houw juga menceritakan tentang kelaliman kaisar, bukan hanya
memaksa rakyat bekerja sampai mati untuk membangun Tembok Besar sehingga yang jatuh
menjadi korban sampai ratusan ribu orang, akan tetapi juga pemerintahan tangan besi yang
dijalankan kaisar untuk menekan rakyat, dan semua perbuatan kaisar yang membuat para
pendekar diamdiam menentangnya dan menyusun kekuatan untuk memberontak.
Mendengar semua itu, kakek ini menarik napas panjang. "Siancai... siancai... siancai... !
Dunia takkan pernah aman, manusia takkan pernah hidup dalam damai selama masih
terjadi ke-kerasan- kekerasan. Sudah menjadi penyakit umum bahwa penguasa mempergunakan
tangan besi terhadap rakyat, dibantu oleh semua kaki tangannya, dengan seribu satu macam
alasan, katanya demi kebaikan kehidupan rakyat. Mengapa para penguasa tidak sadar bahwa
rakyat hanya akan menentang karena tidak puas melihat kelaliman mereka? Biasanya, kaisar tidak
tahu bagaimana macam para pembantunya yang selalu bertindak sewenang - wenang, memeras
dan korup, sama sekali tidak ada ingatan untuk memperbaiki kehidupan rakyat melainkan hanya
berlumba untuk mengumpulkan kekayaan bagi dirinya dan keluarganya sendiri saja. Mengapa
kaisar sejak dahulu sampai sekarang tidak mau menyadari bahwa dia dikelilingi oleh orang-orang
yang sifatnya penjilat ke atas dan menindas ke bawah ? Aihh, kapankah ada kaisar seperti Bu Ong
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
yang akan memerintah dengan adil dan bijaksana ? Seorang kaisar sepatutnya menggunakan
tangani besi terhadap bawahannya, terhadap semua kaki tangannya agar semua pejabat menjadi
pejabat yang bijaksana dan baik. Bukan mempergunakan tangan besi terhadap rakyat! Salahnya,
hampir semua kaisar tidak menya-dari bahwa dia dibantu oleh iblis - iblis yang ko-rup, yang
memeras rakyat akan tetapi selalu mem-buat pelaporan yang baik - baik saja kepada kaisar.
Kapankah ada kaisar yang menyelinap di antara rakyat dan menyelidiki sendiri kehidupan rakyat,
menyelidiki sendiri cara kerja para pembantunya ? Aih, agaknya untuk itu, Thian harus
menciptakan manusia - manusia yang khas."
"Locianpwe benar sekali," kata Kim - suipoa sambil menarik napas panjang. "Sang Bijaksana
mengajarkan bahwa sebelum mengatur orang lain, harus lebih dulu dapat mengatur diri sendiri.
Se-orang ayah takkan mungkin dapat mendidik anak-anaknya kalau dia sendiri tidak terdidik,
karena dia menjadi contoh dari pada anak-anaknya. Seorang pembesar harus mencuci bersih
kedua tangannya sendiri terlebih dahulu sebelum dia ingin melihat anak buahnya bersih. Kalau
penguasa yang di atas korup, mana mungkin bawahannya jujur dart tidak korup ? Akan tetapi,
kalau atasannya bersih, tentu dia akan berani bertindak terhadap bawahannya yang kotor."
Pek-bin-houw menarik napas panjang. "Siancai..., alangkah akan senangnya kalau keadaan
pemerintahan dapat seperti itu. Sayang, kaum atas-an hanya menuntut agar bawahannya bersih,
dan hal ini sama sekali tidak mungkin selama dia sendiri masih kotor. Bawahan mencontoh atasan,
dan pula, atasan yang kotor mana akan ditaati oleh bawahannya ? Sungguh sayang...!"
"Munculnya Raja Kelelawar menandakan bahwa kaum sesat kini bangkit dan menjadi
semakin kuat. Kalau hal ini ditambah lagi dengan kela-liman kaisar dan kaki tangannya, sungguh
amat mengerikan kalau dibayangkan bagaimana akan jadinya dengan nasib rakyat jelata," kata
kakek itu sambil menarik napas panjang penuh penyesalan. Keadaan seperti itu tentu akan
memaksa orang-orang seperti dia yang tadinya sudah mengasingkan diri dan hidup tenteram dan
penuh damai, akan terpaksa terjun ke dunia ramai.
Kalau kita memperhatikan percakapan mereka, sungguh banyak terdapat pelajaran yang
dapat di-ambil berdasarkan kenyataan hidup. Memang tak dapat dipungkiri kebenaran pribahasa
yang me-ngatakan bahwa "guru kencing berdiri, murid ken-cing berlari". Kebaikan seorang guru
belum tentu dapat ditauladani muridnya dengan mudah, namun keburukan seorang guru akan
dapat diikutinya de-ngan amat cepatnya. Guru dalam hal ini dapat di-perluas menjadi orang tua
atau juga kepala suatu kelompok atau seorang pemimpin. Betapapun ke-rasnya seorang ayah
melarang anaknya berjudi, kalau dia sendiri seorang penjudi, maka dia tidak akan berhasil.
Betapapun kerasnya seorang atas-an melarang bawahannya agar tidak korupsi, kalau dia sendiri
tukang korup maka usahanya akan sia-sia. Bawahan selalu condong mencontoh atasan, seperti
murid condong mencontoh guru dan anak mencontoh orang tua. Menekan anak, atau murid, atau
bawahan untuk meniadi baik, tanpa si orang tua, guru atau atasan lebih dulu membereskan
dirinya, tidak akan ada gunanya !
Namun, kekuasaan selalu digandeng oleh kesewenang- wenangan. Orang tua, atau guru,
atau pemimpin yang merasa berkuasa, selalu membenarkan dirinya sendiri. Orang tua bilang,
berjudi untuk dia tidak apa - apa, akan tetapi tidak boleh untuk anak - anak. Guru mengatakan,
tidak sopan sedikit untuk guru tidak mengapa, akan tetapi tidak boleh untuk murid. Atasan bilang,
penyalahgunaan wewenang untuk atasan adalah wajar, tapi tidak boleh untuk bawahan ! Seorang
kaisar merupakan batang sebuah pohon. Kalau batang itu sehat, ca-bang ranting dan daunnya
juga tentu sehat. Akan tetapi kalau batangnya sakit, jangan mengharapkan cabangnya, rantingnya
dan daun - daunnya akan tumbuh sehat.
"Locianpwe, belum lama ini kami bertiga telah berjumpa dengan murid keponakan
locianpwe." Akhirnya Ho Pek Lian berkata kepada kakek itu setelah percakapan mereka mengenai
keadaan negara karena kelaliman kaisar itu mereda.
Kakek itu memandang kepadanya. "Murid ke-ponakan ? Yang mana ?"
"Namanya Bu Kek Siang," Pek Lian memberi keterangan.
"Bu Kek Siang ? Ah, dia itu putera Bu - suheng ! Sudah puluhan tahun aku tidak bertemu
dengan dia," kata kakek itu, tersenyum dan wajahnya men-jadi berseri. "Di antara murid suhu, Bu
- suhenglah murid yang boleh dibanggakan mendiang suhu."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Memang, beliau adalah seorang pendekar yang amat hebat dan budiman, seorang ahli
pengobatan yang dalam menolong manusia tidak memandang bulu, sungguh sayang, seorang
pendekar sedemikian hebatnya harus tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan," kata pula
Pek Lian.
Kakek itu tidak nampak terkejut, hanya nam-pak alisnya yang sudah putih itu berkerut
seben-tar. "Kek Siang? Tewas?" Hanya itulah tanyanya dan Pek Lian lalu menceritakan semua
peristiwa yang terjadi di rumah keluarga Bu itu. Kakek itu menarik napas panjang mendengar
betapa murid keponakannya itu bersama isterinya tewas di waktu mengobati puteri tokoh iblis Tai
- bong - pai, dan yang membuat dia merasa menyesal adalah bahwa kedua orang murid
keponakannya itu tewas di ta-ngan murid - murid keponakan lain, yaitu murid-murid dari ji -
suhengnya (kakak seperguruan ke dua).
"Hayaaaa...!" Dia mengeluh. "Jadi ji-suheng masih hidup malah mendirikan Perkumpulan
Baju Naga. Sungguh luar biasa, sudah tua masih bersemangat! Ji - suheng itu amat lihai, memiliki
ilmu silat yang paling hebat di antara kami ber-tiga. Heran, dia bukan orang jahat, kenapa muridmuridnya
begitu kejam, tega membunuh Bu Kek Siang yang masih saudara seperguruan ?
Mungkinkah ji-suheng tua-tua telah berobah ?"
Tujuh orang itu tentu saja tidak berani me-nanggapi urusan perguruan orang, apa lagi
karena mereka merasa bahwa mereka berada di tingkat yang jauh lebih rendah. Kakek itu menarik
napas panjang lagi. "Kedua orang anaknya itu... apakah mereka terluka parah ?"
"Bu Bwee Hong tidak terluka, akan tetapi ka-taknya, Bu Seng Kun, terluka parah. Untunglah
bahwa mereka adalah ahli - ahli pengobatan yang pandai sekali sehingga agaknya tidak perlu
dikhawatirkan keadaannya, locianpwe," kata Pek Lian.
"Sudahlah, lain hari akan kujenguk mereka. Se-karang mari kutunjukkan kepada kalian di
mana kusembunyikan orang-orang Lembah Yang-ce itu."
Kakek itu bangkit dan melangkah dibantu tong-katnya, nampaknya seenaknya saja akan
tetapi tujuh orang itu terpaksa harus mengerahkan tenaga Snkang mereka untuk mengikutinya!
Bahkan Tiong Li yang masih belum pulih seluruh tenaganya, digandeng oleh dua orang
pembantunya dan mereka bertujuh itu harus berlari - larian agar ti-dak sampai tertinggal oleh
kakek sakti itu. Ketika mereka tiba di sebuah hutan kecil, kakek itu memasuki hutan dan tak lama
kemudian mereka telah tiba di depan sebuah pondok tua. Kakek itu me-mandang ke arah sebuah
gerobak yang berhenti tak jauh dari pondok. Kuda penarik gerobak nam-pak sedang makan
rumput dengan tenangnya, tak jauh dari gerobak itu. Ketika Pek Lian dan ka-wan - kawannya
melihat gerobak itu, mereka terke-jut bukan main. Jantung mereka berdebar tegang dan wajah
mereka agak pucat oleh rasa khawatir. Dan gerobak itu bergoyang - goyang mengeluarkan bunyi
berkereyotan karena memang gerobak tua. Pada saat itu, Pek Lian menoleh dan saling pandang
dengan Tiong Li. Mendadak, keduanya me-nunduk dengan muka merah karena malu dan je-ngah.
Kembali mereka dihadapkan dengan keca-bulan yang tidak tahu malu dari kakek dan nenek iblis
pemilik gerobak!
Kakek sakti itupun tidak lama memandang kepada gerobak yang bergoyang - goyang itu,
lalu dia melangkah memasuki pondok diikuti oleh tujuh orang pendekar. Akan tetapi, begitu masuk
pondok kakek bertongkat itu berseru perlahan, "Siancai... ke mana mereka ?"
Tiong Li dan tiga orang Yang - ce Sam - lo me-mandang kepada kakek itu dengan sinar
mata pe-nuh pertanyaan. Hati mereka berempat menjadi tegang dan khawatir sekali. Kalau para
anak buah mereka itu bertemu musuh dalam keadaan tertotok, tentu tidak akan ada seorangpun
di antara mereka yang dapat lolos dan selamat. Akan tetapi, kalau bertemu musuh dan dibunuh,
lalu ke mana perginya mayat - mayat mereka ? Apakah mereka ditemukan oleh pasukan
pemerintah yang menawan mereka semua ? Akan tetapi, pasukan pemerintah biasanya tidak
bersikap demikian lunaknya dan tentu langsung membunuh orang - orang Lembah Yang - ce,
walaupun pada saat itu pemerintah membutuhkan banyak tenaga orang - orang hukuman untuk
membangun tembok besar.
"Ah, siapa lagi kalau bukan perbuatan dua orang itu ?" tiba - tiba kakek itu berkata dan diapun
sudah berjalan keluar dari dalam pondok, diikuti oleh tujuh orang itu, menghampiri gerobak
yang masih bergoyang - goyang. Kakek itu tidak berani lancang menuduh orang, akan tetapi
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
karena di tempat itu tidak terdapat lain orang kecuali pemilik gerobak yang berada di dalam
kendaraan itu, diapun menghampiri untuk bertanya.
"Sobat - sobat pemilik gerobak, keluarlah, aku ingin bertanya!" kakek itu berkata dengan
suara yang bernada halus. Tujuh orang pendekar itu me-mandang dengan khawatir. Tidak ada
jawaban, bahkan gerobak itu makin keras guncangannya dan kini terdengar suara cekikikan genit
diiringi suara ketawa parau. Jelas suara laki - laki dan wanita ! Kakek sakti itu mengangkat alisnya
dan kembali dia bertanya.
"Maaf, sobat - sobat yang berada di dalam gero-bak. Apakah ada yang melihat orang - orang
yang tadinya mengaso di dalam pondok itu ? Ke ma_ kah perginya mereka ? Apa yang telah
terjadi de-ngan mereka ?" Pertanyaan ini diajukan oleh ka-kek sakti karena dia maklum bahwa
menurut per-hitungannya, pada saat itulah orang-orang Lem-bah Yang - ce itu baru akan dapat
pulih dari totok-annya. Jadi tidak mungkin kalau dapat terbebas sebelumnya. Akan tetapi tidak
terdengar jawaban dari dalam gerobak dan sendau - gurau di dalam gerobak itu malah lebih seru
dan ramai!
"Locianpwe, yang berada di dalam adalah dua orang tokoh terakhir dari Ban - kui - to (Pulau
Selaksa Setan)..." tiba - tiba Kim - suipoa membisiki kakek sakti itu. Kakek itu mengerutkan
alisnya.
Akan tetapi sebelum kakek itu menjawab atau melakukan sesuatu, tiba - tiba terdengar
suara ke-ras dan gerobak itu bergoyang - goyang keras, lalu terdengar suara gedebugan seperti
orang berkelahi disusul maki - makian dan tiba - tiba daun pintu gerobak itu jebol dan terlepas
dari kaitannya, disu-sul terlemparnya sesosok tubuh setengah telanjang seorang kakek yang
begitu terlempar dari atas ge-robak lalu berjungkir balik dan bangkit berdiri te-rus lari.
"Mau lari ke mana kau!" terdengar bentakan dan dari dalam gerobak meloncat seorang
nenek yang pakaiannya juga tidak karu - karuan, agaknya dikenakan secara tergesa - gesa dan
celananya ma-sih kedodoran. Nenek ini tidak memperdulikan semua orang yang berada di situ,
langsung saja mengejar kakek tadi sambil memaki - maki ! Sekejap mata saja sepasang iblis itu
telah lenyap. Tentu saja melihat ini, Ho Pek Lian menundukkan mukanya dan merasa jengah
sekali. Sepasang iblis tua bangka itu benar - benar keterlaluan sekali !
Tujuh orang pendekar itu tadi hanya memandang dengan bengong, tidak tahu harus berbuat
apa, sedangkan kakek sakti hanya menggeleng kepala menyaksikan kelakuan sepasang iblis itu.
"Siancai, kiranya Ban - kui - to sampai sekarang masih dihuni iblis - iblis seperti itu. Kalau
mereka itu sudah berkeliaran di tempat ramai, hal itupun menjadi tanda - tanda bahwa dunia akan
menjadi semakin tidak aman. Ahhh, mana mungkin orang dapat menikmati keheningan lagi
melihat munculnya orang - orang seperti Raja Kelelawar dan penghuni Pulau Selaksa Setan itu ?"
Mereka mendekati gerobak dan longak - longok mengintai ke dalam. Akan tetapi tidak
nampak ada seorangpun manusia di situ, kecuali benda-benda aneh yang mereka duga tentulah
barang-barang berbahaya milik sepasang iblis itu. Mereka tidak mengganggu milik orang,
melainkan menanti di dalam hutan itu sampai kembalinya sepasang iblis yang tadi lari berkejaran
seperti gila itu. Akan tetapi sampai lama sekali, belum juga nampak ada tanda-tandanya nenek
dan kakek itu kembali.
Tak lama kemudian, dari dalam hutan mereka melihat banyak orang lewat dan mereka
mengenal tokoh - tokoh sesat yang tadi hadir dalam pertemu-an mereka menghadap pimpinan
baru mereka, si Raja Kelelawar. Mereka tetap tinggal di dalam hutan dan tidak memperlihatkan
diri. Akan tetapi ketika tiba-tiba terdapat serombongan orang menyusup keluar dari balik semak -
semak belukar di dalam hutan, tidak jauh dari tempat mereka berada, tujuh orang pendekar itu
terkejut dan diam-diam merekapun mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan sambil
memandang kepada rombongan orang itu. Mereka itu tadi tidak nampak hadir dalam pertemuan
para tokoh sesat. Mereka berjumlah delapan orang dengan pakaian sutera hitam. Kesemuanya
adalah wanita yang sudah setengah tua, antara empatpuluh sampai empatpu-luh lima tahun
usianya. Rata - rata bersikap gagah dan gerakannya gesit, dan selain pakaian sutera hitam yang
ringkas, juga di sanggul rambut mereka terhias tusuk konde dari batu giok. Selagi Pek Lian dan
kawan-kawannya memperhatikan, tiba-tiba dari lain jurusan muncul pula rombongan empat orang
pria yang memakai seragam putih-putih. Di punggung masing - masing terdapat sepasang pedang
panjang dan sikap mereka juga gagah sekali, sedangkan usia mereka kurang lebih empatpuluh
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tahun. Rombongan empat orang seragam putih inipun tadi tidak kelihatan di antara kaum sesat
yang berkumpul di depan pondok di atas bukit. Maka merekapun menduga bahwa agaknya, selain
para tokoh sesat yang hadir, kiranya banyak juga terdapat tamu tak diundang yang secara diam -
diam berdatangan ke tempat itu secara sembunyi-sembunyi. Ketika kedua rombongan, yaitu
delapan orang wanita berpakaian hitam - hitam dan empat orang pria berpakaian putih - putih itu
berpapasan di dalam hutan, kedua pihak nampak kaget.
"Ah, mereka berempat itu adalah pendekar-pen-dekar Thian - kiam - pang ( Perkumpulan
Pedang Langit) yang terkenal itu!" bisik Kwee Tiong Li. Sebagai ketua Lembah Yang - ce, tentu
saja dia sudah banyak mengenal atau mendengar tentang perkumpulan - perkumpulan pendekar
lainnya.
"Perkumpulan macam apakah itu ?" Pek Lian berbisik, ingin tahu.
"Itu adalah perkumpulan pendekar pedang yang terkenal gagah perkasa. Kalau di daerah
untuk daerah utara, nama Thian - kiam - pang amat ter-kenal, ilmu pedang mereka hebat."
Kini muncul pula rombongan para tosu Bu-tong - pai, terdiri dari lima orang tosu. Kedua
rombongan terdahulu segera menyingkir, pergi ke jurusan - jurusan yang berlainan. Juga para
tosu Bu - tong - pai itu menyingkir. Mereka adalah tokoh - tokoh dari dunia putih, akan tetapi
karena mereka semua datang ke daerah itu sebagai pengintai dan tidak saling berhubungan, maka
mereka-pun saling menghindar, tidak ingin berjumpa karena kalau mereka berkumpul, berarti
mereka tidak dapat bergerak secara sembunyi - sembunyi lagi.
Kakek itu makin tertarik dan diapun melangkah keluar dari hutan kecil itu, diikuti oleh Tiong
Li, Pek Lian dan teman - teman mereka. Dan ter-nyata banyak bermunculan rombongan -
rombongan dan tokoh - tokoh persilatan dari kaum bersih atau dari mereka yang tidak
memasukkan dirinya ke dalam kaum bersih maupun kaum sesat, yang ingin berdiri bebas. Melihat
betapa banyak orang itu baru mereka ketahui sekarang kehadirannya, diam - diam Ho Pek Lian
merasa kagum dan dapat menduga bahwa mereka itu adalah orang - orang yang berkepandaian
hebat.
"Siancai... !" Kakek ahli ginkang yang sakti itu berkata setelah melihat betapa
banyaknya para pendekar bermunculan setelah pertemuan para tokoh sesat itu bubar, "Agaknya
kemunculan keturunan Raja Kelelawar benar-benar membuat dunia persilatan menjadi geger!
Bukankah demikian, sobat yang berada di balik semak - semak itu ?" Kalimat terakhir ini ditujukan
ke arah semak - semak yang berada di sebelah kiri, beberapa meter jauhnya dari tempat mereka
berdiri. Tentu saja tujuh orang pendekar yang mendengar kalimat ini menjadi terheran - heran
kemudian terkejut ketika tiba-tiba melihat tiga orang hwesio muncul dari balik semak-semak itu
sambil (mengangkat kedua tangan memberi hormat dengan wajah mereka yang alim dan ramah.
"Omitohud..., lo-sicu sungguh bermata tajam bukan main !" seorang di antara mereka
memuji. Melihat seorang di antara tiga hwesio berusia kurang lebih enampuluh tahun ini, yang
dahinya terhias bekas luka memanjang, Pek-bin-houw Liem Tat cepat maju memberi hormat.
"Ah, kiranya Ta Beng losuhu yang berada di sini. Tidak kami kira bahwa para tokoh Siauwlim
- pai juga hadir di tempat ini! Terimalah hormat saya, losuhu."
Hwesio itu sejenak memandang wajah Pek-binhouw
yang putih, mengingat-ingat, lalu menepuk
dahinya dan balas menjura. "Omitohud... bukankah Si Harimau Putih yang berada di sini
? Bagaimana kabarnya, sicu ? Pinceng mendengar berita bahwa sicu dan kawan- kawan
mengadakan gerakan di Lembah Yang-ce sekarang, meninggalkan Huang-ho. Benarkah ?"
Pek - bin - houw Liem Tat lalu memperkenalkan hwesio itu kepada teman - temannya.
Hwesio itu berjuluk Ta Beng Hwesio, seorang tokoh Siauw-lim - pai, merupakan tokoh ke dua
dalam urutan tingkat di Siauw - lim - pai, seorang hwesio yang berilmu tinggi.
"Sicu tentu mencari para pendekar Lembah Yang - ce, bukan ?" Tiba - tiba hwesio itu
bertanya. "Karena itulah pinceng bertiga sengaja menanti di sini." Lalu Ta Beng Hwesio
menceritakan bahwa dia dan dua orang sutenya itulah yang membebas-kan totokan para anak
buah Lembah Yang - ce itu. "Pinceng melihat munculnya kakek dan nenek iblis dari Ban - kui - to,
maka pinceng merasa khawatir melihat mereka itu dalam keadaan tertotok. Kami membebaskan
mereka dan menyarankan agar mereka menjauhi tempat itu dan menanti cu - wi (an-da sekalian)
sebagai pimpinan mereka di dalam dusun di sebelah utara sana."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Mendengar keterangan ini, bukan main girang-nya hati Kwee Tiong Li dan tiga orang
pembantu-nya. Cepat dia maju dan memberi hormat. "Sung-guh besar budi pertolongan losuhu
terhadap kawan-kawan kami. Saya menghaturkan banyak terima kasih." Ketika hwesio itu
mendengar bahwa pemuda yang perkasa ini adalah ketua muda dari Lembah Yang - ce, murid dari
pendekar Chu Siang Yu, wajahnya berseri girang.
"Ah, kiranya sicu adalah murid Chu - taihiap. Sudah lama sekali pinceng tidak berjumpa dengan
dia. Bagaimana kabarnya ?"
"Suhu dalam keadaan baik saja, akan tetapi per-kumpulan kami di Lembah Yang - ce
mengalami pukulan hebat dari pasukan pemerintah."
Tiga orang hwesio itu mengangguk - angguk karena mereka sudah mendengar akan berita
buruk itu dari para anak buah Lembah Yang - ce yang mereka bebaskan dari totokan. Mereka lalu
berpisah dan kakek sakti bersama tujuh orang pendekar itu menuju ke dusun yang ditunjuk oleh
para hwesio Siauw - lim - pai.
***
"Maafkan pertanyaan saya, locianpwe. Akan tetapi setelah menerima budi pertolongan
locian-pwe, kami ingin sekali mengenal nama locianpwe yang mulia. Sudikah locianpwe
memberitahukan kami ?" Pertanyaan yang diajukan oleh Pek Lian ini melegakan hati enam orang
lainnya karena mereka semuapun ingin sekali mendengar lebih banyak dari kakek sakti ini, hanya
karena kakek itu lebih sering berdiam diri seperti orang melamun, mereka merasa ragu - ragu dan
tidak enak hati untuk bertanya, hanya mengharapkan kakek itu akan memberitahukan sendiri.
Akan tetapi, kini Pek Lian yang mungkin sebagai seorang dara yang lincah lebih berani dalam hal
bertanya seperti itu, te-lah mewakili keinginan hati mereka, maka kini mereka semua memandang
kepada kakek sakti itu dengan penuh perhatian.
Kakek itu menarik napas panjang. "Hemm, sudah puluhan tahun aku ingin menyembunyikan
diri agar namaku tidak disebut - sebut orang. Siapa tahu, gara - gara Raja kelelawar kedua
tanganku menjadi kotor, berlepotan dengan urusan dunia. Datuk - datuk sesat, seperti setan -
setan yang keluar dari neraka, telah bermunculan. Biarlah aku menceritakan keadaanku, apa lagi
karena kalian telah berkenalan dan menjadi sahabat dari keluarga Bu."
Kakek itu mulai bercerita sambil berjalan. Tu-juh orang pendekar mendengarkan dengan
penuh perhatian. Gurunya, mendiang Bu - eng Sin - yok-ong atau Raja Tabib Sakti Tanpa
Bayangan mem-punyai tiga orang murid. Murid pertama adalah ayah dari Bu Kek Siang dan murid
pertama ini me-warisi ilmu pengobatan dan tenaga sinkang yang amat kuat sehingga
bagaimanapun juga, dengan kekuatan sinkang itu, dia dapat dikatakan paling unggul di antara tiga
orang murid, sesuai de-ngan kedudukannya sebagai murid tertua. Murid ke dua adalah seorang
yang berasal dari selatan bernama Ouwyang Kwan Ek, yang mewarisi ilmu pukulan sehingga
murid ini memiliki ilmu silat yang amat hebat gerakan - gerakannya. Sedangkan orang ke tiga
yang menjadi murid termuda dan yang mewarisi ilmu ginkang adalah kakek bertongkat itu yang
bernama Kam Song Ki. Semenjak matinya Raja Tabib Sakti, tiga orang murid ini terpencar dan
saling berpisah. Ayah Bu Kek Siang yang bernama Bu Cian itu tinggal di utara. Ouw-yang Kwan Ek
yang berasal dari selatan itu kem-bali ke dunia selatan dan tidak pernah terdengar beritanya,
sedangkan Kam Song Ki yang memang hidup sendirian saja dan suka merantau, tidak diketahui di
mana tempat tinggalnya yang tetap. Tentu saja di samping mewarisi keahlian - keahlian itu,
masing - masing juga mewarisi ilmu silat yang tinggi, ilmu pengobatan dan ilmu ginkang serta
tenaga sinkang. Hanya saja, masing - masing telah mewarisi keistimewaan yang diberikan oleh
guru mereka disesuaikan dengan bakat masing - masing pula.
"Aku suka merantau, dan aku tidak suka ber-urusan dengan dunia, seperti juga halnya
dengan twa - suheng almarhum. Bahkan ji - suhengpun bi-asanya tidak pernah mau merisaukan
urusan dunia sesuai dengan pesan suhu yang tidak ingin murid-muridnya mengandalkan
kepandaian untuk melakukan kekerasan dan bermusuhan dengan orang lain. Maka, sungguh
mengherankan sekali kalau kini ji-suheng selain masih hidup, malah juga mendirikan perkumpulan
Liong-i-pang (Perkumpulan Jubah Naga) itu, bahkan telah membunuh murid keponakannya sendiri
hanya untuk memperebutkan kitab pusaka." Dia menarik napas panjang dengan penuh
penyesalan.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Mendengar penuturan singkat itu, tujuh orang pendekar ini menjadi kagum. Kakek ini murid
seorang yang kesaktiannya terkenal seperti dewa, dan memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur
tingginya. Namun sikapnya demikian sederhana, tidak ingin namanya dikenal orang, bahkan tidak
ingin mempergunakan kepandaiannya untuk bermusuhan dengan orang lain.
Dengan kagum Tiong Li lalu memberi hormat. "Penuturan Kam-locianpwe membuka mata
kami bahwa makin banyak gandumnya, makin menunduklah tangkainya, makin dalam airnya,
makin tenang dan diam. Akan tetapi, kalau para locianpwe seperti Kam-locianpwe tidak
mempergunakan kepandaian untuk membendung datuk-datuk hitam yang berkepandaian tinggi,
tentu akan lebih parah dan celakalah kehidupan rakyat jelata, dilanda oleh kejahatan mereka."
"Itulah yang menyebalkan !"' kata Kam Song Ki sambil menggurat - guratkan ujung
tongkatnya di atas tanah di depannya. "Kemunculan iblis-iblis seperti Raja Kelelawar itu mau tidak
mau menyeret pula orang-orang tua yang sudah mendekati lubang kubur seperti aku ini untuk ikut
pula meramaikan dunia dengan pertentangan-pertentangan antara manusia !" Setelah berkata
demikian, kakek itu mempercepat langkahnya sehingga semua orang bergegas mengejarnya dan
sikap ini seperti menjadi tanda bahwa dia tidak ingin bicara lagi tentang dirinya.
Ketika akhirnya mereka tiba di dusun itu, hari telah sore dan keadaan dusun yang agak sunyi
itu membuat mereka merasa heran. Bahkan beberapa orang kanak-kanak yang tadinya bermainmain
di pekarangan rumah, ketika melihat munculnya delapan orang ini, dengan wajah ketakutan
mereka melarikan diri memasuki rumah mereka, rumah pondok miskin. Beberapa orang dewasa
yang kebetulan berada di luar rumah juga cepat - cepat memasuki rumah dan menutupkan daun
pintu rumah mereka. Jelaslah bahwa penduduk di dusun itu dicekam rasa ketakutan melihat orang
asing memasuki dusun mereka. Hal ini hanya berarti bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang
hebat. Mereka terus memasuki dusun itu dan ketika mereka tiba di tengah dusun, tiba - tiba saja
bermunculan puluhan orang penduduk dusun itu, kesemuanya pria dan mereka membawa alat -
alat senjata seadanya, mengurung dengan sikap mengancam.
Melihat ini, kakek itu tenang - tenang saja, akan tetapi Kwee Tiong Li segera mengangkat
tangan ke atas dan berkata dengan suara berwibawa, "Saudara-saudara hendaknya jangan salah
menyangka orang ! Kami bukanlah orang-orang jahat dan kami datang untuk mencari temanteman
kami yang kemarin dulu datang ke tempat ini. Jumlah mereka kurang lebih ada limapuluh
orang "
Dari para pengepung itu majulah seorang laki-laki berusia lebih dari empatpuluh tahun.
Suaranya agak parau ketika dia berkata, "Mereka semua telah mati! Semua telah mati!"
Tentu saja delapan orang itu terkejut, terutama sekali Tiong Li. "Mati ? Kenapa ? Siapa
membunuh mereka dan mengapa ?"
"Malam tadi di sini terjadi pertempuran hebat, antara pasukan pemerintah yang menyergap
orang-orang yang agaknya bersembunyi di dusun kami. Kami semua ketakutan, takut terbawa -
bawa dan memang ada belasan orang muda di dusun kami yang ikut pula terbunuh karena
disangka menyembunyikan mereka. Kami semua bersembunyi ketakutan. Akhirnya, semua orang
itu tewas, juga puluhan orang perajurit tewas. Sejak pagi tadi kami penduduk dusun bertugas
untuk mengubur semua mayat itu. Mengerikan ! Lebih dari seratus mayat terpaksa dikubur dalam
beberapa lubang besar saja, di luar dusun."
xx—» DARAH PENDEKAR «—xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid VI
— O —
MENDENGAR penuturan ini, pucatlah wajah Tiong Li dan Yang-ce Sam-lo. Juga Pek Lian dan
dua orang gurunya terkejut sekali. Bagai-manapun juga, yang terbunuh semua sampai terbasmi
habis itu adalah para anggauta pemberontak Lembah Yang-ce, jadi masih rekan-rekan mereka
sendiri. Pimpinan mereka, Liu Pang, adalah juga pemberontak Lembah Yang - ce yang untuk
sementara ini membangun pusat perkumpulan di Puncak Awan Biru.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Siapa lagi kalau bukan Jenderal Beng Tian dan dua orang pengawalnya itu yang memimpin
penyerbuan ?" kata Pek Lian dengan gemas.
Kwee Tiong Li mengepal tinjunya, sepasang
matanya merah dan mukanya pucat. "Habis sudah
kawan-kawanku.....! Dengan susah payah guruku membimbing mereka, melatih mereka, dan
akhirnya, mereka hancur di bawah pimpinanku! Ahhh" Pemuda itu menutupi muka dengan kedua
tangannya, merasa berduka dan menyesal bukan main.
Melihat keadaan ketua mereka ini, Yang-ce Sam-lo menghibur. "Harap kokcu jangan terlalu
menyalahkan dan menyesalkan diri sendiri. Semua ini adalah resiko perjuangan menentang
kelaliman dan kematian saudara- saudara kita terjadi di luar kemampuan kita untuk
mencegahnya," kata seorang di antara mereka. "Seandainya kita berada di sini sekalipun, kalau
dikepung oleh pasukan besar yang dipimpin jenderal itu, apa yang akan dapat kita lakukan untuk
menyelamatkan kita semua ? Memang, lebih dari limaratus orang anggauta kita gugur sebagai
pejuang - pejuang gagah perkasa yang menentang ketidakadilan, akan tetapi pihak tentara
pemerintah juga banyak yang tewas di tangan kita. Setidaknya, setiap anggauta kita tentu
sedikitnya merobohkan dua orang, sehingga kalau dihitung-hitung, kita masih tidak rugi."
Akan tetapi hiburan-hiburan tiga orang pembantunya itu tidak melenyapkan kedukaan hati
Kwee Tiong Li yang kehilangan semua anak buah-nya. Dia memukulkan tinju kanannya ke atas
telapak tangan kirinya dengan keras sehingga ter-dengar suara nyaring. "Bagaimanapun juga aku
tidak mau berhenti sampai di sini saja ! Aku harus menuntut balas. Harap Sam-lo kembali ke
lembah dan menyampaikan laporan kepada suhu. Aku sendiri akan mencari jalan untuk membalas
dendam ini !"
Tiga orang pembantunya hendak membantah karena perbuatan itu tentu saja amat
berbahaya bagi keselamatan pemuda itu. "Sam-lo, ini adalah keputusanku sebagai ketua lembah!"
katanya de-ngan tegas dan tiga orang itu tentu saja tidak dapat membantah lagi. Ho Pek Lian
melihat betapa pemuda yang biasanya bersikap lembut itu kini nam-pak keras, bersemangat dan
penuh wibawa sehing-ga hatinya merasa tergetar. Pemuda ini merupa-kan seorang jantan yang
gagah perkasa, memba-yangkan kepribadian seorang pemimpin yang he-bat, membuat hati Pek
Lian menjadi kagum sekali.
"Siancai..., saat kematian merupakan rahasia yang tak pernah terbuka oleh manusia. Siapa
sangka aku bermaksud menolong mereka, tidak tahunya karena perbuatanku, malah mereka
mengalami pembasmian di sini" kata kakek Kam dengan suara menyesal. Mendengar ini, Kwee
Tiong Li cepat menghadapi kakek itu.
"Harap locianpwe jangan beranggapan demiki-an karena locianpwe sama sekali tidak
bersalah dalam hal ini."
"Aku tahu, orang muda... akan tetapi membuat hatiku terasa tidak enak......" tiba-tiba
kakek itu berhenti dan cepat menoleh ke belakang. Pada saat itu terdengar bunyi terompet
bersahut-sahutan, diiringi sorak - sorai para perajurit dan ternyata dusun itu telah dikepung!
Mendengar ini, para penghuni berlari - larian kembali ke rumah masing-masing dan yang
tertinggal di dusun itu, di luar rumah, hanya tinggal delapan orang itu saja. Semua penghuni
dusun telah bersembunyi ! Delapan orang itu, yang merasa sudah terkepung, tidak mau ikut
bersembunyi karena mereka maklum bahwa bersembunyi di dusun kecil itu tidak ada artinya
malah - malah akan mencelakakan semua penghuni dusun. Maka, sambil menanti, mereka semua
mencabut senjata, siap untuk melawan.
Dengan teriakan yang berisik sekali, bermunculanlah pasukan itu dari segenap penjuru dan
mereka segera diserbu dan dikeroyok. Pek Lian telah mencabut pedangnya, Kim - suipoa Tan Sun
mengeluarkan senjata suipoanya sedang-kan Pek - bin - houw juga sudah melintangkan pi-kulan
bajanya. Begitu para perajurit menyerbu, mereka bertiga mengamuk bagaikan harimau - ha-rimau
kelaparan. Sementara itu, Kwee Tiong Li, biarpun tenaganya belum pulih seluruhnya, juga sudah
mengamuk dan menggerakkan pedangnya dengan dahsyat. Tiga orang Yang - ce Sam - lo juga
sudah menyambut pengeroyokan musuh de-ngan senjata golok tipis mereka. Tujuh orang pendekar
itu mengamuk dengan penuh semangat, terutama sekali Tiong Li dan Yang - ce Sam-lo
yang seolah - olah memperoleh kesempatan un-tuk membalas dendam atas terbasminya seluruh
kawan mereka itu. Empat orang ini merobohkan banyak sekali perajurit. Adapun kakek Kam Song
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Ki sendiri hanya melindungi dirinya, menggerak-kan tongkatnya untuk merobohkan semua orang
yang menyerangnya, akan tetapi jelaslah bahwa kakek ini merobohkan orang tanpa bermaksud
membunuh. Biarpun demikian, tidak ada perajurit yang dapat mendekatinya karena belum juga
dekat mereka itu sudah roboh berpelantingan.
Akan tetapi, tiba - tiba muncul dua orang berpakaian preman yang menjadi pengawal
pribadi, juga sute - sute dari Jenderal Beng Tian yang amat lihai itu! Bukan hanya kedua orang
pengawal ini saja, melainkan juga belasan orang perwira yang memiliki gerakan - gerakan gesit
sekali, tanda bahwa mereka adalah orang - orang yang pandai ilmu silat. Pengepungan semakin
ketat, pengeroyokan semakin rapat dan dengan munculnya dua orang pengawal bersama para
perwira itu, delapan orang yang dikeroyok menjadi kewalahan juga. Betapapun juga, mereka terus
mengamuk dengan hebatnya dan sudah puluhan orang banyaknya roboh, tewas atau terluka
sehingga mayat - mayat mulai bertumpuk dan berserakan, suara orang - orang mengaduh dan
mengerang kesakitan amat mengerikan.
Sore semakin gelap. Satu jam lebih mereka mengamuk, akan tetapi jumlah para perajurit
amat banyaknya. Ada ratusan orang! Dan akhirnya, apa yang mereka khawatirkanpun tibalah
dengan munculnya Jenderal Beng Tian sendiri! Tadinya, dua orang pengawal pribadi jenderal itu
masih me-nemukan kesulitan ketika mereka dihadang dan dibendung oleh tongkat butut kakek
Kam, membuat mereka terheran - heran, penasaran dan juga marah karena ternyata tongkat itu
membuat mereka tidak mampu banyak bergerak. Akan tetapi sebaliknya kakek Kam yang tidak
ingin membunuh, tidak mudah pula merobohkan dua orang pengawal lihai ini seperti yang
dilakukannya kepada para pera-jurit. Sedangkan tujuh orang pendekar itu dikero-yok oleh belasan
orang perwira yang dibantu oleh puluhan orang perajurit pula. Sampai berdesakan dan sukar
sekali untuk bergerak dalam pengepung-an yang ketat itu. Dan kini, jenderal itu sendiri muncul.
Tadinya, panglima ini tidak ikut memim-pin anak buahnya. Bukankah menurut penyelidik, yang
berada di dusun itu hanya delapan orang pim-pinan pemberontak ? Cukup diwakilkan kepada dua
orang pengawal atau sutenya saja, para perwi-ra dan pasukan. Akan tetapi, dia memperoleh berita
yang mengejutkan bahwa di antara delapan orang itu terdapat seorang kakek yang amat sakti
yang membuat kedua orang sutenya tidak berdaya Tentu saja dia menjadi terkejut sekali dan
jenderal itupun bergegas menuju ke medan pertempuran. Pada saat dia tiba di tempat, itu, dia
masih sempat melihat betapa dua orang sutenya mengeroyok seorang lawan yang tidak nampak
bayangannya !
Seolah - olah dua orang sutenya itu mengeroyok setan saja. Tahulah dia bahwa lawan dua
orang pembantunya itu adalah seorang ahli ginkang yang amat luar biasa.
Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, jenderal itu lalu menyerbu dan dua orang sutenya
girang bukan main melihat munculnya jenderal yang selain menjadi atasan, juga menjadi suheng
mereka itu. Dan pukulan yang dilancarkan jenderal itu terhadap kakek Kam membuat kakek itu
mengeluarkan seman kaget. Namun, gerakan kakek itu terlampau cepat sehingga empat serangan
yang merupakan rangkaian susul-menyusul dari jenderal itu semua hanya mengenai tempat
kosong saja. Dia menduga-duga siapa gerangan orang ini dan diam-diam terkejut bukan main.
Kalau pihak pemberontak terdapat orang - orang selihai ini, sungguh amat berbahaya, pikirnya.
Bersama dua orang sutenya, dia mengeroyok. Namun tetap saja mereka bertiga menjadi
kewalahan karena jauh kalah cepat gerakan mereka. Kadang-kadang kakek itu seperti lenyap saja
dan tahu - tahu muncul di atas mereka, di belakang mereka atau di kanan kiri. Dan ma-lampun
tibalah. Para perajurit memasang obor sehingga keadaan di situ semakin menyeramkan.
Betapapun lihainya, tujuh orang pendekar yang dikeroyok oleh banyak sekali lawan yang
tiada habisnya dan tak kunjung berkurang itu, menjadi repot. Mereka kelelahan, mandi peluh
setelah mengamuk selama hampir dua jam lamanya! Dan akhirnya, tak dapat tertolong lagi, Pekbin-
houw roboh terkena tusukan tombak seorang perwira dari belakang. Tombak itu menancap di
punggung dan tembus ke dadanya, darah muncrat dan dia berteriak seperti harimau terluka,
membalik dan senjata pikulannya menghantam kepala penyerang-nya sampai pecah. Kemudian
dia menubruk ke kiri, merobohkan seorang perajurit, akan tetapi dia sendiripun roboh karena
sebatang golok membuat lehernya hampir putus, disabetkan oleh perwira lain. Robohlah Pek - bin
- houw Liem Tat sebagai seorang pendekar dan patriot. Melihat ini, Kim-suipoa berteriak marah
dan menyerang dengan nekat, menubruk ke arah perwira yang membacok golok tadi. Perwira itu
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menangkis, akan tetapi go-loknya terpental oleh hantaman suipoa dan ke-pala perwira itupun
remuk terkena pukulan suipoa baja. Akan tetapi, pada saat yang sama, dua ba--tang pedang
menembus lambung dan dada Kim-suipoa
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To
Register.]***
Tg Li dan kakek yang masih dikeroyok tiga oleh Jenderal Beng Tian bersama dua orang
sutenya itu.
Tiong Li dan Pek Lian masih mengamuk dan keduanya maklum bahwa nyawa merekapun
tidak akan tertolong lagi. "Nona Ho, selamat berpisah di sini !" kata Tiong Li sambil memutar
pedangnya.
Pek Lian terharu sekali, akan tetapi juga bangkit semangatnya melihat pemuda yang gagah
perkasa itu! "Selamat berpisah, saudara Kwee. Akan tetapi aku tidak mau mati sebelum
membasmi anjing - anjing ini sebanyak mungkin !"
Keduanya mengamuk lagi penuh semangat. Kakek Kam mendengarkan semua ini dan
hatinya tergerak. Kalau dia menghendaki, tentu dia sudah dapat membunuh tiga orang lawannya.
Akan tetapi dia tidak tega untuk membunuh. Kalau dia mau melarikan diripun tidak sukar baginya,
akan tetapi dia merasa kasihan kepada dua orang muda itu. Diam - diam dia merasa kagum sekali
melihat, gerak-gerik Tiong Li dan Pek Lian. Terutama pemuda itu sungguh membuat hatinya yang
tua merasa terharu. Seorang pemuda gagah perkasa yang penuh setia kawan! Sungguh seorang
eng-hiong (pendekar) sejati! Dan melihat betapa Pek Lian terhuyung oleh pukulan rayung lawan
yang mengenai punggungnya, cepat dia menggerakkan kakinya dan tahu-tahu tiga orang
pengeroyoknya sudah kehilangan kakek itu yang kini telah menyambar tubuh Pek Lian sebelum
dara itu terguling ro-boh. Dipanggulnya tubuh Pek Lian dan diapun berseru kepada Tiong Li,
"Kwee - sicu, mari kita pergi !'"
Memang mudah saja bagi kakek sakti yang me-miliki ginkang istimewa itu untuk
mengatakan de-mikian, bahkan mudah pula baginya untuk me-loloskah diri dari kepungan ketat
dan penge-royokan itu, akan tetapi amat sukarlah bagi Tiong Li untuk melaksanakannya. Pula, dia
telah dibakar kemarahan meluap - luap dan sudah diambilnya keputusan untuk mengamuk sampai
mati, membela kematian tiga orang pembantunya dan juga dua orang guru Pek Lian itu. Melihat
betapa pemuda itu mengamuk makin hebat dan seperti tidak memperdulikan ajakannya, kakek itu
berseru lagi,
"Orang muda, perlu apa mengorbankan nyawa dengan konyol ? Ingat, kelak engkau harus
membuat perhitungan dan membalas semua dendam. Kalau mati sekarang, siapa yang akan
membalas dendam kelak ?" Ucapan ini sengaja dikeluarkan hanya untuk membakar semangat
pemuda itu agar mau meloloskan diri, bukan ucapan yang keluar dari lubuk hatinya.
Mendengar ini, Tiong Li menjadi sadar. Semua anak buahnya, berikut tiga orang
pembantunya yang setia, telah gugur. Hanya tinggal dia seorang diri. Kalau dia gugur pula, lalu
siapa yang akan membalas semua ini.? Siapa yang akan melanjutkan perjuangan, membantu para
pendekar lain, membantu gurunya ? Dia tidak boleh sekedar menurutkan perasaan hati duka dan
marah. Akan tetapi, bagaimana dia dapat meloloskan diri dari kepungan begini banyak musuh ?
Sambil memutar, pedang mengamuk, Tiong Li mencari jalan keluar, namun, sia - sia belaka.
Seorang lawan dirobohkan, dua orang menggantikannya. Dua orang dirobohkan, empat orang
yang maju. Pedangnya sudah berlumur darah, pakaiannya juga berlepotan darah, darah lawan
dan darahnya sendiri. Tubuhnya sudah lelah sekali dan agaknya gerakannya itu hanya
dikendalikan oleh semangatnya yang berkobar - kobar. Seolah - olah kesehatannya yang baru
berkembang baik dan belum pulih benar itu kini menjadi sembuh sama sekali dengan adanya
pertempuran mati - matian ini.
Sementara itu kakek Kam Song Ki melihat kesukaran yang dialami pemuda itu. Dia sendiri
masih dikepung ketat, bahkan kini Jenderal Beng Tian dan dua orang pengawalnya meneriakkan
perintah agar para perwira juga ikut mengepung kakek yang luar biasa lihainya itu. Kakek Kam
masih memondong tubuh Pek Lian dan tubuhnya berkelebatan ke sana-sini dan tahu-tahu dia
sudah mendekati Tiong Li. Caranya amat menggiriskan hati para pengeroyoknya karena tubuhnya
itu berloncatan atau lebih tepat lagi "beterbangan" melayang-layang, meloncat di antara pundak
dan kepala para pengeroyok, kadang - kadang menginjak pundak dan kepala, bahkan menginjak
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ujung senjata, ba-gaikan seekor burung walet saja tubuh itu kini tahu - tahu sudah mendekati
Tiong Li dan menyam-bar tangan pemuda itu.
"Pegang erat-erat tanganku dan ikuti gerakan ku. Kau menurut saja, jangan melawan!
Dengarkan petunjuk- petunjukku baik-baik. Kalau perlu pejamkan mata, jangan bergerak menurut
kemauan sendiri, tapi turuti aku dengan membuta, Ini pelajaran ilmu langkah ajaib yang dapat
melolos-kan dirimu dari kepungan!"
"Baik... locianpwe !" Tiong Li menjawab.
Maka mulailah pemuda itu menurutkan tenaga tarikan, betotan, maupun dorongan tangan
kakek itu, mengatur langkahnya sesuai dengan tenaga kakek itu, ke kiri, kanan, ke depan, ke
samping, ke belakang, kadang - kadang meloncat rendah dan meloncat tinggi, cepat sekali
gerakan itu dan amat aneh, akan tetapi hebatnya, gerakan - gerakan itu membuat dia terbebas
dari semua serangan dan kepungan tanpa mengelak satu demi satu seperti yang dilakukannya
sendiri tadi. Dia tidak tahu bahwa dia telah dibawa oleh kakek sakti itu mela-kukan Ilmu Ban-sengpo
Lian-hoan (Langkah Selaksa Bintang Berantai). Langkah-langkah ini menurut garis-garis
perbintangan dan langkahlangkahnya teratur sedemikian rupa, penuh rahasia sehingga seolaholah
semua gerakan itu telah mendahului datangnya hujan serangan. Melihat ini, seorang di
antara pengawal atau sute dari Jenderal Beng Tian menjadi marah sekali! Sambil berseru keras dia
menyerang dahsyat ke arah kepala Tiong Li. Pemuda ini terkejut, maklum bahwa dia tidak akan
mungkin dapat menyelamatkan diri, akan tetapi dia memejamkan matanya dan dengan membuta
dia menurutkan tenaga kakek yang me-ngendalikannya. Dia menggeliat dan meloncat ke depan
malah! Tentu saja hatinya terasa ngeri sekali. Dipukul demikian dahsyat mengapa malah meloncat
ke depan ? Akan tetapi sungguh aneh, karena dia meloncat ke depan ini, dia malah terhindar dari
pukulan dahsyat yang ternyata telah datang kecuali tentu saja ke depan, karena si pemukul sama
sekali tidak pernah menduga bahwa orang yang dipukul itu malah melangkah maju! Inilah
hebatnya Ban - seng - po Lian - hoan itu. Ilmu ini memungkinkan segala gerakan kaki dan tubuh
dalam menghadapi pengeroyokan lawan lawannya yang tangguh.
"Plak ! Plakk !" tangan kakek itu menampar dan dua orang pengawal itu terhuyung ke
belakang dengan muka pucat ketika mereka menangkis.
"Pemberontak hina !" Terdengar Jenderal Beng Tian membentak dan pedang panjangnya
menyambar. Tiong Li sudah berhasil merampas sebatang tombak yang dibetotnya dari tangan
seorang pera-jurit yang menyerangnya dan menggunakan tom bak itu untuk menangkis pedang
yang menyambar ke arah kakek Kam.
"Trakkkk..... !" Tombak itu patah menjadi dua dan Tiong Li merasakan tangannya sampai
ke pangkal lengannya seperti lumpuh ! Dia terke-jut setengah mati, akan tetapi pada saat itu, Jenderal
Beng Tian juga terhuyung ke belakang kare-na ketika pedangnya bertemu dengan tombak di
tangan pemuda itu, secepat kilat kakek Kam telah berhasil mendorong punggungnya dan dia
merasa betapa hawa yang dingin sekali menyusup ke dalam tubuhnya, membuat dia terhuyung
dan cepat - cepat jenderal ini yang tidak mau menderita luka parah segera mengatur pernapasan
seperti yang dilaku-kan oleh dua orang sutenya pula. Melihat betapa tiga orang tertangguh itu
menghentikan penye-rangan, kakek Kam melihat kesempatan yang baik sekali.
"Kwee - sicu, cepat rampas kuda !"
Tiong Li yang sejak tadi secara membuta sudah menurut perintah kakek ini, sekarang
membuka mata dan melihat seorang perwira menunggang ku-da tak jauh dari situ, diapun
meloncat mendekati. Perwira itu menyambutnya dengan bacokan golok, akan tetapi Tiong Li
mengelak ke kiri dan me-nyambar lengan perwira itu, menariknya keraskeras ke bawah. Pada saat
tubuh perwira itu ter-pelanting ke bawah, Tiong Li meloncat ke atas punggung kuda! Dan pada
saat itu pula, seorang lain telah terlempar dari atas punggung kudanya, tak jauh di sebelah depan
Tiong Li, dan tubuh Pek Lian melayang ke atas punggung kuda.
"Naiki kuda itu dan larilah kalian I" terdengar kakek Kam berseru. Akan tetapi karena Pek
Lian menderita luka-luka dan merasa lelah sekali, dara ini tidak dapat mengatur tubuhnya dan ia
hinggap di atas kuda itu dalam keadaan terbalik! Akan tetapi sebelum ia terpelanting jatuh,
tubuhnya sudah disambar lagi oleh kakek Kam yang tadi merobohkan empat orang perajurit, lalu
kakek itupun mem-balapkan kuda, diikuti oleh Tiong Li.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Hayo, jangan tidur, anak nakal!" Kakek itu mengguncang-guncang tubuh Pek Lian. "Engkau
seorang gadis gagah perkasa, masa baru begini saja sudah turun semangat ? Bangunlah, dan naiki
kuda ini, larikan secepatnya, aku melindungi dari belakang !" Kembali dia mengguncang.
"Mengertikah kau ?"
Mendengar kata - kata ini dan karena guncangan- guncangan itu, apa lagi ketika tengkuknya
di-totok dua kali oleh jari si kakek sakti, Pek Lian membuka matanya lebar - lebar. "Aku mengerti,
locianpwe." Dan tahu- tahu kakek itu sudah meloncat ke atas, meninggalkan Pek Lian, berjungkir
balik dan membiarkan Tiong Li lewat, lalu dia sendiri menghadang para pengejar!
"Kejar ! Tangkap ! Bunuh mereka !" Terdengar teriakan para perwira dan tiba - tiba mereka
itu melepaskan anak panah!
Hujan anak panah itu tiba - tiba runtuh semua ketika ditahan oleh bayangan kakek Kam
yang ber-kelebatan ke kanan kiri, atas bawah. Demikian ce-patnya, gerakan kakek ini sehingga dia
mampu membendung dan meruntuhkan semua anak panah yang meluncur itu dengan kebutan -
kebutan kedua ujung lengan bajunya dan pemutaran tongkatnya. Bahkan ada beberapa batang
anak panah yang mengenai tubuhnya, hanya merobek dan melubangi kain bajunya saja, namun
tidak dapat melukai kulit tubuhnya.
Ketika barisan pengejar tiba dekat, kakek itu menggerakkan kedua tangannya dan anak
panah yang belasan batang banyaknya meluncur ke depan, ke arah kaki kuda dan barisan
terdepan terguling, membawa para penunggangnya terlempar dan jatuh tersungkur, ditabrak oleh
teman - teman dari belakang. Tentu saja keadaan menjadi kacau - balau dan terdengar teriakanteriakan
mengaduh dan sumpah - serapah. Sebagian besar meloncat turun dan menyerbu. Kakek
Kam sudah mengamuk lagi dengan tongkat bututnya dan siapapun yang dekat dengannya tentu
roboh terguling. Akan tetapi Jenderal Beng Tian dan dua orang pengawalnya, dibantu oleb para
perwira, telah mengurungnya la-gi. Sekali ini jenderal itu yang dapat menduga bah-wa dia
berhadapan dengan seorang sakti, memben-tak marah.
"Kakek pemberontak jabat! Siapakah engkau ?" Mendengar bentakan panglima mereka, para
pe-ngeroyok itu menahan senjata mereka dan semua mata memandang kakek itu di bawah sinar
obor-obor yang cepat menerangi tempat itu, dipegang oleh para perajurit.
“Siancai...... tai-ciangkun yang gagah perkasa. aku bukanlah pemberontak. Namaku Kam
Song Ki."
Jenderal Beng Tian adalah seorang panglima yang berilmu tinggi dan sudah banyak
pengalaman, sudah banyak mengenal hampir semua tokoh persi-latan, akan tetapi dia tidak
mengenal nama ini. Hal itu tidaklah mengherankan mengingat bahwa kakek ini biarpun
merupakan murid ke tiga dari Raja Tabib Sakti, namun dia selalu mengasingkan diri dan selama
puluhan tahun tidak pernah me-nonjolkan diri di dunia kang - ouw sehingga nama-nya tidak
dikenal orang.
"Orang tua she Kam, apakah engkau pura - pura tidak tahu bahwa orang-orang muda yang
kaubela itu adalah pimpinan pemberontak - pemberontak besar dari Lembah Yang-ce ?"
"Siancai...... sayang sekali aku tidak tahu tentang berontak-memberontak. Setahuku kalau
ada yang memberontak tentu ada sebabnya dan hanya yang tertindas sajalah yang akan
memberontak, bu-kan ? Setahuku, mereka adalah orang-orang yang baik dan melihat orang baikbaik
dikeroyok, tentu saja aku membela mereka."
"Engkau hendak melawan pasukan pemerintah ? Berarti engkau berani memberontak
terhadap pemerintah !"
Kakek itu tertawa. "Tai - ciangkun, kalau tidak salah ciangkun adalah Jenderal Beng Tian
yang terkenal itu. Tentu saja orang seperti engkau ini akan bersetia sampai mati kepada
pemerintah, tidak perduli bagaimana keadaannya, karena engkau mempertahankan
kedudukanmu, kehormatan dan kemuliaan sebagai jenderal besar ! Akan tetapi, aku hanyalah
seorang rakyat biasa saja, dan orang macam aku ini hanya mempertahankan hidup, asal dapat
makan setiap hari dan dapat menutupi tubuh dengan pakaian saja sudah cukuplah. Aku tidak ingin
memberontak, akan tetapi kalau melihat kesewenang - wenangan, tentu saja aku tidak dapat
tinggal diam saja."
"Kesewenang - wenangan yang bagaimana maksudmu ?" jenderal itu membentak.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Nona Ho Pek Lian kehilangan keluarganya. Seluruh keluarga ayahnya ditangkap, padahal,
siapakah yang tidak tahu bahwa Menteri Kebudayaan Ho Ki Liong adalah seorang menteri yang
amat baik ? Dan semua teman dari Kwee Tiong Li itu telah dibasmi oleh pasukan pemerintah!
Apakah namanya itu kalau bukan sewenang - wenang ? Ka-rena itulah aku membela mereka,
bukan karena berontak - memberontak!"
Mendengar bahwa gadis yang tadi dikeroyok adalah puteri Menteri Ho, jenderal itu terkejut
bu-kan main. Biarpun Menteri Ho dianggap pembe-rontak oleh pemerintah dan menteri beserta
selu-ruh keluarganya itu ditangkap, namun diam-diam jenderal yang gagah perkasa ini merasa
kagum bu-kan main terhadap Menteri Ho. Tentu saja, seba-gai seorang jenderal dia tidak mampu
berbuat se-suatu kecuali merasa menyesal akan nasib menteri yang dia tahu amat setia dan baik
itu. Kini, men-dengar bahwa gadis yang gagah perkasa tadi ada-lah puteri Menteri Ho, dia menjadi
semakin kagum dan lenyaplah napsunya untuk menangkap atau membunuh gadis itu. Tugasnya
hanyalah menum-pas para pemberontak di Lembah Yang - ce dan tugas itu telah diselesaikannya
dengan baik. Semua pemberontak telah berhasil ditumpasnya walaupun dia harus kehilangan
banyak sekali perajurit. Akan tetapi, sebagai seorrmg panglima, tentu, saja dia tidak boleh
memperlihatkan sikap kagum terhadap orang yang dianggap pemberontak, maka diapun berteriak,
"Tangkap orang tua ini!"
Dua orang pengawal yang juga menjadi sutenya adalah orang - orang yang amat setia
terhadap jen-deral itu, akan tetapi merekapun sudah mengenal baik suheng mereka. Mereka itu,
dengan pandang mata saja, sudah maklum akan isi hati suheng mereka yang di dalam hati tidak
ingin menangkap atau membunuh kakek ini, maka mereka berduapun bergerak lambat,
membiarkan para perwira dan perajurit yang maju mengeroyok. Di lain pihak, kakek Kam juga
merasa heran mengapa panglima dan dua orang pembantunya yang amat lihai itu tidak turun
tangan melainkan membiarkan anak buahnya yang maju mengeroyoknya. Maka diapun cepat
menggerakkan tubuhnya dan dengan mudah saja dia meloloskan diri dari kepungan, terus
melarikan diri, sengaja tidak berlari cepat agar para pe-rajurit itu dapat terus mengejarnya. Dia
mengambil jalan ke kanan, berlawanan dengan jalan yang diambil oleh dua ekor kuda yang
melarikan Tiong Li dan Pek Lian tadi. Dia terus main kucing - kucing-an dan untuk
menyembunyikan perasaan hati yang sesungguhnya, biarpun dia dapat menduga bahwa kakek
Kam yang tidak berlari sekuatnya itu sengaja memancing ke arah lain, Jenderal Beng Tian terus
mendesak pasukannya untuk mengejar kakek itu sampai pagi!
Tentu saja pasukan itu menjadi semakin jauh dari jejak kaki dua ekor kuda itu dan
menjelang pagi, mereka kehilangan bayangan kakek Kam. Kakek ini tentu saja sudah kembali ke
tempat semula dan di bawah sinar matahari pagi dia melanjutkan perjalanan mengikuti jejak kaki
dua ekor kuda.
Sambil berjalan, kedua kakinya diseret dan meng-hapus jejak kaki kuda itu dari permukaan
tanah. Matahari telah naik tinggi ketika kakek Kam tiba di dalam hutan di mana dia mendapatkan
Tiong Li dan Pek Lian sedang beristirahat. Tiong Li duduk bersila dan mengatur pernapasan,
mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan badannya sedangkan Pek Lian dengan
wajah agak pucat duduk bersandar pohon tak jauh dari pemuda itu. Kedatangan kakek itu samasekali
tidak mereka ketahui dan barulah setelah kakek itu berada di depan mereka, keduanya
terkejut sekali akan tetapi juga girang karena semalam mereka mengkhawatirkan keadaan kakek
sakti itu.
"Locianpwe......!" Pek Lian berkata dan tiba- tiba saja kedua mata gadis ini menjadi basah
air mata. Hatinya memang sudah berduka sekali karena kematian dua orang gurunya dan khawatir
akan keadaan kakek Kam yang melindungi ia dan Tiong Li.
"Locianpwe, kami menghaturkan terima kasih karena hanya berkat pertolongan locianpwe
maka kami berdua masih dapat hidup sampai sekarang," kata Tiong Li, juga suaranya
mengandung kedukaan besar.
Kakek itu duduk di dekat mereka. "Nona, engkau masih mengandung luka dalam yang cukup
berbahaya kalau tidak diobati. Mendekatlah !"
Kakek itu lalu menaruh telapak tangannya di punggung Pek Lian yang segera merasakan
adanya hawa panas menjalar masuk ke dalam ruang dadanya. Iapun cepat memejamkan kedua
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mata dan menerima hawa panas itu, membiarkan hawa itu berputar - putar dan mendorong atau
menekan ke arah bagian yang terkena pukulan dalam pengeroyokan tadi.
Setelah menyembuhkan luka - luka di dalam tubuh Pek Lian dan membantu Tiong Li
memulihkan kembali tenaganya, maka kakek itu lalu mengajak mereka duduk bercakap-cakap di
bawah pohon dalam hutan itu.
"Sekarang aku ingin sekali mengetahui, apa rencana kalian selanjutnya ? Apa yang akan
kaulakukan sekarang, nona ?"
Ho Pek Lian mengusap air matanya akan tetapi tidak terisak, lalu dengan mata kemerahan
diamatinya wajah kakek sakti itu, kemudian ia menunduk dan berkata, "Saya hendak menyelidiki
keadaan ayah, locianpwe."
"Tapi itu berbahaya sekali!" kata Tiong Li. "Saya sudah menasihatinya untuk tidak
melakukan hal itu, locianpwe. Tentu ia akan terjebak dan tertawan."
"Jangankan hanya tertawan, biar mati sekalipun aku rela !" Pek Lian berkata.
"Bagaimanapun juga, sebelum ayah tewas dalam hukuman... aku ingin melihatnya sekali lagi..."
Kembali tangannya mengusap air mata, membuat Tiong Li dan juga kakek itu menarik napas
panjang dan merasa kasihan sekali.
"Dan bagaimana dengan engkau, Kwee-sicu ?"
Bekas kokcu (ketua lembah) itu mengepal tinjunya. Matanya bersinar-sinar seperti
mengeluar-kan api ketika dia berkata, suaranya penuh kegeraman, "Saya akan membalas
dendam, locianpwe saya akan bergabung dengan suhu yang menjadi bengcu (pemimpin rakyat)
dan menghancurkan pemerintah dan Kaisar Chin yang lalim ini !"
"Sayapun demikian !" Tiba - tiba Pek Lian berkata, mengepal tinjunya. "Saya tidak akan
berhenti sebelum pemerintah ini dapat dihancurkan!"
"Siancai... siancai... siancai...!" Kakek Kam berseru lirih sambil merangkap tangan di depan
dada, lalu menarik napas panjang berulang-ulang. "Kekerasan... kekerasan..... di mana-mana
kekerasan. Mungkinkah kekerasan dapat menghasilkan hal-hal yang baik? Mungkinkah tujuan
yang baik dapat dicapai melalui jalan kekerasan ?"
"Akan tetapi, locianpwe !" bantah Kwee Tiong Li dengan suara keras karena hatinya dibakar
se-mangat dan kebencian. "Kaisar telah bertindak lalim dan sewenang-wenang. Lihat saja keadaan
rakyat yang miskin terhimpit dan lihat keadaan para pembesar yang berlebihan ! Pembesar
bertindak sewenang - wenang menekan rakyat, pembesar - pembesar melakukan korupsi
besar-besaran. Sebaliknya rakyat ditindas, disuruh kerja paksa sampai mati untuk membangun
tembok besar. Rakyat dibelenggu dan dibikin tak berdaya, membawa senjata pelindung diri dari
ancaman bahaya saja dilarang. Kitab-kitab sastera dibakar sehingga rakyat kehilangan pegangan.
Sasterawan-sasterawan dibunuh. Apakah kita harus diam saja, locianpwe ? Kalau bukan kita kaum
pendekar yang bergerak membela rakyat, habis siapa lagi ? Apakah kaisar dan kaki tangannya
yang korup dan sewenang-wenang itu dibiarkan saja merajalela di atas kepala rakyat yang
menderita ?"
"Benar sekali!" sambung Pek Lian. "Kalau o-rang - orang tua bersikap sabar, maka
penindasan akan makin membabi - buta! Ayahku bersabar, akan tetapi aku tidak. Kita kaum muda
harus serentak bangkit menentang kelaliman, kalau perlu dengan taruhan nyawa!"
"Siancai.....!" Kakek Kam menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Nanti dulu, anak
- anak. Memang baik sekali semangat kalian untuk membela rakyat yang sengsara dan menderita
hidupnya. Akan tetapi, tidak baik kalau hanya menurutkan perasaan marah, dendam dan benci
saja. Bangsa merupakan keluarga, pemerintah merupakan rumah keluarga itu. Kalau ada sesuatu
yang tidak benar pada rumah itu, mari kita perbaiki bagian yang tidak benar itu saja. Bukan lalu
meruntuhkan seluruh rumah itu, bukan lalu harus membakar rumah kita sendiri itu ! Pemerin-tah
bukan milik kaisar atau para pembesar saja Mereka bahkan menjadi pelayan dan pelaksana.
Pemerintah adalah milik kita bersama. Kalau ada yang tidak benar, mari kita perbaiki bersama, dengan
musyawarah. Kita berhak menyadarkan pem-besar yang bersalah. Akan tetapi, jalan
kekerasan hanya akan menimbulkan perang saudara, sama saja dengan membakar rumah kita
sendiri dan ka-lau terjadi perang, akhirnya rakyat pula yang akan menderita, bukan ? Akan jatuh
banyak korban, bunuh-membunuh antara bangsa sendiri, betapa-akan menyedihkan sekali kalau
hal itu terjadi, se-perti yang terjadi malam tadi."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Tapi, locianpwe. Tanpa melakukan kekerasan, tanpa menggunakan kekuatan untuk
menghantam yang jahat, mana mungkin kita dapat mengenyah-kan kejahatan itu sendiri ?"
bantah Tiong Li.
"Kejahatan merajalela, orang - orang jahat bah-kan telah mengadakan rapat, dipimpin oleh
iblis hitam itu. Apakah kita harus diam saja, locianpwe? Kalau begitu, apa artinya kita mempelajari
ilmu silat sejak kecil ? Apa perlunya jiwa kependekaran di-tanamkan dalam batin kita ?" Pek Lian
juga mem-bantah dan kedua orang muda itu seperti merasa-kan persatuan yang kokoh untuk
menentang pen--dirian kakek yang biarpun sakti akan tetapi mereka anggap memiliki pendirian
lemah itu.
Kakek itu tersenyum. "Seorang pendekar adalah abdi kebenaran dan keadilan. Hal ini
memang benar dan memang sudah sepatutnya demikian. Akan tetapi kebenaran dan keadilan
tidak mungkin dapat dipertahankan atau didirikan melalui kekerasan. Mungkin saja kita harus
mempergunakan ilmu silat untuk melindungi diri dan untuk menun-dukkan lawan yang juga
mempergunakan ilmu itu, akan tetapi ini bukan kekerasan namanya. Pendekar bahkan harus
menjadi pembantu pemerintah untuk menahan merajalelanya kejahatan dan melindungi rakyat.
Bukan malah menentang pemerintah. Bukankah penjahat - penjahat itu merupakan musuh
pemerintah ? Kalau kita menentang pemerintah, berarti kita memberi angin kepada para
penjahat."
"Tapi kalau pemerintahnya yang lalim dan jahat ?"
"Tidak ada pemerintah yang lalim. Yang jahat itu. hanya seorang dua orang pembesar saja.
Bukan semua pejabat itu jahat. Buktinya, bukankah Menteri Ho juga seorang pejabat yang amat
baik ?"
"Juteru karena baik itu maka ayah menjadi celaka !" kata Pek Lian penuh penasaran.
"Ayahmu itulah pendekar dan pahlawan sejati, nona ! Tanpa kekerasan, namun dia berani
menentang kejahatan. Kalau kita melihat ada pembesar jahat, jangan lalu menganggap
pemerintahnya yang jahat, melainkan pembesar itulah yang merupakan perorangan. Dan
kewajiban kita adalah mengingatkan, agar pemerintah bertindak terhadap pembesar yang korup
dan jahat itu."
"Akan tetapi, kalau yang lalim kaisarnya dan orang- orang yang duduk di tingkat teratas,
seperti kepala thaikam Chao Kao si penjilat dan Perdana Menteri Li Su rajanya segala pembesar
korup dan sewenang-wenang, lebih tepat kalau kita memberontak dan menggulingkan pemerintah
bejat ini !" Tiong Li berkata lagi.
Kembali kakek itu menggeleng-geleng kepala. "Melalui perang saudara ?"
"Kalau perlu!"
"Mengorbankan ratusan ribu nyawa rakyat yang tak berdosa ? Perang selalu diikuti oleh
kejahatan- kejahatan seperti perampokan, perkosaan, pembakaran, balas dendam pribadi,
kekacauan karena tidak adanya hukum dan penjaga keamanan ! Setelah pemerintah dapat
digulingkan misalnya dan orang - orang yang memimpin pemberontakan itu duduk di atas kursi
empuk dan kemuliaan, lalu mereka ini, para pimpinan pemberontak ini, yang tadinya dengan
segala propaganda membujuk para pendekar dengan berbagai slogan indah muluk kosong,
menjadi berbalik wataknya dan menjadi tukang korup pula, lalu apa yang hendak kalian lakukan ?
Memberontak dan menggulingkan peme-rintahan baru itu pula ? Menimbulkan perang sau-dara
yang baru pula ? Membakar pemerintah dan negara yang menjadi rumah bangsa lagi ? Celaka-lah
kalau begitu ! Apakah kalian mampu menja-min bahwa di dalam pemerintahan baru tidak akan
timbul tikus - tikusnya ?"
Dua orang muda itu saling pandang, ragu - ra-gu, lalu mengerutkan alisnya merenung
bingung, tak mampu menjawab ! Penggambaran kakek itu terlalu mengerikan, namun bukan
merupakan hal yang tidak mungkin terjadi! Bahkan sejarah sudah mencatat berulang kali
terjadinya peristiwa seperti itu! Pemerintah yang dipimpin pembesar-pembesar yang dianggap
lalim, ditumbangkan oleh sekelompok orang yang pada waktu itu memang berjiwa pahlawan,
mengerahkan rakyat untuk mem-. bantu perjuangan mereka menumbangkan kekuasaan lalim.
Kemudian, mereka menang dan menjadi penguasa. Akan tetapi, setelah menjadi pembesarpembesar
mereka seperti lupa akan suara hati nurani perjuangan, lelap dalam kesenangan, mabok
kemuliaan dan berobah menjadi orang - orang yang tidak kalah lalim dan korupnya dibandingkan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
de ngan pembesar - pembesar terdahulu yang mereka tumbangkan. Muncul pula pahlawan -
pahlawan yang mempergunakan kekuatan rakyat menumbangkan pemerintah baru itu, dan
demikianlah, susul - menyusul terjadi pemberontakan - pemberontakan dan perang saudara.
Rakyat terus - menerus menjadi korban. Kalau ada perjuangan, rakyatlah yang dijadikan perisai
dan tombak, kalau perjuangan berhasil, hanya sekelompok manusia sajalah yang menikmati hasil
kemenangan itu dan melu-pakan rakyat sampai ada kelompok pejuang atau pahlawan lain yang
muncul, yang kembali memper-gunakan rakyat sebagai mata tombak dan perisai-Betapa
menyedihkan keadaan di seluruh dunia ini ! "Anak - anak yang baik," kata pula kakek itu melihat
mereka termenung. "Sebuah pemerintahan terdiri dari ratusan, dan ribuan pejabat. Tak mung-kin
mengharapkan bahwa seluruh pejabat itu be-kerja dengan jujur dan baik. Tentu ada saja yang
salah jalan, sesat dan curang. Adalah kewajiban semua orang yang mencintai tanah air dan
bangsanya untuk mengamati hal ini dan memprotes kebu-rukan - keburukan seorang pejabat,
menuntut agar pejabat itu diganti dengan orang yang lebih jujur. Bukan lalu memberontak dengan
kekerasan. Kekerasan ini mencerminkan adanya keinginan untuk mengejar sesuatu dan biasanya,
pengejar - pengejar kesenangan akan mabok kesenangan. Kemenangan dalam kekerasan
membuat orang mabok akan kemenangan itu dan menjadi lupa diri dan buta, sebaliknya
kekalahan dalam kekerasan menimbulkan sakit hati dan dendam."
Dua orang itu saling pandang dan menundukkan muka. Mereka tidak dapat membantah
lagi. Keterangan kakek itu mengejutkan hati mereka, membuat mereka seolah - olah dipaksa
membuka mata melihat kenyataan yang amat kotor dan pahit. Membuat mereka merasa ngeri.
Mereka sendiri adalah orang - orang muda yang berhati bersih dan jujur. Sedikitpun mereka tidak
memiliki keinginan untuk menang dan berpesta dalam kemenangan itu. Mereka hanya melihat
ketidakadilan, menjadi penasaran dan hendak membela mereka yang tertindas. Keteranganketerangan
yang baru saja diucapkan oleh kakek itu membuat Pek Lian dan Tiong Li diam-diam
membayangkan keadaan guru masing - masing. Pemimpin rakyat Liu Pang guru Pek Lian yang
terkenal dengan sebutan Liu-toako, pendekar dan pahlawan sejati itu, apakah benar dia memiliki
keinginan kotor untuk kesenangan diri pribadi yang tersembunyi di balik cita - cita perjuangan
demi rakyat itu ? Dan Tiong Li juga meragukan apakah gurunya, pendekar dan pejuang Chu Siang
Yu, juga memiliki keinginan demi kesenangan pribadi seperti yang digambarkan oleh kakek ini,
atau setidaknya kelak kalau menang akan berobah menjadi penindas dan pengejar kemuliaan
sendiri saja ? Dia tidak mampu membayangkan dan merasa ngeri.
"Locianpwe, semua keterangan locianpwe terlalu mengerikan dan terlalu mendalam bagi
saya. Sekarang, bagaimana baiknya ? Saya mohon nasihat locianpwe," katanya.
"Aku tetap hendak melihat keadaan ayahku dan
selanjutnya... entahlah. Kata - kata locianpwe sudah memadamkan sebagian besar api
dendamku..." kata Pek Lian meragu.
Kakek Kam tersenyum. "Anak-anak muda berdarah panas dan bersemangat, memang sudah
sepa tutnya demikian, asal saja darah panas dan sema-ngat itu disertai kebijaksanaan dan jangan
sampai dipergunakan orang - orang demi keuntungan mereka sendiri. Kwee Tiong Li, engkau
adalah seorang pemuda yang hebat! Semuda ini sudah memi-liki ilmu silat tinggi dan tenaga
sinkang yang amat kuat, juga memiliki batin yang bersih penuh de-ngan semangat kegagahan.
Kalau engkau memiliki sedikit ginkang yang baik, kiranya kelak engkau akan menjadi seorang
pendekar pilihan. Maukah engkau ikut denganku untuk belajar ginkang dari-ku ? Dan engkau,
nona ? Engkaupun memiliki ba-kat yang amat baik, aku ingin mewariskan bebera-pa ilmuku
kepada kalian berdua."
"Teima kasih, locianpwe. Saya terpaksa tidak dapat menerima kebaikan hati locianpwe,
karena saya harus pergi melihat keadaan ayah, kemudian kembali ke Puncak Awan Biru," kata
Pek Lian.
Akan tetapi Tiong Li menerima penawaran ka-kek itu dengan girang. Pendekar muda ini
maklum betapa dengan kepandaiannya yang sekarang, dia tidak dapat berbuat banyak terhadap
para kaum sesat yang amat lihai itu, maka kalau kakek sakti ini mau mendidiknya, tentu saja dia
merasa gem-bira sekali.
"Kita tidak boleh terlalu lama berada di sini,"" kata kakek Kam. "Biarpun jejak kaki kuda
sudah kuhapus, akan tetapi mereka tentu akan terus mencari dan tentu akan sampai di sini pula."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Kalau begitu, biarlah saya akan pergi lebih dulu," kata Pek Lian. Ia bangkit berdiri lalu
memberi hormat kepada kakek itu. "Kam - locianpwe, sekali lagi saya menghaturkan terima kasih
atas semua budi kebaikan locianpwe kepada saya. Kwee - toako, terima kasih dan selamat
tinggal."
Kakek itu hanya mengangguk - angguk dan Tiong Li cepat membalas penghormatan gadis
itu. Hatinya merasa terharu sekali. Karena bertemu dengan dia dan kemudian membelanya, maka
gadis itu kehilangan kedua orang gurunya.
"Nona, akulah yang harus berterima kasih. Mudah- mudahan kelak kita akan dapat saling
bertemu kembali"
Pek Lian mengangguk, tak kuasa menjawab karena ia khawatir kalau - kalau suaranya akan
terdengar parau pada saat hatinya amat berduka itu. Ia lalu menghampiri kuda rampasannya, lalu
meloncat ke atas punggung sela kudanya. Ia menoleh dan mengangguk, akan tetapi sebelum ia
membe-dal kudanya, tiba - tiba Tiong Li meloncat mendekat sambil berseru, "Tahan dulu. nona!"
Pek Lian menahan kendali kudanya dan menoleh. Matanya basah, akan tetapi kini ia dapat
menguasai hatinya karena merasa heran. "Ada apa kah, Kwee -toako ?" tanyanya.
Tiong Li tidak menjawab, melainkan cepat dia membuang semua tanda-tanda pada kendali
dan pelana kuda itu sehingga yang tertinggal hanya sela kasar dan kulit kendali sederhana tanpa
hiasan. Kemudian dia mencari sebatang ranting pohon penuh daun dan mengikatkan ranting ini
dengan pelana kuda sehingga ranting itu akan ter-seret kalau kudanya lari. Setelah selesai
melakukan semua itu yang diikuti oleh pandang mata kehe-ranan Pek Lian, dia berkata, "Dengan
begini, orang tidak akan mengenal kuda tentara kerajaan dan ranting itu akan menghapus jeiak
kudamu, nona Ho."
Barulah Pek Lian mengerti dan merasa gembi-ra. "Terima kasih, toako. Engkau baik sekali.
Sam-pai jumpa ! Selamat tinggal, Kam - locianpwe !" Dan Pek Lian lalu menjalankan kudanya.
Kuda itu berlari cepat, menyeret ranting yang mengha-pus jejak Liki kuda, mengeluarkan debu
yang me-ngepul tinggi.
Tiong Li memandang sampai bayangan gadis dan kudanya itu lenyap, baru dia membalikkan
tubuhnya menghadap kakek Kam dan menjatuhkan dirinya berlutut. "Suhu, teecu mohon petunjuk
selanjutnya."
Kakek itu tersenyum. "Bagus, mulai saat ini engkau mei'jadi muridku. Tiong Li, kalau engkau
kelak berjodoh dengan nona itu, sungguh akupun merasa gembira sekali. Ia seorang gadis yang
luar biasa!" Mendengar ini, wajah pemuda yang biasanya tenang itu berobah merah sekali, akan
tetapi hatinya terasa perih. Dia tidak tahu apakah dia mencinta gadis itu, akan tetapi bagaimana
mungkin dia dapat membayangkan dirinya berjodoh dengan seorang puteri menteri kebudayaan ?
Dia hanya seorang yatim piatu yang miskin, bahkan rumahpun tidak punya, hidup sebagai seorang
pelarian pula. Ah, terlampau jauhlah khayal itu. Dia masih seperti berada dalam lamunan ketika
gurunya mengajaknya pergi dari situ, meninggalkan kuda rampasan karena kakek itu tidak mau
menunggang kuda dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja.
*
***
Ho Pek Lian melakukan perjalanan seorang diri dengan kudanya. Tadinya, ketika
meninggalkan Tiong Li dan kakek Kam, ia membalapkan kudanya karena ingin cepat - cepat pergi
agar mereka tidak melihat kesedihan dan tidak mendengar tangisnya. Setelah ia pergi jauh, ia
membuang ranting di belakang kudanya dan menjalankan kudanya perlahan-lahan sambil
termenung. Kedukaan menghimpit hatinya, membuat wajahnya pucat kehilangan cahaya, matanya
sayu dan kadang-kadang, kalau pikirannya meremas perasaan hatinya dengan kenang- kenangan
dan bayangan-bayangan, air matanya meluap keluar dari pelupuk kedua matanya
Selama ini ia melakukan perjalanan dengan dua orang gurunya, menemui hal-hal hebat dan
semua ini seolah- olah merupakan hiburan, atau setidaknya membuatnya seperti lupa akan
keadaan dirinya sendiri, keadaan keluarganya yang berantakan itu. Akan tetapi sekarang, pada
saat ia menunggang kuda seorang diri, melalui pegunungan yang sepi itu, tanpa adanya
seorangpun manusia menyertainya, ia merasa amat kehilangan kedua orang gurunya dan
perasaan kesepian ini menjalar ke dalam hatinya, membuatnya termenung dan berdu-ka. Dalam
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
keadaan kesepian itu, pikirannya melayang - layang, mengingat-ingat akan keluarga ayahnya yang
menjadi tawanan, dan hatinya terasa semakin terhimpit oleh kesepian yang membuat air matanya
mengalir keluar, penuh dengan rasa duka dan sengsara.
Semakin diingat, semakin gundah hatinya, makin besar rasa iba diri menyerangnya dan
membuat ia beranggapan bahwa di dunia ini, hanya ia seoranglah yang paling sengsara hidupnya.
Kedukaan membuat tubuhnya terasa lemas dan Pek Lian lalu menghentikan kudanya, turun dari
atas punggung kuda dan membiarkan kudanya makan rumput, sedangkan ia sendiri duduk di
bawah pohon, bersandar batang pohon dan menerawang ke langit yang penuh awan putih
berarak. Akan tetapi sekali ini tidak nampak keindahan di angkasa itu bagi Pek Lian. Bahkan
membuat rasa dukanya menjadi semakin menyesak di dada. Ia merasa seperti menjadi segumpal
awan putih kecil yang melayang-layang jauh dari kelompok awan lain, terpencil di sana, sendirian,
kesepian. Semilirnya angin membuat hatinya perih oleh rasa rindu kepada orang tuanya.
Kenangan akan tewasnya Kim -suipoa Tan Sun dan Pek - bin - houw Liem Tat, dua di antara guru
- gurunya yang amat sayang kepadanya seperti orang tua sendiri, membuat air matanya mengalir
lagi. Bencana yang menimpa keluarga ayahnya masih belum dapat diatasi, kedua orang gurunya
telah tewas pula.
Usianya baru delapanbelas tahun dan ia sudah harus mengalami demikian banyak kepahitan
hidup. Ia bukanlah seorang dara yang cengeng, sama sekali bukan! Biarpun sejak kecil, sebagai
puteri seorang menteri yang berkedudukan tinggi ia hidup di dalam kemuliaan, kehormatan dan
kaya raya, namun Pek Lian bukanlah seorang dara yang manja dan cengeng. Sejak kecil pula ia
digembleng oleh guru - gurunya sebagai seorang wanita yang berjiwa pendekar, yang tidak
mudah mengeluh menghadapi kesukaran. Namun, kepahitan yang dihadapinya sekarang ini
terlampau hebat, luka di hatinya terlampau parah, membuatnya menangis seorang diri di tempat
sunyi itu. Ia harus bertemu dengan ayahnya sekali lagi sebelum ayahnya dihukum ! Di dunia ini, ia
hanya mempunyai seorang keluarga terdekat, yaitu ayahnya. Ibunya sudah tiada, dan ia tidak
mempunyai saudara kandung. Ia harus bertemu dengan ayahnya, apapun yang akan terjadi !
Bisikan hati ini menggugah semangat Pek Lian dan iapun bangkit lagi, menaiki punggung kudanya
dan melanjutkan perjalanan.
Matahari telah condong ke barat ketika kuda yang ditunggangi Pek Lian menuruni sebuah
lereng bukit. Ia menghentikan kudanya dan memandang ke sekeliling, hendak mencari sebuah
dusun untuk melewatkan malam ketika tiba - tiba ia melihat munculnya lima orang wanita. Begitu
bertemu, Pek Lian terkejut karena ia mengenal mereka itu sebagai rombongan wanita bertusuk
konde batu giok yang pernah ia jumpai ketika ia masih bersama-sama dua orang gurunya. Lima
orang wanita itu muncul dari jalan simpangan dan bertemu dengannya tepat di perempatan jalan
kecil itu. Dan mereka berlima itupun agaknya terkejut melihatnya, dan mengenalnya pula. Mereka
berhenti dan seorang di antara mereka yang bertahi lalat di bawah telinga kiri berkata, suaranya
lantang,
"Ah, engkaukah ini ? Di mana adanya kokcu (ketua lembah) yang muda itu bersama tiga
orang sam - lo - nya ? Kenapa engkau hanya sendirian saja ?" Pertanyaan ini lantang dan diajukan
dengan nada suara yang meremehkan, tanpa sikap hormat sama sekali seperti sikap orang
dewasa yang bertanya kepada anak kecil saja. Pada saat itu, batin Pek Lian sedang mengalami
tekanan dan dalam keadaan seperti itu, tentu saja ia mudah sekali tersinggung. Hatinya terasa
mengkal dan ia sama sekali tidak memperdulikan pertanyaan orang, melainkan dengan gemas ia
menarik kendali kudanya, membuat kuda itu terlonjak dan lari. Dengan dagu terangkat Pek Lian
lewat menanggalkan mereka.
"Haii, bocah sombong, tunggu !" Terdengar bentakan di belakangnya, disusul berkelebatnya
bayangan lima orang itu yang sudah melakukan pengejaran.
"Tar - tar - tarrr !"
Pek Lian terkejut sekali melihat sinar biru menyambar-nyambar di dekat kepalanya dan
meledak ketika ia mengelak. Kiranya ia telah diserang oleh seorang di antara mereka dengan
sehelai sabuk berwarna biru yang tadi melakukan totokan tiga kali berturut-turut ke arah leher dan
pundaknya.
"Orang - orang jahat!" bentaknya dan terpaksa ia meloncat turun dari atas kudanya sambil
mencabut pedangnya. "Kalian kira aku takut mela-wan ?" Iapun sudah memutar pedangnya dan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menyerang wanita yang tadi menggerakkan sabuk. Karena dalam keadaan marah dan
menganggap bahwa wanita itu tentulah bukan golongan baik-baik dan yang agaknya sengaja
hendak memusuhinya, Pek Lian sudah menyerang dengan dahsyat sehingga gerakan pedangnya
melahirkan tusukan-tusukan maut ke arah wanita itu. Wanita itu meng-elak beberapa kali,
nampaknya terkejut juga me-nyaksikan kehebatan gerakan pedang di tangan Pek Lian.
"Cring ! Tarang - tranggg ! !"
Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kem-bali wanita itu terkejut ketika memperoleh
kenya-taan betapa tenaga dara muda itu cukup kuat un-tuk menandingi tenaganya. Pek Lian terus
menye-rang, akan tetapi wanita yang bertahi lalat, yang menjadi pemimpin di antara mereka,
segera ber-teriak dan teman - temannya sudah maju menge-pung Pek Lian.
Pek Lian terus memutar pedangnya, melawan mati - matian dan penuh kemarahan. Akan
tetapi tingkat kepandaiannya hanya seimbang dengan se-orang di antara mereka, maka setelah
mereka ber-lima maju bersama, tentu saja ia segera terdesak hebat. Untung baginya bahwa lima
orang wanita, bertusuk konde batu giok itu agaknya tidak berni-at membunuhnya. Kalau demikian
halnya, tentu ia tidak akan dapat bertahan lama. Beberapa belas jurus kemudian, lima orang itu
mempergunakan sabuk biru yang menyambar - nyambar dan. akhir-nya Pek Lian terpaksa
menyerah ketika sabuk-sabuk biru itu telah melibat tubuhnya, membuat ia tidak dapat lagi
menggerakkan kaki tangannya. Ia tertawan dan dibelenggu kedua lengannya ke belakang.
"Manusia-manusia hina, pengecut besar. Beraninya hanya main keroyokan ! Kalau mau
bunuh lekas bunuh, jangan dikira aku takut mati!" teriak Pek Lian marah.
"Pemberontak hina!" Si tahi lalat itu memaki dan makian ini membuat Pek Lian
membungkam. Siapakah mereka ini, pikirnya, dan apakah mereka ini tahu bahwa ia adalah puteri
Menteri Ho yang dianggap pemberontak? Ia mulai merasa khawatir. Kalau sampai ia ditangkap
sebagai pemberontak, ditawan seperti ayahnya, tentu ayahnya akan marah dan semua usahanya
sia - sia belaka. Ia harus mencari akal dan kesempatan untuk meloloskan diri dari orang - orang
ini. Ia harus mencari ayahnya. Akan tetapi, gerak - gerik lima orang wanita ini demikian teliti
dan teratur, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah rombongan orang-orang terlatih, seperti
pasukan kecil yang dikemudikan oleh pemimpinnya, yaitu wanita yang bertahi lalat. Tak pernah
mereka itu lengah menjaganya dan ketika malam tiba, mereka berhenti di bagian yang tinggi dan
agaknya mereka itu menanti sesuatu. Pek Lian tidak pernah membuka mulut dan hanya
memperhatikan gerak-gerik mereka yang juga tidak banyak mengeluarkan kata - kata itu. Mereka
berlima itu bersikap seperti menantikan orang, sering kali memandang ke empat penjuru dari
tempat tinggi itu dan saling pandang seperti orang - orang yang mulai merasa gelisah. Pek Lian
menduga - duga siapa gerangan yang mereka nan-tikan. Ia teringat bahwa ketika ia bersama
kedua orang gurunya dan juga orang - orang Lembah Yang - ce melakukan perjalanan dan
berjumpa de-ngan mereka ini, terdapat delapan orang di antara wanita bertusuk konde batu giok
ini. Akan tetapi sekarang hanya tinggal lima orang. Ke manakah perginya tiga orang lagi ? Apakah
mereka ini me-nanti munculnya tiga orang kawan mereka itu ?
Pek Lian diajak makan dan dara ini tidak me-nolak. "Kalau engkau tidak melawan, kamipnn
ti-dak akan mengganggumu, hanya engkau harus menurut saja sebagai tawanan yang baik," kata
si tahi lalat sambil melepaskan belenggu kedua tangan Pek Lian.
Pek Lian hanya mengangguk. Ia tidak takut, hanya ia tahu bahwa kalau ia bersikap keras, ia
tidak berdaya untuk lolos, ia harus mempergunakan kecerdikan dan tidak menuruti hati yang
panas. Setelah makan, mereka berlima itu duduk bersila, seperti orang bersamadhi, membentuk
lingkaran dan Pek Lian berada di tengah - tengah. Pek Lian maklum bahwa lima orang wanita itu
beristirahat, namun mereka itupun tidak pernah lengah dan ia seperti dikurung. Maka iapun
mencontoh perbu-atan mereka, duduk bersila mengumpulkan tenaga. Api unggun yang dibuat
oleh mereka itu bernyala tak jauh dari mereka, mengusir nyamuk dan dingin.
Hanya satu kali si tahi lalat itu mengeluarkan suara yang mengandung kegelisahan,
"Mengapa sampai sekarang mereka belum juga datang ?"
Ucapan ini meyakinkan hati Pek Lian bahwa mereka tentu menanti datangnya tiga orang
kawan mereka, dan memang dugaannya ini tepat. Lima orang wanita yang memiliki ciri khas, yaitu
tusuk konde batu giok itu, memang sedang menantikan datangnya tiga orang kawan mereka.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Menjelang tengah malam, suasana. sunyi bukan main di tempat itu. Hutan di dekat puncak
bukit nampak hitam menyeramkan dan suara binatang-binatang hutan kadang - kadang membuat
Pek Lian terkejut dan membayangkan yang bukan - bukan. Biarpun ia masih duduk bersamadhi
seperti lima orang yang menawannya, namun diam - diam Pek Lian selalu waspada. Sedikit saja
kesempatan untuk meloloskan diri, sudah pasti tidak akan dilewatkannya. Akan tetapi, lima orang
itu agaknya tidak pernah lengah, karena mereka itu masih tetap menantikan munculnya tiga orang
kawan mereka.
Tiba - tiba terdengar bunyi desing di sebelah selatan. Mereka semua terkejut, termasuk Pek
Lian dan semua orang menengok ke arah selatan. Nampak oleh mereka meluncurnya anak panah
berapi kuning yang meluncur ke angkasa. Anak panah tanda bahaya! Si tahi lalat sudah meloncat
bangun dan berkata, "Tanda bahaya mereka ! Tentu terjadi sesuatu yang gawat ! Mari kita bantu
mereka. A-bwee, engkau di sini menjaga tawanan!"
Wanita yang disebut A - bwee mengangguk dan tanpa diduga oleh Pek Lian, wanita ini
sudah me-ringkus dan membelenggu kedua lengannya. Pek Lian terkejut dan hendak melawan,
namun maksud hati ini diurungkannya, karena apa dayanya menghadapi mereka berlima ? Kedua
lengannya diikat di belakang tubuhnya dan setelah melihat betapa tawanan itu tidak berdaya,
empat orang di antara mereka lalu berloncatan pergi sedangkan yang seorang itu duduk menjaga
tawanan yang sudah ter-belenggu kedua lengannya itu. Ketika empat orang wanita gagah itu
dengan tangkasnya berloncatan ke arah anak panah tanda bahaya tadi, tiba-tiba mereka melihat
anak panah ke dua dan mengertilah mereka bahwa teman - teman mereka terancam bahaya
besar.
"Mari cepat!" kata yang bertahi lalat dan merekapun mengerahkan seluruh kepandaian
mereka berlari cepat menuruni bukit itu dan ketika mereka tiba di lereng, mereka melihat betapa
pemimpin mereka sedang berkelahi dengan amat serunya menghadapi seorang nenek yang
bertubuh gendut dan lihai bukan main. Jelaslah bahwa pemimpin mereka itu terdesak hebat. Tak
jauh dari situ nampak seorang kakek kurus kecil sedang berjongkok, nongkrong di atas sebuah
pedati. Dekat pedati itu tergeletak dua orang tubuh wanita, dua di antara tiga kawan kelompok
wanita bertusuk konde batu giok itu. Melihat betapa muka mereka nampak kebiruan, mudah
diduga bahwa mereka itu tentu terluka hebat dan keracunan. Begitu melihat nenek gendut dan
kakek kurus ini, empat orang wanita yang baru datang terkejut bukan main.
"Iblis-iblis dari Ban-kwi-to (Pulau Selaksa Iblis) !" teriak mereka dan merekapun sudah cepat
mencabut pedang untuk membantu pemimpin mereka.
"Awas ......!" Pemimpin mereka berseru sambil memutar pedang melindungi dirinya dari
desakan lawan. "Lindungi hidung dengan saputangan! Tempat ini telah penuh disebari racun oleh
iblis-iblis ini!"
Mendengar seruan itu, empat orang wanita bertusuk konde giok segera mengikatkan
saputangan melindungi hidung dan mulut mereka, kemudian merekapun maju mengeroyok wanita
gendut yang amat lihai itu. Hebat bukan main wanita gendut itu. Biarpun tubuhnya gendut, akan
tetapi ia dapat bergerak dengan amat gesitnya dan ia menghadapi pengeroyokan lima orang
wanita lihai yang berpedang itu dengan kedua tangan kosong saja! Akan tetapi, yang terancam
maut malah lima orang pengeroyoknya karena setiap gerakan wanita gendut ini selalu
mengandung bahaya. Jarum-jarum halus menyambar- nyambar dari jarak dekat kepada mereka
sehingga mereka itu harus lebih banyak mempergunakan pedang mereka untuk melindungi tubuh.
Setiap tamparan tangan wanita itupun me-ngandung hawa beracun yang selain membawa bau
amis, juga mengandung hawa yang kadang-kadang amat panas dan kadang-kadang amat di-ngin.
Untunglah bahwa lima orang wanita itu memang pada dasarnya memiliki ilmu pedang yang
tangguh, dan setelah kini mereka maju berlima, nenek gendut itu tidak mudah merobohkan
seorang di antara mereka.
"He-he..., ha-ha-ha, rasakan sekarang ! Kau sekarang dikeroyok banyak orang lihai,
sebentar lagi tentu kau akan dicincang pedang mereka menjadi bakso ! Ha-ha-ha ! Mereka akan
menggorok lehermu yang buntek, menusuk hidungmu yang pesek dan merobek perutmu yang
gendut, lalu kau boleh pelesir ke neraka! Dan aku akan bebas, heh - heh! Jadi ini namanya kita
sehidup semati, aku yang hidup, kau yang mati dan aku akan kawin lagi, aku akan mencari yang
muda, yang cantik, yang... heiiiittt!" Kakek kecil kurus itu cepat mencelat dan mengelak karena
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tiba-tiba saja isterinya, si nenek gendut itu telah me-ninggalkan lima orang pengeroyoknya dan
menye-rang ke arah suaminya dengan terkaman dahsyat. Melihat suaminya mengelak, nenek itu
menyerang lagi dengan hebatnya dan sekarang suaminya menangkisnya.
"Desss !!" Nenek gendut itu terdorong sampai tiga langkah akan tetapi suaminya
terdorong sampai lima langkah. Ini saja membuktikan bahwa si nenek itu ternyata lebih lihai dari
pada suaminya. Perkelahian antara suami isteri iblis ini demikian hebatnya, membuat lima orang
wanita bertusuk konde giok itu melongo. Ketika suami isteri itu mulai mempergunakan racun, si
suami menyebar pasir beracun, sedangkan isterinya yang tidak mau kalah itu menyebar jarum -
jarum dan asap beracun, lima orang wanita itu cepat menyingkir sambil menyeret dua orang
kawan mereka yang terluka.
Sepasang iblis tua itu benar-benar gila. Agaknya mereka sudah melupakan sama sekali
tentang musuh - musuh mereka dan kini mereka itu berkelahi mati - matian. Si nenek lebih ganas
lagi menyerang, baik dengan kaki tangan maupun dengan mulutnya yang memaki - maki, dan
akhirnya kakek itu kewalahan lalu melarikan diri terbirit - birit, dikejar oleh isterinya yang makin
keras memaki-maki penuh kemarahan. Melihat kesempatan ini, lima orang wanita bertusuk konde
giok itu cepat membawa dua orang teman mereka yang terluka untuk menjauhkan diri dari tempat
berbahaya itu. Yang terpenting bagi mereka adalah mencoba untuk menolong dua orang teman
yang terluka. Cepat mereka membawa dua orang itu ke dalam hutan dan setelah merebahkan
kedua teman itu di atas rumput, mereka berusaha mengobati dengan pe-ngerahan sinkang dan
dengan obat - obat penawar racun yang selalu mereka bawa di antara obat - obat luka luar atau
dalam. Akan tetapi, luka - luka beracun yang diderita oleh dua orang itu sungguh berbeda dengan
luka- luka beracun biasa. Luka gigitan ular berbisa saja masih akan dapat disembuhkan oleh
mereka, akan tetapi luka-luka yang diakibatkan serangan tokoh Ban-kwi-to itu sungguh luar biasa
sekali dan semua usaha pengobatan mereka sia-sia. Nyawa kedua orang itu tidak dapat
diselamatkan dan akhirnya merekapun tewas tanpa dapat meninggalkan kata-kata pesanan lagi.
Lima orang wanita yang kelihatan gagah perkasa itu, kini menangisi mayat dua orang
teman-nya. Kemudian pemimpin mereka, yang tadi dengan gagahnya melawan nenek iblis,
menghentikan tangis mereka dan dengan wajah muram berduka mereka lalu mengubur jenazah
kedua orang teman mereka di tempat itu juga.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berlima meninggalkan dua gundukan tanah
itu dan bergegas kembali ke tempat di mana mereka meninggalkan seorang teman mereka
menjaga tawanan. Akan tetapi apa yang mereka dapatkan ke-tika mereka tiba di tempat itu
membuat mereka terkejut bukan main. Tawanan telah lenyap dan teman mereka yang bernama
A-bwee itu telah menggeletak tanpa nyawa, dengan muka kebiruan tanda keracunan pula! Setelah
mereka berlima memeriksanya, ternyata luka keracunan yang diderita mayat ini sama dengan
yang diderita oleh kedua orang teman mereka yang tewas.
"Keparat busuk! !" Pimpinan mereka, wanita berusia empatpuluh tahun yang sepasang
matanya berkilat - kilat tajam itu, berseru marah sambil menghentak-hentakkan kakinya ke atas
tanah, wajahnya penuh geram dan kedukaan. "Sepasang iblis itu sungguh jahat dan kejam!
Sayang kita bukan tandingan mereka. Kita harus cepat pulang dan melapor, biarlah siocia yang
akan membalaskan sakit hati ini!"
Dengan berduka merekapun mengubur jenazah teman ke tiga ini. Tentu saja mereka
merasa berduka dan terpukul sekali. Mereka terkenal sebagai Delapan Singa Betina yang terkenal,
dan sekarang, sungguh tak terduga sama sekali, dalam waktu- semalam saja, jumlah delapan itu
tinggal lima dan yang tiga tewas dalam keadaan yang amat me-nyedihkan. Dan penderitaan ini,
korban tiga nyawa ini sungguh merupakan, korban yang sia - sia dan mati konyol, karena mereka
bentrok dengan sepasang iblis itu tanpa sebab - sebab tertentu yang kuat, hanya merupakan
percekcokan di antara dua kelompok yang berpapasan di jalan ! Setelah selesai mengubur jenazah
teman ke tiga itu. lima orang wanita bertusuk konde batu giok itu lalu cepat meninggalkan tempat
itu dengan wajah muram.
Sudah sejak tadi Pek Lian; merasa betapa jalan darahnya telah pulih kembali. Akan tetapi ia
tidak berani bergerak, dan pura - pura masih lumpuh tertotok atau setengah pingsan. Tubuhnya
bergoyang - goyang dalam keadaan rebah miring di bagian belakang gerobak yang berjalan
lambat - lambat itu, berjalan di atas jalan yang tidak rata sehingga bergoyang - goyang keras.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Hanya sepasang mata dara itu saja yang bergerak melirik ke bagian depan gerobak, di mana
nampak dua orang suami isteri gila itu sedang duduk berdampingan dan bercanda, tertawa-tawa,
kadang-kadang mereka itu bercumbu dengan kasar, tanpa mengenal malu seolah - olah tidak ada
Pek Lian di dekat mereka yang dapat melihat semua adegan ini. Begitulah kalau suami isteri itu
sedang dalam keadaan rukun.
Pek Lian memejamkan kedua matanya. Wajah-nya yang bulat telur itu agak pucat dan
kurus. Memang selama ayahnya ditawan ia mengalami banyak hal - hal yang pahit, ditambah lagi
dengan kematian dua orang gurunya, membuat dara ini menderita tekanan batin yang
membuatnya kurus dan pucat. Namun wajah yang kini nampak pucat itu masih tidak kehilangan
kecantikannya. Biarpun rambutnya awut-awutan, kulit mukanya agak kotor dan pakaiannya kusut,
dara ini masih nampak gagah dan cantik manis. Dagunya yang runcing itu membayangkan
kekerasan hati dan keberanian yang luar biasa. Mulutnya tidak pernah membayangkan rasa
takut, sedangkan sepasang matanya yang memang agak lebar itu, setelah wajahnya menjadi
kurus nampak lebih lebar lagi, sepasang mata tajam yang mengeluarkan sinar berkilat. Memang
pantaslah puteri Menteri Ho ini menjadi pimpinan para pendekar di Puncak Awan Biru, membantu
suhunya. Sebutan "nona Ho" oleh para pendekar dengan sikap menghormat, tidaklah
mengecewakan karena selama ini sepak teriang Ho Pek Lian memang gagah perkasa dan nenuh
semangat. Akan tetapi pada saat itu, Ho Pek Lian atau nona Ho yang dikagumi para patriot itu,
berada dalam keadaan yang menyedihkan dan sama sekali tidak berdaya. Dalam keadaan lumpuh
tertotok ia menjadi tawanan sepasang suami isteri iblis itu, dan ia tahu bahwa kepandaiannya
masih jauh untuk dapat menandingi seorang saja di antara mereka, apa lagi kalau harus
menghadapi mereka berdua. Dalam keadaan lumpuh tertotok, ia dilempar begitu saia seperti
karung kosong di atas gerobak dan selanjutnya suami isteri- itu tidak memperdulikannya dan
membawanya melalui dusun - dusun yang terpencil menuju ke utara.
Biarpun ia tidak takut menghadapi kematian, akan tetapi menghadapi kemungkinan apa
yang akan dilakukan oleh sepasang iblis itu kepadanya, membuat Pek Lian merasa ngeri juga. Ada
hal-hal yang lebih mengerikan dari pada kematian. Siang tadi saja ia telah mengalami hal yang
mengerikan, masih meremang bulu tengkuknya kalau ingat. Si kakek kecil kurus yang seperti
tulang bungkus kulit itu mendekatinya. Kemudian jari-jari tangan yang kecil dan keras dingin itu
mera-ba dan membelai lehernya. Pek Lian merasa ngeri dan bulu - bulu di seluruh tubuhnya
bangkit ber-diri. Ia menutupkan kedua matanya dan menahan bau apek yang keluar dari tubuh
kakek itu.
"Heh-heh-heh, halus kulitnya. hemm, lunak halus. Cantik sekali gadis ini !" Jari – jari
tangan itu meraba dan membelai. Pek Lian mena-han jeritnya ketika jari-jari tangan itu makin
menurun ke dadanya. Akan tetapi, tiba-tiba ka-kek itu menarik tangannya ketika isterinya
menghardik.
"Hem, bagus, ya ? Dahulu engkau merayu dan mengatakan bahwa di dunia ini akulah wanita
paling cantik! Dan sekarang, di depan hidungku engkau memuji kecantikan lain orang! Bagus, ya ?
Engkau menantangku, ya ?"
"Uhh, tidak, tidak ! Jangan salah sangka, isteriku
yang manis. Sampai sekarangpun, engkaulah wanita paling cantik di dunia. Gadis ini
memang cantik, akan tetapi engkaulah yang paling cantik. Heh-heh!"
"Betulkah itu, kakanda ?" Si isteri merayu manja.
"Heh-heh, siapa bohong padamu?" jawab ka-kek itu dan merekapun lalu bercanda, bergelut
di dalam gerobak, saling berciuman, saling cubit dan saling cakar sampai gerobak itu bergoyang -
goyang dan berguncang keras! Melihat semua ini, Pek Lian memejamkan matanya akan tetapi
tidak mampu menutup telinganya yang terpaksa mendengar semua cumbu rayu mereka yang
kasar itu.
Setelah permainan cinta mereka itu mereda, si isteri berkata, "Awas engkau, ya ? Sekali lagi
engkau berani menyentuhnya, akan kurobek kulit yang kausentuh dan akan kupatahkan tanganmu
yang menyentuh!"
Tentu saja Pek Lian bergidik ngeri, akan tetapi hatinya merasa lega juga. Kakek itu sangat
takut kepada bininya yang besar cemburu itu dan hal ini telah menolongnya karena ia melihat
pandang mata penuh nafsu dari kakek itu kepadanya. Akan tetapi suami isteri itu sungguh
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menyeramkan dan againya keduanya memang tidak normal otaknya. Mereka itu kadang - kadang
bermain cinta di depannya saja, dan kadang - kadang bercekcok sampai berkelahi mati-matian.
Pek Lian merasa tersiksa bukan main. Ia tidak tahu hendak dibawa ke mana dan mau
diapakan oleh suami isteri itu. Belum setengah hari ia berada di dalam gerobak tubuhnya sudah
terasa gatal-gatal, kulitnya timbul bintik-bintik merah seperti digigiti nyamuk. Ia tahu bahwa hal itu
disebabkan oleh hawa beracun yang memenuhi gerobak itu.
Untung bahwa ia telah memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat sehingga ia dapat melawan
hawa beracun ini. Yang amat menyiksanya hanyalah to-, tokan yang membuat kaki tangannya
seperti lum-puh itu.
Pek Lian memulihkan tenaganya. Totokan itu telah mulai kehilangan kekuatannya dan jalan
da^, rahnya pulih kembali. Ia diam saia, pura - pura masih lumpuh. Sampai lama ia membiarkan
darahnya berjalan lancar sampai akhirnya ia merasa betapa tubuhnya telah segar dan sehat
kembali.
Pek Lian menanti sampai malam tiba. Gerobak itu dihentikan oleh dua orang penawannya di
tepi jalan dan seperti biasa, suami isteri itu meninggalkan gerobak untuk mencari bahan makan
malam. Indah kesempatan terbaik, pikir Pek Lian dan setelah melihat mereka pergi, iapun cepat
meloncat turun. Senia telah tiba dan cuaca mulai remang-remang. Akan tetapi, tiba - tiba dara ini
meloncat kembali memasuki gerobak ketika ia mendengar suara kakek nenek itu tertawa - tawa
dari jauh. 'Aduh, dingin sekali airnya ....... !" Terdengar
kakek itu berseru dan tahulah Pek Lian bahwa mereka itu sedang mandi. Agaknya terdanat
sumber air, anak sungai atau telaga di dekat tempat itu. Iapun mengintai dari balik tirai gerobak,
melihat apakah keadaannya cukup aman baginya untuk melarikan diri. Ia harus berhati-hati sekali
karena kakek dan nenek itu lihai luar biasa dan kalau sampai larinya ketahuan sebelum ia pergi
jauh se kali, besar bahayanya ia akan tertawan kembali.
Tiba - tiba ada angin menyambar yang membuat pintu gerobak itu bergerak dan hampir saja
Pek Lian menjerit saking kagetnya ketika mendadak ada tubuh meloncat masuk dan tahu - tahu
kakek kurus itu telah berdiri di pintu gerobak dalam keadaan telanjang bulat sama sekali!
Badannya yang kurus itu masih basah kuyup, air masih menetes-netes dari seluruh tubuhnya. Pek
Lian menutupi mulut dengan tangan menahan jeritnya dan cepat membuang muka agar tidak
usah melihat tubuh telanjang itu walaupun cuaca mulai remang - remang dan ia tidak dapat
melihat jelas.
"Heh - heh - heh, engkau sudah dapat bangun, manis ? Bagus, mari temani aku bersenang -
senang sebentar !" Dan kakek itu lalu menubruk dan meraih tubuh Pek Lian.
"Tidak ! Jangan... !" teriaknya dan ia memapaki tubuh itu dengan pukulan tangannya.
"Plakk !" Pergelangan tangannya ditangkap dan sebelum tangan ke dua bergerak, juga
pergelangan tangan ke dua ini ditangkap oleh kakek itu yang terkekeh dan ada air liur menetes
dari mulutnya ketika dia mencoba untuk mencium muka nona itu. Pek Lian. meronta-ronta sekuat
tenaga, melawan mati - matian dan tiba - tiba kakinya yang tertindih, tanpa disengaja,
menendang sebuah benda di dalam gerobak itu.
"Prakk!" Guci kecil itu pecah dan dari dalam guci itu keluarlah berpuluh - puluh kelabang merah.
Bau amis memenuhi ruangan gerobak itu dan Pek Lian menggigil ketakutan melihat kelabangkelabang
besar merah itu merayap cepat dan ad. yang merayap ke pakaiannya, bahkan memasuki
lubang celana dan bajunya. Ia berteriak - teriak dan mencoba untuk mengusir binatang - binatang
itu.
"Heh - heh - heh, ha - ha - ha !" Kakek itu mera-sa girang bukan main dan agaknya dia
seperti seorang anak kecil yang menemukan permainan baru. Sejenak dia lupa akan rangsangan
nafsu berahinya dan dia merasa gembira sekali melihat gadis itu tersiksa seperti itu. Sambil
berjongkok di dekat Pek Lian, dia terkekeh - kekeh melihat gadis itu meng-geliat-geliat kengerian
dikeroyok puluhan ekor ke-labang itu ! Dan Pek Lian sekali ini baru dapat mengalami apa artinya
rasa takut dan jijik. Dari takutnya ia sampai jatuh pingsan ! Melihat gadis ini pingsan, kakek itu
seperti kehilangan kegembi-raannya dan teringat lagi akan nafsu berahinya maka diapun mulai
meraba - raba hendak menang-galkan pakaian gadis itu. Akan tetapi, baru dua buah kancing baju
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dibukanya, tiba - tiba dia menarik kembali tangannya mendengar isterinya berteriak-teriak dari
kejauhan.
"Bangsat penipu pembohong ! Laki - laki pena-kut dan pengecut! Di mana kau ? Akan
kurobek mulutmu yang membohongiku. Di mana ada buaya di sungai itu ? Sampai kehabisan
napas aku menye-lam dan mencari - cari tanpa hasil. Kau pembo-hong ! Di mana kau ? Jangan lari
!"
Mendengar teriakan isterinya ini, kakek itu men-jadi ketakutan dan cepat diapun meloncat
keluar dari dalam gerobak dan melarikan diri dalam kea-daan masih telanjang bulat, meninggalkan
Pek Lian yang masih rebah pingsan di dalam gerobak.
Nenek itu meloncat masuk ke dalam gerobak. Matanya terbelalak melihat binatang -
binatang itu terlepas dan berkeliaran di situ. "Wah, celaka, sia-pa berani melepaskan peliharaan
kesayanganku, hah ?" Cepat ia mengambil sebuah botol kecil dan menuangkan isinya yang berupa
cairan ke dalam mangkok. Bau yang amis busuk memenuhi tempat itu dan sungguh
mengherankan sekali, semua kela-bang itu cepat - cepat merayap datang dan mema-suki
mangkok itu. Nenek itu menangkapi dengan jari - jari tangan yang cekatan sekali dan tak lama
kemudian semua kelabang sudah disimpannya kem-bali ke dalam sebuah guci kosong.
Kemudian ia memperhatikan keadaan Pek Lian dan alisnya yang tebal itu berkerut. Apa lagi
keti-ka ia melihat genangan air di dalam gerobak. Ia lalu meloncat turun dan kembali terdengar
suaranya memaki-maki.
"Bangsat cabul tak tahu diri! Di mana kau ?"
Tak lama kemudian, nenek itu mendapatkan suaminya sedang enak - enak memancing ikan
di tepi sungai sambil bersiul - siul, seolah - olah tidak pernah melakukan sesuatu yang salah. Akan
tetapi, agaknya isterinya tidak dapat dikibuli begitu saja dan segera telinga sang suami dijewer
dan dia di-seret oleh isterinya yang galak itu kembali ke peda-ti, yang segera diberangkatkan oleh
nenek yang marah - marah itu.
Dengan terjadinya peristiwa itu, pengawasan si nenek menjadi lebih ketat sehingga kakek itu
tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menco-ba - coba mendekati Pek Lian. Hal ini
tentu saja amat menguntungkan Pek Lian, akan tetapi di sam-ping itu, juga ia mengalami
penyiksaan lain sebagai akibat dari rasa cemburu dan benci dari nenek iblis. Karena cemburu, kini
sikap nenek iblis itu terhadap Pek Lian menjadi sadis. Pada hari ke tiga, Pek Lian tidak dibelenggu
kedua lengannya lagi, melainkan diharuskan duduk di bagian depan, di atas tempat duduk kusir
dan kaki kanannya di-rantai dengan tiang gerobak. Ia diharuskan men-jadi kusir, mengamati dan
mengendalikan kuda penarik gerobak. Lebih celaka lagi, nenek itu telah menotok urat gagunya
sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya duduk dengan anteng-nya di bangku kusir
sementara itu suami isteri iblis itu bersenang - senang di dalam gerobak. Pek Lian masih selalu
menanti saat baik. Bagaimanapun juga keadaannya, gadis perkasa ini tidak pernah putus asa.
Selama hayat dikandung badan, ia tidak akan pernah putus harapan. Pada suatu ketika, ia pasti
akan dapat meloloskan diri. Ia tidak mau mati konyol dengan melakukan perlawanan yang sia - sia
belaka terhadap suami isteri iblis yang amat lihai itu. Bagaimanapun juga, ia kini terlindung oleh
rasa cemburu isteri itu terhadap suaminya. Bahaya yang terbesar telah tersingkir dan iapun tidak
bodoh untuk dapat menduga bahwa suami isteri itu tidak menghendaki kematiannya, karena kalau
demikian halnya, tidak mungkin ia dibiarkan hidup sampai tiga hari lamanya.
Hari itu, sejak pagi telah turun hujan. Akan te-tapi suami isteri iblis itu membiarkan Pek Lian
tetap duduk di luar dan kehujanan sampai pakaian-nya basah kuyup. Juga nenek itu tidak
memper-bolehkannya menghentikan gerobak untuk berte-duh. Tentu saja keadaan Pek Lian ini
membuat orang - orang yang melihatnya menjadi terheran-heran. Sementara itu, di dalam
gerobak terjadi pu-la perdebatan antara suami dan isterinya yang galak itu.
"Eh, isteriku yang manis, yang denok, di luar hujan deras sekali. Apakah akan kaubiarkan
saja anak ayam itu kehujanan di luar ? Ia bisa masuk angin dan sakit"
"Huh ! kau perduli apa sih ? Kau kasihan ya ? Kau cinta padanya ya ?"
"Eh, eh... jangan marah dulu dong! Aku hanya bilang kalau ia sakit dan tidak dapat
mengendalikan kuda, kita akan kehilangan seorang kusir yang can... eh,yang cakap."
"Sudah, jangan cerewet! Biarkan saja. Hayo kita bersenang-senang, di dalam sini kan
hangat, mari kita main adu kelabang !"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Isteriku yang manis, mengapa tidak dibunuh saja biar lekas beres dan tidak mengganggu ?"
"Manusia tolol engkau! Lupakah engkau bah-wa kita pernah dipesan oleh Sam - suci ? Aku
akan diberi hadiah ramuan awet muda yang diciptakan-nya, apa bila kita dapat mencarikan
seorang gadis muda cantik keturunan bangsawan yang bertulang bagus dan berdarah murni, juga
mempunyai ke-pandaian tinggi. Nah, inilah gadis itu!"
"Alaaaa, awet muda. Mana bisa orang tetap awet muda kalau usianya sudah tua ?" kakek itu
menggerutu. Mereka tidak
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To
Register.]***
mak dapat mematahkan rantai yang mem-belenggu kakinya, maka jalan satu - satunya
adalah membelokkan kuda menuju ke kota agar kalau ada orang melihat keadaannya, ia akan
menarik perha-tian orang dan siapa tahu kalau di antara mereka itu terdapat pendekar-pendekar
yang sakti dan dapat membebaskannya dari cengkeraman suami isteri iblis itu. Kini ia sudah tahu
mengapa ia dita-wan dan tidak dibunuh. Kiranya iblis betina itu mempunyai niat untuk
"menjualnya" kepada seorang iblis lain yang disebut Sam - suci oleh iblis betina itu, untuk ditukar
ramuan obat awet muda.
Hujan masih deras ketika gerobak itu memasuki pintu gerbang sebuah kota. Agaknya karena
hujan yang mendatangkan hawa dingin, suami isteri iblis itu masih enak - enak tidur mendengkur,
tidak tahu bahwa gerobak mereka telah disesatkan memasuki kota besar, padahal mereka selalu
ingin menjauhi tempat ramai selama ini. Orang - orang yang ber-teduh di tepi jalan memandang
dengan heran ke-pada gadis yang menjalankan gerobaknya dan membiarkan dirinya ditimpa air
hujan sampai ram-but dan pakaiannya basah kuyup itu.
Kota yang dimasuki gerobak itu adalah Lok-yang, yang merupakan kota kedua setelah
Tiang-an yang menjadi kota raja. Tentu saja Pek Lian yang menjadi puteri seorang menteri,
mengenal ko-ta besar ini dan diam - diam ia mengharapkan un-tuk dapat bertemu dengan orang -
orang gagah yang akan dapat membantunya membebaskan diri dari kedua orang iblis itu.
Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi ia merasa lega mendengar betapa kedua orang iblis itu
masih enak-enak tidur mendengkur. Mereka itu sungguh seperti bukan manusia lagi, pikir Pek
Lian. Bermain cinta dengan kasar tanpa mengenal malu, bercekcok dan berkelahi, selalu bersaing,
bahkan dalam mendeng-kur saja mereka seperti bersaing keras !
(Bersambung jilid ke VII.)
xx—» DARAH PENDEKAR «—xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid VII
BIARPUN waktu itu sudah tengah hari, akan tetapi cuacanya agak dingin dan agak gelap
karena sejak pagi hujan. Kota yang besar, penuh dongan toko - toko, rumah- rumah makan dan
juga rumah - rumah penginapan itu nampak sunyi karena yang berani berlalu - lalang hanya
mereka yang membawa payung dan yang naik kereta. Sebagian besar orang berteduh di emper -
emper toko dan jalan raya yang cukup lebar itu telah digenangi air.
Ketika gerobak yang dikendarai Pek Lian me-masuki pintu gerbang, tak lama kemudian
masuk pula sebuah kereta indah yang dihias tanda - tanda kebesaran. Kereta itu dikawal oleh
belasan orang perajurit yang berpakaian serba mewah dan indah gemerlapan. Di sebelah kanan
kiri kereta itu nampak dua orang gadis cantik yang berpakaian indah se-perti puteri - puteri
bangsawan istana atau penga-wal-pengawal wanita istana yang berkedudukan tinggi. Di belakang
masing - masing gadis ini ter-dapat seorang perajurit yang melindungi mereka dari air hujan
dengan sebuah payung bergagang panjang. Perlakuan ini saja membuktikan bahwa dua orang
gadis itu bukanlah sembarang pengawal, setidaknya tentu pengawal- pengawal seorang puteri
istana yang dipercaya. Melihat pedang panjang tergantung di punggung dua orang gadis itu,
makin mudah diduga bahwa mereka itu tentulah pengawal-pengawai istana yang penting.
Karena kereta indah itu mendahuluinya, Pek Lian dapat memperhatikan kereta di depannya
itu. Ia melihat betapa orang-orang yang berteduh di tepi jalan, membungkuk dengan hormat
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ketika ke-reta lewat. Ini hanya menunjukkan bahwa penum-pang kereta itu tentulah seorang
pejabat tinggi. Dan melihat dua orang pengawalnya, mudah di-duga bahwa penumpang itu
tentulah seorang wanita bangsawan. Pek Lian menduga-duga. Siapa-kah wanita bangsawan tinggi
di dalam kereta itu ?
Pek Lian memandang kepada dua orang penga-wal wanita itu dengan penuh perhatian.
Sejak melihatnya tadi, ia merasa seperti telah menge-nal atau setidaknya pernah melihat mereka
ini, akan tetapi ia lupa lagi entah kapan dan di mana. Kini ia memandang lagi penuh perhatian dan
karena kini ia memandang dari belakang, sege-ra ia tertarik oleh sesuatu pada rambut mereka itu.
Tentu saja! Tusuk konde batu giok! Sama benar bentuknya dengan tusuk konde yang dipakai oleh
delapan orang wanita berpakaian sutera hitam itu, yang pernah menawannya. Hanya bedanya,
dua orang gadis ini masih muda, cantik dan pakaian-nya indah. Karena ia sendiri tidak tahu harus
me-nujukan gerobaknya ke mana, maka kuda yang di-diamkannya itu otomatis mengikuti jalannya
kereta di sebelah depan.
Kereta mewah itu berhenti di pintu gerbang se-buah gedung besar dengan pekarangan yang
luas dan indah. Pek Lian juga menghentikan gerobak-nya di belakang kereta itu sambil
memandang dengan penuh perhatian. Pintu kereta terbuka dan turunlah seorang wanita tua yang
berwibawa, ber-pakaian indah dan bersikap tenang sekali. Wanita tua ini menengok satu kali ke
arah gerobak, lalu melangkah ke depan, disambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang
agaknya menjadi tuan rumah penghuni gedung itu. Pek Lian melihat nenek ini dan juga pria itu,
hatinya berdebar tegang. Ia mengenal dengan baik siapa adanya mereka, walau-pun ia tidak
pernah berkenalan dekat dengan mere-ka. Pria setengah tua yang kelihatan gagah itu, yang
us;anya antara limapuluh lima tahun, adalah Wakil Perdana Menteri Kang yang amat terkenal
karena selain wakil perdana menteri ini amat cerdik pandai, juga dia terkenal sebagai seorang
pembesar atau pejabat yang adil, jujur dan set;a. Semua pe-jabat di kota raja segan kepadanya,
bahkan kaisar sendiripun menaruh hormat kepada wakil perdana menteri ini. Sedangkan nenek
itupun pernah dilihat oleh Pek Lian, bahkan nama nenek ini sudah lama dikenalnya. Nenek ini
dikenal sebagai Siang Houw Nio - nio, bukan nenek sembarangan karena ia adalah bibi dari kaisar
sendiri ! Bahkan, biarpun tidak secara resmi, terdengar desas - desus bahwa nenek inilah yang
bertanggung jawab atas keaman-an keluarga kaisar di istana karena nenek ini memang memiliki
ilmu kepandaian yang amat- lihai.
Pek Lian hanya dapat memandang dengan me-longo ketika nenek itu disambut dengan
penuh kehormatan oleh pihak tuan rumah, kemudian ne-nek itu diiringkan masuk ke dalam
gedung, dika-wal oleh dua orang gadis cantik yang berjalan gagah di belakangnya. Setelah
mereka itu lenyap, ke dalam gedung, barulah Pek Lian sadar bahwa ia sejak tadi telah duduk
bengong di atas gerobak yang dihentikannya di belakang kereta. Dan baru ia tahu bahwa para
pengawal yang jumlahnya em-patbelas orang tadi mulai memperhatikan gerobak-nya. Bahkan
empat orang segera melangkah lebar menghampirinya.
"Heii, nona ! Sejak tadi engkau mengikuti kami, ada urusan apakah ?" tegur seorang di
antara mereka. Mereka tadi ketika mengawal kereta, meli-hat gerobak ini, akan tetapi mereka
tidak berani membikin ribut karena takut kepada Siang Houw Nio - nio yang mereka kawal, juga
karena dua orang nona pengawal pribadi nenek itu diam saja, mere-kapun tidak berani banyak
bertingkah. Sekarang, setelah nenek penghuni kereta bersama para pe-ngawal pribadinya telah
diterima oleh pihak tuan rumah dengan selamat, barulah mereka berani ri-but - ribut untuk
menyatakan rasa penasaran dan mereka menghampiri gerobak yang masih berhenti tak jauh dari
pintu gerbang itu.
"Jangan-jangan ia menyelidiki perjalanan kita !" kata seorang di antara mereka sambil.
mendekat.
"Eh, kenapa kakimu dirantai, nona ?" tanya orang ke tiga dan kini ada enam orang pengawal
ramai-ramai mendekat karena tertarik oleh seru-an terakhir ini.
Pek Lian tidak dapat banyak mengharapkan orang- orang seperti para pengawal ini. Ia
sudah tahu sampai di mana kepandaian perajurit - perajurit pengawal ini. Kalau dua orang gadis
tadi, barulah boleh diharapkan dapat menolongnya. Akan tetapi, betapapun juga, ia melihat
kesempatan untuk me-nimbulkan keributan dan menarik perhatian, maka mendengar pertanyaan
itu, ia lalu menoleh dan me-nudingkan jari telunjuknya ke dalam gerobak.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Isyarat ini cukup bagi para perajurit pengawal. Bagaikan pendekar - pendekar atau pahlawan
- pah-lawan yang hendak menolong seorang gadis manis yang tersiksa, mereka itu lalu mendobrak
pintu dengan gedoran - gedoran keras.
"Penjahat-penjahat keji yang berada di dalam gerobak ! Hayo keluar menerima hukuman !"
teriak mereka sambil beramai-ramai mendorong pintu gerobak yang terkunci dari dalam itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan melengking dari dalam, me-ngejutkan para perajurit pengawal karena
teriakan seperti itu hanya dapat dikeluarkan oleh mulut bi-natang-binatang buas. Dan tiba-tiba
saja pintu gerobak itu terbuka lebar dari dalam, disusul ber-i kelebatnya dua bayangan orang dan
empat orang perajurit berteriak dan roboh, menggigil kedinginan terkena pukulan beracun ! Tentu
saja hal ini amat mengejutkan sepuluh orang perajurit pengawal la-innya dan mereka sudah cepat
mencabut senjata lalu mengeroyok kakek dan nenek yang telah me-robohkan empat orang kawan
mereka itu. Terja-dilah perkelahian yang ramai, di mana sepuluh orang pengawal dihadapi oleh
dua orang kakek dan nenek yang amat lihai. Kakek itu berkelahi sambil terkekeh - kekeh dan
seperti biasa, dia memperma-inkan para pengeroyoknya, membuat mereka jatuh bangun hanya
dengan menjegal, mendorong dan tidak menjatuhkan pukulan maut karena memang dia ingin
puas mempermainkan dulu para pengero-yoknya sebelum membunuh mereka. Sebaliknya, nenek
itu menggerakkan kaki tangannya dengan buas sambil memaki - maki dan dalam waktu sing-kat,
sudah ada dua orang lagi perajurit pengawal yang dirobohkan oleh pukulannya yang mengandung
hawa beracn. Suasana menjadi ribut karena para penjaga gedung itupun sudah berlari - lari
mendatangi sambil memegang senjata.
Kembali sudah jatuh dua orang perajurit penga-wal sehingga kini sudah ada delapan orang
meng-geletak keracunan oleh pukulan suami isteri yang lihai itu. Keributan ini tentu saja segera
diketahui oleh para pengawal - pengawal dalam gedung dan merekapun cepat berlari keluar. Kini
kakek dan nenek itu dikeroyok oleh puluhan orang perajurit pengawal dan penjaga. Akan tetapi,
para perajurit itu sama saja dengan menyerahkan nyawa mencari kematian. Makin banyak kini
yang roboh sehingga mayat mereka malang melintang memenuhi ha-laman yang luas itu. Melihat
ini semua, diam - diam Pek Lian bergidik. Kakek dan nenek itu benar-benar amat keji dan juga
amat lihai.
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan nampak berkelebat bayangan merah dan
putih meluncur keluar dari dalam gedung. Pek Lian melihat bahwa yang bergerak cepat sekali itu
ternyata adalah dua orang gadis pengawal tadi. Tahu - tahu mereka telah berada di situ dan
mereka sudah me-ngenal keadaan dengan pandang mata mereka yang tajam dan berpengalaman.
"Pek - cici, tentu mereka inilah yang telah mem-bunuh orang - orang kita ! Manusia -
manusia iblis dari Ban - kwi - to !"
"Benar, Ang - siauwmoi! Kau bantu para pengawal, biar aku bebaskan gadis tawanan itu !"
kata wanita baju putih, sedangkan wanita yang bajunya merah telah mencabut pedang
panjangnya dan dengan gerakan yang amat cepat dan dahsyat, ia sudah menerjang kakek nenek
iblis dengan serangan maut. Pedangnya membuat gulungan sinar dan mengeluarkan suara
bercicit, tanda bahwa ilmu pedang gadis baju merah ini amat lihai dan digerakkan oleh tenaga
sinkang yang amat kuat. Sementara itu, gadis baju putih sekali meloncat telah tiba di dekat Pek
Lian. Dengan cekatan ia mematahkan rantai kaki Pek Lian dengan pedangnya yang ternyata
terbuat dari pada baja yang amat kuat itu, dan melihat keadaan Pek Lian, iapun lalu menotok dan
mengurut leher Pek Lian sehingga Pek Lian dapat mengeluarkan suara lagi. "Terima kasih," kata
Pek Lian. "Tidak perlu, kalau engkau ada kepandaian, lebih baik bantu kami menghadapi
sepasang iblis itu!" jawab si wanita baju putih yang kini segera meloncat turun dan membantu
gadis baju merah dengan putaran pedangnya yang ternyata tidak kalah hebatnya dibandingkan
dengan si baju merah.
Dua orang gadis itu memang benar amat lihai. Terutama sekali ilmu pedang mereka
sedemikian hebatnya sehingga sepasang iblis itupun berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan
nyaris menjadi korban pedang kalau mereka tidak cepat - cepat menghindarkan diri dengan
cekatan sambil mem-balas dengan mengawut - awut jarum, pasir dan asap beracun. Para
pengawal yang mengeroyok hanya berani menggunakan senjata - senjata panjang seperti tombak
untuk menyerang kakek daii nenek itu dari jarak jauh setelah melihat betapa pe-rajurit pengawal
yang berani mehyerang terlalu dekat tentu roboh dalam keadaan mengerikan, men-jadi korban
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pukulan beracun. Melihat betapa se-pasang iblis itu terdesak, akan tetapi masih amat sukar bagi
dua orang gadis dan para pengawal un-tuk merobohkannya, Pek Lian yang merasa sakit hati
terhadap mereka lalu meloncat turun dari atas gerobak, dan menyambar sebatang pedang yang
berserakan di halaman. Banyak senjata para penga-wal yang sudah roboh itu berserakan di
tempat itu dan pedangnya sendiri entah dibuang ke mana oleh suami isteri iblis itu. Dengan
pedang di ta-ngan, Pek Lian menyerbu dan ikut mengeroyok. Tentu saja serangan Pek Lian
dengan ilmu pedang yang tidak boleh dipandang ringan ini membuat suami isteri dari Ban-kwi-to
menjadi semakin terdesak.
Bagaimanapun juga, ilmu silat pedang Pek Lian adalah ilmu pedang yang masih aseli dan
bersih, mengandung dasar yang kuat. Dan selama ini ia telah memperoleh banyak pengalaman
dalam pertempuran-pertempuran melawan musuh-musuh yang tangguh sehingga ia memperoleh
banyak kema-juan pesat. Maka, pengeroyokannya juga terasa berat oleh suami isteri iblis itu
sehingga mereka semakin terdesak. Karena khawatir kalau-kalau sampai terluka dan roboh, tibatiba
nenek itu mengeluarkan sebuah tabung bambu kuning dari saku jubahnya yang kedodoran,
dan membuka tutupnya. Melihat ini, Pek Lian yang selama tiga hari berkum-pul dengan mereka
dan sudah tahu akan isi tabung bambu itu, berteriak kaget, "Awas binatang berbisa !!"
Teriakannya itu ternyata benar karena dari ta-bung bambu itu keluar beterbangan beratus -
ratus lebah yang warnanya putih yang mengamuk dan menyerang para pengeroyok. Hebatnya, di
antara para perajurit yang terkena sengatan lebah itu, se-ketika roboh berkelojotan, tubuhnya
kejang - kejang ! Bukan main hebatnya bisa dari sengatan lebah pu-tih ini. Yang belum menjadi
korban sengatan lebah, segera melarikan diri ke dalam gedung, termasuk Pek Lian dan dua orang
wanita tokoh tusuk konde batu giok itu, dikejar oleh lebah - lebah yang marah.
Sementara itu, melihat jatuhnya beberapa orang korban sengatan lebahnya, kakek dan
nenek itu se-perti kumat gilanya. Mereka tertawa - tawa, ber-tepuk - tepuk tangan dan bersorak,
lalu berjongkok dan menonton orang-orang yang berkelojotan dan kejang-kejang sebagai akibat
sengatan lebah, kelihatan gembira bukan main seperti anak-anak ke-cil menikmati cacing - cacing
yang berkelojotan ter-kena abu panas. Mereka agaknya seperti telah me-lupakan keadaan
sekeliling mereka, karena asyik dengan permainan baru ini. Memang nampaknya dua orang ini
seperti iblis yang amat kejam. Akan tetapi, bukankah kesadisan, yaitu rasa gembira me-lihat orang
atau mahluk lain tersiksa ini telah ada pada diri setiap orang manusia sejak kanak - kanak ? Hanya
agaknya pada suami isteri ini kesadisan itu menonjol sekali sehingga kelihatannya luar biasa dan
keterlaluan.
Sementara itu, nenek Siang Houw Nio - nio yang berada di dalam gedung, sedang bercakap
- cakap dengan Wakil Perdana Menteri Kang. Mereka bica-ra dengan serius sekali dan wajah
keduanya agak muram dan nampak bersemangat. Agaknya mereka saling berbantah dan kini
terdengar suara nenek yang berwibawa itu, yang bicara sambil menatap tajam wajah wakil
perdana menteri itu, suaranya terdengar lantang dan berpengaruh.
"Menteri Kang! Aku pribadi dapat mengerti akan perasaan hatimu. Aku mengerti, apa yang
men-jadi sebab sesungguhnya dari permintaanmu untuk pensiun itu. Alasan yang kauajukan
bahwa engkau sudah merasa terlalu tua dan tidak sanggup bekerja lagi adalah alasan yang dicari -
cari saja. Aku tahu bahwa sebab yang sesungguhnya adalah karena semua nasihatmu tidak
pernah digubris oleh kaisar, bukankah demikian? Di dalam batinmu, engkau selalu berselisih
pendapat dengan Sri baginda dan hal itu amat mengesalkan hatimu. Bukankah demi-kian ? Apa
lagi setelah sahabat eratmu, yaitu Men-teri Ho, ditangkap karena dianggap menentang
kebijaksanaan pemerintah. Dan karena engkau setia, muka dari pada engkau harus mengalami
tekanan batin, lebih baik engkau mengundurkan diri saja. Bukankah demikian, Wakil Perdana
Menteri Kang !'" Ucapan nenek itu begitu terus terang dan ditujukan langsung tanpa pura-pura
lagi sehingga bagi men-teri setia itu terasa seolah-olah ada todongan pedang langsung ke ulu
hatinya.
Mendengar ucapan itu, pembesar ini agak pucat mukanya dan sampai lama dia
menundukkan muka-nya. Dia maklum bahwa akan percuma saja untuk menyangkal terhadap
puteri yang amat cerdas ini. Akhirnya, setelah menarik napas panjang, diapun berkata, suaranya
terdengar berat membayangkan keadaan hatinya yang terhimpit,
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Tuan puteri, hamba mengerti bahwa sebagai bibi dan pelindung sri baginda kaisar, paduka
memiliki pandangan yang luas, waspada dan bijaksana. Oleh karena itu, tentu paduka juga
maklum bahwa hamba sama sekali tidak mempunyai niat yang kurang baik terhadap sri baginda.
Di dalam lubuk hati hamba, yang ada hanyalah kesetiaan, sifat yang dijunjung oleh nenek moyang
hamba. Selama ini, selagi mendampingi sri baginda, hamba selalu berbuat baik dan bijaksana agar
dapat meraih rasa
hormat dan cinta dari rakyat. Kekuatan negara terletak kepada kekuatan kaisarnya dan
kekuatan kaisar timbul dari kesetiaan rakyat yang mencintanya. Akan tetapi... ah, bagaimana
hamba harus mengatakannya ?"
"Lanjutkanlah, Menteri Kang. Jangan khawatir, engkau bicara dengan orang yang
mempergunakan hati nuraninya, bukan hanya mempergunakan perasaannya."
"Bagaimana hati hamba tidak akan berduka me-lihat betapa sri baginda agaknya hanya
selalu me-nuruti keinginan beberapa orang kepercayaan saja. Mengejar kesenangan dan kurang
mempertimbang-kan usul - usul mereka yang dipercaya sehingga sering kali muncul keputusan
dan perintah yang amat berlawanan dengan kehendak rakyat jelata. Hal itu membuat negara kita
menjadi tegang dan kacau seperti sekarang ini. Hamba adalah wakil perdana menteri, tentu ikut
bertanggung jawab atas keadaan negara. Akan tetapi apa yang dapat hamba lakukan kalau semua
usul hamba tidak di-perhatikan ? Kalau semua nasihat hamba dikalah-kan oleh bujuk rayu para
penjilat ? Lebih baik hamba mengundurkan diri saja. Bukan karena ham-ba ingin melarikan diri
atau karena kecewa, mela-inkan karena kehadiran hamba di dekat sri baginda sama sekali tidak
ada artinya lagi." "Aku dapat mengerti perasaan hatimu, akan te-tapi jalan pikiranmu yang
demikian itu sesungguh-nya keliru sama sekali, menteri yang baik. Kalau engkau mundur, apakah
keadaan akan menjadi le-bih baik ? Tentu akan semakin parah. Aku sendiri tidak berhak
mencampuri urusan pemerintahan, akan tetapi aku tahu bahwa kalau engkau mundur, berarti
makin berkurang pula menteri yang berani memberi ingat dan menegur sri baginda kalau be-liau
melakukan kesalahan dalam tindakannya. Be-tapapun juga, usia sri baginda masih terlalu muda
sehingga beliau perlu dibimbing dan dinasihati oleh orang-orang yang bijaksana dan
berpengalaman seperti engkau. Sayang bahwa aku hanya mahir dalam urusan ilmu silat,
sedikitpun aku tidak tahu akan seluk-beluk pemerintahan, maka aku minta dengan sangat
kepadamu, Menteri Kang, secara pribadi dan demi persahabatan kita, agar engkau suka
mempertahankan kedudukanmu, mendampingi sri baginda. Biarlah kita bekerja sama. Aku yang
mendampingi dan menjaga keselamatan sri bagin-da, sedangkan engkau yang menjaga
kebijaksanaan-nya." Setelah bicara dengan panjang lebar, nenek itu menghapus sedikit peluh dari
dahi dan leher-nya.
"Akan tetapi, tuan puteri... paduka tentu mengenal kekerasan hati sri baginda. Mungkin saja
peringatan hamba akan membuat hamba dijebloskan pula ke dalam penjara seperti Menteri Ho
yang baik dan jujur itu"
"Hemm, kalau begitu engkau merasa takut dan ngeri ? Engkau lebih suka melihat keadaan
menjadi semakin buruk dari pada kehilangan nyawamu un-tuk negara ? Inikah ucapan Wakil
Perdana Men-teri Kang yang terkenal setia dan berbudi itu ?"
"Bukan begitu, tuan puteri..."
Akan tetapi pembesar ini tidak melanjutkan kata- katanya karena pada saat itu terdengar
suara hiruk- pikuk dari para pengawal dan penjaga yang berlarian ke dalam gedung, dikejar oleh
lebah-le-bah berbisa. Bahkan di ruangan depan gedung itu, terdapat beberapa orang pengawal
yang jatuh ber-gelimpangan dan sekarat.
Dua orang gadis bertusuk konde batu giok su-dah meloncat ke dalam dan dengan singkat
men-ceritakan kepada nenek itu tentang pengamukan suami isteri dari Ban - kwi - to yang
memperguna-kan lebah - lebah berbisa untuk merobohkan banyak sekali pengawal. Mendengar
keterangan dua orang pengawal pribadi yang juga menjadi murid - murid kesayangannya itu,
Siang Houw Nio-nio menjadi marah sekali. Dikibaskannya lengan bajunya.
"Pek-ji! Ang-ji! Apakah menghadapi iblis Ban- kwi-to saja kalian tidak mampu mengatasi-nya
dan perlu menggangguku ?" bentaknya pena-saran. Biasanya, kedua orang muridnya ini sudah
dapat mengatasi segala persoalan yang timbul, karena itu ia sudah menaruh kepercayaan besar
dan bahkan mengangkat mereka menjadi pengawal-pengawal pribadinya agar ia tidak usah turun
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ta-ngan sendiri kalau timbul persoalan. Tentu saja ia merasa penasaran dan marah melihat kedua
orang murid yang diandalkannya ini sekarang menjadi kacau hanya oleh amukan dua orang iblis
Ban-kwi-to saja.
"Maaf, subo, sebetulnya teecu berdua tidak akan kalah kalau saja mereka itu
mempergunakan ilmu silat biasa. Akan tetapi mereka melepaskan lebah yang ratusan ekor
banyaknya, lebah berbisa yang mengerikan sehingga sudah banyak perajurit yang roboh dan
keracunan. Teecu berdua kewalahan untuk mengusirnya."
Mendengar laporan muridnya yang berbaju putih yang diberi nama panggilan Pek In (Awan
Putih) sedangkan yang berbaju merah disebut Ang In (Awan Merah), Siang Houw Nio - nio
mengerutkan alisnya.
"Lebah berbisa ...... ? Apakah berwarna putih dan yang kena sengatannya terus kejang -
kejang karena panas yang hebat dan berkelojotan, lalu kulit para korban juga menjadi putih ?"
"Benar, subo," kata Ang In.
"Hemm, tentu lebah beracun dari pohon - pohon arak di Sin - kiang yang amat berbahaya.
Dalam waktu tiga jam kalau tidak diberi obat penawarnya, luka sengatan itu akan menjadi busuk
dan sukar ditolong lagi. Menteri Kang, apakah engkau mempunyai arak yang tua, keras dan wangi
? Cepat keluarkan dan bawa ke sini. Suruh semua orang membawa obor, karena hanya dengan
api sajalah lebah-lebah itu dapat diusir dan mereka sangat suka kepada arak wangi dan keras.
Cepat!"
Wakil Perdana Menteri Kang lalu memberi pe-rintah kepada pengawal pribadinya dan tak
lama kemudian nenek bangsawan itu telah menuangkan arak wangi ke dalam guci arak yang
indah buatannya, kuno dan nyeni. la membawa keluar guci arak itu dan meletakkannya di ruangan
depan. Dan terjadilah keanehan. Bau arak yang harum itu agaknya menarik lebah - lebah putih itu
yang beterbangan dengan cepatnya menuju ke guci arak itu dan sebentar saja semua lebah
mengerumuni guci dan mengeroyok arak harum itu seperti semut - semut mengerumuni gula.
Setelah semua lebah berkumpul di situ, Siang Houw Nio - nio lalu menyingsingkan lengan bajunya
dan dengan kedua tangannya ia meraup lebah - lebah itu dan memasukkannya ke dalam sebuah
botol besar, kemudian iapun keluar membawa botol terisi lebah - lebah putih itu.
Di halaman depan, suami isteri iblis itu masih seperti orang gila, berjongkok dan tertawa
terpingkal- pingkal melihat para korban yang berkelojotan di atas tanah. Memang ada lucunya
melihat muka yang tertarik- tarik itu dan kaki tangan yang kejang-kejang, akan tetapi bagi orang
biasa, tentu rasa ngeri dan kasihan akan mengusir semua bagian yang lucu.
"Heh-heh-heh, lihat hidungnya ! Heh-heh, hidungnya jadi bengkok!" kata nenek itu sambil
terpingkal- pingkal.
"Dan yang sana itu, kakinya menendang-nendang, ha-ha, agaknya dia mimpi belajar ilmu
tendangan baru yang sakti, ha-ha-ha!" suaminya juga tertawa bergelak melihat tingkah laku
seorang korban lain.
"Hemm, kiranya tak salah dugaanku. Im-kan Siang-mo yang datang mengacau, sungguh
berani mati sekali!" nenek bangsawan itu berkata.
Suami isteri itu terkejut dan cepat melompat berdiri, berdampingan menghadapi nenek itu,
me-mandang heran bahwa ada seorang yang mengenal julukan mereka di tempat ini. Akan tetapi
ketika mereka melihat nenek yang berpakaian indah dan bersikap penuh wibawa itu, mereka
berdua saling pandang dan nampak terkejut, lalu dengan sikap canggung keduanya menjura ke
arah nenek itu.
"Bagaimana toanio dapat mengenal Im - kan Siang - mo ?" tanya nenek itu dengan suara
parau. Siang Houw Nio - nio tersenyum. "Memang baru sekarang aku dengan sial bertemu dengan
kalian, akan tetapi siapakah yang tidak pernah mendengar nama kalian sebagai tokoh - tokoh Ban
- kwi - to ? Kalian mempunyai ciri - ciri badan yang mudah di-kenal. Im - kan Siang - mo,
Sepasang Iblis dari A-khirat, juga suami isteri Bouw Mo - ko dan Hoan Mo - li."
"Engkau mengenal kami, lalu mau apa ?" tiba-tiba nenek iblis itu menantang.
Siang Houw Nio - nio tetap tersenyum dengan tenang. "Lihat, tidak kenalkah kalian kepada
lebah-lebah ini lagi ?"
Melihat betapa lebah - lebah putih itu berada di dalam botol yang dipegang oleh si nenek
sakti, suami isteri itu menjadi marah sekali. "Kembali-kan lebah - lebahku !" bentak Hoan Mo - li,
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
nenek gendut itu sambil menyerang, diturut pula oleh suaminya. Lebah - lebah itu adalah binatang
- bi-natang peliharaan mereka yang menjadi sahabat-sahabat baik dan bahkan merupakan senjata
mere-ka yang terampuh dalam menghadapi lawan tang-guh, dan mereka memperoleh lebah -
lebah itu de-ngan amat sukar, bahkan dengan taruhan nyawa. Belum lagi waktu yang
dipergunakan untuk men-jinakkan mereka yang membutuhkan ketelitian, ke-sabaran dan juga
mengandung bahaya. Oleh kare-na itu, melihat betapa lebah - lebah itu berada di tangan nenek
bangsawan itu, tentu saja mereka menjadi marah dan menyerang dengan dahsyat dan mati -
matian.
Akan tetapi, suami isteri yang mempunyai pukulan- pukulan beracun itu sekarang seolaholah
ketemu gurunya. Pada hakekatnya, dasar ilmu si-lat dari tokoh - tokoh Ban - kwi - to ini
tidaklah ter-lalu tinggi. Yang membuat mereka berbahaya bu-kanlah kelihaian ilmu silat mereka,
melainkan ra-cun - racun yang mereka pergunakan itulah. Kini, berhadapan dengan Siang Houw
Nio - nio yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi, mereka itu mati kutu. Puteri tua yang menjadi bibi
dan juga pe-lindung kaisar ini ternyata amat lihai. Ia menghadapi pengeroyokan dua orang itu
hanya dengan tangan kanan saja, sedangkan tangan kirinya dipa-kai untuk memegang botol terisi
lebah - lebah putih. Biarpun demikian, dengan langkah-langkah ajaib, ia selalu dapat
menghindarkan diri dan kedua orang suami isteri iblis itu tidak pernah mampu menyen-tuhnya.
Sampai tigapuluh jurus lebih suami isteri itu mendesak tanpa ada gunanya sama sekali. Tibatiba,
Siang Houw Nio - nio yang tadi hanya ingin melihat dasar - dasar gerakan mereka dan
mengu-kur tingkat mereka, meloncat ke pinggir sambil berseru, "Berhenti!!"
Seruannya mengandung tenaga khikang yang demikian kuatnya sehingga dua orang
lawannya itu, mau atau tidak, otomatis berhenti bergerak dan memandang kepadanya dengan
bengong.
"Kita tukar lebah - lebah peliharaan kalian ini dengan obat pemunahnya untuk
menyembuhkan para korban. Hayo cepat, kalau tidak, kuhancurkan lebah - lebah ini kemudian
kepala kalian juga !"
Ucapan nenek itu penuh wibawa dan sekali ini suami isteri itu tidak ragu - ragu lagi. Mereka
telah memperoleh bukti bahwa nenek ini tidak hanya mengeluarkan gertak sambal belaka, karena
selama tigapuluh jurus lebih tadi mereka berdua memang sama sekali tidak berdaya dan kalau
nenek itu be-nar-benar hendak membunuh mereka, agaknya hal itu bukan tidak mungkin.
"Baik..., baik... ini obat pemunahnya, obat luar dan obat minum. Berikan kembali lebahlebahku,"
kata Hoan Mo-li si nenek gendut.
Penukaran terjadilah dan Siang Houw Nio-nio lalu memerintahkan dua orang muridnya
untuk mengobati para korban. Dan benar saja, setelah diolesi obat luar dan diberi minum obat
minum-nya, para korban itu berhenti berkelojotan dan tak lama kemudian merekapun sembuh
kembali.
Sementara itu, kakek kecil kurus, Bouw Mo - ko, setelah sejak tadi memandang kepada
nenek bang-sawan itu, lalu berkata, "Benarkah kami berhadap-an dengan yang mulia Siang Houw
Nio-nio?"
Mendengar ucapan suaminya itu, Hoan Mo - li juga kelihatan terkejut. Nenek bangsawan itu
mengangguk dan berkata, "Nah, kalian boleh pergi dari sini dan jangan mencoba untuk membikin
ka-cau di kota ini !"
Bouw Mo - ko yang maklum bahwa tinggal le-bih lama di tempat itu tidak menguntungkan
mere-ka, lalu menggandeng tangan isterinya. "Isteriku, mari kita pergi dari sini!"
"Nanti dulu !" Hoan Mo - li mengibaskan ta-ngannya yang digandeng suaminya. "Siang Houw
Nio-nio, perjanjian antara kita hanya mengenai tukar - menukar lebah dan obat penawarnya. Akan
tetapi gadis itu adalah tawanan kami, maka kami akan membawanya kembali!"
Nenek bangsawan itu menoleh kepada Pek Lian yang ditudingi oleh nenek iblis itu, lalu ia
meng-angkat pundaknya. "Tidak ada hubungannya de-nganku," katanya. Mendengar ini, Hoan Mo
- li lalu menghampiri Pek Lian.
"Anak manis, mari kau ikut dengan kami!"
"Tidak sudi! Biar mati aku tidak akan mau menyerah !" bentak Pek Lian sambil melintangkan
pedangnya, pedang yang dipungutnya dari atas tanah di halaman itu.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Eh, eh, kau berani melawanku, ya ?" Hoan Mo - li membentak dan menubruk maju. Pek
Lian mengelak dan balas menyerang. Akan tetapi, Bouw Mo - ko kini juga sudah maju menubruk
dan Pek Lian menjadi repot sekali. Melawan seorang di an-tara kedua iblis itu saja ia takkan
mampu menang, apa lagi kalau dikeroyok dua. Akan tetapi pada saat itu, Pek In dan Ang In sudah
menerjang maju membantunya.
"Eh, eh, bukankah gadis tawananku ini tidak termasuk perjanjian tukar - menukar lebah ?"
Hoan Mo - li mencela.
"Kalian berjanji dengan subo, bukan dengan ka-mi. Kami tidak terikat perjanjian!" jawab Pek
In yang terus menggerakkan pedangnya, dibantu oleh Ang In dan Pek Lian. Kini dua orang suami
isteri iblis itu yang menjadi kewalahan. Untuk mempergunakan racun, mereka segan dan jerih
terhadap Siang Houw Nio-nio, maka akhirnya sambil mengeluarkan seruan - seruan marah dan
kecewa, keduanya meloncat ke atas gerobak dan melarikan gerobak mereka itu dengan cepat
meninggalkan tempat itu, langsung keluar dari pintu gerbang ko-ta besar Lok - yang.
Setelah dua orang iblis itu melarikan diri, Siang Houw Nio - nio memandang kepada Pek Lian
de-ngan sinar mata penuh selidik, kemudian bertanya, "Nona, siapakah engkau ?"
Pek Lian merasa ragu - ragu untuk menjawab. Ia tahu siapa adanya nenek ini yang masih
keluarga dekat kaisar. Tentu saja ia tidak berani mengaku bahwa ia adalah puteri Menteri Ho yang
kini men-jadi musuh dan tawanan pemerintah. Sebagai bibi kaisar, tentu saja nenek inipun
memusuhi keluarga Ho yang dianggap pemberontak. Melihat keraguan Pek Lian, gadis baju merah
lalu berkata sebagai keterangan kepada subonya,
"Gadis ini tentu merupakan kawan dari orang-orang Lembah Yang - ce yang memberontak.
Anak buah teecu pernah menawannya. Bukankah begi-tu ?" tanyanya kepada Pek Lian.
Pek Lian tak dapat menyangkal akan hal ini dan iapun tahu bahwa tentu wanita - wanita
bertusuk konde batu giok itu telah melapor kepada pimpinan mereka ini. Maka iapun menjawab
dengan suara mengejek, "Hemm... kiranya wanita – wanita bertusuk konde batu giok itu adalah
anak buah-mu ?" Pek Lian memandang ke arah tusuk konde pada rambut nona baju merah itu.
"Anak buahmu itu sungguh kurang ajar sekali. Aku hanya pernah berjalan bersama - sama ketua
lembah itu saja, dan aku lalu ditangkap ! Aturan mana itu ?"
"Adik yang baik, kaumaafkanlah anak buah ka-mi. Akan tetapi orang - orang lembah itu
adalah buronan pemerintah, maka karena engkau menge-nal mereka, sudah selayaknya kalau
engkau dicu-rigai," kata Pek In si baju putih.
"Akan tetapi, apa hubungannya dengan wanita-wanita baju sutera hitam bertusuk konde
batu giok itu ? Ada hak apakah mereka mencurigai orang ?"
Pek Lian bertanya penasaran.
Gadis baju putih itu tersenyum dan kalau biasa-nya ia nampak gagah, kini baru terlihat jelas
bahwa wajahnya manis sekali kalau tersenyum. "Adik, tahukah engkau siapa pembesar pemilik
gedung ini ? Beliau adalah Wakil Perdana Menteri Kang, dan guru kami ini, beliau adalah bibi dari
sri baginda kaisar. Nah, kini engkau mengerti mengapa anak buah kami mencurigai orang - orang
yang menjadi teman para pemberontak, bukan ?"
Tentu saja Pek Lian sama sekali tidak terkejut mendengar siapa adanya pembesar dan nenek
bang-sawan itu karena memang ia sudah pernah menge-nal dan mendengar tentang mereka.
Hanya tadi ia merasa kagum bukan main menyaksikan kelihaian nenek itu ketika menghadapi Im -
kan Siang - mo, suami isteri iblis yang lihai itu. Dan baru sekarang ia tahu bahwa pasukan wanita
berpakaian sutera hitam dengan tusuk konde batu giok itu adalah anak buah murid - murid dari
Siang Houw Nio - nio jadi orang-orangnya pemerintah! Atau setidak-nya adalah golongan yang
membela kaisar.
Ia sendiri tidak ingin dikenal sebagai puteri Menteri Ho karena hal ini akan berbahaya sekali
baginya. Maka, ketika melihat Wakil Perdana Men-teri Kang keluar dan memandang kepadanya
de-ngan sinar mata tajam, Pek Lian menundukkan mukanya. Menteri Kang itu mengerutkan
alisnya dan merasa seperti pernah mengenal gadis ini. akan tetapi dia lupa lagi.
Pek Lian merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau sampai ia dikenal ?
Tidak ragu lagi, ia tentu akan ditangkap sebagai anggauta keluarga pemberontak. Ia harus berhati
- hati da-lam memberi jawaban, pikirnya dan ia tidak boleh terlalu banyak bicara.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Nona, siapakah engkau ? Benarkah orang-orang Lembah Yang - ce itu adalah kawan -
kawan mu ? Ataukah engkau barangkali juga anggauta pemberontak ?" kembali wanita tua itu
bertanya dengan halus, namun sinar matanya seperti hendak menembus jantung Pek Lian.
"Saya adalah seorang perantau dan kebetulan bertemu di jalan dan berkenalan dengan
ketua lem-bah itu. Karena saya pernah ditolongnya, maka kami menjadi sahabat, akan tetapi saya
bukan anggauta mereka."
"Di manakah sekarang sahabatmu, ketua lembah itu ?"
Ho Pek Lian memang tidak tahu ke mana pergi-nya Kwee Tiong Li yang ikut bersama
gurunya yang baru, yaitu kakek Kam Song Ki yang lihai. Maka iapun menggeleng kepalanya dan
berkata, "Saya tidak tahu. Kami saling berpisah tiga hari yang lalu dan saya ditawan oleh pasukan
tusuk konde batu giok lalu dirampas oleh sepasang iblis itu."
Wakil Perdana Menteri Kang mempersilahkan nyonya bangsawan itu untuk duduk kembali di
ruangan tamu melanjutkan percakapan mereka. Siang Houw Nio - nio memberi isyarat kepada dua
orang muridnya, "Bawa ia masuk dan awasi baik-baik."
Pek In dan Ang In lalu memegang kedua ta-ngan Pek Lian dengan halus dan mengajaknya
ma-suk pida ke ruang tamu di mana kedua orang gadis itu duduk agak jauh di belakang nenek
yang kini melanjutkan percakapan dengan Menteri Kang. Dua orang muridnya adalah orang-orang
keper-cayaan maka diperbolehkan untuk hadir. Dan ne-nek ini biarpun seorang bangsawan, akan
tetapi sikapnya seperti orang kang - ouw, tidak begitu perduli akan segala peraturan. Bahkan ia
seperti sengaja membiarkan Pek Lian ikut pula mendengar-kan, agaknya memang nenek ini ingin
memancing agar Pek Lian dapat memberi keterangan lebih banyak tentang para pemberontak. Pek
Lian duduk diapit-apit dua orang gadis lihai yang biarpun bersikap halus akan tetapi tetap saja
merupakan pengawal - pengawal yang takkan membiarkan ia lolos. Diam - diam Pek Lian
memasang telinga men-dengarkan percakapan tingkat tinggi itu.
"Menteri Kang, sekali lagi kuharapkan engkau suka memegang lagi jabatanmu dan
mengurungkan niatmu untuk mengundurkan diri. Hal ini telah diputuskan oleh para penasihat
istana dalam rapat terakhir dengan sri baginda kaisar sendiri. Akulah yang ditugaskan datang ke
sini untuk menyampai-kannya kepadamu."
Wakil Perdana Menteri Kang mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Kalau
hamba menolak, tentu paduka telah mendapat wewenang dari sri baginda untuk memenggal
kepala hamba sekeluarga, bukan ? Begini, tuan puteri. Hamba siap untuk kembali, akan tetapi
hamba juga siap untuk membiarkan kepalaku dipenggal sekarang juga oleh paduka."
Nenek itu mengerutkan alisnya dan sinar mata-nya mencorong menatap wajah pembesar
itu. "Hem, apa maksudmu, Menteri Kang ?"
"Hamba siap untuk bertugas kembali, apa bila syaratnya dipenuhi. Hamba mohon agar para
menteri jujur dan setia yang dipecat dan dipensiunkan agar diampuni dan ditarik kembali karena
tenaga mereka amat dibutuhkan negara, termasuk sahabat hamba Menteri Ho. Menteri Ho
hendaknya diam-puni dari hukuman mati, keluarganya dibebaskan dan agar dia menduduki lagi
jabatannya. Demikianlah, tuan puteri. Kalau permohonan hamba itu tidak dipenuhi, maka lebih
baik hamba menerima untuk di..."
"Nanti dulu, Menteri Kang!" nenek itu menyela. "Mana mungkin aku dapat memutuskan hal
itu sekarang! Bukan wewenangku. Akan tetapi aku akan berusaha untuk menyampaikan
permohonanmu kepada sri baginda dan akan berusaha agar beliau mengabulkannya. Aku
mendengar bahwa sri baginda telah menghentikan empat orang menteri, bahkan menjatuhkan
hukuman mati kepada seorang di antaranya yang kini sedang hendak menjalankan pelaksanaan
hukuman matinya. Menteri itu adalah sahabat karibmu" Nenek itu menghela napas. Ia tidak tahu
betapa jantung Pek Lian berdebar penuh ketegangan dan keharuan. Betapa tidak akan tergetar
rasa hati gadis ini mendengar orang membicarakan ayahnya. Akan tetapi ia
menguasai hatinya dan hanya menundukkan muka sambil terus mendengarkan dengan
penuh perhatian.
"Maaf, tuan puteri. Soalnya bukan semata-mata karena Menteri Ho adalah sahabat karib
hamba. Andaikata hamba tidak mengenal dia sekalipun, tetap dia akan hamba bela karena hamba
tahu bahwa dia adalah satu di antara para pembantu sri baginda yang terbaik, paling jujur dan
setia sampai ke tulang - tulang sumsumnya."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Tapi dia berani menentang kebijaksanaan sri baginda !" kata nenek itu penasaran.
"Tidak, tuan puteri. Bukan menentang sri baginda, melainkan mengingatkan beliau bahwa
ke-putusan yang diambil beliau itu kurang tepat dan pada akbarnya hanya akan merugikan negara
sen-diri. Hanya menteri-menteri- jujur sajalah yang berani mengeritik, sebagai tanda bahwa dia
benar-benar setia, bukan sebangsa pejabat yang pandai-nya hanya menjilat - jilat, menyenangkan
hati sri baginda karena pamrih untuk mencari kedudukan dan pengaruh, pejabat macam ini
sesungguhnya adalah pengkhianat, musuh dalam selimut yang amat berbahaya. Kenapa justeru
menteri yang ju-jur dan setia yang harus ditangkap dan dihukum ?"
"Sudahlah, aku mengerti apa yang kaumaksud-kan. Aku akan menghadap sri baginda dan
tunggu-lah selama satu minggu. Aku akan datang lagi, Pek-ji, Ang-ji, mari kita pulang. Bawa nona
itu sebagai kawan."
Biarpun nenek itu menyebut "kawan" namun dua orang muridnya tentu saja maklum bahwa
guru mereka mencurigai nona ini yang harus dibawa sebagai seorang tawanan. Pek Lian tidak
memban-tah. Ia dan dua orang murid Siang Houw Nio - nio itu diberi pinjaman pakaian oleh
keluarga Wakil Perdana Menteri Kang untuk mengganti pakaian mereka yang tadi basah ketika
mereka berkelahi melawan Im - kan Siang - nio. Setelah berpamit, rombongan puteri tua itu
meninggalkan Lak-yang untuk kembali ke kota raja. Pengawal yang tadi-nya berjumlah
empatbelas orang itu masih utuh biarpun mereka telah menderita luka - luka berat yang kemudian
dapat disembuhkan kembali. Ten-tu saja mereka masih nampak loyo. Akan tetapi, sesungguhnya
tugas mereka itu lebih banyak se-bagai tanda kebesaran saja dari pada benar - benar mengawal
puteri tua yang amat lihai dan yang ten-tu saja sama sekali tidak membutuhkan pengawal-an
orang - orang seperti mereka. Pek Lian menung-gang kuda di belakang kereta, diapit oleh Pek In
dan Ang In. Dua orang gadis ini bersikap manis kepadanya, sama sekali tidak bersikap seperti
orang yang menawannya. Pek Lian mengakui namanya, hanya she Ho itu digantinya dengan she
palsu, yaitu she Sie.
***
Hujan telah berhenti sama sekali sehingga para pengawal, juga Pek In, Ang In dan Pek Lian
yang berada di luar kereta tidak lagi basah oleh air hujan. Nenek bangsawan itu sengaja membuka
tirai kereta sehingga dari belakang, sambil naik kuda yang disediakan oleh keluarga Menteri Kang,
Pek Lian dapat melihat wajah nenek itu yang duduk termenung seperti patung. Diam - diam,
seperti tidak sengaja, Pek Lian memperhatikan wajah itu. Seorang wanita yang sudah tua, usianya
tentu ada enampuluh lima tahun, akan tetapi masih jelas membayang bekas kecantikannya. Wajah
itu masih putih lembut biarpun di sana - sini, terutama di kanan kiri mulut dan di antara kedua
mata, terdapat keriput. Alisnya diperindah dengan hiasan hi-tam seperti sudah lajimnya dilakukan
oleh para wanita bangsawan. Mulut itu dahulu tentu indah dan penuh gairah, masih nampak jelas
garis - garis lengkungnya, akan tetapi kini membayangkan se-suatu yang menyeramkan,
menimbulkan sifat di-ngin dan juga keras. Pek Lian teringat akan cerita ayahnya tentang wanita
ini, seorang bibi dalam dari kaisar dan juga menjadi pelindung kaisar. Bia-sanya wanita ini selalu
berada di dalam istana, menjadi semacam pelindung tersembunyi dari kaisar, di samping adanya
pengawal - pengawal pribadi kaisar yang dipimpin oleh Pek-lui-kong Tong Ciak si pendek cebol
tokoh Soa-hu-pai itu. Karena nenek ini tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, maka
perkenalannya dengan Menteri Ho juga hanya sepintas lalu saja, bahkan Pek Lian sendiri hanya
baru mendengar namanya saja dan belum pernah berkenalan secara langsung, hanya melihatnya
dari jauh. Tidak demikian dengan Wa-kil Perdana Menteri Kang yang menjadi sahabat baik
ayahnya. Ia pernah bertemu, bahkan berke-nalan dengan pembesar ini, walaupun hanya merupakan
pertemuan sambil lalu. Karena itulah maka pembesar itu meragu dan tidak mengenalnya
tadi.
Kereta itu dengan tenangnya meluncur keluar dari pintu gerbang benteng sebelah utara.
Para penjaga yang mengenal kereta dengan tanda - tan-da pangkatnya ini, cepat berdiri tegak
memberi hormat dan kereta itu lewat dengan cepatnya, Pada saat itu, Ang In mendekati jendela
kereta dan berkata kepada nenek Siang Houw Nio - nio.
"Subo, di depan terdapat empat orang dari per-kumpulan Thian - kiam - pang. Mereka juga
keluar dari pintu gerbang dan juga membawa sebuah kereta."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Nenek itu mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan hitam karena alis itu buatan dengan
alat penghitam. "Biarkan saja, kenapa ribut-ribut ? Jangan perdulikan bocah-bocah ingusan itu.
Pura-pura tidak melihat saja!" Jelas bahwa dalam kata-kata nenek itu terdapat kemarahan atau
ke-mengkalan hati yang tidak senang.
"Tapi tapi, subo di sana terdapat Yap-suko ! Teecu... teecu..." gadis baju merah itu
tergagap. Juga nona Pek In nampak gugup seperti adik seperguruannya. Melihat semua ini, Pek
Lian memandang heran. Ada apakah ? Ia juga melihat kereta di depan dengan beberapa orang
pemuda perkasa yang mirip dengan rom-bongan pria yang pernah dilihatnya ketika ia masih
bersama kedua orang suhunya. Orang - orang Thian-kiam-pang ! Pria gagah perkasa, berbaju
putih-putih membawa pedang pasangan yang panjang, sikap merekapun gagah dan jelas
menunjukkan bahwa mereka adalah golongan pendekar-pendekar perkasa.
"Huh, kalau ada bocah itu, kenapa sih ? Apa-kah kalian takut padanya?" nenek itu bertanya
dan nampaknya semakin penasaran. "Lihat, apa yang dapat mereka lakukan kalau ada aku di sini
!"
Ho Pek Lian menjadi semakin heran. Ada apa-kah antara nenek dan dua orang muridnya itu
de-ngan orang-orang dari Thian - kiam - pang, sehing-ga dua orang gadis lihai itu nampak seperti
gentar dan kehilangan keberanian mereka ? Apakah orang-orang Thian - kiam - pang itu musuhmusuh
mere-ka dan apakah mereka itu demikan lihainya se-hingga dua orang gadis itu kelihatan
gentar? Ka-rena tertarik, Pek Lian agak menjauhkan kudanya dari kereta untuk dapat melihat lebih
jelas ke arah orang - orang Thian - kiam - pang yang berada di depan itu.
Kereta di depan itu agaknya berjalan lambat-lambat sehingga hampir tersusul oleh kereta
yang ditumpangi Siang Houw Nio-nio. Kini Pek Lian dapat melihat lebih jelas. Orang - orang dari
Per-kumpulan Pedang Langit itu rata - rata berusia antara tigapuluh lima sampai empatpuluh
tahun, kelihatan tegap dan gesit, rata - rata bersikap ga-gah dan membayangkan kepandaian silat
yang tinggi. Setelah kereta yang berada di belakang itu menyusul dekat, pria - pria gagah
perkasa yang rata - rata berpakaian serba putih itu serentak me-nengok ke belakang dan
kesemuanya nampak ter-kejut sekali dan kikuk, persis seperti sikap Pek In dan Ang In ketika
melihat mereka ! Jadi ada sema-cam rasa tidak enak, segan dan takut antara kedua rombongan
itu. Kini Pek Lian teringat betapa wanita-wanita berpakaian sutera hitam yang me-makai tusuk
konde batu giok itupun nampaknya kikuk ketika pria - pria gagah itu bertemu dengan pimpinan
wanita bertusuk konde batu giok. Empat orang pria itu meringis, senyum yang masam dan kikuk,
dan mereka hampir berbareng menegur ke-pada dua orang gadis itu. "Adik Pek! Adik Ang!"
Teguran yang dilakukan dalam keadaan cang-gung itu membuat dua orang gadis itu
kelihatan makin serba salah, keduanya hanya tersenyum masam sambil sedikit mengangguk ketika
mende-ngar sebutan itu. Padahal, melihat nada suara se-butan itu, mudah diduga bahwa
hubungan antara mereka itu sesungguhnya amat dekat. Kini dua orang gadis itu hanya mengerling
tajam dengan sikap takut-takut ke arah jendela kereta. Mereka merasa lebih gugup ketika melihat
betapa kereta itu, kereta para pria itu, berhenti dan pemuda yang tadi duduk di bangku kusir kini
meloncat turun dan menghampiri mereka ! Pemuda ini nampaknya paling muda di antara mereka
berempat, akan te-tapi melihat caranya memberi isyarat kepada yang lain untuk berhenti dan yang
lain mengangguk ta-at, dapat diduga pula bahwa kedudukannya adalah yang paling tinggi.
Tentu saja Pek In dan Ang In tahu siapa pemuda ini. Namanya Yap Kiong Lee dan biarpun
usianya termuda di antara yang lain, yaitu baru ti-gapuluh satu atau dua tahun, akan tetapi dia
ada-lah murid tertua atau paling lama sehingga meru-pakan toa - suheng dari yang lain dan
tingkat ilmu silatnya juga paling tinggi. Melihat dua orang ga-dis itu, murid Thian - kiam - pang
yang paling lihai ini tersenyum girang dan dengan langkah lebar menghampiri sambil menegur.
"Hei, kiranya Pek-siauwmoi dan Ang-siauwmoi ! Apa kabar, adik-adik yang manja ? Dari
manakah" tiba-tiba dia terdiam ketika dua orang gadis itu kelihatan ketakutan dan kebingung-an,
memandang ke arah jendela kereta di belakang itu. Cepat dia menghentikan langkahnya dan memandang
ke arah jendela kereta pula, wajahnya agak berobah dan sikapnya menjadi gugup pula,
Tiba - tiba terdengar suara nenek bangsawan dari dalam kereta, suaranya agak ketus,
"Hayo, Pek-ji dan Ang-ji! Jangan layani bocah - bocah itu!"
Pek In dan Ang In menjadi semakin ketakutan.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Yap-suheng... aku... aku..." Pek In tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menjalankan
kudanya maju menjauhi pemuda itu, disusul oleh Ang In.
Yap Kiong Lee juga kelihatan jerih, sambil mennura ke arah kereta, diapun berkata,
"Subo...!"
Dan saudara-saudara seperguruannya juga menjura dengan hormatnya. Akan tetapi, nenek
di dalam kereta itu sama sekali tidak menjawab dan kereta-nya lewat dengan cepat mendahului
kereta Thian-kiam - pang itu dan Pek Lian juga mengikuti kereta sambil melirik dengan penuh
keheranan.
Betapa anehnya semua orang ini, pikirnya. Je-laslah bahwa mereka itu saling mengenal
dengan amat baiknya, apa lagi pemuda she Yap itu sudah jelas memiliki hubungan yang amat
akrab dengan dua orang gadis itu. Akan tetapi mengapa mereka itu bersikap seolah - olah mereka
bermusuhan atau merasa takut untuk memperlihatkan keakraban ? Pek Lian melirik ke belakang
ketika mereka me-lalui kereta orang-orang Thian - kiam - pang itu, dan ia melihat kereta itupun
bergerak dengan ce-patnya, melalui jalan kecil di sebelah kiri dan agak-nya memang hendak
mengambil jalan lain agar tidak sejalan dengan nenek bangsawan. Sebentar saja kereta mereka
itu lenyap, meninggalkan debu mengepul tinggi. Sementara itu, kereta nenek bang-sawan jalan
seenaknya seperti yang diperintahkan oleh nenek itu kepada kusirnya.
Ketika kereta Siang Houw Nio - nio memasuki kota kecil di sebelah timur kota raja, hari
telah senja. Jarak antara kota kecil Bin - an dengan Kota Raja Tiang - an tinggal perjalanan
setengah hari saja. Akan tetapi karena nenek bangsawan itu tidak ingin melakukan perjalanan di
malam hari, ia me-merintahkan agar mereka bermalam di kota kecil Bin - an. Dan biarpun ia
seorang yang berkeduduk-an tinggi di istana, namun karena ia tidak terma-suk orang
pemerintahan dan tidak begitu menge-nal para pejabat, iapun tidak mau merepotkan pe-jabat
kota itu dan memerintahkan dua orang mu-: ridnya untuk mencari penginapan, tentu saja hotel
yang paling baik dan besar di kota itu. Hotel itu selain besar dan mempunyai banyak kamar, juga
menyediakan sebuah rumah makan yang mewah.
Nenek Siang Houw Nio-nio segera memasuki kamar yang disediakan untuknya dan memesan
kepada Pek In dan Ang In agar untuk makan malamnya, diantar saja ke dalam kamar karena ia
enggan keluar.
"Kalian boleh makan di luar dan jalan-jalan, akan tetapi jaga jangan sampai gadis itu lolos,"
katanya. Dua orang gadis itu menyanggupi lalu mereka mengajak Pek Lian keluar dan memasuki
rumah makan itu. Sikap keduanya gembira dan terhadap Pek Lian mereka menganggap seperti semang
sahabat sendiri.
"Adik Pek Lian, engkau tahu bahwa demi tugas, kami harus mengawasimu karena engkau
dicurigai, akan tetapi percayalah bahwa kami suka kepadamu dan sedikitpun kami tidak
mempunyai hati benci atau memusuhimu," demikian mereka pernah ber-kata sehingga di dalam
hatinya, Pek Lian juga su-ka kepada dua orang gadis yang berilmu tinggi ini.
Ketika mereka memasuki rumah makan, tempat itu penuh dengan tamu - tamu yang makan
minum. Ada sebuah meja kosong di sudut dan tiga orang gadis itu duduk menghadapi meja ini,
tidak jauh dari meja di mana terdapat empat orang laki - laki yang menarik perhatian mereka. Di
pinggang mereka ini terselip golok. Padahal, waktu itu sudah ada larangan membawa senjata.
Jelaslah bahwa empat orang ini termasuk jagoan - jagoan dan dua orang di antara mereka
mempunyai lengan yang dibalut, tanda bahwa mereka telah mengalami luka. Sikap mereka kasar -
kasar dan diam - diam Pek Lian melirik penuh perhatian karena ia merasa seperti pernah melihat
wajah - wajah kasar ini.
Empat orang kasar itu kini menjadi semakin kasar karena mereka telah agak kebanyakan
minum arak keras. Ketika mereka minta tambah arak dan pelayan datang agak terlambat, seorang
di antara mereka bangkit berdiri dan menampar pelayan itu. Pelayan yang sial itu roboh terguling
dengan pipi bengkak dan pingsan. Tentu saja keadaan menjadi gempar. Banyak di antara para
tamu merasa tidak enak dengan adanya peristiwa ini dan mereka su-dah bangkit berdiri,
bermaksud meninggalkan tem-pat itu. Akan tetapi, empat orang kasar itu bangkit berdiri,
mencabut golok mereka dan mengacung-acungkannya ke atas.
"Jangan ribut! Teruskan kalian makan, siapa berani pergi akan kami bunuh !"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Tentu saja para tamu menjadi semakin ketakut-an. Mereka tidak jadi pergi, akan tetapi tentu
saja napsu makan sudah lama terbang meninggalkan hati mereka. Para pelayan lain dengan
ketakutan segera menggotong pelayan sial yang pingsan itu.
"Harap nona suka hati-hati," bisik seorang di antara para pelayan ketika mereka lewat dekat
me-ja tiga orang gadis itu.
Ketika ada beberapa orang petugas keamanan kota memasuki rumah makan, para tamu
meman-dang dengan penuh harapan. Tentu mereka akan menangkap empat orang yang jelas
merupakan penjahat-penjahat kasar itu. Akan tetapi, empat orang itu sama sekali tidak kelihatan
takut, bahkan seorang di antara meieka mengangkat kakinya ke atas meja secara menantang
sekali. Dan anehnya, para petugas keamanan itu nampak ragu - ragu!
Hal ini tentu saja amat mengherankan hati Pek Lian. Kota kecil ini tidak terlalu jauh dari kota
raja, akan tetapi mengapa para penjahat ini begitu beraninya, seolah - olah menantang petugas
keaman-an ? Melihat sikap mereka, Ang In hampir tidak dapat menahan hatinya, akan tetapi
sucinya berkedip kepadanya dan mencegahnya turun tangan karena Pek In ingin melihat
perkembangannya.
Empat orang yang mabok - mabokan itu agak-nya tidak memperdulikan kanan kiri dan
kesem-patan ini dipergunakan oleh Pek Lian untuk meng-gapai pelayan yang tadi membisikkan
peringatan kepada mereka bertiga. Pelayan itu datang ke me-ja mereka dan sambil berpura - pura
memesan ma-kanan, Pek Lian berbisik dan bertanya kepada pelayan itu tentang empat orang
kasar tadi. Sam-bil berbisik pula, dengan singkat pelayan itu lalu bercerita.
Kiranya memang sudah kurang lebih sepekan ini kota kecil itu didatangi oleh penjahat -
penjahat yang beraksi di sekitar kota raja, termasuk di kota kecil itu. Ketika para petugas
keamanan turun tangan bertindak, para penjahat melawan dan be-berapa orang petugas tewas
dalam perkelahian. Hal ini membuat para komandan marah dan diada-kanlah pembersihan
terhadap para penjahat. Akan tetapi, ketika diadakan pembersihan pada siang harinya, maka pada
malam harinya, terjadilah pembunuhan-pembunuhan gelap terhadap para komandan yang
memimpin pembersihan. Dan di setiap tempat di mana perwira itu dibunuh, terdapat sebuah
bendera kecil berdasar hitam dengan gambar harimau berwarna kuning. Di pinggang harimau itu
melilit sebuah rantai yang kedua ujung nya bermata tombak.
Mendengar penuturan itu, Pek Lian menahan kagetnya. Bukankah gambar yang dilukiskan
itu merupakan tanda dari San - hek - houw (Harimau Gunung Hitam), raja kaum perampok dan
begal, copet dan maling, yang merupakan seorang di an-tara Sam - ok (Tiga Jahat) ?
"Hemm, mengherankan sekali," kata Ang In. "Apakah tidak ada pasukan penjaga keamanan
dari kota raja ?" tanyanya kemudian.
Pelayan itu sambil berbisik melanjutkan cerita-nya. Agaknya dia termasuk orang yang suka
de-ngan kabar angin, dan suka bercerita pula, agak-nya bangga karena dia dapat menceritakan
semua itu. Menurut kabar, oleh penguasa kota telah dila-porkan ke kota raja, akan tetapi sampai
hari itu belum ada hasilnya. Para penjahat itu nampaknya semakin berani. Beberapa kali terjadi
perkelahian antara para penjahat dan para penjaga yang diban-tu oleh pendekar - pendekar yang
kebetulan lewat di situ dan yang membela rakyat dari ancaman para penjahat. Hampir setiap hari.
terjadi pembu-nuhan. Baru, kemarin terjadi pertempuran sengit antara para penjahat dengan
beberapa orang pen-dekar dari Kun - lun - pai. Para penjahat melari-kan diri sambil membawa
teman - teman mereka yang terluka karena lima orang pendekar Kun - lun-pai itu lihai sekali. Akan
tetapi, kemudian muncul seorang laki - laki tinggi besar yang berjubah kulit harimau. Laki - laki
tinggi besar ini selalu diikuti oleh dua ekor harimau kumbang dan lima orang pendekar Kun - lun -
pai itu tewas semua di tangan raja penjahat ini!
"Dan mereka itu..." kata si pelayan sambil melirik ke arah empat orang yang duduk di meja
sambil tertawa- tawa itu. " adalah sebagian dari penjahat-penjahat yang melarikan diri karena
kalah oleh pendekar-pendekar Kun-lun-pai"
Mendengar penuturan itu, Pek Lian mengepal tangannya di bawah meja dan tanpa
disadarinya lagi iapun berkata gemas, "Hemm, orang-orang si Raja Kelelawar sudah mulai
merajalela !" Setelah mengeluarkan kata-kata itu dan melihat betapa dua orang gadis itu
memandangnya dengan aneh, barulah Pek Lian terkejut sendiri.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Adik Pek Lian sudah mengenal Raja Kelelawar dan pengikut - pengikutnya ?" tanya Pek In
sambil memandang tajam.
"Ah, tidak..." kata Pek Lian yang sudah menyadari bahwa ia tadi terdorong oleh perasaannya
dan kelepasan bicara. "Aku hanya mendengar berita angin saja bahwa kini kaum hitam telah
bersatu dan dipimpin oleh seorang raja penjahat besar yang bernama Raja Kelelawar. Raja ini kabarnya
dibantu oleh dua orang pimpinan penjahat yang berjuluk Si Harimau Gunung dan Si Buaya
Sakti."
Gadis baju merah mengangguk-angguk. "Memang berita itu benar. Anak buah yang kami
kirim ke tempat pertemuan itu juga melaporkan demikian. Kiranya engkaupun sudah mendengar
akan berita menghebohkan itu." Ang In tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu
terdengar suara berisik derap kaki kuda di luar restoran.
Pelayan yang datang mengantar hidangan ke
meja tiga orang gadis itu, menjadi pucat ketika
menaruh mangkok-mangkok di atas meja. "Celaka... mereka... mereka datang lagi ......!"
Dan setelah menaruh masakan-masakan panas di atas meja, pelayan itu bergegas pergi
meninggalkan ruangan dan bersembunyi di bagian belakang res-toran bersama teman-temannya.
Empat orang kasar itu kini semakin mabok dan semakin ugal-ugalan. Kata-kata mereka
kasar dan juga jorok dan cabul, apa lagi setelah kini mereka melihat adanya tiga orang wanita
cantik tidak jauh dari meja mereka. Kata-kata mereka mulai menyindir dan mengenai tiga orang
wanita itu se-hingga wajah ketiga orang gadis itu menjadi merah karena marahnya.
"Ha - ha - ha, A - tung, gadis - gadis di sini memang berani - berani. Lihat saja, banyaknya
gadis yang datang mendekati kita ke manapun kita ber-ada. Ha - ha - ha 1"
"Memang rejeki kita sedang besar. Tapi, kita berempat sedangkan yang ada hanya tiga,
harus diundi !"
"Aku ingin yang paling muda!"
"Kalau aku yang lebih tua, karena tentu lebih berpengalaman dan lebih menyenangkan."
Ang In sudah meraba gagang pedangnya, akan tetapi lengannya disentuh oleh sucinya yang
mela-rangnya untuk menanggapi orang - orang kasar itu. Pek In lebih hati - hati dari pada
sumoinya, ia sela-lu ingat bahwa mereka berada dalam tugas dan mereka tidak sepatutnya kalau
melibatkan diri dengan urusan pribadi. Mereka hanya akan bergerak kalau ada perintah dari subo
yang juga menjadi majikan mereka. Kalau mereka menimbulkan keributan karena urusan pribadi,
tentu mereka akan meneri-ma teguran dari subo mereka.
Akan tetapi, empat orang kasar itu agaknya tidak tahu gelagat dan mereka itu makin
menjadi-jadi kurang ajarnya. Apa lagi ketika Pek Lian yang merasa marah karena dirinya
dibicarakan secara jorok itu, melirik dengan sinar mata berapi. Seorang di antara mereka, yang
berkumis tebal, bangkit dan dengan langkah sempoyongan menghampiri meja tiga orang gadis
yang sedang mulai makan itu.
"Ha-ha-ha, nona manis, jangan jual mahal. Mari makan bersama kami" Dan diapun
mengulurkan tangannya hendak meraba dada Pek Lian. Gadis itu tidak dapat lagi mengendalikan,
kemarahan hatinya. Disambarnya mangkok kuah bakso panas dan "sekali ia menggerakkan tangan
"byuurrr" kuah panas itu menyiram muka yang berkumis tebal itu.
"Aduuhhh... auphh... panas, panas... !"
Dia menjerit - jerit, kulit mukanya terbakar, matanya kemasukan kuah yang banyak
mericanya, terasa pedas dan perih. Tiga orang kawannya terkejut dan marah sekali, meloncat
sambil, mencabut golok mereka. Suasana menjadi panik karena para tamu sudah menjadi
ketakutan.
Akan tetapi, sebelum empat orang kasar itu sempat turun tangan, terdengar bentakan yang
amat nyaring, "Tahan ! Jangan mengganggu wanita !!"
Kiranya yang membentak dan yang kini telah berdiri di situ adalah Yap Kiong Lee, murid
kepala dari ketua Thian - kiam - pang itu. Tiga orang su-tenya dengan sikap tenang berdiri di
belakangnya. Kiranya derap kaki kuda tadi adalah kuda dan kereta mereka.
Empat orang kasar itu adalah penjahat - penja-hat yang terlalu mengandalkan kepandaian
sendiri. Apa lagi sekarang, sepeiti diceritakan oleh pelayan tadi dan diketahui pula oleh tiga orang
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
gadis, mereka sedang berbesar hati karena banyak kawan mereka merajalela di situ, dan mereka
merasa di-lindungi oleh raja mereka, Si Harimau Gunung ! Mengandalkan semua ini, tentu saja
mereka tidak merasa gentar menghadapi empat orang pria muda ini.
"Keparat jahanam ! Berani engkau hendak men-campuri urusan kami ?" bentak pimpinan
gerom-bolan empat orang penjahat itu yang kepalanya botak kelimis sambil menudingkan
goloknya ke arah muka Yap Kiong Lee. Pemuda ini tersenyum tenang saja.
"Mengganggu wanita di tempat umum bukan-lah urusan pribadi, melainkan urusan umum
karena kalian telah mengacaukan orang lain di tempat umum, Sebaliknya kalian berempat pergi
saja dari sini dan jangan membuat gaduh."
"Keparat!" Si botak itu dengan marahnya mem-bacok dengan goloknya ke arah leher
pemuda she Yap. Namun, dengan amat mudahnya, pemuda she Yap ini miringkan kepala dan
golok itu lewat di dekat lehernya tanpa menyentuhnya sedikitpun ju-ga. Hanya seorang ahli silat
tinggi sajalah yang dapat mengelak seperti itu, sedikit saja dan membiar-kan senjata lawan lewat
dekat. Karena gerakan yang sedikit inilah yang memungkinkan dia dapat cepat pula melakukan
serangan balasan. Akan tetapi agaknya pemuda itu sabar sekali dan tahu bahwa -dia hanya
menghadapi orang - orang kasar. Dia tidak membalas dan pada saat itu, dua orang sute-nya
sudah maju.
"Toa - suheng, biarkan kami yang maju meng-hajar bajingan - bajingan kecil ini!" Dua orang
sutenya itu lebih tua beberapa tahun dari pada Kiong Lee, akan tetapi mereka menyebut suheng,
bahkan toa - suheng atau kakak seperguruan terbe-sar karena memang pemuda inilah yang
pertama kali menjadi murid ketua Thian - kiam - pang. Yap Kiong Lee segera mundur dan dua
orang sutenya maju. Empat orang kasar itu tidak perduli dan mereka sudah menerjang dengan
golok mereka. Akan tetapi, dua orang murid Thian - kiam - pang yang maju ini adalah murid-murid
kepala, murid-murid pilihan yang sudah mempunyai ilmu kepan-daian tinggi. Dengan kedua
tangan kosong saja mereka menghadapi empat orang bergolok itu dan membagi - bagi pukulan
dengan enaknya, membuat empat orang kasar itu jatuh bangun dan akhirnya mereka
memperlihatkan warna aselinya, yaitu pe-ngecut - pengecut yang beraninya hanya main keroyok,
menindas yang lemah dan kalau bertemu tanding yang lebih kuat, mereka itu berlumba me-larikan
diri!
Yap Kiong Lee melirik ke kanan kiri untuk me-lihat apakah guru dari dua orang gadis yang
dike-nalnya itu berada di situ. Setelah merasa yakin bahwa nenek yang ditakutinya itu tidak
berada di situ, wajahnya menjadi cerah dan diapun bersama tiga orang sutenya cepat
menghampiri meja Pek In dan Ang In.
"Suheng, apa kabar ? Subo berada di kamarnya. Marilah!" Pek In mempersilahkan pemuda
itu dan mereka berempat lalu mengambil tempat duduk dan bercakap-cakap dengan amat
akrabnya dengan Pek In dan Ang In.
"Sebetulnya, Yap-suheng dari manakah ? Kelihatan tergesa-gesa sekali. Dan bagaimana
kabarnya dengan Kim-suheng ? Kenapa dia tidak kelihatan bersamamu ? Biasanya, Kim-suheng
yang bandel itu tidak pernah berpisah denganmu," kata Pek In dan ketika ia menyebutkan "Kimsuheng",
ia melirik kepada sumoinya, Ang In.
Mendengar pertanyaan Pek In ini, mendadak sikap empat orang gagali itu berobah dan
mereka kelihatan berduka dan menundukkan mukanya. Terutama sekali Yap Kiong Lee, pemuda
ini me-nundukkan muka dan matanya menjadi basah.
Teringatlah pemuda itu akan semua keadaan-nya yang membuatnya berduka sekali pada
saat itu, setelah mendengar pertanyaan Pek In tentang adiknya. Ya, Yap Kim adalah adiknya. Dia
sendiri adalah seorang anak yatim piatu yang sejak kecil telah diambil murid, kemudian bahkan
diangkat anak oleh gurunya sendiri, yaitu seorang pendekar terkenal yang memiliki ilmu
kepandaian hebat dan kemudian menjadi ketua Thian - kiam - pang. Gurunya itu she Yap dan
biasanya orang hanya me-ngenal sebagai Yap - taihiap saja, dan setelah tua dikenal sebagai Yap -
lojin yang disegani orang. Nama lengkapnya adalah Yap Cu Kiat. Karena su-hunya itu tadinya tidak
mempunyai keturunan ma-ka diapun diangkat anak oleh Yap Cu Kiat. Dua tahun kemudian, ketika
dia berusia delapan tahun, isteri suhunya melahirkan seorang anak laki - laki yang diberi nama Yap
Kim karena ketika isterinya mengandung, suhunya pernah bermimpi isterinya melahirkan sebuah
boneka emas ! Yap Kiong Lee sendiri amat sayang kepada adiknya ini. Dialah yang
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menggendongnya, dialah yang mengajaknya bermain-main sejak Yap Kim kecil dan setelah
adiknya itu dewasa, mereka menjadi akrab dan ru-kun sekali, saling menyayang. Takkan ada
orang yang menyangka bahwa mereka itu sesungguhnya hanyalah saudara angkat saja. Kiong Lee
sangat menyayang adiknya itu dan memang Kim - ji, de-mikian sebutannya, amat dimanjakan oleh
semua orang sehingga sejak kecil anak itu menjadi ban-del dan nakal bukan main. Dan kini,
diingatkan oleh pertanyaan Pek In, hati Kiong Lee seperti di-tusuk karena dia teringat kepada
adiknya.
"Ahh... dia... Kim-te terluka parah"
Akhirnya dia dapat mengeluarkan kata-kata yang penuh kegelisahan.
"Terluka parah...... ??" Ang In bertanya dan mukanya berobah pucat. "Apa yang terjadi
dengan dia ?"
"Dia dilukai oleh Si Raja Kelelawar! Lukanya parah sekali... entah bisa sembuh atau tidak..."
Suara Kiong Lee gemetar penuh kegelisahan.
"Apanya yang terluka ? Dan... di manakah dia sekarang ?" Kembali nona Ang In bertanya,
hampir menangis. Melihat semua ini, Pek Lian dapat menduga bahwa nona Ang yang gagah ini
agaknya ada hati terhadap pemuda bernama Yap Kim yang terluka parah itu.
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To
Register.]***
oleh kaum sesat itu. Akan tetapi karena ada larangan dari suhu, maka akupun tidak mau,
Tidak kusangka sama sekali bahwa dengan nekat adik Kim pergi sendiri ! Mendengar bahwa Kimte
pergi seorang diri, suhu lalu memanggilku dan me-nyuruhku mencari dan mengajaknya pulang.
Aku mengajak beberapa orang suteku untuk menyusul Kim - te, akan tetapi setibanya di tempat
pertemuan itu, ternyata sudah terlambat. Orang - orang sudah bubaran dan pertemuan itu telah
lewat. Kami ber-pencar untuk mencari Kim - te. Kalian tentu sudah tahu bahwa biarpun Kim - te
sangat berbakat dalam ilmu silat, namun watak nakalnya sukar untuk di- robah. Apa lagi
setelah subo pergi meninggalkan suhu, anak itu makin sukar diurus." Yap Kiong Lee menarik
napas panjang, nampak berduka seka-li.
"Akan tetapi bukankah dia amat penurut kepa-damu, Yap-suheng ?"
"Memang dia amat patuh kepadaku karena se-jak kecil akulah yang mengasuhnya,
melindungi dan mengajarnya ilmu silat yang diberikan oleh suhu dan subo."
"Yap - suheng memang sangat berbudi, aku dan adik Ang juga sejak kecil selalu
menyusahkanmu," kata Pek In lirih.
"Hemm, adik Pek, engkau tahu apa ? Sejak ke-cil aku sudah yatim piatu. Suhu memungut
dan memeliharaku, bahkan mengangkatku sebagai anak. Setelah aku berusia delapan tahun, baru
adik Kim terlahir. Budi suhu dan subo yang dilimpahkan kepadaku, sampai matipun takkan dapat
kubalas, maka apa artinya membimbing kalian yang menjadi murid-murid tersayang dari subo ?"
'U
"Lalu bagaimana dengan Kim-suheng ?" tanya Ang In.
"Baiklah, kulanjutkan ceritaku. Dari seorang pengunjung pertemuan itu, kami mendengar
bah-wa ada seorang pemuda yang berpakaian putih dan bersenjata siang - kiam (pedang
pasangan) tam-pak bersama seorang gemuk pendek berkelahi me-lawan kelompok orang
berjubah naga di lereng bu-kit sebelah selatan. Kami segera mengejar ke sana. Akan tetapi
terlambat. Perkelahian telah selesai dan kedua pihak sama - sama terluka dan kedua pihak telah
pergi. Yang membuat kami khawatir adalah ketika kami melihat dari bekas-bekas pertempuran
bahwa kawan Kim-sute yang pendek itu adalah seorang tokoh pulau terlarang atau Pulau Ban-kwito.
Kalau benar seperti kata orang yang menyaksikan itu, orang yang gemuk pendek itu tentulah
Ceng-ya-kang (Kelabang Hijau) to-koh penting dari Ban-kwi-to."
"Lalu bagaimana ?" Ang In mendesak, khawatir sekali.
"Kami mengikuti jejaknya. Di sebuah dusun kami menemukan Kim-sute terluka parah di
rumah seorang petani, dirawat oleh seorang pendekar tua yang tidak mau menyebutkan namanya.
Menurut pengakuannya, adik Kim telah berkelahi melawan penjahat-penjahat yang dipimpin oleh
raja bajak, kemudian datanglah Raja Kelelawar dan Kim-sute dilukainya. Untung ada pendekar tua
itu yang lewat dan menolongnya."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Lalu ke mana perginya si Kelabang Hijau itu ?" tanya Pek In.
"Entahlah, Kim-sute sendiripun tidak tahu karena setelah terpukul, dia pingsan."
"Di mana adanya Kim-suheng sekarang?" Ang In bertanya, wajahnya membayangkan
kekhawatiran hebat.
"Di dalam kereta, dijaga oleh Ngo-sute."
"Aku ingin menengok Kim-suheng !" Ang In cepat bangkit berdiri dan semua orangpun
bangkit hendak mengikutinya. Akan tetapi, sebelum mereka meninggalkan meja itu, tiba-tiba
terdengar suara halus.
"Hemm kalian mau ke mana ?"
Semua orang terkejut karena mengenal suara ini dan ketika mereka membalikkan tubuh,
ternyata Siang Houw Nio - nio telah berdiri di situ !
Yap Kiong Lee terkejut dan jerih, cepat - cepat
dia dan ketiga orang sutenya menjatuhkan diri
berlutut sambil berkata takut - takut, "Subo... !"
Akan tetapi wanita bangsawan itu tidak mengacuhkan mereka melainkan memandang
kepada kedua orang muridnya yang nampak ketakutan, dan wanita tua itu nampak marah.
"Kenapa kalian tetap bergaul dengan murid-murid tua bangka itu ? Apakah engkau ingin
mengikuti mereka dan memusuhi aku ?" Di dalam ucapan ini terkandung kepahitan yang amat
mendalam sehingga dua orang gadis itu menjadi bingung dan tidak mampu menjawab.
Melihat ini, Yap Kiong Lee mengangkat muka dan berkata, "Subo... teeculah yang..."
"Diam kau !" bentak wanita bangsawan itu dengan suara keras, membuat Pek In menjadi
semakin pucat.
Peristiwa ini diam - diam sejak tadi diikuti oleh Ho Pek Lian. Jiwa pendekarnya bergolak. Ia
me-lihat ketidakadilan dan merasa tidak senang dengan sikap nenek bangsawan itu yang
dianggapnya ter-lalu menekan kepada orang - orang muda yang di-kaguminya itu. Tanpa dapat
menahan gelora hati-nya, Pek Lian sudah melangkah ke depan dan de-ngan jari telunjuk
menuding kepada nenek bangsa-wan itu, ia berkata marah, "Haii, apa - apaan ini ? Main gertak
main kasar! Lihat dulu masalahnya baru marah - marah, itu baru adil namanya !"
"Anak kecil, engkau tahu apa !" bentak nenek itu dan tangannya melayang, menampar ke
arah pipi Pek Lian. Tentu saja nona ini tidak membiar-kan pipinya ditampar dan iapun sudah cepat
me-loncat ke belakang dan baiknya nenek itu agaknya-pun bukan menyerang dengan sungguh -
sungguh hanya untuk melampiaskan kemengkalan hatinya saja sehingga tidak melanjutkan
serangannya. Dan pada saat itu, terdengarlah suara ribut - ribut di luar. Yap Kiong Lee melihat
empat orang laki-laki jahat yang tadi dihajar oleh dua orang sutenya, maka diapun cepat meloncat
keluar. Hampir saja dia bertabrakan dengan seorang tinggi besar ber-mantel kulit harimau yang
melangkah masuk. Laki-laki tinggi besar ini tidak menghindar atau mihggir, akan tetapi malah
memasang kuda-kuda dan menggerakkan sikunya ke depan, menyerang ke arah tulang rusuk
pemuda baju putih itu. Mereka sudah berada dalam jarak dekat sekali dan serangan itu dilakukan
secara tiba - tiba dan tidak terduga-duga, akan tetapi ternyata pemuda she Yap ini amat lihai,
tenang dan tidak kehilangan akal. Dia maklum bahwa kalau dia mengadu tena-ga, dia akan kalah
posisi dan kalau orang itu ber-tenaga besar seperti nampaknya, dia akan menderita rugi. Dan
pintu itu terlalu sempit untuk dapat me-nerobos keluar, apa lagi karena lubang pintu telah dijaga
oleh sepasang lengan yang panjang dan kuat dari orang itu, di samping adanya dua ekor harimau
hitam yang berdiri di kanan kiri orang itu, dengan rantai leher yang ujungnya dipegang oleh dua
orang di. antara empat penjahat yang tadi meng-ganggu Pek Lian. Dalam beberapa detik saja,
Yap Kiong Lee telah memperoleh akal yang amat cerdik. Kakinya yang sedang melangkah tadi
dilanjutkan dengan tendangan ke arah selangkang si tinggi be-sar dan dia bersikap seolah - olah
dia memang hendak mengadu tenaga. Melihat ini, orang tinggi besar itu menyeringai dan
tubuhnya sedikit membungkuk untuk menangkis tendangan dengan tangan kiri sedangkan tangan
kanannya tetap melakukan serangan dengan siku. Akan tetapi tiba-tiba Kiong Lee menarik kembali
kakinya dan mengenjot badan dengan menekankan kaki pada lantai,
tangannya menampar siku yang menyerang rusuknya, meminjam tenaga lawan untuk
mengayun tubuhnya meluncur ke atas di antara kepala lawan dan daun pintu seperti seekor
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
burung lolos dari pintu kurungan yang terbuka sedikit saja. Kemudian, tubuhnya yang meluncur
keluar itu membuat salto yang amat manisnya sehingga dia dapat
turun di luar pintu dengan lunak. Semua orang melongo dan memandang kagum. Bahkan
nenek Siang Houw Nio-nio sendiri merasa kagum dan memuji ketangkasan dan kecerdikan
pemuda itu. "Berani... bagus sekali... anak ini sungguh semakin lihai saja !"
Kalau semua orang memandang kagum sekali, tiga orang gadis itupun bersorak karena
gembira-nya. Pek In dan Ang In sampai lupa kepada subo-nya yang marah - marah. Mereka
terbawa oleh sikap Pek Lian yang bersorak memuji sehingga merekapun ikut pula bersorak. Baru
setelah mere-ka melihat subo mereka memandang kepada mereka dengan mata melotot, mereka
sadar dan tangan yang sedang bertepuk itupun terhenti di tengah jalan.
Sementara itu, orang tinggi besar itu menjadi marah sekali. Dia adalah orang ke tiga dari
Sam-ok, yaitu tiga raja penjahat. Dia adalah San-hek-houw atau Si Harimau Gunung yang sebelum
munculnya Raja Kelelawar telah merajai semua penjahat di daratan, rajanya para. perampok,
maling dan copet. Kini dia telah menjadi pembantu utama dari Raja Kelelawar di samping dua
orang rekannya yang terkenal dengan julukan Sam-ok atau Si Tiga Jahat. Melihat betapa dalam
gebrakan pertama dia tidak mampu menghadang pemuda baju putih itu dan sebaliknya malah
memberi ke-sempatan kepada pemuda itu mendemonstrasikan kepandaiannya sehingga
memperoleh pujian, Sam-hek-houw menjadi marah sekali. Cepat dia mem-balikkan tubuhnya dan
tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Kiong Lee yang baru saja
turun ke atas tanah. Serangan San - hek - houw ini ganas dan dahsyat sekali, tiada bedanya
dengan ulah seekor harimau yang sedang kelaparan. Dua ekor harimau hitam yang menjadi
binatang peliharaannya itu mengaum-ngaum melihat majikan mereka berkelahi, seolah-olah
memberi semangat. Tentu saja para tamu restoran menjadi panik ketakutan. Berdiam di restoran
merasa ngeri, mau lari keluar terhadang oleh perkelahian di luar pintu, juga mereka takut kepada
dua ekor harimau itu yang rantainya dipegang oleh empat orang penjahat yang kini tertawa-tawa
karena mereka merasa yakin bahwa muculnya raja mereka ini akan dapat membalaskan kekalahan
mereka tadi.
Akan tetapi sekali ini mereka kecelik. Baru sekarang mereka memperoleh kenyataan bahwa
raja mereka itu bukanlah jaminan untuk selalu menang. Biarpun Si Harimau Gunung menyerang
dengan ganas dan dahsyat, namun pemuda baju putih itu dengan sikap tenang sekali dapat
menan-dinginya dan sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan membalas dengan seranganserangan
yang tidak kalah ampuhnya. Mereka ternyata seimbang, baik kecepatan maupun tenaga
mereka. Perkelahian itu amat seru dan menegangkan, terutama sekali bagi mereka yang
mempunyai keahlian dalam ilmu silat sehingga dapat mengikutinya. Yang merasa marah dan
penasaran adalah San-hek-houw sendiri. Biasanya, selama ini setiap kali dia turun tangan, dan hal
ini jarang terjadi karena dia cukup mewakilkan kepada anak buahnya saja, sudah dapat dipastikan
bahwa dia akan berhasil baik. Akan tetapi ternyata pemuda baju putih ini sedemikian lihainya
sehingga semua serangannya gagal dan dia malah harus menjaga diri karena pemuda itu
membalas dengan serangan yang amat berbahaya pula. Karena penasaran, maka raja penjahat ini
lalu mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu rantai yang kedua ujungnya bermata
tombak. Begitu diputar, rantai itu lenyap berobah menjadi gulungan sinar yang menyambarnyambar.
Meli-hat ini, Yap Kiong Lee cepat mencabut sepasang pedangnya yang tergantung di
punggung. Nampak dua sinar putih berkelebatan menghadapi senjata rantai dan kembali terjadi
perkelahian yang lebih seru dan juga ternyata dalam adu kepandaian senjata, mereka memiliki
tingkat yang seimbang.
(Bersambung jilid ke VIII.)
xx—» DARAH PENDEKAR «—xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid VIII
***
LIMAPULUH jurus telah lewat dan keduanya
sudah saling desak samibil mengerahkan tenaga sekuatnya. "Tring – trang... trakkk...!"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Tanpa dapat dicegah lagi, rantai itu melibat kedua pedang dan senjata - senjata itu saling
berbelit de-ngan amat kuatnya. Karena tidak ada jalan lain untuk melepaskan senjata yang terlibat
itu, kedua-nya lalu mengerahkan tenaga sinkang. Mereka membentak nyaring dan saling tarik.
Akibatnya, kedua pedang Kiong Lee terlepas dari pegangan, akan tetapi juga tangan kanan
Harimau Gunung itu terpaksa melepaskan senjata rantainya yang ki-ni hanya dipegang oleh
tangan kiri. Inipun tidak lama karena secepat kilat kaki Kiong Lee menen-dang ke arah
pergelangan tangan kiri lawan. Ka-kek tinggi besar itu berusaha mengelak, akan te-tapi tetap saja
ujung sepatu menyerempet perge-langan tangan kirinya sehingga tangan inipun terpaksa
melepaskan rantainya. Kini senjata-senjata itu terlepas di atas tanah dan keduanya melanjutkan
lagi dengan tangan kosong !
San-hek-houw mengeluarkan suara auman seperti harimau yang disambut oleh dua ekor
harimau peliharaannya, kemudian diapun mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu silat tangan
kosong Houw-jiauw- kang. (Ilmu Cakar Harimau). Kedua tangannya membentuk cakar harimau
dan gerakannya juga seperti gerakan kaki depan hari-mau kalau mencakar - cakar dengan
dahsyatnya. Hanya cakar harimau yang dibentuk oleh jari - jari tangan manusia ini bahkan jauh
lebih berbahaya dari pada cakar harimau aseli karena setiap gerak-an mengeluarkan desiran angin
tajam. Kedua kaki-nya berloncatan persis seperti gerakan harimau kumbang dan selama belasan
jurus Kiong Lee nam-pak terkurung dan terdesak oleh ilmu silat yang berbeda dengan Ilmu Silat
Houw - kun (Silat Ha-rimau) biasanya ini. Ilmu Silat Houw - jiauw - kang milik Si Harimau Gunung
ini benar - benar luar biasa sekali. Agaknya telah dipelajari dengan sem-purna sehingga biarpun
jari - jari tangan yang mem-bentuk cakar harimau itu tidak sampai menyentuh lawan, namun
sambaran angin pukulannya saja te-lah mampu mencabik - cabik benda. Baju pemuda yang putih
itu, terutama di bagian lengan baju, robek - robek terlanggar angin pukulan itu, seperti dicakari
oleh kuku - kuku tajam. Tentu saja semua orang terkejut dan memandang khawatir karena
pemuda itu nampak terdesak, terutama sekali tiga orang gadis yang selalu berpihak kepada
pemuda itu. Ilmu silat raja perampok itu sungguh lihai bukan main.
Tiba - tiba Kiong Lee mengeluarkan teriakan yang mengejutkan semua orang dan pemuda
ini sudah merobah gerakan silatnya. Dia menggerak-gerakkan kaki tangannya perlahan - lahan
namun mengandung penuh tenaga sehingga setiap kali ka-kinya dihentakkan, bumi seperti
tergetar rasanya. Telapak tangannya terbuka dan otot - otot lengan-nya tersembul keluar. Buku -
buku tulangnya se-perti saling bergeser mengeluarkan bunyi berke-rotokan dan uap putih nampak
membayang tipis di setiap permukaan lengannya. Dan ketika lengan yang bergerak perlahan itu
menangkis cakaran Si Harimau Gunung, semua orang menjadi terkejut. Gerakan itu, yang
dilakukan perlahan, tahu - tahu meluncur cepat bukan main seperti kepala ular yang mematuk
mangsa yang sudah lama diintai-nya. Suara mencicit bagaikan bunyi burung malam terdengar
ketika lengan bergerak dan cepatnya membuat semua serangan cakaran Si Harimau Gu-nung itu
terhenti setengah jalan karena setiap kali tangan yang berbentuk cakar itu bergerak, baru setengah
jalan sudah terpukul ke samping dan sebe-lum cakar dapat ditarik kembali, tangan pemuda
baju putih yang bergerak seperti ular mematuk itu telah menyerang bagian - bagian tubuh yang
ber-bahaya. Si Harimau Gunung terkejut bukan main dan dalam beberapa gebrakan saja nyaris
kepalanya kena dipatuk oleh tangan kiri Yap Kiong Lee. Cepat dia membuat gerakan seperti harimau
mendekam untuk menghindarkan kepa-lanya. Akibatnya, sebuah arca singa yang berada
tepat di belakangnya kena hantaman tangan Kiong Lee. Nampak cap lima jari tangan di tubuh
arca batu itu dan kemudian arca itu menjadi retak - re-tak dan akhirnya hancur berantakan
menjadi ke-pingan - kepingan kecil berserakan. Tentu saja semua orang melongo dan ada yang
menjulurkan lidah saking kagum dan ngerinya, bahkan Si Ha-rimau Gunung sendiri terbelalak dan
air
mukanya berobah. Hatinya mulai menjadi ragu dan gentar dan timbul pertanyaan dalam
hatinya siapa gerang-an pemuda yang amat lihai ini sebenarnya ? Ca-karan tangannya itu
biasanya mampu menghancur-kan batu karang yang keras sekalipun, akan tetapi sekarang
ternyata hanya dapat membuat kulit le-ngan pemuda itu lecet - lecet sedikit saja, semen-tara dia
sendiri tidak berani menangkis pukulan pukulan pemuda yang demikian kuat dan ampuh-nya. Ilmu
apakah itu ?
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Nenek Siang Houw Nio-nio juga menggeleng-geleng kepala saking kagumnya. "Hemm, tua
bang-ka itu kiranya telah menurunkan ilmu rahasia ke-turunannya kepada murid kesayangannya
ini," gumamnya. Pek In dan Ang In tentu saja menjadi kagum bukan main. Mereka memang sudah
lama mengetahui bahwa suheng mereka itu amat lihai, akan tetapi mereka tidak menyangka
sehebat ini. Diam - diam mereka, dan juga Pek Lian, merasa gembira sekali karena-sekarang
Harimau Gunung itu mulai terdesak. Pek In tadi telah mengambil dan menyimpan sepasang
pedang milik Kiong Lee yang terlepas, seperti juga seorang di antara pen-jahat - penjahat itu telah
(menyimpan senjata rantai dari Si Harimau Gunung.
Selagi Kiong Lee mendesak Si Harimau Gu-nung, tiba - tiba dia terkejut bukan main mendengar
teriakan seorang di antara para sutenya, "Su-heng ! Kim - sute lenyap dan Ngo - suheng
yang menjaga kereta tertotok pingsan !"
Mendengar teriakan ini, wajah Yap Kiong Lee menjadi pucat seketika dan diapun meloncat
me-ninggalkan lawannya yang sudah terdesak untuk berlari menghampiri kereta yang ditinggalkan
di tepi jalan tak jauh dari rumah makan itu. Dengan wajah pucat dia memeriksa dan memang
benar, sutenya yang luka parah dan tidak mampu bergerak itu lenyap. Ngo - sutenya pingsan
dengan leher berwarna kehijauan, mukanyapun mengandung warna kehijauan. Maka mengertilah
dia bahwa sutenya ini tentu terkena totokan Ceng - ya - kang, Si Kelabang Hijau tokoh Ban-kwi-to
itu. Yap Kiong Lee menjadi bengong, wajahnya pucat se-kali dan hatinya dicekam rasa khawatir
yang hebat akan keselamatan sutenya yang tersayang.
Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali dari tahu - tahu nenek Siang Houw Nio - nio telah
ber-ada di dekat kereta dan suaranya terdengar keren ketika ia menghardik, "Apa katamu ? Ada
apa dengan Kim - ji (anak Kim) ? Hayo jawab !"
Yap Kiong Lee menjawab dengan suara penuh duka dan kepala ditundukkan, "Subo, adik
Kim telah dilukai orang karena dia bergaul dengan orang jahat. Hari ini sebenarnya teecu hendak
mem-bawanya kepada suhu, tidak teecu sangka bahwa orang yang menjadi sahabatnya itu telah
menculik-nya, selagi teecu berkelahi di restoran tadi."
Nenek itu menjadi semakin marah, sepasang matanya memancarkan sinar berapi. "Kenapa
eng-kau dan suhumu membiarkan anak itu berkeliaran? Sungguh orang tua yang tidak tahu
mengurusi anak! Berteman dengan segala macam manusia jahat dibiarkan saja. Hemm, aku akan
minta pertanggungan jawab kepada suhumu. Akan kulabrak dia kalau tidak bisa mendapatkan
anakku dalam keadaan sehat selamat !" Wajah nenek itu menjadi merah padam dan hampir saja
ia menangis. Ia lalu cepat memasuki keretanya dan berkata dengan suara berteriak kepada murid
- muridnya, "Kita tidak jadi bermalam di sini! Bayar semuanya lalu susul aku. Malam ini juga aku
harus melabrak si tua bangka itu atas keteledorannya mengasuh Kim-ji!" Setelah berkata
demikian, kereta dilarikan de-ngan kencang menuju ke barat, ke arah kota raja.
Para murid itu tertegun dan bengong saja. Yap Kiong Lee menjadi serba salah. Sejak suhu
dan subonya hidup berpisah, hatinya merasa bingung dan prihatin sekali, bahkan dia sampai tidak
mau menikah sampai sekarang. Dia sangat takut dan hormat kepada subonya karena di waktu dia
masih kecil, subonya itulah yang mengasuhnya dan dia tahu bahwa subonya itu sebenarnya amat
sayang padanya. Kemudian suhu dan subonya saling ber-pisah, subonya meninggalkan suhunya
yang sudah tua itu dan mengabdi kepada kaisar di istana yang masih keponakannya sendiri.
Suhunya tidak mau ikut dan dia sendiri kasihan dan tidak tega untuk meninggalkan suhunya yang
sudah tua dan sendirian itu. Karena dia tidak mau ikut subonya dan memilih untuk tinggal di situ
merawat suhunya, maka subonya tidak mau lagi menggubrisnya. Kini subonya marah - marah,
tentu akan terjadi keribut-an dan dia merasa prihatin sekali.
Yap Kiong Lee lalu memerintahkan para sute-nya untuk berpencar dan menyelidiki ke mana
Yap Kim dilarikan orang. Pada saat itu, Si Harimau Gunung bersama empat orang penjahat kasar
tadi telah lenyap dari situ, agaknya jerih dan tidak ber-napsu lagi untuk melanjutkan perkelahian.
Pek In dan Ang In membayar sewa kamar yang belum dipakai itu dan membayar harga
makanan, kemudian mereka yang juga nampak tegang dan khawatir itu menghampiri Kiong Lee.
"Bagaimana baiknya sekarang, Yap - suheng ?" tanya Pek In. Tidak ada jalan lain, kalian harus
mentaati perintah subo, menyusulnya ke tempat suhu. Dan nona ini siapakah nona ini dan
bagaimana bisa bersama kalian ?"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Nona Sie Pek Lian ini adalah seorang yang dicurigai subo sebagai teman ketua Lembah
Yang-ce, maka subo memerintahkan kami untuk mena-wannya dan mengajaknya pulang."
"Hemm, kalau begitu, mari kita susul subo. Pasti akan menjadi ramai di sana." Merekapun
berangkat, mempergunakan kereta Kiong Lee un-tuk mengikuti jejak kereta nenek Siang Houw
Nio-nio yang marah itu. Kiong Lee benar-benar me-rasa prihatin sekali.
"Adik Pek dan Ang, aku khawatir akan terjadi salah paham antara subo dan suhu. Padahal,
saat ini suhu sedang mengasingkan diri di tempat sa-madhinya, sudah belasan hari suhu tidak
keluar dari situ."
Dua orang gadis itupun merasa khawatir sekali. Sebaliknya, Pek Lian menjadi ingin tahu
sekali dan merasa amat tertarik. Makin lama, makin banyak ia mengalami hal yang aneh - aneh,
bertemu de-ngan orang - orang yang aneh dan berilmu tinggi Betapa di dunia ini penuh dengan
orang - orang pandai, pikirnya, akan tetapi herannya, semakin pandai orang, semakin banyak
masalah yang mereka hadapi, keruwetan - keruwetan hidup yang membuat kehidupan mereka itu
menjadi tidak te-nang, bahkan menderita. Biarpun ia belum tahu benar, akan tetapi iapun dapat
menduga bahwa tentu ada rahasia besar antara nenek Siang Houw Nio - nio dan ketua Thian -
kiam - pang itu, raha-sia yang membuat mereka terpisah dan agaknya menderita dan saling
bermusuhan. Benar juga kata-kata yang pernah didengarnya dahulu bahwa kelandaian itu, seperti
juga harta dan kedudukan, lebih banyak mendatangkan malapetaka dari pada bahagia. Tadinya ia
sendiri tidak begitu mengerti akan arti kata - kata ini yang dianggapnya tak masuk akal karena
bukankah semua itu bahkan merupakan sarana untuk dapat merasakan keba-hagiaan ? Akan
tetapi, sekarang ia mulai melihat betapa orang - orang yang berkepandaian tinggi, justeru menjadi
sengsara hidupnya karena kepan-daian itu sendiri. Persaingan, permusuhan, perke-lahian terjadi di
mana - mana dan saling bunuh terjadi di antara orang-orang yang pandai ilmu silat. Apakah hal
buruk ini akan terjadi pada orang-orang yang tidak tahu ilmu silat ? Agaknya ke-mungkinannya
jauh karena mereka tentu tidak condong mempergunakan kekerasan. Dan kedu-dukan ? Ayahnya
sendiri sekeluarga tertimpa malapetaka karena kedudukan. Andaikata ayahnya bukan seorang
menteri, melainkan seorang petani miskin, apakah kaisar akan melihatnya? Tentu keluarga
ayahnya kini masih aman sentausa, walaupun sebagai keluarga petani miskin !
Untung bagi mereka bahwa malam itu terang bulan sehingga dengan mudah mereka dapat
meng-ikuti jalan yang berlika - liku mengikuti arus su-ngai itu. Belasan li sebelum memasuki
daerah Ko-ta Raja Tiang - an, mereka membelok ke kanan, meninggalkan jalan besar memasuki
jalan kecil, akan tetapi tetap mengikuti aliran sungai. Mereka memasuki sebuah hutan kecil yang
banyak me-nyembunyikan cahaya bulan. Akan tetapi karena Yap Kiong Lee sudah hapal akan jalan
di tempat itu, dia dapat menjalankan keretanya dengan lan-car. Kemudian nampak sebuah telaga
kecil di te-ngah hutan dan di pinggir telaga itu terdapat sebu-ah bangunan megah yang dilingkari
tembok merah yang kokoh kuat seperti benteng.
Hari telah larut malam dan tempat itu nampak sunyi sekali. Akan tetapi mereka tahu bahwa
tem-pat itu tentu terjaga ketat oleh para murid perkum-pulan Thian - kiam - pang. Kiong Lee, Pek
In dan Ang In longak - longok dan merasa heran karena tidak melihat adanya kereta subo mereka
yang ta-di dilarikan kencang lebih dahulu.
"Berhenti! Siapa di sana ?" Bentakan nyaring ini segera dikenal oleh Kiong Lee sebagai suara
ji-sutenya, yaitu orang ke dua setelah dia di antara murid - murid Thian - kiam - pang. Tentu ji -
sute-nya itu sedang bergilir meronda.
Pek Lian yang mendengar bentakan itu, merasa jantungnya tergetar karena suara itu
dikeluarkan dengan pengerahan khikang yang cukup kuat un-tuk membuat orang yang datang
dengan niat buruk menjadi gentar.
Akan tetapi Kiong Lee tidak jadi menjawab karena dia mendengar suara kaki berlari - lari
disu-sul suara beradunya senjata! Agaknya yang dite-gur oleh ji-sutenya tadi bukanlah
rombongannya, melainkan orang lain. Yap Kiong Lee mengerahkan ilmu ginkangnya dan sekali
tubuhnya meluncur ke depan, dia telah meninggalkan tiga orang wanita muda itu. Tubuhnya lalu
mencelat ke atas, berpu-taran dan tahu - tahu dia telah hinggap di atas pa-gar tembok yang
kokoh kuat dan tinggi itu. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak pagar tembok, dari sebelah
dalam menyambar sebatang piauw ke arah lehernya. Dia cepat mengelak, akan tetapi
penyerangnya itu sudah berada di dekatnya dan menyerangnya dengan tusukan pedang. Kembali
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kiong Lee mengelak dan biarpun cuaca remang-remang, agaknya penyerangnya itu mengenal
gerakan mengelak ini, sedangkan Kiong Lee juga mengenal gerakan serangan pedang.
"Toa-suheng... !" penyerang itu berseru.
"Sam-sute ! Ada apakah ini ?"
"Entahlah, suheng. Aku baru saja keluar karena mendengar teriakan ji-suheng tadi.
Agaknya tempat ini kedatangan orang-orang jahat. Lihat, di sana ji-suheng sedang melayani
seorang musuh agaknya!"
"Benar ! Cepat kau pergi ke belakang, di sana terdengar banyak orang bertempur. Aku akan
membangunkan semua saudara kita !" Sute ke tiga dari Kiong Lee itu meloncat lenyap dan Kiong
Lee lalu mengerahkan ilmunya yang hebat, membung-kuk dan mencengkeram ke arah tembok
pagar itu sehingga tembok itu hancur di dalam genggaman tangannya, kemudian dia
menggunakan tenaga-nya untuk menyambit ke arah genta besar di atas menara yang berada
tinggi dan agak jauh di sudut pekarangan. Biarpun jaraknya jauh dan yang di-pakai menyambit
hanyalah hancuran tembok, akan tetapi segera terdengar suara genta nyaring berbunyi berkali-kali
seperti ditabuh bertalu-talu oleh tangan yang kuat. Tentu saja suara itu mengejutkan semua
penghuni rumah perkumpulan atau perguruan Thian-kiam-pang itu dan semua terbangun dari
tidur dan bergegas keluar. Keadaan menjadi gempar akan tetapi kini semua murid te-lah berlarian
keluar dengan pedang di tangan. Akan tetapi mereka itu hanyalah murid- murid tingkat rendahan
yang juga menjadi anak buah Thian-kiam-pang, sedangkan di antara tujuh orang murid utamanya,
kini yang berada di situ hanya Yap Kiong Lee, ji-sutenya dan sam - sutenya saja, sedangkan yang
lain- lain masih ketinggalan karena sedang berpencar dan mencari-cari ke mana perginya orang
yang menculik Yap Kim.
Kiong Lee sudah cepat meloncat ke arah sam-ping bangunan di mana dia melihat ji-sutenya
sedang bertanding melawan seorang wanita cantik. Melihat betapa Kwan Tek, yaitu adik
seperguruan-nya yang ke dua itu tidak bersepatu, tahulah Kiong Lee bahwa Kwan Tek tentu
terbangun dari tidur dan tidak sempat mengenakan sepatu. Kiong Lee berdiri memperhatikan
perkelahian itu. Dengan sepasang pedangnya, Kwan Tek sebetulnya dapat mendesak lawannya,
karena selain serangannya le-bih mantap, juga ia memiliki tenaga yang lebih besar sehingga
lawannya kewalahan menghadapi serangan - serangan sepasang pedangnya. Akan te-tapi wanita
baju hitam itu memiliki kegesitan yang luar biasa dan jelaslah bahwa ginkangnya memang hebat
sehingga sebegitu jauh ji-sutenya itu belum juga dapat mengalahkannya. Kiong Lee segera
mengenal wanita cantik itu yang bukan lain ada-lah Pek - pi Siauw - kwi (Iblis Cantik Tangan
Seratus) atau juga terkenal dengan sebutan Si Maling Cantik yang amat terkenal namanya sebagai
maling tunggal di daerah selatan. Maling Cantik itu juga memegang sepasang senjata, yang kiri
se-batang pedang pendek dan yang kanan sehelai sa-buk sutera. Kiong Lee maklum bahwa
sutenya itu tidak perlu dibantu, maka diapun cepat meloncat ke belakang dan terkejutlah dia
melihat betapa tempat itu telah didatangi oleh banyak penjahat yang rata - rata memiliki
kepandaian tinggi. Ba-ngunan sebelah kiri sudah terbakar dan dia meli-hat adik seperguruannya
yang ke tiga sibuk meng-hadapi serbuan para penjahat, dibantu oleh para anggauta Thian-kiampang.
Dia teringat akan suhunya yang masih berada di dalam tempat pertapaannya, yaitu di
sebuah bangunan yang berada di atas pulau kecil di tengah telaga kecil. Cepat dia berlari ke
tempat itu dan di depan bangunan itupun terdapat orang bertempur. Ketika Kiong Lee melihat
bahwa yang berkelahi itu adalah nenek Siang Houw Nio - nio, dia terkejut bukan main. Lawan
subonya itu adalah seorang laki - laki tinggi bermantel hitam, memiliki gerakan yang luar bia-sa
sekali, cepat dan aneh sehingga subonya sendiri nampak terdesak !
Sejenak Kiong Lee berdiri tertegun. Subonya bukanlah tokoh silat sembarangan. Ia
merupakan pengawal pribadi kaisar yang berilmu tinggi. Dia tahu betul betapa saktinya subonya
itu, mungkin tidak banyak selisihnya dengan kesaktian gurunya. Akan tetapi sekarang,
menghadapi lawan berjubah hitam ini, subonya jelas terdesak. Orang berpakaian hitam itu
bergerak luar biasa cepatnya, seperti setan saja. Jantungnya berdebar tegang. Dia sudah
mendengar laporan tentang Raja Kelelawar. Inikah orangnya ? Kiong Lee mengamati gerakan
orang itu dengan penuh perhatian. Memang luar biasa sekali gerakan orang itu. Kiranya mantel
hitam itu-lah yang menjadi semacam perisai, atau tempat berlindung, juga tempat di mana dia
bersembunyi dan dari situ melakukan serangan - serangan dah-syat. Mantel hitam itu kadang -
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kadang kaku ka-dang-kadang lemas dan dapat menyembunyikan gerakan - gerakannya dari mata
lawan karena pihak lawan hanya dapat melihat ujung kepala, kaki dan tangan saja. Semua
serangan lawan banyak diga-galkan oleh adanya mantel yang menjadi perisai itu dan setiap kali
ada lowongan, tentu iblis itu me-nyerang dari balik mantel dengan dahsyat. Bebe-rapa kali
dilihatnya betapa subonya kewalahan dan nyaris terpukul. Melihat ilmu silat aneh ini, Kiong Lee
teringat akan cerita gurunya tentang ilmu andalan Si Raja Kelelawar yang amat hebat, yaitu yang
disebut Ilmu Silat Gerhana Bulan. Man-tel itu seolah - olah menjadi awan tebal yang me-nyelimuti
atau menyembunyikan bulan. Inikah il-mu aneh itu ? Kiong Lee tidak tega melihat subo nya
terdesak dan terancam bahaya, maka diapun cepat terjun ke dalam medan perkelahian dan
membantu, subonya.
Begitu terjun, Kiong Lee menyerangnya dari belakang. Dia berpendapat bahwa kalau orang
itu dikeroyok dari depan dan belakang, tentu tidak akan mampu berlindung di balik mantelnya
lagi. Akan tetapi ternyata pendapatnya ini tidak benar. Secara aneh sekali, mantel yang hitam
lebar itu dapat bergerak aneh dan cepat, menggulung dan berkibaran mengelilingi tubuh Si Raja
Kelelawar sehingga menyembunyikannya dari semua jurusan, juga dari belakang ! Seperti juga
subonya, Kiong Lee tidak dapat melihat tubuh lawan dengan jelas dan tidak melihat pula gerakan
lawan di balik mantel hitam itu. Dan semua hantamannya selalu bertemu dengan mantel yang
seperti perisai. Kalau dia mempergunakan tenaga sinkang, maka pukul-annya tiba di permukaan
mantel yang lunak dan yang menyerap semua tenaga pukulannya, dan kadang-kadang mantel
itupun menjadi keras seperti perisai baja yang kuat. Sungguh merupakan ilmu yang aneh dan,
berbahaya. Mantel itu bisa sa-ja tiba-tiba terbuka untuk memberi jalan keluar serangan dahsyat
dari Raja Kelelawar itu ! Dan gerakan orang itu cepat bukan main, berkelebatan.-seolah - olah dia
mempergunakan ilmu terbang sa-ja. Kiong Lee sudah mencabut sepasang pedang-nya dan
menyerang dengan sungguh - sungguh, na-mun semua serangannya gagal dan dia sendiripun kini
terdesak. Mengeroyok dua bersama subonya yang sakti masih terdesak, padahal tingkat kepandaiannya
di saat itu sudah maju pesat, tidak ber-selisih banyak dengan tingkat subonya. Sungguh
membuat mereka berdua merasa penasaran sekali.
Tiba - tiba subonya mengeluh karena paha kiri-nya kena tendangan iblis itu yang mencuat
dari balik mantel hitamnya. Tendangan itu datangnya sama sekali tidak tersangka-sangka dan
sedemikian cepatnya karena gerakan iblis itu memang luar bi-asa cepatnya, dilakukan ketika tubuh
iblis itu baru saja meloncat dan mengelak dari sambaran pedang Kiong Lee sehingga datangnya
tidak tersangka-sangka dan tendangan itu luar biasa kerasnya sam-pai tubuh Siang Houw Nio - nio
terlempar dan me-nabrak pintu bangunan sampai jebol! Tentu saja Kiong Lee terkejut sekali dan
cepat menolong subonya yang bangkit lagi. Sepasang pedangnya diputar dengan pengerahan
sinkang sekuatnya se-hingga membentuk gulungan sinar yang lebar dan tidak memungkinkan Raja
Kelelawar untuk men-desak nenek yang sudah terkena tendangannya itu dan terpaksa harus
menghadapi pemuda perkasa itu. Akan tetapi setelah kini dia harus menghadapi iblis itu sendirian
saja sedangkan subonya agaknya belum pulih kembali dan belum terjun membantu-nya, Kiong
Lee merasakan betapa hebatnya ke-pandaian iblis itu. Setelah kini dia harus meng-hadapinya
sendirian, baru terasa olehnya kehebat-annya. Terutama sekali kecepatan gerakan itulah yang
membuatnya benar - benar bingung dan ke-walahan karena dia merasa seperti menghadapi
banyak lawan. Iblis itu bergerak sedemikian cepat-nya sehingga sukar untuk dapat diikutinya
dengan pandang mata, sebentar di depan, tahu-tahu sudah menyerang dari kanan, dari kiri,
bahkan tahu - tahu menerjang dari belakangnya ! Dia sudah mengerahkan kepandaiannya,
memainkan langkah - langkah ajaib, akan tetapi semua itu sia - sia saja karena ke-cepatan gerak
Si Raja Kelelawar itu sungguh tak dapat dipecahkan oleh langkah - langkah ajaib. Iblis itu seolah -
olah dapat terbang atau menghilang, dan juga dalam hal tenaga sinkang, Kiong Lee ha-rus
mengakui keunggulan lawan. Dia memang kalah segala - galanya, pendeknya tingkatnya masih
kalah jauh. Maka, setelah terdesak hebat, akhir-nya pundak kirinya terkena sambaran jari tangan
lawan. Kelihatan perlahan saja, akan tetapi cukup membuat lengannya terasa ngilu dan seperti
sete-ngah lumpuh, lengan kirinya tergantung lemas dan terpaksa dia melompat mundur.
Pada saat itu nampak bayangan di luar pintu. Nenek Siang Houw Nio - nio yang maklum
bahwa pemuda itu terluka pula, khawatir melihat bayang-an ini. Kalau ada musuh lagi datang,
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tentu mereka berdua takkan berdaya lagi. "Lee - ji, cepat buka pintu rahasia bawah tanah!
Cepat!"
Kiong Lee tercengang dan meragu. "Tapi... tapi suhu sedang bertapa di dalam... teecu takut
mengganggu, tanpa ijin beliau tak seorangpun boleh membukanya... aughh... !" Sebuah
tendangan iblis itu mengenai punggungnya dan Kiong Lee terlempar, muntah darah !
"Persetan dengan tua bangka itu ! Cepat sebe-lum kita mati penasaran ! Lihat, lawan kita
ber- tambah !" Sambil berkata demikian, nenek itu menyebar jarum-jarum halus ke arah iblis itu,
Ba-gaimanapun juga, nenek itu adalah seorang yang berilmu tinggi dan hal ini diketahui oleh si
iblis yang tidak berani sembarangan dan cepat melin-dungi tubuhnya dari jarum - jarum halus itu
dengan mantelnya. Juga dia maklum bahwa pemuda itu-pun amat lihai, maka biarpun keduanya
telah ter-luka, dia tidak berani sembarangan mendekat dan menanti kesempatan baik untuk
menurunkan tangan mautnya. Dan kini, khawatir kalau mereka lolos, iblis itu bergerak cepat
mengelilingi mereka, tidak membiarkan mereka melarikan diri melalui pintu rahasia yang belum
diketahuinya di mana letaknya. Siang Houw Nio - nio dan Kiong Lee berdiri beradu punggung
melindungi diri yang sudah terluka.
Tiba - tiba berkelebat bayangan orang memasuki ruangan bangunan kecil itu. Semua orang
melirik dan kiranya yang masuk adalah Ho Pek Lian, no-na tawanan itu. Di belakangnya nampak
Pek Lian dan Ang In. Ketika Pek Lian melihat Raja Kelela-war yang pernah menawannya, dan
melihat betapa pemuda perkasa itu luka, ia menjadi marah sekali dan langsung saja, dengan nekat
iapun menerjang maju dan menyerangnya dengan pukulan tangan kanan. Akan tetapi, Raja
Kelelawar itu menangkis dan akibatnya, tubuh Pek Lian terlempar mena-brak sebuah pot bunga
yang berada di sudut ru-angan. Pot bunga kuningan itu tidak roboh ter-langgar tubuh Pek Lian,
melainkan tergeser ke samping. Terdengar bunyi berkerotokan dan tiba - tiba saja separuh lantai
ruangan itu terbuka dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh nenek Siang Houw Nio - nio dan Kiong
Lee, juga tubuh Pek Lian terjerumus ke dalam lubang. Melihat ini, Pek In dan Ang In berteriak
khawatir, akan tetapi merekapun meloncat menyusul ke dalam lubang itu karena mereka maklum
bahwa lubang itu tentulah merupakan rahasia yang baru dibuat oleh Thian-kiam-pang.
Melihat ini, Raja Kelelawar menjadi marah, hen-dak mengejar, akan tetapi dia meragu,
takut kalau-kalau dia akan terjebak. Kembali terdengar suara berkerotokan dan tahu - tahu lantai
telah menutup kembali. Barulah Raja Kelelawar sadar bahwa mereka itu telah meloloskan diri
melalui pintu rahasia, yaitu lubang tadi. Dia menjadi geram. Dihampiri-nya pot bunga kuningan itu
dan digeser - gesernya ke kanan kiri untuk membuka lantai. Namun dia tidak berhasil. Agaknya
lubang itu telah tertutup dan dikunci dari bawah. Dia memukul - mukul pot bunga sampai hancur
dan memukul - mukul lantai, menendang - nendang. Akhirnya dia mengerahkan anak buahnya
untuk membakar bangunan di tengah pulau kecil itu, lalu diapun keluar dan bersama anak
buahnya dia melakukan pembantaian besar-besaran di gedung induk Perguruan Pedang Langit
(Thian - kiam - pang). Semua anggauta dan murid dibunuhnya dengan kejam, dan seluruh
bangunannya dibakar sampai habis. Agaknya, Raja Kelela-war ini amat membenci Thian - kiam -
pang, seperti orang melampiaskan dendam yang hebat!
*
* *
Mereka yang terjeblos ke dalam lubang itu ter-jatuh ke dalam ruangan bawah tanah dan
biarpun lantai di atas telah menutup kembali, namun kea-daan di situ cukup terang dengan
adanya lampu-lampu yang menempel di dinding batu. Nenek Siang Houw Nio - nio yang terluka
pahanya itu, terpincang - pincang menuruni lorong kecil. Di be-lakangnya, Pek In dan Ang In
memapah Kiong Lee yang terluka parah di pundak dan punggung. Pa-ling belakang adalah Ho Pek
Lian. Lorong itu panjang sekali, berbelak - belok naik turun dan akhirnya mereka tiba di depan
sebuah pintu tertu-tup yang bertuliskan RUANGAN SAMADHI.
Agaknya langkah kaki mereka sudah diketahui orang karena dari balik pintu terdengar suara
te-guran halus, "Siapa di luar itu ? Lee-jikah itu ?"
Sebelum Kiong Lee dapat menjawab, nenek itu mendahuluinya menjawab lantang, "Akulah
yang datang!"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Terdengar seruan tertahan dari dalam dan tiba-tiba daun pintu terbuka. Di balik pintu itu
berdiri seorang kakek berambut panjang. Kiong Lee, Pek In dan Ang In cepat menjatuhkan diri
berlutut dan berkata, "Suhu !"
Untuk beberapa lamanya, nenek dan kakek itu berdiri saling pandang penuh selidik dan ada
ke-haruan menyelinap dalam pandang mata mereka. Mereka adalah suami isteri yang telah saling
ber-pisah selama limabelas tahun walaupun keduanya sama - sama tinggal di daerah kota raja.
"Sumoi... !" Kakek itu akhirnya menegur dengan suara lirih. Semenjak berpisah, nenek itu
tidak mau lagi diakui sebagai isteri, maka terpaksa kakek itupun menyebutnya dengan sebutan
semula sebelum mereka menjadi suami isteri, yaitu sumoi karena memang isterinya ini adalah
sumoinya sendiri.
Akan tetapi, panggilan yang mengandung keha-ruan dan kelembutan ini tidak diacuhkan
oleh si nenek yang marah. Ia bahkan tidak memperdu-likan pahanya yang amat nyeri rasanya,
akan tetapi langsung saja ia menyerang kakek itu dengan kata-kata ketus.
"Di mana anakku, Kim - ji ? Hayo katakan di mana dia ? Engkau membiarkan dia dihina
orang, ya ? Engkau membiarkan dia bergaul dengan se-gala macam manusia sesat, ya ? Hayo
kaukembali-kan anakku kepadaku, kalau tidak ...... !" Nenek itu terengah - engah dan kedua
matanya tiba-tiba menjadi basah !
Kakek itu menjadi bengong. Matanya meman-dang berganti-ganti kepada isterinya dan
murid-murid itu, karena dia sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh isterinya yang
marah-marah. Juga dia merasa heran melihat mereka masuk seperti itu, bahkan isterinya dan juga
murid utamanya menderita luka yang cukup parah. Melihat keadaan suhunya, Kiong Lee merasa
kasihan dan
diapun berkata, "Suhu... adik Kim... dia telah dilukai orang... lalu diculik "
Sejenak kakek itu terbelalak, akan tetapi seben-tar saja dia sudah mampu menguasai
hatinya lagi dan dengan sikap tenang diapun berkata, "Marilah kita semua masuk ke dalam,
jangan ribut-ribut di sini. Aku mempunyai seorang tamu di sebelah dalam. Mari, sumoi, silahkan
masuk dan kalian samua, anak - anak, masuklah."
Biarpun masih cemberut, nenek Siang Houw Nio - nio melangkah masuk terpincang -
pincang, diikuti semua murid dan juga Pek Lian tidak ke-tinggalan memasuki ruangan itu dengan
hati te-gang dan heran. Ternyata ruangan itu sangat luas dan nyaman sejuk. Pada dinding -
dindingnya ber-gantungan lukisan - lukisan orang dalam posisi ber-silat. Di dalam kamar itu telah
berdiri seorang kakek tua yang nampaknya masih sehat dan berse-mangat, menyambut sambil
tersenyum membung-kuk terhadap Siang Houw Nio-nio. Melihat pa-kaian kakek itu, diam - diam
Pek Lian menjadi ter-kejut bukan main. Kakek tamu ini berjubah hitam yang ada lukisannya seekor
naga di bagian dada-nya, menutupi tabuhnya yang tinggi besar. Pek Lian teringat akan orang -
orang dari Liong-i-pang, yaitu Perkumpulan Jubah Naga yang berambut riap - riapan dan yang
pernah menyerang keluarga Bu itu. Inikah ketua dari Liong - i - pang yang mempunyai anak buah
yang kasar dan kejam itu ? Akan tetapi karena maklum bahwa ia berada di antara orang - orang
sakti, maka Pek Lian berlagak tidak tahu dan bersikap tenang saja walaupun ha-tinya terguncang
hebat.
"Isteriku, inilah dia saudara Ouwyang Kwan Ek" Kakek itu memperkenalkan.
Nenek itu memandang dan nampaknya tertarik. "Ah, murid ke dua dari mendiang Sin - yok -
ong ?" tanyanya.
Kakek tinggi besar berkulit hitam itu tersenyum dan menjura. "Sudah lama mendengar nama
besar Siang Houw Nio - nio, sungguh beruntung hari ini dapat bertemu. Toanio, kakimu terluka
dan me-ngandung racun, kalau boleh saya berlancang, si-lahkan toanio menelan obat ini, tentu
segera sem-buh kembali," kata si tinggi besar sambil menye-rahkan sebutir pel merah. Nenek itu
maklum bah-wa ia berhadapan dengan murid seorang tokoh besar raja obat, maka iapun tidak
mau sungkan lagi, menerima pel itu dan menelannya. Rasa pa-nas menjalar dari perutnya dan
dengan sinkangnya ia menekan hawa panas itu ke arah pahanya yang terluka dan sungguh ajaib,
ia merasa betapa rasa nyeri di pahanya perlahan - lahan lenyap. Cepat ia menghaturkan terima
kasih.
"Ouwyang - toyu, jangan pelit, sekalian berilah obat kepada muridku yang terluka," kata
kakek itu. "Lee - ji, majulah agar diobati oleh Ouwyang-locianpwe."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kiong Lee maju dan berlutut di depan kakek itu. Ouwyang Kwan Ek adalah murid ke dua
dari Si Raja Tabib dan sebenarnya dia tidak mewarisi ilmu pengobatan karena yang mewarisi
adalah mendiang Bu Cian murid pertama Si Raja Tabib. Akan tetapi sebagai murid Raja Tabib,
tentu saja dia tidak buta dengan ilmu pengobatan dan kalau tidak terlalu hebat saja, dia
mempunyai obat - obat untuk bermacam luka parah. Setelah meraba punggung dan pundak Kiong
Lee, kakek itu me-narik napas panjang.
"Siancai... ! Luka - luka ini diakibatkan pukulan- pukulan sakti yang hebat. Untung muridmu
ini telah memiliki sinkang yang amat kuat, kalau tidak, tentu aku akan sukar mengobatinya, Yaplojin
!" katanya kepada tuan rumah. Kakek ketua Thian - kiam - pang itu bernama Yap Cu Kiat
atau di antara kenalan - kenalannya lebih terkenal disebut Yap - lojin (orang tua Yap). Setelah
menotok pundak dan punggung Kiong Lee, kakek itu lalu
memberi obat bubuk berwarna kuning untuk diminum dengan air. Dan memang obat itu
mustajab sekali karena Kiong Lee merasa betapa luka-luka di dalam tubuhnya tidak terasa nyeri
lagi dan hanya membutuhkan pengobatan dengan pengerahan sinkang sendiri. Diapun cepat
menghaturkan terima kasih.
"Kiong Lee, apakah yang terjadi ? Kenapa engkau sampai terluka dan juga subomu..."
"Hemm, enak - enak saja bersenang sendiri di sini, tidak tahu di luar dibanjiri musuh yang
dipim-pin oleh Raja Kelelawar. Anak sendiri dilarikan orangpun tidak tahu!" Nenek itu masih
marah.
Mendengar ini, terkejutlah Yap-lojin. "Raja Kelelawar menyerbu ke sini ? Ah, aku harus
keluar melihatnya !"
"Aku akan menemanimu, lojin !" kata Ouwyang Kwan Ek yang segera mengikuti tuan
rumah. Mereka cepat keluar dari terowongan itu dan mencari keluar. Akan tetapi, setelah mereka
tiba di luar, pertempuran telah berhenti dan pihak musuh telah tidak nampak lagi bayangannya.
Yang ada hanya mayat-mayat para anggauta Thian - kiam - pang, termasuk murid-muridnya yang
ke dua, yaitu Kwan Tek, dan murid ke tiga, di antara bangunan yang terbakar habis! Tentu saja
Ouwyang Kwan Ek merasa terkejut dan kasihan kepada sahabatnya yang berdiri bengong dengan
muka pucat. Dia la-lu membantu tuan ramah untuk mengangkut ma-yat - mayat itu melalui
terowongan.
Melihat kedua adik seperguruannya tewas, Kiong Lee memekikinya sambil menangis. Juga
Pek In dan Ang In ikut menangis sedih. Bahkan nenek Siang Houw Nio - nio sendiri tak dapat
menahan runtuhnya beberapa butir air matanya dan nenek ini mengepal tinju. "Raja Kelelawar,
aku akan menghadapimu kelak untuk membuat perhitungan !"
Pek Lian yang melihat semua ini menjadi ikut terharu dan ikut menangis. Tak disangkanya
bahwa keluarga yang sakti ini tertimpa malapetaka de-mikian hebat dan kembali matanya seperti
dibuka oleh kenyataan bahwa semakin tinggi kepandaian orang, semakin besar pula bahayanya
karena tentu orang itu mempunyai musuh-musuh yang lihai pula. Dengan penuh duka cita mereda
semua lalu mengubur mayat-mayat dengan upacara se-derhana saja. Mayat-mayat itu dikubur di
belakang bangunan yang sudah menjadi abu dan malam hari itu terpaksa mereka kembali
memasuki terowongan karena semua tempat telah terbakar sehingga sisa tempat yang ada
hanyalah ruangan di bawah tanah.
Mereka duduk berkumpul dalam suasana duka dan masing-masing merasakan suatu
keakraban. Bahkan Pek Lian sendiri yang tadinya adalah seorang tawanan, pada saat itu merasa
seolah-olah ia menjadi anggauta keluarga itu. Juga Ouwyang Kwan Ek memperlihatkan
simpatinya. Suami isteri yang tadinya seperti mengambil sikap bertentangan itupun kini seperti
melupakan perselisihan mereka yang sudah berlangsung belasan tahun itu.
"Ilmu silat Raja Kelelawar dengan jubahnya itu memang hebat luar biasa. Semua
setanganku kan-das, bahkan jarum - jarumku tidak ada gunanya. Mengeroyoknya bersama Kiong
Leepun masih ter-desak dan terluka."
Suaminya menarik napas panjang. "Itu baru Il-mu Gerhana Bulan, belum yang lain - lain. Ah,
sungguh tidak kusangka setelah berpuluh tahun ti-dak ada jago silat yang menonjol dan berbakat,
kini muncul keturunan raja kaum hitam yang penuh bakat dan menyamai kesaktian leluhurnya, Si
Raja Kelelawar yang sakti."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Memang kenyataan yang pahit sekali!" kata Ouwyang Kwan Ek, kakek tinggi besar hitam
berju-bah naga itu. "Padahal, di pihak kaum bersih, sam-pai kini tidak ada seorangpun jago
berbakat yang muncul. Dari perguruan kamdpun tidak ada seorang yang berbakat seperti
mendiang suhu Raja Tabib Sakti. Aku sendiri cuma mewarisi sebagian saja dari ilmu - ilmunya,
seperti halnya saudara seperguruanku yang lain."
"Demikian pula pada perguruan kami," Yap-lojin berkata penuh sesal. "Sebenarnya Kiong
Lee ini sangat berbakat, akan tetapi akulah yang bodoh tak mampu membimbingnya. Sayang,
guruku, Sin-kun Bu-tek, telah tiada. Kalau masih ada, tentu beliau akan dapat membimbing Lee-ji
ini dan akan ada seorang penggantinya yang boleh diandalkan !"
Mendengar percakapan mereka, diam - diam Pek Lian mengalami kejutan lain. Tahulah ia
se-karang bahwa ketua Perguruan Pedang Langit ini adalah keturunan dari Sin-kun Bu - tek, datuk
da-ri utara, pendekar sakti terbesar seabad yang lalu, yang pernah didengarnya ketika ia masih
bersama dua orang gurunya. Sin-kun Bu-tek yang sejajar namanya dengan si datuk selatan, yaitu
Raja Tabib Sakti. Keduanya merupakan datuk-datuk kaum bersih yang merupakan saingan
terbesar dari da-tuk - datuk kaum sesat seperti pendiri Tai - bong-pai, pendiri Soa - hu - pai, dan
juga tentu saja men-jadi musuh yang ditakuti dari Bit - bo - ong Si Raja Kelelawar. Mengertilah ia
kini mengapa Raja Ke-lelawar memusuhi Thian - kiam - pang. Kiranya iblis itu ingin membalas
dendam leluhurnya yang kabarnya tewas di tangan Sin - kun Bu - tek. Pan-tas saja sarang Thian -
kiam - pang itu dibasminya, semua penghuninya yang ada ditewaskan dan ba-ngunan -
bangunannya dibakar habis.
Nenek Siang Houw Nio-nio juga hanyut dalam percakapan itu dan ia menarik napas panjang
lalu berkata, "Yahh... padahal asal salah seorang dari murid-murid kita bisa mendalami pelajaran
perguruan masing-masing secara sempurna seperti halnya iblis itu mempelajari ilmu leluhurnya
yaitu Raja Kelelawar, aku berani bertaruh bahwa iblis itu pasti akan bisa ditaklukkan. Seperti juga
di jaman dahulu Si Raja Kelelawar tidak berkutik ketika melawan guru-guru kita, baik melawan
guru kami Raja Tabib Sakti maupun melawan Sin-kun Bu-tek."
Ouwyang Kwan Ek mengangguk-angguk mem-benarkan ucapan ini. Memang patut
disayangkan bahwa tidak ada murid dari para datuk itu yang dapat mewarisi seluruh ilmu gurunya
sampai men-capai tingkat setinggi mereka. Akan tetapi dia ti-ba - tiba teringat akan sesuatu, lalu
diapun ber-kata, "Kim - mo Sai - ong pendiri Soa - hu-pai yang bersama dengan iblis pendiri Tai -
bong-pai merupakan juga datuk - datuk persilatan yang setingkat dengan guru - guru kita seabad
yang lalu? Nah, aku mendengar bahwa ada cucu murid dari Kim - mou Sai - ong ini yang sangat
berbakat, dan kabarnya kini telah mencapai tingkat ke tigabelas ilmu - ilmu Soa - hu - pai, yaitu
tingkat terakhir dari Soa-hu-pai yang hebat itu. Dan kabarnya orang itu kini mengabdi kepada
kaisar." Berkata demiki-an, Ouwyang Kwan Ek memandang kepada nenek Siang Houw Nio - nio
yang juga mengabdikan diri-nya kepada kaisar karena masih terhitung keluar-ga dekat kaisar.
Nenek itu mengangguk - angguk. "Memang be-nar, akan tetapi orang itu menjadi komandan
pe-ngawal istana dan kurasa diapun masih belum se-tinggi Raja Kelelawar tingkatnya. Dan seperti
juga dahulu, alirannya tidak mau berurusan dengan iblis itu. Seperti, juga guru - gurunya tidak
pernah acuh terhadap Raja Kelelawar."
"Selama ini aku tidak pernah mendengar ten-tang orang-orang Tai - bong - pai. Setelah
ketu-runan Raja Kelelawar keluar, apakah keturunan-nya juga tidak memperlihatkan diri ? Ataukah
Tai - bong - pai sudah mati dan tidak mempunyai keturunan?" Yap-lojin bertanya karena
percakap-an itu membongkar hal - hal lama, mengingatkan mereka akan golongan - golongan
jaman dahulu yang pernah menggemparkan dunia persilatan.
Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Pek Lian membuka mulut menjawab. Ia teringat
akan orang - orang yang membawa gadis cantik dalam keranjang yang terluka parah dan lumpuh
itu. Untung bahwa ia masih dapat menahan hatinya, karena kalau ia membuka mulut, akhirnya
tentu ia akan terpaksa membuka rahasianya bahwa ia ada-lah puteri Menteri Ho dan hal ini dapat
berbahaya bagi dirinya. Maka iapun diam saja dan menun-dukkan muka, hanya memasang telinga
mende-ngarkan percakapan yang amat menarik hatinya itu.
"Entahlah, tidak ada berita tentang mereka ...." kata kakek berjubah naga.
Tiba - tiba Yap-lojin berseru, "Ahh... !
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Pek Lian terkejut dan mengangkat muka meman-dang kepada kakek itu yang agaknya
teringat akan sesuatu. "Lupakah kalian akan sasterawan itu ? Dia yang yang mengalahkan
keempat datuk sakti dahulu, leluhur kita itu ?"
Kakek berjubah naga terkejut. "Maksudmu ?"
"Mari kita memasuki ruang samadhiku." Kakek itu mendahului mereka semua memasuki
pintu ra-hasia dan berkumpul di ruangan bawah tanah yang luas. Yap - lojin membawa mereka
semua kepada beberapa buah gambar. Gambar - gambar yang melukiskan bermacam gerakan
menyerang, gambar searang sasterawan terhadap lawan - lawannya. Dalam tiap gambar,
sasterawan tua itu mengha-dapi seorang lawan berbeda.
"Lihat gambar-gambar ini dilukis untuk mengabadikan pengalaman yang amat langka itu,
yaitu kalahnya para datuk sakti terhadap si sasterawan tua dan lukisan- lukisan ini adalah jurusjurus
terampuh yang dipergunakan para datuk, akan tetapi selalu si sasterawan yang menang,"
kata Yap-lojin.
"Ah, betapa hebat dan menariknya. Harap suhu sudi menceritakan karena teecu amat
tertarik mendengarnya."
Kakek ita menarik napas panjang. "Hal ini sebenarnya merupakan rahasia para datuk yang
di-anggap amat memalukan, bahkan subomu sendiri-pun tidak tahu akan cerita ini. Akan tetapi
setelah kini Raja Kelelawar seperti menjelma lagi dan me-ngacaukan dunia, kita memang boleh
mengharapkan munculnya tokoh keturunan sasterawan ini yang akan menundukkannya. Nah,
kalian dengar-lah ceritaku." Kakek itupun lalu menceriterakan peristiwa hebat yang terjadi puluhan
tahun yang lalu.
Seabad yang lalu, dunia persilatan mengenal nama empat orang datuk yang dianggap
sebagai tokoh - tokoh yang memiliki kepandaian silat paling tinggi di dunia persilatan. Mereka itu
adalah dua orang tokoh golongan putih, yaitu Bu-eng Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti Tanpa
Bayangan) yang merupakan datuk putih daerah selatan, dan Sin-kun Bu - tek (Kepalan Sakti
Tanpa Tanding) yang menjadi datuk putih di utara. Kemudian dua orang datuk golongan hitam,
yaitu Cui-beng Kui-ong (Raja Iblis Pengejar Arwah) pendiri dari Tai-bong-pai dan Kim-mo Sai-ong
(Raja Singa Berbulu E-mas) pendiri dari Soa- hu-pai. Empat orang tokoh inilah yang dianggap
amat sakti dan paling tinggi ilmunya sehingga seorang seperti Bit-bo-ong (Raja Kelelawar) yang
dianggap rajanya kaum penjahat sekalipun tidak pernah berani bertingkah terhadap mereka dan
dianggap masih lebih rendah dari pada mereka berempat.
Biarpun di antara dua golongan itu ada go-longan putih dan golongan hitam, akan tetapi
mereka itu dapat mengikat persahabatan dan tidak pernah saling bermusuhan. Memang aneh,
akan tetapi memang kehidupan para datuk ini tidak lumrah manusia biasa. Biarpun Cui- beng Kuiong
dan Kim-mo Sai-ong itu merupakan dua orang datuk hitam, akan tetapi mereka sendiri tidak
pernah melakukan kejahatan, hanya dianggap datuk dan didewa- dewakan oleh kaum sesat.
Mereka itu balikan memiliki kegagahan yang mengagum-kan, walaupun pandangan mereka
kadang-kadang sesat dan tidak mengenal arti kesopanan atau hukum-hukum yang ada. Mungkin
karena saling segan oleh ilmu masing-masing yang amat tinggi, dan saling menyayang kepandaian
masing - masing kawan, maka mereka itu dapat bersahabat.
Anehnya, setiap empat tahun sekali, empat orang datuk itu selalu mengadakan pertemuan
untuk membicarakan ilmu silat, bahkan mereka itu masing- masing memperlihatkan kemajuan -
kemajuan yang mereka peroleh selama empat tahun terakhir, untuk dikagumi oleh yang lain, juga
diakui! Akan tetapi baiknya, belum pernah di antara mereka itu terjadi persaingan atau cekcok,
apa lagi lalu saling serang sampai bunuh - membunuh. Mereka agak-nya maklum bahwa sekali
bentrok, berarti mereka akan membiarkan dirinya terancam maut, karena sekali berkelahi, tentu
kematian mengancam mereka. Bukan tidak mungkin, mengingat bahwa tingkat mereka seimbang,
mereka akan sampyuh dan mati semua. Kadang-kadang mereka mengadakan pertemuan di tepi
pantai, kadang-kadang di puncak gunung atau di tempat- tempat yang sunyi dan yang tak pernah
didatangi orang lain.
Pada suatu hari, kembali mereka mengadakan pertemuan setelah selama empat tahun
mereka tidak pernah saling bertemu. Sekali ini, mereka memilih tempat di lembah Gunung Hoasan
yang indah dan amat sunyi. Dan di lembah itu terdapat sebuah telaga yang indah sekali,
dengan airnya yang dalam dan kehijauan, bening seperti kaca. Sunyi sekali di situ sehingga ketika
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
empat orang datuk itu datang secara beruntun, mereka merasa suka sekali dan memuji tempat itu
sebagai tempat pertemuan yang amat menyenangkan.
"Ha - ha - ha, kamu tukang obat memang pandai memilih tempat yang bagus !" Cui - beng
Kui - ong pendiri Tai-bong-pai memuji karena memang tempat itu adalah pilihan Bu-eng Sin-yokong.
Mereka lalu duduk mengelilingi sebuah perapian sambil bercakap-cakap, membicarakan
tentang ilmu silat dan tentang hasil - hasil mereka selama empat tahun ini. Bu - eng Sin - yok -
ong mengatakan bahwa diapun hanya mendengar saja tentang keindahan telaga ini dan baru
sekarang dia datang ke tempat itu.
"Yok-ong, selama empat tahun ini ilmu apa sajakah yang berhasil kauciptakan ?" Kita - mo
Sai - ong bertanya. Di antara mereka berempat, memang boleh dibilang tingkat Bu-eng Sin-yokong
yang paling tinggi sehingga tiga orang yang lain menganggap dia seperti saudara tua.
Menurut tingkat mereka, walaupun mereka tidak pernah saling gempur, orang pertama adalah Bu
- eng Sin-yok - ong, ke dua adalah Sin - kun Bu - tek dan Cui-,beng Kui - ong yang (memiliki
tingkat seimbang, dan yang sedikit lebih "rendah adalah Kim - mo Sai - ong. Akan tetapi,
perbedaan tingkat ini tidak pernah mereka, nyatakan dengan mulut, hanya masing-masing
mencatatnya di dalam hati, mengukur dari kepandaian mereka ketika saling mendemonstrasikan
ilrnu masing - masing.
Ditanya oleh Kim - mo Sai - ong secara terbuka itu, Bu - eng Sin - yok - ong tersenyum
sambil mengelus jenggotnya. "Ah, sudah tua seperti aku ini, perlu apa memperdalam ilmu
membunuh orang lain ? Tidak, :elama ini aku tidak mau menambah ciptaan ilmu (membunuh.
Sudah terlalu banyak ilmu membunuh diciptakan orang-orang pandai seperti kalian bertiga ini,
maka aku lalu tekun di dalam guha untuk mencfcri rahasia ilmu menghidupkan yang menjadi
kebalikan dari ilmu membu-nuh."
"Lo - heng, engkau adalah seorang Raja Tabib yang merupakan dewa pengobatan di dunia
ini, apakah engkau maksudkan selama ini engkau memperdalam ilmu pengobatan yang sudah
hebat itu ? Hampir tidak ada penyakit yang tak dapat kausembuhkan dengan ilmumu," tanya Sinkun
Bu-tek yang merasa seperti saudara sendiri dengan datuk selatan itu sehingga menyebutnya
lo-heng.
"Bukan hanya ilmu pengobatan, lo-te, melainkan ilmu menghidupkan," jawab yang ditanya.
"Ha-ha-ha, tukang obat !" Cui-beng Kui-ong yang suka ugal-ugalan dan tidak pernah mau
memakai peraturan, juga dalam hal memanggil nama itu, tertawa. "Yang dihidupkan itu hanyalah
orang mati, apakah kau mau katakan bahwa engkau dapat menghidupkan orang mati ?"
Pertanyaan ini seperti kelakar, akan tetapi diam-diam yang bertanya merasa tegang dan juga dua
orang lainnya memandang wajah Bu-eng Sin-yok-ong dengan mata terbelalak penuh perhatian.
Sin - yok - ong menarik napas panjang. "Siancai... aku hanya manusia biasa, mana mungkin
dapat membuka rahasia antara mati dan hidup ? Akan tetapi, sebagai ahli pengobatan, aku
tertarik untuk menyelidiki sebab-sebab mengapa ada kematian dalam hidup ini. Manusia ini hidup
karena adanya tenaga yang menggerakkan segala sesuati dalam tubuh kita, baik selagi terjaga
maupun sedang tertidur, menggerakkan jantung, pernapasan dan seluruh urat syaraf dalam
tubuh, sampai yang terha-lus sekalipun. Kematian disebabkan karena tenaga penggerak ini tidak
dapat menembus bag;an tubuh yang rusak, baik oleh kuman maurmn oleh kekeras-an dari luar.
Nah, aku melakukan penyelidikan bagaimana untuk menembus bagian tertutup itu sehingga
tenaga penggerak itu mampu menembus ke bagian-bagian yang terpenting sehingga semua
anggauta tubuh dapat bekerja dengan baik walau-pun ada bagian yang cacat dan hidup dapat
dipertahankan."
Tiga orang datuk lainnya mendengarkan de-ngan mata terbelalak. "Wah, wah, bukan main
hebatnya! Kalau benar engkau telah berhasil mengatasi kematian, maka segala ilmu di dunia ini
tidak ada artinya lagi. Selamat, Yok-ong!" kata Kim-mo Sai-ong akan tetapi Sin-yok-ong
mengangkat tangannya.
"Jangan tergesa - gesa memberi selamat, Sai-ong. Aku baru dalam taraf penyelidikan dan
per-cobaan saja dan ternyata di balik itu tersembunyi rahasia - rahasia yang amat pelik dan gawat.
Sudah-lah, lebih baik kalian menceritakan dan memperli-hatkan ilmu - ilmu baru yang kalian
berhasil cipta-kan selama ini."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kim - mo Sai - ong lalu mendemonstrasikan ilmu-nya yang paling hebat, yaitu ilmu tenaga
sakti Rawa Pasir. Ketika dia mainkan ilmu ini yang diberi nama Pukulan Pusaran Pasir Maut, di
sekitar tu-buhnya terasa ada tenaga hebat yang berdaya tolak luar biasa kuatnya, mengandung
hawa dingin yang menggigilkan, terasa oleh tiga orang datuk lainnya yang dapat mengerti bahwa
lawan yang kurang kuat tidak akan dapat bertahan mengha-dapi datuk ini dalam jarak tiga
langkah saja. Dan kaki tangan Kim - mo Sai - ong mainkan ilmu silat yang dinamakannya Soa-hulian
(Teratai Danau Pasir). Tiga orang datuk itu memuji ilmu-ilmu baru ini.
Tiba giliran Cui-beng Kui-ong yang mendemonstrasikan ilmunya yang mutakhir, yaitu Ilmu
Pukulan Penghisap Darah! Bukan main hebatnya pukulan ini. Terasa oleh tiga orang datuk lainnya
betapa dalam angin pukulan itu terkandung hawa beracun yang menyedot ke arah lawan dan setiap
pertemuan anggauta badan dengan lawan, seperti kalau lawan menangkis dan sebagainya,
lawan yang kalah kuat sedikit saja tenaganya tentu akan terkena akibat hawa pukulan ini yang
akan menyedot keluar darah dari balik kulit mereka sehingga lawan seolah-olah akan berkeringat
da-rah ! Sebelum ilmu yang mengerikan ini, Cui - beng Kui - ong sudah pula memiliki Ilmu Tenaga
Sakti Asap Hio yang membuat keringatnya berbau seper-ti hio (dupa biting) yang harum - harum
aneh.
Diam-diam Sin-yok-ong dan Sin-kun Bu-tek merasa khawatir dan ngeri. Kalau ilmu kedua
orang datuk kaum sesat itu dipergunakan oleh mu-rid-murid mereka yang berahlak bobrok, tentu
akan mendatangkan malapetaka di dunia ini. Akan tetapi mereka berdua merasa yakin bahwa
biarpun dua orang datuk sakti itu dianggap sebagai datuk sesat, namun mereka amat keras
terhadap muridmurid mereka dan tidak sembarangan menurunkan ilmu mereka kepada murid
mereka.
Tiba giliran Sin-kun Bu-tek yang memperli-hatkan ilmu pukulan terbarunya. Ilmu itu dinamakan
Ilmu Silat Angin Puyuh dan dimainkan dengan pengerahan tenaga sakti yang dinamakannya
tenaga Thian - hui - gong - ciang (Tangan Ko-song Halilintar). Ketika orang sakti ini
memainkan ilmunya, maka terasa oleh tiga orang datuk lain-nya betapa ada hawa menyambar -
nyambar panas dan disertai angin puyuh yang mengamuk hebat. Debu mengepul tinggi dan
berpusing seperti ter-bawa angin puyuh dan pohon-pohon di sekeliling tempat- itu bergoyang -
goyang, daun - daun rontok beterbangan terbawa berpusing pula.
"Hebat, hebat... , lo-te. Ilmu pukulan ini hebat sekali" Bu-eng Sin-yok-ong memuji, demikian
pula dua orang datuk sesat juga merasa kagum dan merasa bahwa bagaimanapun juga, kemajuan
ilmu mereka masih kalah dibandingkan dengan Sin - kun Bu - tek ini.
"Nah, sekarang tiba giliranmu, lo-heng. Biar-pun engkau mengaku belum berhasil, akan
tetapi selama empat tahun ini tentu telah ada kemajuan. Siapa tahu engkau telah dapat
menghidupkan orang mati ! Wah, kalau benar demikian, kami bertiga akan berlutut dan takluk!"
kata Sin - kun Bu - tek yang dibenarkan oleh dua orang datuk lainnya. Kalau benar Tabib Sakti itu
dapat menghidupkan orang mati, apa artinya semua kemajuan yang mereka peroleh ? Kecil sekali
dibandingkan dengan ilmu yang dapat menghidupkan orang mati !
Bu - eng Sin - yok - ong tersenyum dan mengge-leng kepala. "Jangan kalian melebih -
lebihkan. Sudah kukatakan, aku baru membuat penyelidikan dan percobaan, dan di balik
kehidupan ini terdapat hal - hal yang tidak dapat dijangkau oleh kekuatan otak belaka. Akan
tetapi, memang selama empat tahun ini aku sudah membuat percobaan - percoba-an. Nah, Sai -
ong, engkau yang paling gesit, coba-lah engkau mencari seekor kelinci."
"Baik!" Begitu menjawab, tubuhnya sudah melesat lenyap dan sebentar saja iblis pendiri
Soa-bu - pai ini telah datang kembali membawa seekor kelinci.
"Bunuhlah tanpa merusak kepalanya !" kata pula Bu-eng Sin-yok-ong.
Kim - mo Sai - ong tertawa dan sekali tangan kirinya bergerak, jari telunjuknya telah
memukul punggung kelinci itu. "Ngekk!" dan kelinci itupun tewaslah, hanya berkelojotan sekali
dua kali saja.
"Periksalah oleh kalian apa benar - benar bina-tang, ini sudah mati," kata pula Bu - eng Sin -
yok-ong dengan tenang. Tiga orang datuk itu dengan bergantian memeriksa dan mendapat
kenyataan bahwa kelinci itu memang sudah mati, darahnya sudah terhenti sama sekali dan
napasnya tidak ja-lan walaupun tubuhnya masih hangat.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Bu - eng Sin - yok - ong sudah mengeluarkan se-rangkaian jarum - jarum emas dan perak.
Lalu dia mengambil bangkai kelinci itu dan mulai menggu-nakan jarum - jarumnya untuk menusuk
sana - sini.
Belum sampai duabelas kali dia menusuk... eh, binatang itu dapat bergerak kembali dan
ketika jarum - jarum itu diambil dan kelinci dilepaskan, binatang itu berlari cepat memasuki
semak-semak!
Tiga orang datuk itu terbelalak dan seperti telah mereka janjikan tadi, mereka menjatuhkan
diri ber-lutut. Akan tetapi Bu - eng Sin - yok - ong juga ber-lutut membalas mereka dan berkata,
"Sudah, su-dah, jangan main - main. Mari kita duduk kembali. Aku hanya menghidupkan seekor
kelinci yang mati-nya dalam keadaan utuh. Kalau manusia yang mati dan rusak alat tubuhnya
yang penting, sung-guh aku tidak berani memastikan apakah aku akan dapat menghidupkannya."
Biarpun kakek itu merendah, namun tiga orang datuk itu semakin kagum dan hormat
kepadanya. Mereka lalu beroakap - cakap dan mula - mula yang membangkitkan kebanggaan di
hati mereka adalah Kim - mo Sai - ong yang berkata, "Setelah kita ber-empat mencapai tingkat
seperti sekarang ini, siapa-kah di dunia ini yang sanggup mengatasi kita ?"
"Ha-ha-ha, omonganmu sungguh aneh, Sai-ong !" Cui-
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To
Register.]***
Sin - kun Bu - tek batuk - batuk untuk menekan rasa bangga ini, kemudian dia berkata,
"Uhh, tua bangka - tua bang-ka seperti kita ini menghabiskan waktu puluhan tahun untuk
menciptakan ilmu - ilmu silat yang tinggi. Kalau sudah mencapai tingkat tertinggi, lalu untuk apa
?" Biarpun demikian, dalam ucap-annya ini mengakui bahwa mereka telah mencapai tingkat
tertinggi!
"Siancai... , sungguh beruntung bahwa kita berempat dapat bersahabat seperti ini. Kalau
ilmu-ilmu kita ini dipergunakan untuk saling hantam, bukankah dunia akan menjadi kacau dan
kiamat ?" Bu-eng Sin-yok-ong juga berkata dan dalam kata-katanya juga terbayang rasa bangga
akan kepandaian mereka berempat yang mereka anggap sudah tidak ada bandingnya lagi di
seluruh dunia ini.
Tiba - tiba mereka dikejutkan oleh suara nyanyian halus yang datangnya dari seberang
telaga! Suara itu halus sekali seperti berbisik, akan tetapi mereka dapat mendengar dengan jelas,
seperti suara anak - anak yang dibawa angin lalu.
"Langit biru tinggi nian
apa gerangan yang berada di atasmu ?
Telaga biru betapa dalam
apa gerangan yang berada di bawahmu ?
Adakah yang tertinggi?
Adakah yang paling dalam ?
Aku tak tahu... !"
Empat orang tua itu saling pandang dan dalam pandang mata itu mereka tahu babwa
nyanyian itu seolah - olah mengejek dan menusuk jantung mere-ka, seolah - olah mencela rasa
bangga dan angkuh yang tadi mencekam hati mereka. Di samping rasa penasaran, juga mereka
merasa malu bahwa mere-ka yang telah berada di tempat itu selama hampir setengah hari, tidak
tahu bahwa di dekat telaga itu ada orangnya!
Orang itu adalah seorang sasterawan, atau seorang kakek yang memakai pakaian
sederhana seper-ti sasterawan, sudah tua sekali, dengan kumis dan jenggot panjang berwarna
putih, tubuhnya kurus kering seperti orang kurang makan, namun wajah-nya membayangkan
kelembutan yang mengharu-kan. Kakek ini sejak pagi buta telah duduk di tepi telaga, terlindung
oleh semak-semak dan pohon-pohon, dan karena dia sama sekali tidak mengeluarkan suara
sedikitpun, seperti gerakan bayangan pohon saja, maka empat orang datuk sakti itu sama sekali
tidak tahu akan kehadirannya. Sasterawan itupun tidak memperdulikan mereka berempat,
tenggelam dalam kesibukannya sendiri. Dia sedang melukis keindahan telaga dengan gununggunung
yang mengelilinginya. Di dekatnya terdapat tangkai pancing yang ditancapkan, ada
bebera-pa buah berderet - deret di tepi telaga. Akan teta-pi sasterawan itupun tidak
memperdulikan pan-cing - pancing ini, melainkan asyik melukis. Hanya setelah empat orang datuk
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
itu berbincang-bincang dengan penuh kebanggaan dan keangkuhan tentang kepandaian mereka,
kakek tua ini secara langsung menyanyikan sajak tadi, sama sekali bukan bermak-sud untuk
mengejek atau menyindir, melainkan karena ucapan - ucapan empat orang yang mengan-dung
keangkuhan itu membuat dia termenung dan bertanya-tanya dalam hati tentang apakah ada yang
tertinggi dan terdalam. Pertanyaan ini tim-bul karena dia melukis langit dan danau, dan ter-dorong
oleh percakapan yang mengandung nada angkuh dan bangga akan diri sendiri itu.
Empat orang datuk itu dengan kepandaian mereka yang hebat, dalam beberapa detik saja
sudah berada di tepi telaga, berhadapan dengan kakek sasterawan yang asyik melukis itu. Kakek
itu hanya menengok dan memandang dengan sinar mata lembut dan mulutnya yang kempot tak
bergigi itu tersenyum tenang.
Akan tetapi Cui - beng Kui - ong, si iblis peng-isap darah dari Tai - bong - pai yang
berangasan itu sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia melangkah maju dan
memandang kepada ka-kek sasterawan itu dengan sinar mata berapi dari sepasang matanya yang
lebar terbelalak, lalu dia menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. "Heh, orang tua yang
sombong ! Engkau telah lan-cang mengintai kami, ya ? Sungguh kurang ajar sekali perbuatan itu,
melanggar peraturan dan ke-biasaan orang - orang gagah ! Bukan jantan kalau suka mengintai
orang lain!"
Sasterawan tua itu nampak terkejut dengan se-rangan kata - kata yang kasar ini. Dia bangkit
ber-diri dengan gerakan lemah, meninggalkan lukisan-nya yang terbentang di atas tanah, akan
tetapi dia tidak melepaskan tempat tinta bak yang dipegang dengan tangan kiri dan pena bulu
yang dipegang dengan tangan kanan, yaitu alat - alatnya untuk me-lukis tadi.
"Maaf, maaf harap cu - wi yang gagah perkasa tidak salah sangka dan menuduh aku
melakukan hal yang bukan - bukan. Sejak pagi buta aku telah berada di sini seperti yang
kulakukan setiap hari, memancing dan melukis atau menulis sajak. Rumahkupun tidak jauh dari
sini, itu di lereng sebelah sana, nampak dari sini. Siapa yang mengintai ? Salahkah aku kalau aku
sudah berada di sini ketika cu-wi datang ?"
Ucapan itu halus dan cukup beralasan, akan tetapi karena Cui - beng Kul - ong merasa
penasar-an dan menduga bahwa orang ini tentu telah me-nyaksikan ilmu-ilmu baru yang mereka
keluarkan, tadi, dia menjadi naik darah. Apa lagi, sejak tadi dia memang merasa kurang puas,
karena dia mera-sa bahwa ilmu barunya tadi masih kalah hebat di-bandingkan dengan ilmu bara
dari Sin-kun Bu-tek, dan hal ini berarti bahwa dalam empat tahun ini kemajuan ilmunya masih
kurang dibandingkan dengan kemajuan tiga orang datuk lainnya.
"Mancing ? Alasan ! Beginikah caranya orang mancing?" Dan diapun menggunakan.
tangannya bergerak ke depan dan batang-batang pancing itu tercabut semuanya dan ternyata di
mata kail-nya tidak ada seekorpun cacing !" Inikah namanya mancing ?" Dia melempar -
lemparkan semua ba-tang pancing ke atas tanah.
Akan tetapi, kakek sasterawan itu ternyata sa-bar sekali. Dia sama sekali tidak marah,
bahkan dia lalu mengangkat muka memandang ke atas dan bersajak lagi.
"Memancing tanpa umpan
karena tidak butuh ikan
hanya memancing ketenangan
untuk menikmati kebahagiaan.
Apa artinya pintar
kalau hanya untuk menipu ?
Apa artinya kuat
kalau hanya untuk menindas ?
Lebih baik bodoh
lebih baik lemah!"
Cui-beng Kui-ong menjadi semakin marah karena dia merasa diejek dan disindir. "Keparat,
berani engkau memaki orang ?" katanya dan dia-pun merenggut lukisan dari atas tanah dan merobek
- robek lukisan itu ! Datuk yang bertubuh ting-gi besar dengan kumis dan jenggot kasar
pendek ini kelihatan menyeramkan sekali. Lukisan itu hancur lebur ketika dirobeknya. Padahal,
sastera-wan tua itu bersusah payah dengan lukisan itu selama berhari-hari dan lukisan itu telah
mendapatkan bentuknya. Sebuah lukisan yang amat in-dahnya. Matahari pagi dilukisan itu seolahKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
olah menyinarkan cahaya begitu hidup, cahaya keemas-an yang gilang - gemilang dan yang
membentuk cahaya panjang di permukaan danau. Padahal, lukisan itu hanya hitam putih saja,
namun orang yang menatap lukisan itu seolah-olah melihat ke indahan warna-warna aselinya.
Bu-eng Sin-yok-ong dan Sin-kun Bu-tek mengerutkan alisnya dan merasa bahwa tindakan
Cui - beng Kui - ong itu agak keterlaluan walaupunmereka berduapun merasa tidak senang kalau
mengingat bahwa kakek sasterawan ini tadi telah mendengarkan semua percakapan mereka
berem-pat, bahkan mungkin sekali telah melihat demons-trasi kepandaian mereka yang amat
dirahasiakan itu.
Sasterawan tua itu ternyata tidak marah, hanya dengan muka sedih sekali dia melihat
betapa lu-kisan kesayangannya dirobek - robek orang. Ke-dua lengan yang memegang mouw - pit
dan tem-pat bak itu tergantung lemas dan wajahnya yang tua keriputan nampak amat berduka.
Lalu dia berlutut di dekat robekan - robekan lukisan, me-naruh pena bulu dan tempat tinta di atas
tanah, memunguti robekan lukisan, melihatnya dengan air mata berlinang, kemudian dia berkata
dengan lirih, nadanya penuh keprihatinan,
"Kuharap dengan sangat agar tuan - tuan suka cepat berlalu dari tempat ini sebelum anak
angkatku yang pemarah itu datang ke sini dan melihat malapetakka ini."
Tentu saja ucapan yang mengandung peringat-an ini membuat empat orang datuk itu mau
tidak mau tertawa, bahkan Bu - eng Sin - yok - ong sen-diripun sempat tersenyum dan mengelus
jenggot-nya. Mereka adalah empat orang datuk terbesar di seluruh dunia persilatan, merasa tanpa
tandingan dan tentu saja menghadapi siapapun mereka tidak merasa takut, apa lagi harus
berhadapan dengari anak angkat kakek itu yang berangasan saja, bahkan dengan kaisar dan bala
tentaranya sekalipun mere-ka tidak akan gentar menghadapinya. Bahkan Sin-kun Bu - tek yang
berjiwa pendekar juga merasa tersinggung diperingatkan seperti itu, seolah - olah mereka
berempat akan merasa takut terhadap an-caman seorang bocah, karena betapapun juga, anak
angkat kakek itu tentu masih muda. Maka diapun bertanya dengan suara mengandung
kemarahan.
"Sobat yang pandai melukis dan bersajak, tahukah engkau siapa adanya kami berempat ?"
Dengan sikap tenang sasterawan itu menjawab, "Sejak cu-wi datang, sebenarnya aku tidak
tahu sama sekali siapa cu-wi dan akupun tidak perduli. Akan tetapi aku tahu bahwa cu-wi saling
bersa-habat dan ingin menguji ilmu masing-masing, Baru setelah cu-wi selesai saling menguji ilmu
dan bercakap-cakap serta saling memanggil nama ma-sing - masing, aku tahu bahwa cu-wi adalah
empat orang datuk dunia persilatan yang tersohor itu. Benarkah demikian ? Menilik dari kesaktiankesaktian
yang telah cu-wi perlihatkan tadi, tentu perkiraanku benar."
Jawaban ini tentu saja mengejutkan dan mencengangkan. Kalau sasterawan ini sudah dapat
mengenal ilmu kesaktian mereka, berarti kakek ini tidak asing dengan ilmu silat tinggi. Kim-mo
Sai-ong yang sejak tadi diam saja kini berkata dengan suara mengejek,
"Meskipun telah dapat menduga siapa kami, engkau masih berani menakut-nakuti kami
dengan anak angkatmu itu ? Apakah anak angkatmu itu bisa mengalahkan kami ?"
"Justeru itulah yang kutakutkan. Biarpun berangasan, aku sangat mengasihinya, dan aku
tidak ingin melihat orang menyakitinya. Kalau dia da-tang dan melihat lukisanku dirobek - robek
orang, tentu dia akan marah dan mengamuk. Padahal, pada waktu ini, ilmunya belum mencapai
tingkat setinggi tingkat cu-wi. Akibatnya tentu dia akan dihajar habis-habisan. Bukankah aku akan
merasa sedih sekali kalau begitu ?"
"Sudahlah mari kita pergi saja!" Bu-eng Sin-yok-ong membujuk tiga orang temannya karena
dia merasa kasihan terhadap sasterawan tua itu. Tiga orang datuk lainnya juga merasa enggan
untuk mengganggu seorang kakek lemah seperti itu. Tidak pantaslah kalau datuk-datuk sakti
seperti mereka harus melayani seorang sasterawan tua lemah. Merendahkan martabat saja dan
mem-buang-buang tenaga sia-sia. Mereka bertiga mengangguk dan sudah hendak pergi bersama
Bu-eng Sin-yok-ong.
Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan muncullah seorang pemuda tinggi tegap
dari balik tebing gunung. Begitu datang, pemuda ini melihat lukisan yang robek - robek dan ayah
ang-katnya yang berdiri dengan muka berduka, berha-dapan dengan empat orang kakek yang
agaknya hendak meninggalkan tempat itu.
"Tahan !!" Pemuda itu berteriak dan karena teriakannya mengandung tenaga khikang yang
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
cukup dahsyat, maka empat orang datuk itu terkejut dan tertarik, lalu tidak jadi pergi dan
memandang kepada pemuda itu. Inikah anak angkat kakek sasterawan yang berangasan itu ?
"Siapakah yang berani merobek-robek lukisan ayahku ? Hayo, siapa berani melakukan
perbuatan biadab ini ? iblis sekalipun tidak akan tega mengganggu ayah, apa lagi merobek
lukisannya yang dibuatnya dengan penuh kecintaan dan ketekunan selama berhari-hari. Hayo
kalian mengaku, siapa di antara kalian yang merobek- robeknya ?"
"Anakku ....... sudahlah !" Sasterawan tua itu membujuk, suaranya gemetar.
"Biar, ayah. Aku tidak akan mau sudah sebelum yang merobeknya berlutut minta-minta
ampun kepadamu dan bersumpah lain kali tidak akan berani berbuat sewenang- wenang lagi!"
Tentu saja sejak tadi Cui-beng Kui-ong sudah marah bukan main. "Heh, bocah gila, akulah
yang telah merobek-robek gambar busuk itu! Habis, kau mau apa ?" Sambil berkata demikian,
datuk ini melangkah maju dan membusungkan dadanya yang bidang dan kokoh kuat.
Pemuda itu memandang kepada datuk tinggi besar itu dengan mata berapi-api. "Engkau, ya
? Siapakah engkau begitu berani menghina ayahku ?"
Cui-beng Kui-ong masih merasa malu kalau harus melayani seorang pemuda seperti ini,
maka dia menahan kemarahannya dan tertawa. "Ha-ha-ha, ketahuilah, pemuda tolol. Aku adalah
Cui-beng Kui-ong!" Dikiranya bahwa pemuda itu tentu akan ketakutan setengah mati mendengar
namanya. Di seluruh dunia ini, baik pendekar maupun pen-jahat, gemetar ketakutan mendengar
namanya, apa-lagi seorang pemuda tak terkenal seperti ini. Akan tetapi sikap pemuda itu sungguh
mengejutkan empat orang datuk itu.
"Hernm, engkau baru seorang Kui-ong (Raja Iblis) sudah berani mengganggu ayahku.
Sedangkan seorang Sian- ong (Raja Dewa) sekalipun tidak akan berani. Iblis seperti ini memang
patut dihajar !" Dan pemuda itu langsung saja memukul dengan kepalan lurus ke arah dada Cuibeng
Kui-ong! Hampir saja raja iblis ini tertawa bergelak melihat pemuda itu berani menyerangnya
dengan kepalan biasa seperti itu. Tentu saja dengan mudah dia akan dapat mengelak, akan tetapi
karena dia ingin segebrakan saja membuat pemuda itu "tahu rasa", maka diapun tidak mengelak,
melainkan menangkis sambil mengerahkan sinkang biasa yang cukup kuat untuk mematahkan
tulang lengan pemuda itu dan sekaligus membuatnya terlempar.
"Dukkk!!" Akibat benturan kedua lengan itu membuat Cui-beng Kui-ong terbelalak, bah-kan
tiga orang datuk lainnya juga menjadi bengong. Mereka bertiga itu maklum akan maksud Cui-beng
Kui-ong dengan tangkisan itu. Akan tetapi akibatnya, pemuda itu sama sekali tidak terlempar, apa
lagi patah tulang lengannya, bahkan Cui- beng Kui-ong merasa betapa pemuda itu memiliki tenaga
sinkang yang amat kuat, setidaknya mampu menandingi tenaganya tadi! Tentu saja dia merasa
kecelik, terkejut dan juga penasaran dan cepat datuk ini membalas serangan dengan dahsyat dan
bertubi-tubi. Akan tetapi kembali dia terkejut setengah mati karena dengan gerakan- gerakan
aneh akan tetapi teratur dan cepat sekali, pemuda itu dapat menghindarkan semua serangannya
dengan baik, bahkan membalas setiap serangan secara kontan dan berantai ! Karena Cui-beng
Kui-ong memandang rendah, hal yang tidak aneh karena memang selama ini dia tidak pernah
menemukan tanding, nyaris dalam serangan jurus ke tigabelas kepalan tangan pemuda itu
mengenai lehernya. Untung dia masih dapat melempar tubuh ke belakang sehingga terhindar dari
pada malu terkena pukulan lawan. Akan tetapi pemuda itu terus mendesaknya dengan pukulan -
pukulan yang mantap sekali.
"Anakku, sudahlah sudahlah, Cong Bu .... jangan berkelahi!" Sasterawan tua itu
meratap-ratap. Akan tetapi anak angkatnya yang berangas-an dan yang sudah marah dan sakit
hati sekali itu mana mau mendengarkan permintaannya ? Pemuda itu menerjang terus dan
terjadilah perkelahian yang seru dan yang amat mengherankan hati tiga orang datuk lainnya, juga
membuat semakin pe-nasaran hati Cui-beng Kui-ong. Dia merasa malu sekali karena tadi
memandang rendah dan ternyata pemuda ini sedemikian lihainya se-hingga dapat melayaninya
sampai hampir ti-apuluh jurus. Marahlah Cui-beng Kui-ong an diapun mulai memainkan ilmunya
yang paling baru, yaitu Ilmu Pukulan Penghisap Darah! Bu kan main hebatnya pukulan ini dan
sekali ini pemuda itu terdesak hebat. Memang harus diakui bahwa bagaimanapun juga, tingkat
kepandaian pemuda ini walaupun memiliki bakat yang amat kuat, namun masih belum matang
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dan masih kalah se-tingkat dibandingkan dengan Cui - beng Kui - ong. Dia terdesak mundur, akan
tetapi dasar wataknya keras dan berangasan, dia masih nekat terus mela-kukan perlawanan.
Akhirnya, sebuah pukulan dahsyat dengan Tenaga Sakti Asap Hio mengenai dada sebelah
kanan pemuda itu yang roboh terjengkang dan tak sadarkan diri!
"Cong Bu ah, Cong Bu, mengapa engkau tidak mentaati kata-kataku tadi ?"
Sasterawan tua itu menubruk dan menangisi anak angkatnya, mengeluh panjang pendek.
Diambilnya sehelai koyo (obat tempel) dan ditempelkan pada dada anaknya yang terluka parah
itu. Baju bagian dada itu berlu-bang seperti terbakar dan kulitnya juga matang ha-ngus terkena
pukulan itu dan masih mengepulkan uap! Melihat ini Raja Tabib Sakti lalu mendekat dan sekali
lihat saja tahulah dia bahwa pemuda itu terkena pukulan Tenaga Sakti Uap Hio, maka dia-pun
cepat - cepat mengeluarkan obat cair dalam botol. Dia percaya bahwa pemuda itu tidak teran-cam
nyawanya karena tadi sudah dilihatnya bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang cukup kuat, akan
tetapi kalau tidak cepat diberi obat yang tepat, ha-wa beracun dari pukulan itu bisa merusak jalan
darah.
"Sobat, tuangkan obat ini pada luka di dadanya dan paksa dia minum sebagian sisanya,"
katanya halus. Tanpa berkata apa-apa, sasterawan itu menerima botol dan membukanya, lalu
menyiram luka itu dengan sebagian dari obat cair itu. Kemu-dian, dia membuka mulut anaknya
dan menuang-kan sisa obat ke dalam mulutnya. Kalau dia tidak memiliki kepercayaan sepenuhnya
kepada datuk
yang berjuluk Raja Tabib Sakti itu, tentu dia me-ragu mendengar bahwa obat luar bisa
diperguna-kan untuk obat dalam itu. Dan memang hebat se-kali obat dari Raja Tabib Sakti itu.
Begitu diobati, pemuda itu siuman kembali dan mengeluh lirih.
"Nah, apa kataku tadi, Cong Bu, janganlah kau-lanjutkan sifatmu yang berangasan itu,
hanya men-datangkan malapetaka saja bagimu. Untung engkau tidak mati dan menerima
pertolongan dari Bu-eng Sin-yok-ong !" kakek sasterawan itu menegur anaknya.
"Akan tetapi... akan tetapi mereka menghina ayah! Hemm, kelak aku akan membalas
penghina-an ini, setelah aku menyempurnakan pelajaran ilmu yang ayah berikan. Sungguh
kurang ajar sekali! Aduhh... huh-huh... kepandaiannya cuma seperti itu sudah berani
menyombongkan di depan ayah! Huh, lihat saja dua tahun lagi, aku tentu akan menghajar raja
iblis itu !"
Sasterawan tua itu cepat membungkam mulut anaknya yang marah-marah dan penasaran
itu, sambil dengan muka was - was melirik kepada em-pat orang datuk yang sudah hendak pergi
itu.
Dan memang sesungguhnyalah apa yang dikhawatirkannya. Cui-beng Kui-ong marah bukan
main mendengar ocehan pemuda yang telah dirobohkannya itu. Sambil menggeram dia
melangkah ke depan, sekali mengulur tangan dia telah mencengkeram leher sasterawan tua itu
dan melempar-kannya ke tengah telaga. Tubuh yang kurus kecil itu terlempar bagaikan layanglayang
putus talinya. Cui - beng Kui - ong yang marah - marah itu me-lanjutkan gerakannya,
menjambak rambut pemuda itu untuk dijotos. Melihat ini, Bu - eng Sin - yok-ong hendak
mencegah akan tetapi tiba - tiba mereka semua dikejutkan oleh hal yang sama sekali tidak pernah
mereka duga !
Tubuh sasterawan tua itu tadi terlempar ke arah telaga seperti layang-layang putus talinya,
dan tak dapat diragukan lagi bahwa tubuhnya yang ringan itu tentu akan terjatuh ke air telaga.
Akan tetapi, ketika sasterawan tua itu melihat be-tapa anaknya dijambak rambutnya dan terancam
nyawanya, tiba-tiba dia mengeluarkan suara me-lengking tinggi halus sekali seperti suara nyamuk
terdengar di dekat telinga dan tubuhnya yang tadi-nya meluncur itu, mendadak menggeliat di
udara dan dapat menukik kembali ke darat dengan kece-patan seperti seekor burung walet
terbang saja. Bu - eng Sin - yok - ong adalah seorang ahli gin-kang yang tiada keduanya di dunia
persilatan, akan tetapi menyaksikan ginkang yang diperlihat-kan oleh kakek sasterawan itu, dia
sampai melongo dan bengong keheranan. Kemudian, sekali kedua tangan kakek sasterawan itu
bergerak, tahu-tahu pemuda yang tadinya dijambak rambutnya oleh Cui - beng Kui - ong itu telah
berpindah tangan dan dipondong oleh kakek sasterawan kecil kurus itu !
Sasterawan itu memangku anaknya di atas ta-nah dan sambil mengelus - elus kepala
puteranya, dia berkata dengan suara gemetar, "Agaknya cu-wi memiliki hati yang demikian
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
angkuhnya sehingga selalu mau menang sendiri. Agaknya untuk memo-hon agar cu - wi suka
pergi, haruslah lebih dulu menundukkan keangkuhan itu. Nah, sekali lagi, ha-rap cu - wi suka
meninggalkan tempat ini sebelum cu - wi kehilangan keangkuhan itu."
Sebelum yang lain menjawab, Cui-beng Kui-ong sudah menjadi marah sekali dan dia maju
menghampiri kakek sasterawan itu. "Tua bangka sombong ! Inilah aku, Cui - beng Kui ong yang
telah memukul anakmu karena anakmu lancang mulut. Kau hendak menundukkan keangkuhan kami
? Hemmu, majulah, siapa takut kepadamu ? A-kan tetapi ingat, kalau engkau mampus di
tangan-ku, anakmu inipun akan kubunuh agar engkau tidak mati sendiri !" Ucapan datuk ini bukan
sekali - kali karena kekejamannya, melainkan karena kecerdikan-nya. Kalau kakek itu tewas, tentu
kelak anaknya yang berangasan itu hanya akan mendatangkan ke-sulitan saja baginya, maka
harus dibunuh sekali untuk menghilangkan balas dendam.
Dengan perlahan kakek sasterawan itu bangkit berdiri dan mengangguk. "Sesukamulah,
akan tetapi dengan kepandaianmu yang jauh dari pada bersih itu, dengan banyak kelemahan dan
kekurangannya di sana-sini, bagaimana engkau akan dapat memastikan kemenanganmu?
Pertama-tama, engkau harus merobah watakmu yang bukan saja kejam, akan tetapi juga
sombong dan. tekebur itu, ini merupakan pelajaran pertama bagimu, Cui-beng Kui-ong !" Kini
ucapan sasterawan itu tidak lemah seperti tadi, melainkan penuh wibawa dan mengandung
kekuatan yang menggetarkan jantung.
(Bersambung jilid ke IX.)
xx—» DARAH PENDEKAR «—xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid IX
- O -
TENTU saja Cui-beng Kui-ong menjadi semakin marah. Sambil menghardik, diapun sudah
menerjang maju. Karena dia tahu bahwa sebagai ayah pemuda itu, tentu kakek ini memiliki ilmu
ke-pandaian tinggi, maka begitu menerjang, dia sudah mengeluarkan ilmu andalannya, yaitu dia
memukul dengan Tenaga Sakti Asap Hio yang mengeluarkan bau harum aneh itu. Biasanya, ilmu
ini akan me-ngeluarkan bau yang membuat lawan menjadi pu-sing dan bisa roboh sendiri tanpa
dipukul. Dan dari kedua tangannya keluar asap tipis putih ber-bau, harum yang melengkung ke
ayah lawannya. Akan tetapi, dengan tenang saja kakek sasterawan ini menghadapi semua
pukulannya sambil mene-rangkan kelemahan - kelemahan jurus yang di-mainkan Cui-beng Kuiong.
"Lihat, bukankah lambung kirimu terbuka ? Ka-lau kumasukkan kakiku ke situ, engkau sudah
roboh ! Nah, penutupan lambung itu membuka lehermu sebelah kiri, dan pukulanku dengan
tangan miring pada leher itu tentu sukar kauhindarkan lagi !" Dan setiap gerakan Cui-beng Kuiong
di-sambutnya dengan uraian tentang kelemahan- kelemahannya. Lebih hebat lagi, asap tipis
putih berbau hio yang tadinya melengkung ke arah kakek sasterawan itu, kini membalik dan dari
kedua le-ngan Cui-beng Kui-ong bukan melengkung ke depan, melainkan membalik ke belakang!
Cui-beng Kui-ong merasa terkejut bukan main. Memang semua yang dinyatakan kakek itu
tentang kelemahan semua jurusnya itu tepat dan bahkan baru sekarang dia melihatnya! Dia
merasa penasaran sekali dan cepat diapun mainkan pukulan Pehisap Darah yang amat hebat itu.
Akan tetapi, kembali pukulan keji ini sama sekali tidak mempengaruhi si kakek sasterawan. Tidak
ada setetespun darah sasterawan itu terpecik keluar seperti yang biasa terjadi pada lawan-lawan
iblis itu kalau mempergunakan Ilmu Penghisap Darah, pa-dahal berkali- kali sasterawan itu
mengadu lengan dengan si raja iblis. Bahkan dalam jurus-jurus ilmu inipun si sasterawan
menunjukkan kelemahan - kelemahannya.
"Yang paling berbahaya adalah ilmu-ilmu hitam seperti ini, Kui-ong. Kalau engkau tidak
merobah sifat dan watakmu, maka ilmu-ilmu seperti ini bahkan akan menjadi kutukan bagimu.
Lihat, kalau kulawan begini, bukankah engkau yang akan celaka sendiri ?" Kakek itu
menggerakkan kedua lengannya yang kecil dan angin yang menyambar amat dahsyatnya,
kemudian Cui-beng Kui-ong terpekik kaget melihat betapa ada darah keluar dari pori-pori kedua
lengannya, tanda bahwa dia sendiri telah menjadi korban ilmunya sendiri, seperti senjata makan
tuan! Maka tahulah dia bahwa kakek sasterawan ini benar-benar maha sakti dan diapun bukan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
orang bodoh, melainkan seorang datuk sehingga dia tahu saat kekalahan-nya. Diapun meloncat ke
belakang.
"Hari ini Cui-beng Kui-ong mengaku kalah!" katanya dengan menahan geram lalu mengatur
pernapasannya untuk mengobati luka-lukanya sendiri akibat ilmu yang membalik tadi.
Tentu saja tiga orang datuk lainnya hampir tidak percaya akan apa yang mereka saksikan
tadi. Di samping keheranan dan kekagetan, juga mereka merasa penasaran. Mungkinkah
kepandaian mereka yang menggemparkan dunia persilatan itu harus kalah oleh seorang
sasterawan tua renta yang sa-ma sekali tidak terkenal! Kim - mo Sai - ong me-loncat maju dan
menjura kepada kakek itu. Dia tahu bahwa kakek itu seorang sakti, maka diapun tidak sembrono.
"Sobat, aku mohon petunjukmu !" Dan tanpa menanti jawaban, Kim-mo Sai-ong sudah
menerjang dengan dahsyatnya dan begitu turun tangan diapun sudah mempergunakan ilmunya
yang paling hebat, yaitu Pukulan Pusaran Pasir Maut dan dimainkannya ilmu silatnya yang,
dinamakan Soa - hu - lian (Teratai Danau Pasir). Hawa dingin yang menggigilkan terpancar
dengan daya tolak hebat dari tubuhnya. Kuda-kudanya kokoh kuat, lengannya yang panjang itu
mencuat ke sana ke mari mencari lowongan, dengan jari - jari tangan terkembang siap untuk
mencengkeram lawan. Se-luruh tubuhnya melambangkan setangkai bunga teratai, nampak sangat
indah dipandang. Kalau kedua kakinya yang kokoh kuat itu bergerak lam-ban dan kuat seperti
menjadi akar - akar teratai, maka kedua tangannya bergerak cepat dari atas, melambai-lambai
seperti tangkai-tangkai bunga teratai tertiup angin.
"Bagus, Kim - mo Sai - ong, akan tetapi ilmumu ini terlalu mengandalkan kekuatan kaki
belaka, dan ingat, orang bisa roboh karena kelemahan bagian atasnya, walaupun kakinya tidak
roboh akan tetapi kalau bagian atas terluka, apa artinya ? Lihat, aku membuat tangkai-tangkai
terataimu tidak berda-ya !" Dan benar saja, dengan totokan - totokan satu jari yang mengeluarkan
hawa panas, kakek sas-terawan itu membuat kedua lengan Kim-mo Sai-ong tidak berdaya karena
sebelum mendekati tu-buh lawan telah bertemu dengan hawa - hawa yang menotok ke arah jalan
darah di seluruh kedua le-ngannya.
Kim - mo Sai - ong yang telah mencapai tingkat ke tigabelas, tingkat terakhir dari Soa - hu -
pai ini mengerahkan seluruh tenaganya sampai daya tolak nya membuat batu - batu besar
bergoyang - goyang dan pohon-pohon di sekitar tempat itu seperti tertolak angin badai. Akan
tetapi kakek sastera-wan itu tenang saja menghadapi daya tolak Tenaga Sakti Pusaran Pasir Maut,
seolah-olah tonggak besi kecil namun kokoh kuat yang tidak goyang sedikitpun juga dilanda angin.
Karena kedua le-ngannya selalu menjadi sasaran totokan yang me-nyambut semua serangannya,
akhirnya Kim - mo Sai - ong kewalahan dan mati kutu. Ilmu yang di-andalkannya itu seperti api
bertemu air, tidak ber-daya sama sekali dan akhirnya, karena terlalu ba-nyak mengeluarkan
tenaga sia - sia, dengan tere-ngah-engah diapun meloncat ke belakang. "Teri-ma kasih, aku Kimmo
Sai-ong mengaku kalah !"
Giliran Sin-kun Bu-tek yang maju. Datuk ini terkenal memiliki ilmu silat yang luar biasa ampuhnya
sehingga dijuluki Sin-kun Bu-tek (Tangan Sakti Tanpa Tanding). Sebagai seorang datuk
golongan bersih, walaupun wataknya lebih keras di-bandingkan dengan Bu-eng Sin-yok-ong,
namun datuk ini tidaklah sekasar dua orang datuk pertama. Dia menjura dengan hormat dan
berkata, "Kiranya mata kami seperti buta tidak mengenal Gunung Thai-san menjulang di depan
mata ! Sahabat yang sakti, saya Sin-kun Bu-tek mohon petunjuk !"
Kakek sasterawan iba telah mengalahkan dua orang datuk, akan tetapi dia kelihatan masih
tenang saja, seolah-olah dia mengalahkan mereka tadi tanpa pengerahan tenaga sama sekali.
Sikapnya masih biasa, tenang dan merendah. "Sin-kun Bu-tek, julukanmu saja menandakan
bahwa ilmu silatmu adalah ilmu pilihan. Belum tentu aku akan dapat mengalahkanmu, akan tetapi
aku ingin engkau mengalahkan dan menundukkan keangkuhanmu sendiri. Nah, majulah !"
Sin-kun Bu-tek menerjang dengan ilmu silat andalannya, yaitu Ilmu Silat Angin Puyuh
dengan tenaga sakti Thian-hui-gong-ciang (Tangan Kosong Halilintar). Hebat bukan main datuk ini
memang dan tingkatnya hanya kalah sedikit saja di-bandingkan dengan Bu - eng Sin - yok - ong.
Gerakan kaki tangannya amat cepat sehingga tubuhnya lenyap berobah bentuknya menjadi
bayangan yang berkelebatan dan gerakan ini mendatangkan angin yang berputar - putar
membuat semua pohon ber-goyang-goyang di sekeliling tempat itu. Dan yang hebat sekali adalah
kedua tangan yang melancarkan pukulan Thian-hui-gong- ciang itu. Kadang-kadang terdengar
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ledakan dan nampak asap mengepul ketika kedua tangan itu memukul dan saling bersentuhan,
seolah-olah kedua tangan itu me-ngandung aliran listrik atau aliran kilat yang dapat
menghanguskan tubuh lawan yang terkena pukulannya.
Namun, kakek sasterawan itu bersikap tenang saja dan seperti juga tadi, kini diapun
memberi petunjuk kepada Sin-kun Bu-tek tentang kele-mahan - kelemahan dari ilmu silatnya,
mengeritik dengan petunjuk dan bukti-bukti sehingga kalau dia mau, tentu dia akan dapat
merobohkan Sin - kun Bu - tek dengan ilmunya yang dipakai untuk meng-hadapi ilmu datuk utara
itu. Sebelum lewat lima-puluh jurus, Sin-kun Bu-tek yang selalu ditunjuk kelemahan - kelemahan
ilmunya, merasa takluk dan diapun meloncat ke belakang dan mengaku kalah!
Kini tinggallah Bu - eng Sin - yok - ong seorang. Datuk ini berbeda dari yang lain. Dia sudah
mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat, ilmu pengobatan dan ilmu kebatinan sehingga dia tidak
bersikap kasar dan tidak pula penasaran. Kini dia-pun tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang
maha sakti yang sengaja menyembunyikan diri dan diam - diam dia merasa malu bahwa dia
menerima sebutan datuk, padahal ada orang yang lebih lihai tidak dikenal sama sekali! Betapapun
juga, setelah tiga orang sahabatnya diberi petunjuk, kalau dia tidak maju, berarti dia akan
membikin malu tiga orang sahabatnya itu. Di samping itu, sebagai se-orang ahli silat tinggi, diapun
suka sekali akan ilmu silat dan tiada salahnya kalau kini setelah mendapat kesempatan bertemu
orang sesakti ini, diapun mencoba - coba ilmunya.
"Seorang locianpwe tinggal di sini tanpa nama, sungguh membuat kami merasa malu
kepada diri sendiri. Harap sahabat yang mulia sudi memberi petunjuk kepadaku," katanya sambil
mengibaskan lengan bajunya yang lebar.
Kakek sasterawan itu tersenyum pahit. "Siancai... nama besar Bu-eng Sin-yok-ong bukan
sembarangan. Aku jauh lebih kagum akan ilmu pengobatanmu dari pada ilmu silat. Ilmu pengobatanmu
itulah ilmu yang amat berguna dan baik, tidak seperti ilmu silat yang selalu
disalahgunakan untuk menindas katun lemah. Marilah, Yok-ong, mari kita main-main sebentar,
siapa tahu ada gunanya bagi kita berdua."
"Maafkan kelancanganku !" Sin - yok - ong berseru dan setelah memberi hormat diapun
langsung mengeluarkan ilmu simpanannya yang merupakan gabungan dari Ilmu Silat Kim - hong -
kun (Silat Burung Hong Emas) digerakkan dengan ginkang Pek - in (Awan Putih) dan dengan
tenaga sakti Pai-hud-ciang (Tangan Sakti Penyembah Buddha). Sukar diceritakan betapa hebatnya
gerakan kakek yang berjuluk Bu-eng (Tanpa Bayangan) ini. Gin-angnya memang hebat luar biasa
sehingga tubuh-nya kadang - kadang lenyap menghilang, dan ilmu silatnya juga amat indah dan
halus, menyambar-nyambar dari atas dan bawah sedangkan tenaganya adalah tenaga sinkang
yang sudah mencapai ting-kat tertinggi, begitu halus dan mengandung getar-an yang hampir tidak
terasa, akan tetapi tenaga ge-taran ini manipu menghancurkan batu karang dari jarak jauh!
"Siancai bukan main hebatnya !" kata kakek sasterawan itu sambil menandingi lawannya.
Dan biarpun agak lama, akhirnya dia dapat juga menemukan beberapa kekurangan dan
kelemahan dalam ilmu silat Bu-eng Sin-yok-ong sehingga kalau dia menghendaki, dalam waktu
kurang dari seratus jurus dia tentu akan dapat mengalahkan Raja Tabib Sakti itu! Akhirnya, kakek
sakti inipun meloncat ke belakang, terlongong sejenak kemudian menjura sambil berkata dengan
hati penuh rasa kagum.
"Kami sungguh tak tahu diri..., dan benarlah bahwa kami amat angkuh dan terlalu
membanggakan diri sendiri. Mulai sekarang, aku tabib tua yang bodoh tidak berani lagi menjual
lagak di dunia luar !" Setelah berkata demikian, Sin - yok - ong lalu pergi dari situ, diikuti oleh tiga
orang datuk lainnya. Dan memang benar, sejak saat itu, empat orang datuk itu tidak pernah lagi
muncul, lebih banyak mengasingkan diri dan diam - diam memperdalam ilmu masing-masing.
Demikianlah cerita yang amat menarik, yang diceritakan oleh Yap - lojin ketua Thian-kiampang
kepada para pendengarnya,, yaitu nenek Siang Houw Nio - nio, Ouwyang Kwan Ek, Yap
Kiong Lee, Pek In, Ang In, dan juga Ho Pek Lian. Semua orang mendengarkan dengan penuh
perhatian dan hati tertarik sekali. Siang Houw Nio-nio yang juga menjadi murid dari Sin-kun Butek,
belum pernah mendengar cerita ini dari suhunya, bahkan Ouw-yang Kwan Ek, murid ke dua
dari Si Raja Tabib Saktipun tidak pernah diceritakan oleh gurunya. Agaknya, empat orang datuk itu
sungguh merasa terpukul dan tidak pernah bercerita kepada mere-ka, kecuali Sin - kun Bu - tek
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
yang menceritakan-nya kepada muridnya yang tersayang, yaitu Yap Cu Kiat atau Yap - lojin,
sambil menyerahkan gam-bar - gambar itu.
Yap - lojin melanjutkan ceritanya. "Lihat, gambar- gambar ini adalah petunjuk - petunjuk
dari sasterawan tua itu. Di sini diperlihatkan betapa dengan mudahnya beliau memunahkan setiap
ilmu khas dari empat orang datuk. Empat gambar ini memperlihatkan jelas, dan dilukis oleh
mendiang suhu sebagai peringatan dan juga untuk memper-dalam ilmunya dengan meneliti
kelemahan - kele-mahan seperti yang ditunjukkan oleh sasterawan itu. Dan memang, semenjak
kekalahan yang mutlak itu, empat orang datuk tekun memperbaiki ilmu masing-masing dan karena
mereka sudah tidak tekebur lagi, mereka dapat menciptakan ilmu yang jauh lebih baik dan
matang."
Kakek berjubah naga mengangguk-angguk. "Sejak dahulu aku menduga bahwa ada rahasia
se-suatu yang membuat suhu selalu marah kalau ada muridnya yang tekebur. Mungkin saja
rahasia itu diceritakannya kepada twa-suheng Bu Cian yang sayang agaknya juga menyimpan
rahasia itu sam-pai matinya."
Yap - lojin berkata, "Berdasarkan cerita itu ma-ka aku percaya bahwa biarpun kita orang -
orang tua tidak mampu menghadapi Raja Kelelawar yang amat hebat itu, nanti pasti akan muncul
seseorang yang akan mampu menundukkannya."
"Mudah-mudahan begitulah," kata isterinya. "Menurut pengamatanku, biarpun si pendek
Pek-lui-kong Tok Ciak cucu murid Kim-mo Sai-ong itupun agaknya masih jauh untuk dapat menandingi
Raja Kelelawar."
Setelah menceritakan rahasia itu dan memperlihatkan gambar - gambar, kakek Yap
mengajak mereka semua untuk keluar lagi dari terowongan di bawah tanah. Dalam perjalanan ini.
Yap Kiong Lee merasa penasaran bukan main mendengar dongeng gurunya itu. Selama ini,
gurunya tidak pernah bercerita tentang rahasia itu. Dia merasa penasar-an karena selama ini, dia
merasa bahwa ilmu raha-sia perguruan mereka yang hanya diturunkan kepa-danya oleh gurunya
dianggap sebagai tidak ada cacat celanya.
Mereka tiba di luar terowongan, di tepi telaga yang kini sunyi melengang dan menyeramkan
itu karena semua bangunannya telah runtuh. "Suhu, setelah peristiwa itu, lalu apa saja yang
dikerjakan oleh kakek guru dan para locianpwe yang lain ?" Kiong Lee tidak dapat menahan diri
dan mengaju-kan pertanyaan itu kepada suhunya.
Yap-lojin menoleh dan tersenyum melihat keinginan tahu murid kesayangannya ini. "Kakek
gurumu lalu menyepi di dalam kamar rahasia itu dan berusaha menyempurnakan ilmunya.
Gambar-gambar tadi adalah peninggalan beliau. Selama bertahun-tahun empat orang datuk
mengasingkan diri, tidak pernah keluar, dan masing-masing me-nyempurnakan ilmu - ilmu
mereka. Dan pada wak-tu itu, hanya Kim - mo Sai - ong saja yang telah menerima murid."
"Apakah para locianpwe itu tidak lagi berkun-jung ke telaga Hoa - san, setelah mereka
memper-baiki ilmu masing-masing untuk mencari saste-rawan itu ?" Kiong Lee mendesak.
"Baru sepuluh tahun kemudian, setelah kakek gurumu merasa bahwa ilmunya sudah maju,
be-liau berkunjung ke sana. Akan tetapi sasterawan tua dan anaknya itu sudah tidak lagi berada di
sana. Kakek gurumu lalu berkelana mencarinya, akan tetapi usahanya gagal, tidak pernah ketemu.
Akhirnya suhu menjadi bosan, pulang ke sini dan menerima murid, yaitu aku dan subomu ini,"
katanya sambil melirik kepada isterinya, yaitu nenek Siang Houw Nio - nio.
Ouwyang Kwan Ek menarik napas panjang. "Sekarang aku tahu mengapa guruku, menurut
ce-rita twa - suheng, pernah pula mengasingkan diri untuk menyempurnakan ilmu. Belasan tahun
kemu-dian baru suhu keluar dan merantau dan barulah beliau menerima murid-muridnya."
Kiong Lee merasa penasaran. "Jadi kalau begi-tu, agaknya sampai para locianpwe itu
meninggal dunia, mereka tidak pernah dapat menemukan sas-terawan tua yang maha sakti itu,
suhu ?"
Yap-lojin mengangguk. "Agaknya begitulah. Dan selama mereka berempat itu mengembara
un-tuk mencari si sasterawan, mereka telah membuat nama besar sehingga tersohor di seluruh
dunia persilatan. Mereka berempat dipuja-puja sebagai tokoh sakti yang tak terkalahkan, tokohtokoh
yang memiliki ilmu silat sempurna. Tak ada yang mengetahui bahwa empat datuk yang
mereka puja-puja itu di dalam hatinya masih merasa gentar ter-hadap seseorang."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Ahh, siapakah gerangan sasterawan itu dan di mana beliau sekarang, atau keturunannya ?"
tiba - tiba Ho Pek Liari tidak dapat menahan hati-nya untuk bertanya. Sebetulnya hatinya yang
ber-suara dan tanpa disadarinya mulutnya ikut pula bicara. Akan tetapi tidak ada yang merasa
heran karena pertanyaan itu memang berkecamuk di da-lam hati mereka semua.
"Sebetulnya dari perguruan - perguruan kita sendiri saja, kalau ilmu dari perguruan kita
terpu-sat dan terkumpul, tidak terpecah-pecah antara para murid, kiranya kita masih mampu
mengha-dapi dan mengatasi Raja Kelelawar !" kata kakek berjubah naga Ouwyang Kwan Ek
dengan suara menyesal. Mendengar ini, diam - diam Pek Lian memandang tajam kepada kakek
ini. Bukankah kakek ini telah mengirim murid - murid dan anak buahnya untuk merampas kitab -
kitab pusaka per-guruannya sendiri dan bahkan telah dengan kejam membasmi semua keluarga
Bu ? Hemm, pikirnya dengan penasaran. Kalau caramu mengumpulkan ilmu perguruan sendiri
secara demikian kejam, membunuh saudara seperguruan sendiri, maka eng-kau tidaklah lebih baik
dari pada Si Raja Kelelawar! Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani mengeluarkan bisikan hatinya
ini.
Tiba-tiba semua orang menoleh ke arah ba-yangan empat orang yang berlari mendatangi
tem-pat itu. Setelah dekat, mereka itu ternyata adalah murid-murid Thian - kiam - pang, yaitu
para sute dari Yap Kiong Lee yang diperintahkan oleh pemuda ini untuk mencari jejak penculik
yang melarikan Yap Kim.
Tentu saja mereka berempat terkejut bukan main melihat betapa bangunan perguruan
mereka sudah rusak binasa habis terbakar, dan mereka tak dapat menahan tangis mereka ketika
mendengar malapetaka yang menimpa perguruan mereka dan tewasnya dua orang suheng dan
para anak buah Thian - kiam - pang.
"Sudah, jangan menangis seperti anak-anak cengeng!" Akhirnya Siang Houw Nio-nio
membentak mereka. "Lekas ceritakan bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian!"
Empat orang murid itu sambil berlutut lalu bercerita. Mereka dapat menemukan jejak orang
yang melarikan Yap Kian dan ternyata bahwa yang melarikan itu memang seorang gemuk pendek
yang kemungkinan besar adalah Ceng-ya-kang (Si Kelabang Hijau), seorang tokoh dari Ban-kwi-to.
"Kim-sute dibawa dengan perahu yang berlayar di Sungai Huang-ho. Kami tidak berani
melakukan pengejaran karena selain kami tidak mem-punyai perahu, juga kami ingin cepat
melapor ke-pada suhu, subo dan suheng."
"Celaka ! Kalau Kim - ji berada di tangan ka-wanan iblis dari Ban - kwi - to, tentu akan
celaka ! Semua ini adalah kesalahanmu, orang tua yang ti-dak becus mengurus anak sendiri!
Engkau mem-biarkan anak tunggalmu sendiri untuk bergaul dengan segala macam iblis dari Ban -
kwi - to. Huh, di mana pertanggungan jawabmu ? Bagaimana caramu mendidik anak?"
Yap - lojin yang dimaki - maki di depan orang banyak, terutama di depan Ouwyang Kwan Ek
yang menjadi tamunya, memandang dengan muka merah, dan mata mengeluarkan sinar marah.
Kakek inipun pada hakekatnya mempunyai watak yang keras, tidak kalah kerasnya dengan watak
isterinya.
"Hemm, kalau orang tuanya retak, mana mung-kin anaknya dapat memperoleh pendidikan
yang baik ? Keretakan orang tuanya sudah merupakan contoh, yang amat buruk, yang dapat
menghancur-kan perasaan anak. Dan kalau seorang isteri me-ninggalkan suami dan anaknya
sehingga kehidupan suami dan anak itu menjadi hancur, si anak tidak memperoleh pendidikan
yang baik, salah siapakah itu?"
Diserang oleh ucapan begini, nenek Siang Houw Nio-nio menjadi marah bukan main.
Mukanya berobah merah sekali dan matanya berkilat - kilat. Ia membanting kakinya ke atas tanah
dan mem-bentak marah.
"Yap Cu Kiat !" Telunjuk kanannya menuding ke arah Indung suaminya itu yang biasanya
disebut-nya suheng. "Enak saja engkau bicara ! Sudah ber-ulang kali aku membujuk, menyembahnyembahmu,
agar keluarga kita pindah ke kota raja. Aku adalah keluarga kaisar, dan sudah
sepatutnya kalau aku menyumbangkan tenagaku pada saat terakhir hidupku untuk kerajaan
keluargaku ! Akan tetapi, engkau berkeras kepala dan tidak sudi, bahkan engkau berkukuh untuk
tidak membolehkan Kim-ji kubawa ke istana! Dan engkau mendidiknya sendiri, sekarang apa
jadinya ?"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Wah, kaukira kalau kaubawa dia menjadi orang istana dia akan menjadi lebih baik, ya ?
Paling-paling dia akan menjadi seorang pemuda bangsa-wan yang sombong, angkuh dan manja !"
"Jelas tidak serusak sekarang ini !"
"Siapa bilang rusak? Harus diselidiki dulu mengapa dia sampai berdekatan dengan orang
Ban-kwi-to dan mengapa pula dia sampai dicu-lik." Kakek itu mencoba untuk menahan kemarahannya.
"Jangan sembarangan menuduh yang bukan-bukan!"'
"Tidak perduli ! Pokoknya, kalau engkau tidak bisa mencarinya dan menemukannya,
membawanya kembali kepada aku ibunya dalam keadaan utuh, aku bersumpah akan mengadu
nyawa denganmu !*
Melihat keadaan yang meruncing antara suheng dan sumoi yang telah menjadi suami isteri
akan tetapi kemudian saling berpisah karena masing-masing mempertahankan pendirian sendiri
itu, Ouw-yang Kwan Ek yang menjadi tamu merasa tidak enak sekali. Dia lalu maju dan menjura
kepada dua orang itu.
"Lojin ! Nio-nio ! Harap maafkan aku, bukan maksudku mencampuri, akan tetapi sebagai
sahabat, kiranya aku berkewajiban untuk mengingatkan kalian bahwa dalam keadaan seperti ini,
cekcok saja tidak akan dapat mengembalikan putera kalian. Aku akan suka membantu
mencarinya."
Suami dan isteri yang sudah tua itu saling pandang dengan sinar mata berkilat, kemudian
mereka lalu membuang muka dengan muka masih merah. Memang mereka saling berpisah karena
masing-masing mempertahankan pendirian dengan hati keras. Siang Houw Nio - nio ingin untuk
menyum-bangkan tenaganya kepada kerajaan, dan iapun sudah minta kepada suaminya untuk
membantunya dan hidup di kota raja, untuk mengangkat derajat putera tunggal dan putera
angkat mereka, yaitu Kiong Lee yang sudah mereka anggap sebagai anak sendiri. Akan tetapi, Yap
Cu Kiat merasa tidak suka akan sepak terjang kaisar dan diapun berkeras tidak mau sehingga
timbullah percekcokkan anta-ra mereka yang mengakibatkan Siang Houw Nio-nio meninggalkan
suami dan puteranya, dan pergi sendirian ke kota raja di mana ia lalu menjadi pengawal pribadi
dari kaisar.
Pendidikan anak merupakan kewajiban mutlak dan utama bagi orang tua, di samping tentu
saja memelihara dan membesarkannya.. Dan pendidik an yang tepat adalah pencurahan kasih
sayang yang murni, bukan sekedar pendidikan melalui nasihat-nasihat dari mulut. Seorang anak
membutuhkan pencurahan cinta kasih dari ayah bundanya. Ge-taran cinta kasih akan terasa oleh
anak itu dan orang tua yang benar-benar mencinta anaknya, sudah pasti akan selalu mendidik diri
sendiri terlebih da-hulu agar si anak dapat melihat dan mengerti, tan-pa dibujuk melalui mulut.
Apa artinya orang tua melarang anaknya agar jangan berjudi kalau si orang tua sendiri tukang judi
? Apa artinya orang tua melarang anaknya agar jangan memaki kalau si orang tua sendiri tukang
maki ? Kerukunan ayah dan ibu merupakan pendidikan yang paling baik bagi anak mereka.
Sebaliknya percekcokan antara ayah dan ibu merupakan racun - racun dan benih-benih buruk
pertama yang merusak watak si anak. Pujian - pujian tidak akan menjadikan anak baik, karena hal
itu bahkan akan membuat si anak men-jadi seorang yang selalu haus akan pujian dan kebaikannya
itupun hanya palsu karena dilakukan ha-nya untuk memancing agar memperoleh pujian
be-laka. Memanjakannya secara berlebihan akan mem-buat si anak menjadi seorang yang lemah
tergan-tung kepada orang tua, tidak berani dan lemah menghadapi halangan dan kesukaran
hidup. Akan tetapi, mendidik dengan kekerasan akan membuat si anak berwatak keras, juga dapat
membuatnya men-jadi rendah diri. Anak yang menurut kepada orang tuanya karena pendidikan
keras, hanya menurut karena takut saja, akan tetapi di dalam hatinya dia memberontak dan kalau
sekali waktu dia me-rasa kuat, dia akan memberontak secara berterang, bahkan mungkin akan
sengaja memberontak untuk membalas dendam yang sudah lama disimpan di dalam hatinya.
Ucapan Ouwyang Kwan Ek menyadarkan suami isteri itu bahwa mereka telah dikuasai
perasaan sehingga melupakan nasib putera mereka yang ber-ada di tangan orang Ban - kwi - to
dan masih belum diketahui bagaimana keadaannya itu. Akan tetapi, Siang Houw Nio nio masih
bersungut - sungut ketika berkata, "Pendeknya engkau harus cepat mencari dan menemukan
kembali anakku !" Ucapan ini ditujukan kepada suaminya.
"Baliklah, sumoi baiklah, aku akan turun gunung mencarinya," jawab Yap-lojin dengan suara
duka.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Siang Houw Nio - nio lalu mendengus, memba-likkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada
dua orang muridnya untuk pergi bersamanya, kemudian, hanya dengan anggukan kecil pada
Ouwyang Kwan Ek, iapun lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Pek In dan Ang In berlutut kepada Yap - lojin untuk berpamit. Kakek itu menggerakkan
tangan kanan menyuruh mereka bangkit. "Pergilah dan jaga baik-baik subo kalian." Dua orang
gadis itu mengangguk dan menahan air mata mereka. Mere-ka masih diliputi kedukaan melihat
apa yang me-nimpa Thian - kiam - pang dan Pek In mengerling ke arah Yap Kiong Lee dengan
pandang mata sa-yu. Kemudian merekapun pergi sambil mengajak Pek Lian.
Setelah isterinya dan tiga orang gadis itu pergi, Yap - lojin menghela napas panjang.
"Sungguh aku tidak mengerti, apa maksudnya orang Ban - kwi - to menculik puteraku. Aku harus
menyusul ke pulau itu Sekarang juga."
"Memang sebaiknya begitu, suhu, dan aku akan menemani suhu untuk mendapatkan
kembali Kim-sute," kata Kiong Lee. Pemuda ini memang diang-kat anak oleh keluarga Yap, bahkan
dia sendiripun memakai she Yap, akan tetapi terhadap ayah dan ibu angkatnya itu, dia selalu
menyebut mereka su-hu dan subo, seperti murid - murid yang lain. Dan agaknya Yap - lojin dan
isterinya itupun tidak me-naruh keberatan, apa lagi setelah mereka sendiri juga mempunyai anak,
yaitu Yap Kim.
"Jangan khawatir, lojin, biar akupun akan mem-bantumu menghadapi orang - orang Ban -
kwi - to," tiba-tiba Ouwyang Kwan Ek juga berkata.
"Ah, mana aku berani merepotkanmu, sahabat Ouwyang ?"
"Aku kebetulan berada di sini ketika tempatmu diserbu orang dan aku mendengar akan
musibah yang menimpa keluargamu. Hal ini berarti aku berjodoh untuk terlibat dalam urusanmu.
Selain itu, akupun ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan nama besar Pulau Selaksa Setan
itu."
Yap Cu Kiat tidak dapat menolak lagi dan dia-pun lalu memerintahkan empat orang
muridnya untuk mencari tenaga bantuan dan membangun kembali sedapatnya rumah mereka
yang terbakar itu. Kemudian, bersama Ouwyang Kwan Ek dan Kiong Lee, diapun meninggalkan
sarang Thian-kiam - pang yang telah rusak terbakar itu.
* * *
"Seharusnya kita membantu Yap-locianpwe untuk menyusul dan mencari puteranya itu ke
sarang Ban-kwi-to !"
Ucapan Pek Lian ini mengejutkan Pek In dan Ang In. Dua orang ini sendiri tidak akan berani
mengeluarkan ucapan itu di depan subo mereka, apa lagi ucapan itu dikeluarkan dengan nada suara
kaku dan mencela!
Benar saja kekhawatiran dua orang gadis ini. Tiba-tiba kereta dihentikan dan kepala nenek
itu keluar dari tirai jendela kereta, sepasang matanya mencorong menatap wajah Pek Lian yang
juga menghentikan kudanya di dekat kereta.
"Mengapa kau berkata demikian ?" bentak ne-nek itu, matanya agak terpejam dan mulutnya
cem-berut.
"Melihat orang lain tertimpa bencana, sudah sepatutnya kalau kita turun tangan membantu.
Ka-lau tidak demikian, apa perlunya kita belajar ilmu sejak kecil ? Apa lagi kalau yang tertimpa
malape-taka itu masih keluarga sendiri, sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu. Pula,
harus dii-ngat bahwa Ban-kwi-to kabarnya merupakan tempat yang berbahaya, dihuni oleh tokohtokoh
sesat yang lihai, maka sudah selayaknyalah kalau kita ikut membantu Yap - locianpwe
menghadapi mereka." Pek Lian melihat betapa dua orang gadis murid-murid Siang Houw Nio-nio
itu berkedip kedip memberi isyarat kepadanya agar ia menghen-tikan ucapannya, akan tetapi ia
tidak perduli O-rang - orang lain boleh takut setengah mati kepada nenek bangsawan ini, akan
tetapi ia tidak! Ia menganggap bahwa nenek ini terlalu angkuh, ter-lalu tinggi hati dan kejam
sehingga mendengar putera kandungnya diculik orang dan terluka pa-rah., agaknya bersikap tidak
perduli saja. Hal ini sudah membuat hati Pek Lian memberontak dan marah.
"Bocah lancang mulut! Berani engkau mencam-puri urusan kami ?"
Akan tetapi, dengan pandang mata yang bera-ni dan jujur Pek Lian menghadapi nenek itu.
"Bi-arpun saya menjadi tawanan dan orang yang dicu-rigai, akan tetapi selama ini locianpwe dan
teruta-ma kedua orang cici bersikap baik kepada saya sehingga saya sama sekali tidak merasa
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menjadi ta-wanan. Sebaliknya, saya merasa sebagai sahabat atau tamu yang diperlakukan dengan
baik. Setelah mengalami suka-duka, bahkan sudah sama- sama menghadapi lawan tangguh,
bagaimana mungkin saya bersikap tidak perduli dengan malapetaka yang menimpa keluarga
locianpwe ? Sedapat mungkin, saya tentu akan menyumbangkan tenaga saya yang tidak seberapa
ini untuk membantu."
Sejenak dua orang wanita itu saling berpandangan. Akhirnya nenek itu menarik kembali
kepalanya ke dalam kereta dan terdengar ia menarik napas panjang, lalu terdengar suaranya,
"Hemm, engkaupun seorang yang keras hati dan keras kepala. Akan tetapi engkau memiliki
keberanian dan kejujuran." Dan tiba-tiba kereta itupun bergerak lagi.
Pek In menyentuh lengan Pek Lian. "Adik Lian, engkau sungguh membuat kami menahan
napas. Kami tidak mengira engkau masih dapat hidup setelah berani bersikap seperti itu."
Pek Lian tersenyum. "Kenapa, eici Pek? Aku merasa benar, dan matipun bukan apa - apa
kalau berada dalam kebenaran."
Biarpun ia dapat mengerti akan kata - kata ini, namun di dalam hatinya Pek In harus
mengakui bahwa ia tidak mempunyai keberanian yang sede-mikian besarnya seperti gadis ini.
Kereta nenek itu berhenti di depan pintu ger-bang kota raja. Para penjaga pintu gerbang
ber-baris rapi di kanan kiri, dengan tombak di tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Pakaian
seragam mereka mengkilap tertimpa sinar matahari dan mata tombak mereka juga berkilauan
karena setiap hari digosok. Seorang komandan jaga yang pakaiannya lebih mentereng lagi,
nampak berlutut dengan kaki kiri di tengah jalan dan inilah yang membuat nenek itu
menghentikan kereta. Sambil membawa tong-katnya nenek Siang Houw Nio - nio turun dari atas
keretanya. Pek In dan Ang In juga meloncat turun dari atas kuda mereka dan menyerahkan
kendali kuda kepada Pek Lian. Dua orang gadis ini cepat mendampingi subo mereka memasuki
pintu gerbang.
Para penjaga bersikap hormat melihat nenek ini. Siang Houw Nio - nio sendiri melangkah
de-ngan tenang, tangan larinya membawa tongkat ke-pala naga dan dua orang muridnya berjalan
di kanan kirinya.
Komandan jaga yang setengah berlutut itu mem-beri hormat. "Hamba menerima perintah
dari istana untuk melapor kepada paduka tuan puteri."
"Perintah apa yang datang dari istana ? Lekas laporkan kepadaku," jawab Siang Houw Nio -
nio. Komandan itu adalah perwira penjaga yang ber-tugas di luar istana, dan hal ini dikenalnya
dari pakaian seragamnya.
"Sri baginda kaisar menanyakan apakah padu-ka sudah tiba kembali. Dan baru saja beliau
mengutus Hek-tai- ciangkun untuk menyusul paduka ke istana Wakil Perdana Menteri Kang."
Nenek itu mengerutkan dahinya dan mengang-kat tangan kanan ke depan. "Baiklah, kau
pergi danlaporkan ke dalam istana bahwa aku akan segera menghadap sri baginda."
Komandan jaga itu memberi hormat, lalu bang-kit dan dengan sigapnya meninggalkan pintu
ger-bang untuk membuat laporan ke istana. Derap kaki kuda terdengar lantang dan gagah.
Siang Houw Nio-nio diikuti oleh dua orang muridnya kembali ke kereta. "Pek - ji dan Ang - ji,
kita terus saja ke istana. Ajak sekalian nona itu dan beri pinjam pakaianmu. Agaknya ada perkembangan
baru di istana. Mari !"
Pek Lian diberi pinjam pakaian dan mereka ber-tiga lalu berganti pakaian sebagai dayang
atau pe-layan puteri bangsawan itu. Nenek itu sendiripun berganti pakaian, karena biarpun ia
masih bibi dari kaisar sendiri, kalau menghadap kaisar, ia tidak dapat meninggalkan peraturan -
peraturan yang sudah ditentukan. Setelah selesai berdandan, mereka berempat lalu menuju ke
istana.
Ho Pek Lian merasa girang sekali dan jantung-nya berdebar keras. Ia merasa girang karena
tahu bahwa nenek bangsawan itu agaknya sudah mulai menaruh kepercayaan kepadanya, bahkan
merasa suka seperti juga kedua orang muridnya itu. Kalau tidak demikian tak mungkin ia diajak,
masuk ke istana sebagai dayang sang puteri tua. Tidak akan sukar bagi nenek itu untuk
menyerahkannya kepa-da pasukan untuk dijebloskan ke dalam tahanan !
Suasana menegangkan yang membayangkan bahwa ada apa - apa di istana nampak dari
pintu gerbang istana yang paling depan. Penjagaan amat ketat dan ada belasan orang perajurit
jaga di situ, padahal biasanya hanya ada enam orang saja. Dan di balai perajurit yang luas itu,
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
nampak banyak sekali pengawal-pengawal resmi para menteri sedang duduk beristirahat. Hal ini
menandakan bahwa para menteri sedang berada di istana, menghadap sri baginda kaisar. Siang
Houw Nio - nio tahu akan hal ini dan diam - diam iapun menduga-duga apa gerangan yang terjadi
maka kaisar me-ngumpulkan semua menteri negara.
Setelah tiba di serambi istana, nampak bahwa penjagaan dilakukan oleh para pengawal
yang di-sebut pasukan pengawal Gin - i - wi (Pengawal Pa-kaian Perak). Mereka itu rata - rata
bersikap gagah, bertubuh kuat dan pakaian mereka yang berlapis pe-rak itu nampak gemerlapan.
Komandan mereka juga berpakaian serba mengkilap berlapis perak, dan nampaknya keren
berwibawa sekali. Ketika dia melihat datangnya Siang Houw Nio - nio yang dii-kuti oleh tiga orang
dayang cantik, segera maju memberi hormat.
"Paduka tuan puteri telah dinanti - nanti oleh yang mulia sri baginda kaisar. Silahkan !"
Koman-dan itu dengan sikap hormat lalu mengantar nenek bangsawan dan tiga orang dayangnya
itu sampai ke pintu induk. Di sini, tugasnya diambil alih oleh komandan pasukan Kim-i-wi
(Pengawal Pakaian Emas). Pasukan Kim-i-wi nampak tidak kalah gagahnya dibandingkan pasukan
Gin-i-wi, bah-kan pakaiannya yang berlapis emas itu amat me-gah dan mewah. Pasukan Kim-i-wi
ini bertugas menjaga di bagian dalam istana, sedangkan pasukan Gin-i-wi bertugas di bagian luar
istana. Akan tetapi keduanya adalah pasukan- pasukan pengawal istana yang terkenal dan mereka
dipim-pin oleh komandan masing - masing yang merupa-kan pembantu-pembantu dari Pek-luikong
Tong Ciak, itu jagoan terkenal yang bertubuh pendek dari istana!
Di dekat pinta gerbang induk ini, terdapat ba-ngunan samping di mana nampak beberapa
belas orang - orang yang sikapnya aneh-aneh dan membayangkan kepandaian tinggi. Mereka ini
adalah pengawal-pengawal pribadi para menteri yang tentu saja hanya diperbolehkan mengawal
sampai di situ dan tidak diperkenankan ikut masuk menghadap kaisar. Di sekitar tempat itu
nampak pengawal-pengawal Kim-i-wi berjalan hilir-mudik dengan tombak di tangan, sedangkan di
bagian luar pintu gerbang nampak pengawal-pengawal Gin-i-wi yang juga berjaga- jaga. Nampak
angker dan gagah. Juga nampak pengawal- pengawal dari kedua pasukan ini berjaga-jaga di
gardu- gardu ronda, di atas dinding dan di menara-menara. Mereka semua sjap siaga dengan
ketat.
Siang Houw Nio-nio dengan sikap tenang dan agung, diiringkan oleh tiga orang gadis dan
dida-hului oleh komandan pasukan Kim-i-wi sebagai penunjuk jalan atau penjemput, berjalan di
sepanjang ruangan-ruangan yang amat luas itu. Ho Pek Lian berjalan di belakangnya bersama Pek
In den Ang In. Pek Lian adalah puteri seorang bekas menteri. Gedung ayahnya sendiri sangat
indah dan gadis ini sejak kecil sudah terbiasa dengan keme-wahan dan keindahan. Akan tetapi
baru pertama kali ini ia memperoleh kesempatan memasuki istana dan melihat segala kemewahan
yang terham-par di depannya, ia merasa dirinya kecil dan merasa seperti seorang miskin yang
baru pertama kali me-lihat kekayaan berlimpah. Ia merasa seolah - olah keindahan yang luas itu
amat besar, seperti hendak menelan dirinya.
Setelah mereka tiba di depan sebuah pintu be-sar yang berkilauan dan dilapis emas,
komandan Kim - i - wi itu berhenti. Agaknya kedatangan mereka sudah nampak dari dalam karena
tirai sutera merah yang menutupi pintu itu terbuka dan mun-cullah dua orang yang nampak gagah
perkasa. Yang seorang bertubuh tinggi tegap, mukanya brewok dan dia memakai pakaian
panglima yang berlapis perak. Orang ke dua bertubuh tinggi kurus dan dia ini memakai pakaian
panglima yang berlapis emas. Melihat mereka, komandan Kim - i - wi sege-ra memberi hormat,
lalu membalikkan tubuh me-ninggalkan tempat itu. Agaknya tugasnya mengawal Siang Houw Nio -
nio telah selesai dan kini kedua orang panglima itulah yang menggantikan-nya, menyambut
kedatangan nenek bangsawan itu. Dua orang panglima itu memberi hormat lalu mempersalahkan
nenek bangsawan itu melanjutkan per-jalanan melalui pintu emas.
Ang In yang berjalan di samping Pek Lian, ber-bisik di dekat telinga nona ini,
"Mereka itu berilmu tinggi, memiliki tenaga berlawanan. Kim - i - ciangkun (Panglima Baju Emas)
itu memiliki pukulan telapak tangan panas yang dapat membakar pakaian lawan dan Gin - iciangkun
(Panglima Baju Perak) itu memiliki pukul-an tangan dingin yang membuat darah lawan
mem-beku."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Pek Lian memandang ke depan dan mengang-guk. Ia tidak merasa heran mendengar ini
karena ia sudah sering mendengar bahwa di istana kaisar terkumpul jagoan - jagoan yang amat
lihai.
"Akan tetapi semua itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan atasan mereka, yaitu
Tong-tai - ciangkun yang berjuluk Pek - lui - kong," bisik Pek In.
Pek Lian merasa betapa jantungnya berdebar kencang dan kedua kakinya agak gemetar.
Kira-nya dua orang panglima, ini adalah tangan kanan si pendek itu. Bagaimana kalau si pendek
itu ber-ada di situ pula dan mengenalnya ? Akan tetapi Pek Lian meneliti pakaiannya dan hatinya
lega.
Tidak mungkin si cebol yang lihai itu akan menge-nalnya. Mereka baru saling berjumpa satu
kali saja, yaitu ketika ia menghadang bersama empat orang suhunya untuk membebaskan
ayahnya. Ketika itu, ia berpakaian sebagai seorang gadis kang - ouw, tidak seperti pakaian puteri
atau dayang istana se-perti sekarang ini. Pula, kalau ia datang sebagai dayang nenek bangsawan
yang menjadi bibi kaisar ini, siapa yang berani mencurigai dan mengganggunya ?
Memang kedudukan Siang Houw Nio - nio di istana amat tinggi. Orang lain, betapapun tinggi
kedudukannya, tidak boleh menghadap kaisar mem-bawa pengawal atau pengikut. Akan tetapi
nenek ini masuk diiringkan tiga orang dayangnya dan tidak ada orang berani menentangnya.
Bagaikan bayangan saja, Pek Lian mengikuti gerak - gerik dua orang gadis itu dan ketika mereka
semua me-masuki ruangan pertemuan di mana duduk kaisar dihadap oleh para menterinya, Pek
Lian juga ikut pula menjatahkan diri berlutut di belakang Ang In. Ketika ia mengerling, jantungnya
berdebar tegang melihat ada dua orang berdiri di belakang kaisar. Dua orang itu bukan lain adalah
Pek-lui-kong Tong Ciak si cebol yang lihai itu dan yang ke dua adalah Jenderal Beng Tian yang
tidak kalah lihai-nya ! Tentu saja Pek Lian diam-diam mengeluarkan keringat dingin ketika melihat
"singa dan harimau", dua jagoan pengawal kaisar yang amat terkenal itu. Pernah ia bertemu,
bahkan bentrok de-ngan mereka berdua! Kini, mereka berdua itu berdiri di belakang kaisar,
berdampingan dan mata mereka itu menyapu ruangan dengan sinar mata yang mencorong tajam
dan menyeramkan. Pek Lian cepat - cepat menundukkan mukanya dan ini tidak menarik perhatian
karena memang sikap pa-ra dayang harus begitu, takut - takut dan malu-malu ! Penyamaran ini
menguntungkan Pek Lian karena selain ia diperbolehkan selalu menyembunyikan muka tanpa
dicurigai, juga siapakah yang akan memperhatikan seorang dayang ? Dua orang lihai itupun tentu
tidak akan memandang sebelah mata kepada seorang dayang!
Di kanan kiri, berderet - deret duduk para men-teri menghadapi meja masing-masing.
Nenek Siang Houw Nio- nio yang memasuki ruangan itu, dengan sikap angkuh dan kesadaran
bahwa kedu-dukannya lebih tinggi dari pada para menteri itu, mengangguk ke kanan kiri
membalas penghormat-an para menteri yang hadir. Wanita tua ini sadar akan harga dirinya. Ia
adalah pengawal pribadi, juga kepercayaan, juga bibi sendiri dari kaisar! Ke-mudian, dengan sikap
tenang nenek itu berlutut menghormati kaisar yang masih keponakannya sendiri itu.
"Selamat datang, bibi!" kata kaisar dengan ra-mah dan dengan tangannya mempersilahkan
ne-nek itu untuk bangkit dan mengambil tempat duduk di kursi yang telah disediakan untuknya.
Bi-arpun para dayang pengikut nenek ini diperboleh-kan ikut masuk, akan tetapi tentu saja mereka
ti-dak boleh mengganggu persidangan dan Pek In lalu mengajak adiknya dan Pek Lian untuk berkumpul
di pinggir, bersama dengan para dayang istana, di mana mereka duduk berkelompok dan
tidak berani mengeluarkan suara, seperti sekelom-pok bunga di taman yang ringkih dan takut
terlanda angin.
Setelah Siang Houw Nio-nio tiba, maka per-sidangan dilanjutkan dan nenek itu kini mengerti
bahwa sri baginda memang mengadakan sidang darurat, memanggil semua menteri untuk membicarakan
keadaan yang membuat sri baginda kaisar merasa khawatir. Kaisar Cin Si Hong-te
mengerti bahwa beberapa tindakannya telah menimbulkan heboh dan kegemparan di seluruh negeri.
Kaisar merasa marah sekali. Menurut hemat-nya, semua tindakan yang dilakukannya adalah
benar dan tepat, dan demi kebaikan pemerin-tahnya. Pembakaran kitab-kitab Guru Besar
Khong Cu dianggap amat tepat karena pelajaran dalam kitab-kitab itu dianggap menghasut rakyat
untuk tidak tunduk dan setia kepada rajanya. Banyak isi pelajaran yang dianggap memburukKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
burukkan kaisar, merendahkan kaisar merendahkan martabat kaisar sebagai Wakil atau Utusan
Tuhan !
Dan tindakan ini ditentang oleh para sasterawan lemah itu, bahkan beberapa orang menteri
ikut menentangnya. Tentu saja mereka yang menentang itu harus dibasmi habis ! Kalau tidak
demikian, ke-wibawaan kaisar akan merosot, demikian pendapat orang - orang kepercayaan kaisar
seperti kepala thaikam Chao Kao dan Perdana Menteri Li Su, yang dibenarkan oleh kaisar.
Selain itu, juga pembangunan tembok besar di utara banyak ditentang oleh menteri dan
orang-orang yang menamakan dirinya pendekar. Katanya usaha itu menyiksa rakyat! Padahal,
pembangunan itu adalah untuk keselamatan negara, untuk kesela-matan rakyat pula, untuk
membendung datangnya orang-orang dari utara yang akan menyerbu ke selatan. Soal
pembangunan tembok besar inipun menimbulkan geger dan pemberontakan.
Untuk melihat reaksi yang sesungguhnya dari rakyat jelata, kaisar sudah mengutus dua
orang jagoan istana itu, Pek - lui - kong Tong Ciak dan Jenderal Beng Tian, sekalian untuk
menumpas pi-hak pemberontak yang menentang kekuasaan pemerintah. Ketika kedua orang
utusan itu tiba kem-bali dan membuat laporan mereka, kaisar menjadi terkejut, marah dan segera
mengumpulkan para menteri untuk diajak bermusyawarah. Menurut pelaporan dua orang jagoan
itu, rakyat memang sedang bergolak dan nampak tanda-tanda bahwa rakyat akan bergerak
menentang pemerintah, dipanaskan oleh gerakan para pendekar. Pelopor utama adalah seorang
jago pedang yang terkenal bernama Liu Pang yang oleh rakyat jelata diangkat menjadi semacam
bengcu (pemimpin rakyat) dan yang bermarkas di Puncak Awan Biru di Pegunungan Fu-niu- san.
Selain Liu Pang ini, juga masih ada seorang lagi keturunan Jenderal Chu yang pernah menjadi
musuh besar kaisar ketika masih menjadi Raja Chin, yaitu yang bernama Chu Siang Yu yang
bermarkas di sepanjang Lembah Yang-ce. Anak buah Chu Siang Yu telah banyak dihancurkan oleh
dua orang jagoan istana ini di sepanjang Sungai Yang-ce, akan tetapi itu hanya merupakan
sebagian saja dari pada kekuatan para pemberontak yang ma-sih berkeliaran. Menurut
penyelidikan dua orang jagoan istana itu, Liu - twako, demikian sebutan umum untuk Liu Pang,
memiliki pengaruh yang amat besar di kalangan rakyat dan para pendekar. Anak buahnya banyak
sekali. Juga dia memiliki hubungan yang amat luas di dunia kang- ouw.
Bukan ini saja yang dilaporkan oleh dua orang jagoan itu. Juga mereka melaporkan bahwa
kaum ses
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To
Register.]***
anggi. Di atas istana-istana mereka kadang-kadang nampak bayangan dua orang yang
berkeliaran dan yang berilmu amat tinggi. Para pengawal tidak ada yang mampu mengejar mereka
sehingga mereka itu tidak diketahui benar bagaimana macamnya. Bahkan dua bayangan orang itu
pernah muncul di atas istana kaisar ! Peristiwa ini terjadi ketika dua orang jagoan itu sedang
melaksanakan perintah kaisar sehingga tidak berada di istana. Juga Siang Houw Nio - nio tidak
berada di istana karena diutus membujuk Wakil Perdana Menteri Kang yang ikut-ikut menentang
pemerintah dan hendak mengun-durkan diri itu.
Demikianlah, para menteri, juga Siang Houw Nio-nio, mendengarkan penuturan ini dengan
hati ikut gelisah melihat perkembangan keadaan yang tidak menguntungkan itu. Bagaimanapun
juga, tentu saja kaisar dan juga mereka tidak ingin melihat rakyat memberontak.
"Semua ini adalah kesalahan para menteri yang tidak setia !" Tiba - tiba terdengar Perdana
Menteri Li Su berkata setelah memberi hormat kepada kai-sar. "Para menteri dan pejabat yang
menentang kebijaksanaan sri baginda, itulah yang menyebar-kan hasutan kepada rakyat, memberi
contoh keti-daksetiaan yang besar. Dosa mereka itu amat hebat dan mereka sepatutnya dihukum
berat beserta seluruh keluarga mereka. Kalau tidak demikian, ka-lau pemerintah hanya
menghukum orangnya saja, tentu sanak keluarganya akan mendendam dan menghasut rakyat
untuk memberontak!"
Ucapan Perdana Menteri Li Su ini memancing datangnya pendapat-pendapat yang berbeda
anta-ra para menteri dan pejabat tinggi yang hadir se-hingga keadaan menjadi ramai dengan
suara mere-ka, seperti sarang tawon yang diganggu. Melihat ini kaisar mengerutkan alisnya dan
memberi isya-rat kepada Pek - lui - kong Tong Ciak. Si cebol ini mengangkat kedua tangan ke atas
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dan terdengar suaranya yang bergema dan melengking nyaring, mengandung getaran kuat karena
dikeluarkan de-ngan dorongan tenaga khikang.
"Cu-wi harap tenang dan dengarkan amanat sri baginda !"
Mendengar suara yang amat berpengaruh ini, suasana menjadi sunyi sekali dan semua
orang me-mandang ke arah kaisar, walaupun mereka segera menundukkan muka kembali karena
menentang wajah kaisar lama - lama merupakan dosa besar !
Kaisar menarik napas panjang. Dalam keadaan seperti itu, terasa benar olehnya betapa para
pem-bantunya itu hanya merupakan sekelompok orang-orang tolol yang pandainya hanya menjilat
- jilat saja. Maka diapun lalu memandang kepada Siang Houw Nio-nio dan berkata, "Bibi yang baik,
ba-gaimanakah hasil pertemuan bibi dengan Menteri Kang ? Maukah dia kembali dan memangku
jabatannya sebagai wakil perdana menteri ?"
Pertanyaan ini menimbulkan ketegangan dan semua mata memandang kepada nenek itu.
Memang harus mereka akui bahwa di antara semua menteri, maka Wakil Perdana Menteri Kang
adalah orang yang paling berani bertindak tegas, bahkan paling berani menentang kebijaksanaan
kaisar. Menteri Kang adalah seorang yang memiliki wiba-wa besar sekali, dan juga amat bijaksana
dan cer-dik pandai. Setelah menteri itu meletakkan jabat-annya, keadaan menjadi semakin kacau
dan ba-nyak pejabat tinggi seperti kehilangan pegangan. Andaikata menteri itu masih ada, tentu
dia akan dapat bertindak dengan tegas dan cepat mengha-dapi pergolakan yang sedang terjadi.
Semua orang tahu bahwa seperti juga Menteri Kebudayaan Ho, maka wakil perdana menteri
itupun seorang yang amat disegani, bahkan dihormat dan dikagumi oleh para pendekar di dunia
kang - ouw.
Dengan suara tenang dan sikap hormat, nenek Siang Houw Nio - nio lalu menceritakan hasil
per-temuannya dengan Menteri Kang. Diceritakannya betapa bekas wakil perdana menteri itu mau
men-jabat lagi kedudukannya sebagai wakil perdana menteri asal dipenuhi syarat yang
dimintanya, yai-tu dibebaskannya bekas Menteri Ho dan juga para menteri yang ditahan atau
dihentikan agar diam-puni, dibebaskan dan dipekerjakan kembali.
"Menurut pendapat bekas Wakil Perdana Men-teri Kang, penangkapan dan pemecatan para
men-teri yang setia itulah yang menyebabkan terjadinya pergolakan dan ketidakpuasan di
kalangan rakyat. Oleh karena itu, dia sanggup bekerja lagi kalau sya-rat itu dipenuhi." Demikianlah
Siang Houw Nio-nio mengakhiri pelaporannya. "Kalau tidak, maka dia menyerahkan jiwa raganya
kepada paduka sri baginda."
Pelaporan nenek ini mengejutkan semua orang dan menimbulkan perdebatan sengit di
antara mereka yang hadir. Ada yang setuju agar kaisar me-menuhi tuntutan atau syarat itu, akan
tetapi ada pula yang tidak setuju.
"Bagaimana pendapatmu, Perdana Menteri Li Su ?" Akhirnya kaisar mengangkat tangan
memberi isyarat agar semua orang diam dan dia bertanya kepada perdana menterinya. Selama ini,
perdana menterinya itulah yang menjadi penasihat utama-nya, yaitu di kalangan para menterinya,
sebagai orang yang amat dipercayanya. Di dalam istana, sebagai penasihat pribadi, terdapat Chao
Kao ke-pala thaikam yang amat dipercayanya. Di antara kedua orang pembesar ini memang
terdapat suatu persekongkolan untuk mempertahankan keduduk-an, kekuasaan dan kepentingankepentingan
pri-badi mereka.
"Hamba sangat khawatir kalau syarat yang di-ajukan oleh Menteri Kang itu dipenuhi, sri
baginda
Pertama, Menteri Kang telah mengajukah permin-taan berhenti sendiri, berarti dia telah
kehilangan kesetiaan. Oleh karena itu, pengangkatannya kem-bali dengan memenuhi syarat yang
dimintanya, akan membuat dia merasa dimanja dan dipakai dan hal ini pasti akan menimbulkan
watak angkuh, sombong dan selanjutnya segala buah pikiran dan keinginannya tentu harus
dipenuhi. Ke dua, mem-bebaskan para menteri dan pejabat yang berkhia-nat dan berani
menentang kebijaksanaan paduka, apa lagi memakai mereka kembali sebagai pejabat, sama saja
dengan mengumpulkan pengkhianat-pengkhianat yang kelak akan membahayakan kedu-dukan
paduka. Dan ke tiga, Menteri Ho adalah orang yang paling besar dosanya, yang terang - te-rangan
menentang kebijaksanaan paduka dan meng-hasut orang - orang kang - ouw untuk memberontak.
Pergaulannya dengan orang - orang kang - ouw amat luas, maka kalau dia dibebaskan, tentu akan
me-nambali berani kepada para pemberontak."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Akan tetapi, justeru Menteri Ho itulah yang menjadi tuntutan utama dari Menteri Kang,
karena menteri kebudayaan itu adalah sahabat baiknya, juga merupakan penasihat utamanya,"
nenek Siang Houw Nio - nio memotong.
Mendengar ini, kaisar lalu mempersilahkan pa-ra menteri dan ponggawa yang hadir untuk
meng-ajukan pendapat - pendapat mereka masing - masing. Dan terjadilah perdebatan sengit,
Tentu saja banyak menteri dan pejabat yang diam - diam telah menjadi kaki tangan Perdana
Menteri Li Su dan mereka ini dengan sendirinya mendukung pendapat perdana menteri itu. Akan
tetapi ada beberapa orang menteri yang menjadi sahabat bekas wakil perdana menteri, mencoba
untuk mendebat mereka. Perdebatan itu dibiarkan saja oleh kaisar yang men-dengarkan dengan
penuh perhatian, mendengarkan setiap pejabat yang mempertahankan kebenaran pendapatnya
sendiri. Tentu saja, di samping kai-sar yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu, terdapat
seorang lain yang juga mendengarkan dengan penuh perhatian, bahkan dengan jantung berdebar
tegang dan badan terasa panas dingin. Orang ini bukan lain adalah Ho Pek Lian! Siapa orangnya
yang tidak akan menjadi tegang hatinya kalau mendengarkan betapa ayahnya dijadikan pokok
pembicaraan, bahkan persidangan itu seo-lah - olah merupakan pengadilan terhadap nasib
ayahnya ? Mati hidup ayahnya tergantung dalam keputusan persidangan itu dan ia menghadiri dan
menyaksikannya tanpa ada seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa anak tunggal dari
Mente-ri Ho berada di situ !
Siang Houw Nio - nio mengerutkan alisnya men-dengar dalih - dalih yang dikemukakan oleh
kelom-pok pendukung Perdana Menteri Li Su. Nenek ini memang sudah mempunyai perasaan
tidak suka terhadap perdana menteri itu yang ia tahu adalah seorang yang pandai sekali
mengambil hati kaisar, dan pandai pula merebut kepercayaan kaisar, men-jilat - jilat dan bermuka
- muka. Akan tetapi ia sen-diri tidak mau berpihak dalam urusan ini. Melihat betapa kaisar nampak
bingung mendengar pendapat - pendapat para menterinya yang seolah - olah terpecah menjadi
dua itu, nenek Siang Houw Nio-nio lalu mengemukakan pendapatnya dengan suara lantang.
"Cu-wi telah memperbincangkan keadaan se-karang, maka sekarang tinggal melakukan
pilihan antara dua kemungkinan. Pertama, menuruti per-mintaan Wakil Perdana Menteri Kang dan
dialah orangnya yang akan sanggup untuk menyelesaikan segala pergolakan dan keruwetan yang
mengancam negara ini dengan jalan damai. Atau, cu - wi meno-lak pemintaannya dan kita semua
menghadapi pemberontakan-pemberontakan dunia kang-ouw dan juga menghadapi pengacauan
kaum sesat. Ha-rap cu - wi suka mempertimbangkan baik - baik. Memilih yang pertama berarti
keadaan akan tetap tenang dan damai baik di kalangan pemerintah maupun di kalangan rakyat,
atau memilih yang ke dua dan berarti akan terjadi kerusuhan dan pem-bunuhan di mana - mana.
Harap cu - wi ingat! Orang - orang kang - ouw itu dengan ilmu mereka yang tinggi sanggup
berkeliaran di wuwungan rumah - rumah, baik rumah rakyat, rumah cu - wi sendiri maupun di
istana - istana."
Tentu saja peringatan ini membuat semua orang merasa ngeri. Akan tetapi Perdana Menteri
Li Su sudah memandang kepada nenek itu dengan sinar mata penuh selidik dan penasaran.
"Apakah Nio - nio hendak berpihak kepada para menteri jahat yang tidak setia dan berami
mem-bangkang terhadap sri baginda itu ? Dosa mereka terlalu besar. Mereka sepatutnya dihukum
mati bersama seluruh keluarga mereka untuk menjadi contoh bagi rakyat agar tidak ada yang
berani me-nentang kekuasaan sri baginda, bukannya diangkat kembali yang akan membuat
mereka menjadi kepa-la besar !"
"Harap paduka tidak menuduh yang bukan-bukan. Saya sama sekali tidak mau memihak
sia-papun juga dalam soal ketidakcocokan pendapat antara kalian! Akan tetapi, betapa bodohnya
un-tuk bertengkar antara rekan sendiri selagi negara berada dalam bahaya pergolakan dan
pembe-rontakan. Dalam keadaan seperti ini, seorang peja-bat yang setia akan memikirkan
keselamatan nega-ra, sama sekali tidak akan memperdulikan perasa-an - perasaan pribadi. Saya
bicara bukan karena berpihak, melainkan mengingat akan keselamatan negara!"
Mendengar semua perdebatan itu, Kaisar Cm Si Hong-te menjadi semakin bingung. Memang
pen-dapat yang saling bertentangan itu ada benarnya. Dan para menteri yang menunjang
pendapat Perdana Menteri Li Su adalah menteri - menteri yang pandai menyenangkan hatinya,
selalu setia dan ta-at, tidak pernah membantah atau menentang kebi-jaksanaannya, bahkan
mendukung semua kebijak-sanaan yang diambilnya sepenuhnya. Mereka itu selalu berusaha untuk
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menyenangkan diri, sedang-kan para menteri yang bertentangan dan yang men-dukung pihak
Menteri Kang adalah mereka yang suka cerewet, banyak membantah dan banyak me-nentang
kebijaksanaannya, membuat dia kadang-kadang merasa penasaran dan marah. Tentu saja di
dalam hatinya dia condong membenarkan Per-dana Mentei Li Su dan para menteri pendukungnya.
Akan tetapi, kaisar juga bukan seorang bodoh yang tidak dapat melihat keadaan. Keadaan negara
benar-benar terancam. Kalau api pemberontakan yang baru mulai bernyala ini tidak segera
dipadamkan, maka keadaan akan benar - benar berbahaya dan api pemberontakan itu akan dapat
membakar selu-ruh negeri. Dan agaknya, satu - satunya jalan untuk mencegah api itu berkobar,
adalah kembalinya Wa-kil Perdana Menteri Kang. Akan tetapi, dia tahu bahwa kembalinya menteri
yang keras hati ini tidak menyenangkan hati Perdana Menteri Li dan teman-temannya. Lalu
bagaimana baiknya ?
Akhirnya, dengan pandang mata penuh harap kaisar itu menoleh ke arah Siang Houw Nionio
dan bertanya, "Bibi yang baik, bagaimanakah menurut pendapatmu ?"
"Harap paduka mengampuni hamba kalau hamba katakan bahwa hak itu sepenuhnya
terserah kepada kebijaksanaan paduka sendiri. Bagi hamba, yang terpenting adalah keselamatan
sri baginda dan kerajaan, hal-hal lainnya hamba tidak perduli. Bagi hamba, siapa saja yang
membahayakan kese-lamatan sri baginda maupun tahta paduka, baik itu datang dari orang-orang
yang memberontak mau-pun dari orang - orang kita sendiri yang tidak becus mengatur negara
sehingga membikin bahaya kedu-dukan paduka, akan hamba sikat dan basmi sampai habis !"
Suara nenek itu berapi - api penuh sema-ngat ketika ia mengucapkan kata-kata ini dan Perdana
Menteri Li Su bersama teman - temannya mengerutkan alis karena mereka merasa seolah-olah
sebagian dari pada ancaman nenek itu dituju-kan kepada mereka.
Sri baginda kaisar mengangguk-angguk men-dengar ini. Kemudian dia menoleh ke arah dua
orang jagoannya yang berdiri di belakangnya, dan berkata kepada jenderal tinggi besar yang
gagah perkasa itu, "Jenderal Beng Tian, bagaimana pen-dapatmu ?"
Jenderal itu terkejut, tidak menyangka bahwa pendapatnya ditanya oleh junjungannya.
Biarpun dia merupakan seorang yang amat dipercaya oleh kaisar, akan tetapi dia hanyalah
petugas pelaksana, melaksanakan semua perintah kaisar dan tidak per-nah mencampuri urusan
politik, walaupun di sudut hatinya dia merasa kagum dan suka sekali kepada Menteri Kebudayaan
Ho Ki Liong dan juga Wakil Perdana Menteri Kang.
"Hamba ? Pendirian hamba tiada bedanya dengan pendirian yang mulia Siang Houw Nio-nio
tadi. Hamba bukanlah seorang ahli pikir yang pandai. Yang hamba ketahui hanyalah perang dan
berkelahi dengan setia untuk menjunjung paduka dan negara yang akan hamba bela sampai titik
da-ah terakhir. Siapapun yang berani merongrong ke-kuasaan paduka dan kerajaan akan hamba
mus-nahkan !"
Kembali kaisar mengangguk - angguk dan kini dia memandang kepada si cebol Pek-lui-kong
Tong Ciak. "Dan bagaimana dengan pendapatmu ?"
Tong Ciak menjatuhkan diri berlutut. "Hamba adalah seorang pengawal istana yang
bertanggung jawab atas keselamatan sri baginda dan keluarga, oleh karena itu, segalanya
terserah kepada kepu-tusan paduka. Hanya satu hal yang hamba keta-hui, yaitu menyerahkan
nyawa bagi keselamatan paduka sri baginda dan sekeluarga kerajaan. Persoalan lain-lainnya
hamba tidak bisa memikirkannya.
Pada hakekatnya, pendapat tiga orang pelin-dungnya itu sama saja. Kaisar menjadi semakin
bingung. Pikirannya bercabang dua dan dia mera-sa sulit untuk dapat mengambil keputusan,
memilih mana yang tepat, baik dan menguntungkan. Tiba - tiba seorang kakek berpakaian seperti
pende-ta yang sejak tadi diam saja dan duduk dengan antengnya di sebelah kanan kaisar, bangkit
berdiri dari tempat duduknya, menghampiri ke arah kaisar dan mengebut - ngebutkan ujung
lengan bajunya sebagai tanda penghormatan lalu menjura dengan dalam. Semua orang
memandang dan ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh pendeta ini. Kakek ini adalah Bu Hong
Sengjin, berusia hampir tujuh-puluh tahun, berwajah lembut. Bu Hong Sengjin adalah seorang
tosu (pendeta Agama To) yang menjadi kepala paderi dari kuil agung yang ber-ada di dalam
lingkungan istana. Kuil Thian - to-tang itu adalah kuil bagi kaisar dan para bangsawan, dan
mereka yang menjadi tosu dalam kuil itu ada-lah para bangsawan kerajaan sendiri. Bu Hong
Sengjin sendiripun seorang bangsawan karena dia masih terhitung paman dari kaisar sendiri. Pada
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
waktu itu, banyak sekali bangsawan - bangsawan yang setelah tua lalu menjadi paderi dengan
mak-sud untuk menyucikan diri atau untuk mempersiap-kan diri menghadapi kematian agar
jiwanya bersih !
Betapa palsunya kita manusia ini! Kita selalu ingin senang, ingin enak sendiri. Sewaktu
muda, kita mengumbar nafsu angkara sesuka hati, tanpa memperdulikan apakah tindakan -
tindakan kita itu merugikan orang lain ataukah tidak. Hidup kita dipenuhi dengan tindakan -
tindakan yang merugikan orang lain dan bergelimang dengan dosa. Se-telah kita menjelang tua,
barulah kita ingin mero-bah jalan hidup, bukan karena penyesalan dan karena kesadaran bahwa
jalan hidup kita yang lalu itu kotor dan tidak benar, melainkan terdorong rasa takut akan akibat
perbuatan - perbuatan itu, takut kalau - kalau setelah mati kita akan tersiksa dan terhukum, akan
tidak kebagian tempat yang baik dan menyenangkan. Betapa palsunya ini. Di wak-tu muda
mengejar kesenangan sampai lupa diri, di waktu tua masih saja mengejar kesenangan yang
diharapkannya akan didapatkan di "sana" kelak. Apa bedanya ini ?
Yang terpenting sekali adalah sekarang ini ! Saat ini! Setiap saat kita harus sadar dan
mawas diri. Perbuatan tidak dapat dinilai dan dibanding-bandingkan. Manusia hidup berhak untuk
menge-cap dan menikmati kesenangan hidup. Bukan ber-arti kita harus sejak muda hidup sebagai
pertapa dan pantang akan segala kesenangan, menjauhi se-gala kesenangan ! Sama sekali tidak,
karena inipun pada hakekatnya hanyalah mengejar kesenangan yang lain lagi, yang kita namakan
kebahagiaan batin dan sebagainya. Akan tetapi, yang penting kita harus selalu mengamati semua
gerak - gerik badan dan batin kita penuh kewaspadaan. Hanya perbuatan yang didasari cinta kasih
sajalah yang murni dan tidak dapat dinilai baik atau buruk. Dan perbuatan yang didasari cinta
kasih sudah pasti tidak akan merugikan orang lain baik lahir maupun batinnya. Karena cinta kasih
itu berarti bebas dari kebencian, iri hati, cemburu, pementingan diri pribadi.
Baik hanya sebuah kata sebutan, hanya sebuah pendapat. Maka kalau kita INGIN baik,
berarti kita ingin disebut baik, dan di balik "keadaan baik" ini tentu mengandung pamrih untuk
mendapatkan sesuatu, pahala anugerah maupun imbalan jasa dari "kebaikan" itu sendiri. Dan
jelas ini bukan baik lagi namanya, melainkan kemunafikan, kepu-ra - puraan karena "kebaikan" itu
hanya dilakukan secara palsu, untuk memperoleh pamrih yang ter-sembunyi di baliknya. Karena
itu, bagi orang yang memiliki cinta kasih dalam hatinya, dalam setiap perbuatannya yang disinari
cinta kasih, tidak ada istilah baik atau buruk. Dia tidak akan menilai, tidak akan tahu apakah yang
dilakukannya itu baik atau buruk, dan penilaian orang lain tidak akan mempengaruhinya. Cinta
kasih itu indah, cinta kasih itu sederhana, seperti indah dan sederhana-nya bunga mawar yang
harum semerbak, seperti indah dan sederhananya sinar matahari pagi. Ke-sederhanaan bukanlah
hidup bercawat di puncak bukit memamerkan "kesederhanaannya" kepada setiap orang yang
datang untuk memujanya. Kese-derhanaan berarti kewajaran tanpa pamrih, tanpa kepalsuan,
tidak dibuat-buat, hanya didasari cinta kasih.
Setelah memberi hormat, Bu Hong Sengjin lalu menanti teguran atau pertanyaan sri
baginda. Me-lihat kakek ini bangkit berdiri, agaknya kaisar itu baru sadar bahwa kepala kuil istana
ini selain men-jadi pamannya, juga menjadi seorang di antara para penasihat kaisar. Maka diapun
cepat berkata setelah menerima penghormatan itu, "Ahh... , hampir aku melupakan kehadiran
orang - orang tuaku yang dapat menasihatiku. Paman yang mulia, bagaimanakah menurut
pendapatmu ?"
Pendeta itu dengan tenangnya menjura lagi, kemudian terdengar suaranya yang lembut.
Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian se-hingga suasana di ruangan itu sunyi
sekali dan suara yang lembut dan tenang itu terdengar satu-satu, "Bagi seorang yang mencinta
kedamaian se-perti hamba, cara yang terbaik haruslah mengingat akan keselamatan semua pihak.
Baik keselamatan paduka dan kerajaan, keselamatan para pejabat, keselamatan rakyat dan lain -
lain. Kita harus menghindarkan segala pertentangan yang mengaki-batkan pertumpahan darah.
Hamba kira, jalan satu-satunya untuk itu hanya memanggil kembali Wakil Perdana Menteri Kang
yang telah kita ketahui pengaruhnya terhadap rakyat, agar dia memangku kembali jabatannya
agar suasana keruh dapat dijernihkan kembali. Mengenai para menteri yang dijadikan syarat
kembalinya Wakil Perdana Menteri Kang, dapat dipertimbangkan dan dimusyawarahkan kembali
tanpa meninggalkan kepentingan yang menyangkut persoalan itu dari segala pihak. Misalnya,
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pengampunan dan penempatan kembali para menteri itu dapat dilakukan dengan syarat-syarat
berat tertentu yang akan mengikat mereka."
Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan kata-kata yang lugu, suara yang lembut dan
jelas itu, wajah sri baginda kaisar nampak berseri. Kai-sar Cin Si Hong-te bangkit dari tempat
duduknya dan menggerakkan tangannya menunjuk kepada jenderal Beng Tian, tangan kirinya
memegangi ka-lung mutiara dan matanya bersinar - sinar.
"Bagus ! Benar sekali itu ! Begitulah keputusanku. Jenderal Beng Tian, sekarang juga kau
pergi-lah dan panggil Menteri Kang ke sini! Semua syaratnya akan kupenuhi. Bawalah surat
perintah dariku !" Kaisar menengok ke arah sudut di mana seorang petugas yang berpakaian
sebagai sastera-wan telah menuliskan surat perintah itu dengan cekatan. Setelah membubuhi cap
sebagai tanda kekuasaan kaisar, surat itu diberikan kepada Jen-deral Beng Tian dan kaisar
berkata, "Selain Men-teri Kang, juga perintahkan agar para menteri yang ditahan agar semua
menghadap ke sini!"
Para pejabat tinggi yang mendukung Menteri Kang tentu saja menjadi gembira sekali dan
hati mereka merasa lega. Tentu saja Perdana Menteri Li Su dan kaki tangannya mengerutkan alis
dan merasa penasaran, tidak puas walaupun mereka tidak berani membantah keputusan yang
diambil oleh kaisar. Mereka juga merasa khawatir karena mereka tahu bahwa para menteri itu, di
bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri Kang, akan selalu menentang dan memusuhi mereka.
Ho Pek Lian merupakan orang yang paling gembira mendengar keputusan kaisar itu. Hampir
saja ia lupa diri dan bersorak kegirangan. Untung ia masih ingat akan keadaan dan ia hanya
menun-dukkan muka menyembunyikan senyum di wajahnya yang mendadak menjadi berseri-seri
itu.
Setelah Jenderal Beng Tian berangkat, persi-dangan dibubarkan. Para menteri siap untuk
meng-undurkan diri. Sebelum kaisar meninggalkan ruangan, Siang Houw Nio-nio yang bertugas
menga-wal kaisar sampai ke bagian dalam istana, berkata kepada dua orang muridnya, "Ajaklah
kawanmu pulang dulu. Nanti aku menyusul setelah selesai tugasku di sini."
Setelah kaisar meninggalkan ruangan itu, baru-lah para menteri bubaran dan mereka itu
tentu saja berkelompok, memilih kelompok masing-masing dan ramailah mereka membicarakan
keputusan menghebohkan yang baru saja diambil oleh kaisar.
Rakyat di manapun juga di dunia ini mengha-rapkan kemakmuran dalam hidup. Makmur
dalam arti kata lahir batin. Makmur lahiriah adalah mu-rahnya sandang pangan sehingga nilai
tenaga ma-nusia dihargai dan cucuran keringat dari pekerja mendatangkan hasil yang lebih dari
cukup untuk keperluan hidup yang pokok. Makmur batiniah adalah hidup dalam suasana aman
tenteram bebas tanpa adanya penindasan dari yang kuat terhadap yang lemah, dari yang
berkuasa terhadap rakyat jelata, merasa terjamin keselamatan dan kebebasan dirinya lahir batin.
Dan kemakmuran seperti itu tidak mungkin terlaksana kalau pemerintahnya ti-dak baik.
Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang dikemudikan oleh alat pemerintah yang ca-kap dan
sehat lahir batin. Karena alat pemerintah merupakan kelompok bertingkat, maka sudah ba-rang
tentu tingkat yang tertinggi haruslah benar dan bersih. Dalam sebuah kerajaan, kalau sang raja
tidak bersih dan korup, mana mungkin mengharap-kan para pejabat dan pembantunya bersih ?
Seba-liknya kalau sang raja benar - benar bersih dan sehat, tentu dia akan mampu untuk
menegur, me-mecat atau menghukum para pembantunya yang menyeleweng dan korup, lalu
memilih pembantu-pembantu puncak yang jujur dan bersih agar para pembantu puncak ini dapat
pula membersihkan ba-wahan - bawahannya. Karena, kalau bukan atasan-nya sendiri, siapa lagi di
antara rakyat yang berani menentang kekuasaan orang yang sedang diberi kursi kekuasaan ?
Rakyat tidak akan berani menen-tang lurahnya yang korup. Yang dapat menentang-nya hanyalah
atasan sang lurah itu, yaitu camat atau bupati misalnya. Dan sang bupatipun kalau menyeleweng
hanya dapat ditentang oleh atasan-nya pula. Jadi jelaslah bahwa sang atasan yang duduk paling
tinggi dan memegang Kekuasaan paling besar yang harus lebih dulu bersih, dalam hal sebuah
kerajaan adalah sang raja sendiri.
Sayanglah bahwa kebanyakan raja bersikap ke-ras menekan justeru terhadap rakyatnya,
bukan terhadap para pembantunya. Para pembantu itu hanya menurut atasan. Kalau atasannya
korup, maka para pembantunya juga mendukung keko-rupan itu atau penyelewengan itu. Kalau
atasan-nya jujur dan bersih, para pembantunya akhirnya terpaksa akan mendukung kejujuran dan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kebersih-an itu. Ini sudah menjadi watak manusia pada umumnya yang ingin bermuka-muka
kepada atasan.
Raja juga seorang manusia. Dan manusia itu lemah terhadap kesenangan. Oleh karena itu,
banyak raja yang jatuh hanya karena mengejar ke-senangan sehingga melupakan kewajibannya
yang besar, yaitu mengatur pemerintahan yang bersih agar kemakmuran mungkin dapat dinikmati
oleh rakyat jelata. Rakyat jelata yang selalu diam itu amatlah awas. Kalau ada raja yang bertindak
bi-jaksana dan membersihkan para pembantunya dari penyelewengan, maka sudah dapat
dipastikan bah-wa rakyat pada umumnya akan setuju sepenuhnya. Yang dimaksudkan dengan
rakyat di sini adalah rakyat jelata yang tidak ada sangkut - pautnya de-ngan segala perbuatan
korupsi. Tentu saja tindakan raja yang membersihkan para pembantunya dari tindakan korupsi itu
akan ditentang oleh mereka yang sudah biasa melakukan perbuatan itu, sudah biasa
menyalahgunakan kedudukannya untuk me-meras dan memperoleh hasil - hasil yang tidak wa-jar
dari rakyat. Akan tetapi mereka ini tidak masuk hitungan rakyat, bahkan menjadi penjegal kemakmuran
rakyat!
Tak dapat disangkal bahwa ada sebagian rakyat yang sengaja mempergunakan uang untuk
menyo-gok para pejabat. Hal ini dilakukan bukan karena paksaan pejabat itu lagi, melainkan
karena si pe-nyogok itu mempunyai pamrih lain, yaitu dengan jalan menyogok dia akan
memperoleh kesempatan dan wewenang yang akan mendatangkan hasil yang lebih besar lagi.
Penyogokannya itu sama dengan memberi umpan untuk mendapatkan ikan. Akan tetapi, hal ini
hanya merupakan akibat atau lan-jutan dari pada penyelewengan si pejabat. Karena kalau raja
sudah berhasil membersihkan seluruh pembantunya dari pada watak menyeleweng, maka para
pejabat yang sudah bersih itu sendiri yang akan menindak dan menghukum orang - orang yang
membujuk dan hendak menyogoknya dengan uang. Dengan demikian, maka segalanyapun akan
beres dan bersih. Atasan ditindak oleh atasannya, atasan menindak bawahan dan bawahan yang
menjadi petugas dan pelaksana menindak rakyat yang hendak menyeret mereka ke dalam
penyelewengan.
Tentu saja hal ini tidaklah semudah dibicara-kan. Untuk dapat berhasil membutuhkan
suasana dan keadaan yang dapat menimbulkan gairah dan semangat untuk kebersihan itu. Dan
rakyat sudah pasti akan mendukung sekuat tenaga. Rakyat sela-lu mengidamkan kemakmuran
dan kesejahteraan.
Sayang bahwa Kaisar Cin Si Hong-te masih terombang- ambing oleh pengejaran
kesenangannya diri sendiri. Bahkan keputusan yang dikeluarkan-nya itu pun bukan didasari
kesadaran hatinya, me-lainkan didasari perhitungan untung rugi bagi diri-nya, bagi kerajaan,
bukan bagi rakyat jelata. Dia lupa bahwa raja dan pemerintah diadakan untuk rakyat jelata! Tanpa
rakyat, apa artinya negara ? Apa artinya kaisar ?
*
* *
Ho Pek Lian ikut bersama Pek In dan Ang In keluar dari istana kaisar melalui pintu samping
yang menembus melalui sebuah taman yang luas di mana terdapat banyak jembatan - jembatan
yang bercat dan terukir indah menyeberangi sungai-sungai buatan kecil yang penuh dengan ikan -
ikan emas dan bunga teratai. Kembali Pek Lian merasa kagum bukan main karena selama
hidupnya belum pernah ia melihat taman bunga seluas dan seindah ini. Kiranya tempat tinggal
Siang Houw Nio - nio juga berada di kompleks istana, tidak begitu jauh dari bangunan induk yang
menjadi tempat tinggal kaisar. Sebagai seorang pengawal pribadi, tentu saja ia harus selalu dekat
dengan kaisar sehingga dalam sekejap saja dapat dipanggil kalau kaisar memerlukannya. Bahkan
ada rahasia antara kamar kaisar dan kamar Siang Houw Nio-nio, rahasia yang hanya diketahui
oleh mereka berdua. Kalau kaisar menarik tali tertentu, sebuah kelenengan ke-cil akan bergenta di
kamar nenek itu. Genta kecil ini tentu saja dihubungkan dengan tali halus yang dipasang secara
rahasia, melalui taman bunga.
Ketika Pek In dan Ang In tiba di pintu gedung yang cukup indah itu, mereka disambut oleh
para pelayan wanita yang bukan hanya berwajah can-tik - cantik akan tetapi juga dari gerak -
gerik mereka dapat diketahui bahwa mereka itu rata - rata memiliki ilmu silat yang tinggi!
"Heii ! Nona Pek dan nona Ang sudah kembali!" kata mereka dengan nada suara
gembira.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kedua orang nona itu tersenyum lalu memperkenalkan Pek Lian kepada mereka. Para
pelayan itu yang berpakaian sebagai dayang-dayang me-nyambut Pek Lian dengan ramah.
Kemudian Pek Lian diajak melihat - lihat gedung kecil mungil yang indah itu. Di situ terdapat
ruangan berlatih silat yang cukup luas, ada tempat samadhi, tempat di mana disimpan abu leluhur
yang menjadi semacam tempat sembahyang, ada ruangan tamu yang indah, mangan duduk,
ruangan makan dan sebagai-nya. Gedung itu sungguh indah sekali, jauh lebih megah dan indah
dibandingkan dengan gedung tempat tinggal keluarga ayannya sebagai menteri kebudayaan.
Mungkin kemenangan satu - satunya di gedung keluarga Ho adalah tergantungnya lukis-an -
lukisan dan tulisan - tulisan bagus yang diha-diahkan oleh para sasterawan dan seniman kepada
Menteri Ho.
"Apakah subomu tinggal di sini ?" tanya Pek Lian kepada mereka. Pek In menggeleng kepalanya.
"Tidak. Hampir setiap malam subo tidur di da-lam istana, tidak jauh dari kamar sri baginda.
Su-bo mempunyai sebuah kamar indah pula di sana. Hanya kadang - kadang saja subo ke sini.
Gedung ini adalah bekas tempat tinggal kakak sepupunya yang meninggalkan istana dan tidak
menempatinya lagi. Lalu gedung ini oleh sri baginda kaisar diha-diahkan kepada subo ketika subo
meninggalkan suhu dan mengabdikan diri ke dalam istana. Kare-na subo sendiri bertugas menjaga
keselamatan sri baginda, maka gedung ini lalu oleh subo diserah-kan kepada kami berdua untuk
menempatinya bersama dayang-dayang kami." Pek In menun-juk kepada para dayang yang
sedang sibuk bekerja dengan wajah berseri.
Pek Lian memandang kepada mereka dan mak-lum bahwa mereka itu adalah anggautaanggauta
kelompok wanita bertusuk konde kemala yang lihai-lihai. Ia menghela napas panjang.
"Dayang-dayangmu itu sungguh lihai- lihai sekali." Ia teringat betapa ia pernah jatuh ke tangan
mereka, bahkan menjadi tawanan mereka.
Pek In dan Ang In tersenyum, lalu Ang In yang menjawab, "Hal itu tidak mengherankan
karena mereka itu langsung menerima pelajaran dari subo, tidak ada bedanya dengan kami
berdua. Hanya saja, kami berdua adalah murid - murid utama, ten-tu saja mempelajari ilmu yang
lebih tinggi dari pada mereka."
Ruangan sembahyang, di mana abu leluhur di-simpan, merupakan bagian terakhir dari
gedung itu yang mereka masuki. Ketika mereka masuk, Pek In mengerutkan alisnya. Sepasang
matanya yang bening itu memandang ke sana - sini dengan sinar mata menyelidik. Pandang mata
tajam dari nona ini dapat melihat adanya bekas-bekas abu dan ada beberapa batang hio yang
tinggal gagang-nya saja menancap di tempat dupa, batang hio yang masih baru, berbeda dengan
yang sudah lama. Dari ini saja Pek In dapat menduga bahwa baru beberapa hari yang lalu ada
orang membakar hio di tempat itu. Segera dipanggilnya pelayan. De-ngan cepat, tiga orang
pelayan sudah berdatangan ke ruangan itu.
"Siapakah yang datang untuk bersembahyang di sini beberapa hari yang lalu ?" tanya Pek
In.
Akan tetapi, sungguh mengherankan hati Pek In dan Ang In ketika mendengar bahwa tidak
ada seorangpun di antara para pelayan yang tahu. Me-nurut mereka, ruangan itu selalu tertutup
pintunya dan jarang sekali dimasuki mereka, kecuali kalau mau membersihkan. Itupun dilakukan
paling cepat dua minggu sekali. Selama ini, tidak ada pelayan yang masuk ke situ, sedangkan
kedua orang nona itu bersama subo mereka juga selama beberapa hari. pergi keluar kota. Kalau
ada orang luar memasuki ruangan itu, sudah pasti para pelayan itu akan melihatnya. Mereka
semua adalah anggauta - ang-gauta pasukan wanita bertusuk konde kemala, ra-ta - rata memiliki
kepandaian tinggi sehingga rasa-nya mustahil kalau ada orang masuk tanpa mereka ketahui.
(Bersambung jilid ke X.)
xx—» DARAH PENDEKAR «—xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid X
MELIHAT ketegangan menyelimuti wajah mereka itu, Ho Pek Lian lalu tersenyum dari
berkelakar, "Wah, jangan- jangan yang datang adalah orang - orang yang dikabarkan berkeliaran
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
di istana - istana di waktu malam itu! Siapa tahu mereka itu mendengar akan kecantikan kalian
ber-dua, lalu datang ke sini akan tetapi karena kalian tidak ada, mereka lalu iseng-iseng
membakar hio!"
"Ih, genit kau!" Ang In berseru dan mencubit lengan Pek Lian yang mengelak sambil
tertawa. Wajah Pek In dan Ang In berobah merah oleh ke-lakar itu.
Sebelum dua orang gadis itu dapat membalas, tiba-tiba terdengar suara orang-orang di
serambi depan. Kiranya nenek Siang Houw Nio - nio datang bersama seorang tamu.
"Wah, subo datang membawa tamu," kata Pek In. Mereka lalu meninggalkan ruang
sembahyang itu, menutupkan daun pintunya lalu menuju ke ruang-an depan. Terdengar suara
Siang Houw Nio-nio bercakap-cakap dengan tamunya. Pek Lian merasa jantungnya berdebar
tegang ketika mengenal suara tamu itu. Ternyata ada dua orang tamu yang bukan lain adalah
Jenderal Beng Tian dan si cebol Tong Ciak! Juga dua orang gadis itu menahan langkah, tidak
berani mengganggu ketika mereka mengenal suara dua orang jagoan istana yang sakti itu.
"Kapankah Beng - goanswe berangkat ke tempat Menteri Kang ?" terdengar suara nenek itu
berta-nya. "Aku telah berjanji kepadanya untuk membe-ri kabar tentang keputusan kaisar dan dua
hari telah lewat. Tentu dia sangat menanti - nanti ke-datanganku."
"Saya menanti kembalinya Hek - ciangkun yang saya suruh menyusul paduka ke tempat
Menteri Kang, karena saya ingin memberi tugas baru kepa-da Hek - ciangkun agar pergi
menjemput dan mem-bawa kembali Menteri Ho ke kota raja."
"Bagaimana dengan para menteri yang lainnya ?" tanya Siang Houw Nio - nio.
"Saya telah memerintahkan Liok - ciangkun un-tuk menghubungi kepala penjara agar
membebas-kan para menteri yang ditahan, dan menyuruh mencari para menteri yang telah
dipecat, mengun-dang mereka ke kota raja."
Si cebol Pek - lui - kong Tong Ciak yang sejak tadi diam saja menarik napas panjang dan
berkata, suaranya penuh kekecewaan, "Aah, banyak tenaga telah dibuang secara sia-sia belaka."
Jenderal Beng Tian menjawab ramah, "Memang, akan tetapi siapa mengira keadaan akan
menjadi berobah begini macam? Tong-ciangkun telah ikut memeras keringat membantuku ketika
menga-wal Menteri Ho sampai jauh sehingga tugas Tong-ciangkun sendiri yang menjadi pengawal
di istana hampir kebobolan! Untung bahwa dua orang maling yang aneh itu tidak membuat
kerusakan apa - apa di istana. Kalau kita tahu bahwa akhirnya sri baginda akan mengampuni dan
memanggil kem-bali para menteri itu, tentu aku tidak sampai me-mohon kepada sri baginda agar
Tong-ciangkun membantu dalam tugas- tugasku itu."
"Ah, Beng-goanswe terlalu sungkan. Kita sebagai
rekan sudah selayaknya saling membantu. Pula,
kita tidak bisa tahu apa yang akan terjadi. Akupun
menyadari betapa beratnya tugas Beng - goanswe
harus mengawal Menteri Ho yang terkenal dan
dicinta oleh para pendekar itu secara rahasia, padahal
pada waktu itu juga Beng - goanswe bertugas
menumpas para pemberontak di Lembah Yang - ce.
Sesungguhnya, saya harus merasa malu karena kebodohanku
dalam mengatur siasat sehingga banyak
anak buah goanswe yang tewas ketika kawan-kawan
Menteri Ho melakukan penghadangan ketika
itu. Memang... aku cuma bisa berkelahi saja, sama sekali tidak mengerti akan siasat-siasat
perang seperti Beng-goanswe."
"Tidak mengapalah. Yang penting Menteri Ho dapat diselamatkan, dan itupun berkat
bantuan ciangkun dan kami sudah amat berterima kasih."
Pek - lui - kong Tong Ciak menarik napas pan-jang. Dia teringat akan peristiwa
penghadangan kereta yang ditumpangi Menteri Ho sebagai tawan-an itu. Betapa dia hampir saja
gagal mempertahan-kan tawanan itu. Tak disangkanya akan muncul si pemuda kusir kereta yang
memiliki kesaktian luar biasa itu. Untung pemuda itu berotak miring se-hingga perkelahian tidak
dilanjutkan. Kalau sampai dilanjutkan, mungkin saja tawanan sudah dirampas oleh para
pemberontak. Pemuda itu lihai bukan main. Dia sendiri, yang sudah mampu menyempur-nakan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ilmunya sehingga mencapai tingkat terakhir, yaitu tingkat tingkat tigabelas terpaksa ketika beradu
tenaga, terdorong mundur ! Biarpun belum dapat ditentukan siapa yang akan kalah atau me-nang
kalau perkelahian diteruskan, akan tetapi ka-lau dia harus sibuk menghadapi pemuda lihai itu,
bukankah tawanan itu akan mudah dilarikan orang? Pasukannya sudah terdesak ketika itu.
"Pembersihan yang kita lakukan di Lembah Yang-ce itu memang dapat dikata berhasil. Akan
tetapi, mereka itu hanya sebagian kecil saja dari pada gerombolan yang memberontak, yang
kabarnya semakin besar dan kuat, saja karena bantuan rakyat. Dan lebih mengkhawatirkan lagi
adalah adanya berita bahwa kaum sesat dari dunia hitam telah bangkit dan dipimpin oleh
keturunan si raja kaum hitam setengah abad yang lalu. Orang itu juga menamakan dirinya seperti
leluhurnya yaitu Raja Kelelawar! Hal ini sungguh mendatangkan kegelisahan. Mereka itu lebih
kejam dan lebih ganas dibandingkan dengan para pemberontak. Para pemberontak itu hanya
menentang pemerintah, akan tetapi kaum sesat itu tidak memakai peraturan lagi, mengganas dan
melakukan kejahatan tanpa pandang bulu, merusak kehidupan rakyat. Dan mereka itu memiliki
kepandaian yang tinggi. Hemm, ingin aku dapat bertemu dan berhadapan dengan iblis itu !"
Jenderal Beng Tian mengepal tinjunya.
"Akupun sudah mendengar tentang itu," sambung Pek-lui-kong Tong Ciak. "Aku mendengar
bahwa dia memang sakti seperti iblis sendiri. Ja-ngan-jangan dialah yang mengunjungi wuwungan
istana beberapa malam yang lalu. Kim-i-ciangkun yang mengejar bayangan kedua orang itu
melapor-kan bahwa mereka memiliki gerakan cepat seperti setan, berloncatan dan berlarian di
atas wuwungan kompleks istana dengan amat ringannya dan sukar disusul. Siapa lagi yang
mampu meninggalkan pa-sukan pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi
itu dengan mudah, kecuali iblis itu sendiri ?"
"Hemm, benar kiranya dugaanmu itu, Tong-ciangkun. Di antara kita bertiga ini, akulah yang
pernah merasakan kelihaiannya."
"Ehh ......?" seru Jenderal Beng.
"Ahh... ?" Si pendek Tong Ciak juga berseru kaget dan heran.
"Sesungguhnyalah, baru kemarin aku bertemu dan bertanding melawan iblis itu. Dan terus
terang saja kuakui bahwa aku bukan tandingannya. Padahal waktu itu aku sudah dibantu oleh
murid pertama dari suamiku. Kami berdua terdesak dan nyaris tewas!"
Tentu saja dua orang jagoan istana itu tertegun. Hampir mereka tidak dapat menerima
kebenaran cerita itu kalau tidak mendengar sendiri dari mulut Siang Houw Nio-nio. Mereka tahu
benar siapa adanya wamta tua yang berada di depan mereka ini. Pengawal pribadi kaisar! Mereka
tahu betapa lihainya nenek ini dan merekapun sudah mendengar siapa pula suami nenek ini.
Suhengnya sendiri, ketua Partai Pedang Langit, keturunan Sin-kun Bu-tek, datuk besar utara
jaman abad lampau. Mereka sudah pernah samar-samar mendengar tentang apa yang telah
terjadi antara suami isteri sakti itu. Oleh karena itu, mereka merasa sungkan dan sungguhpun
mereka merasa heran sekali mendengar bahwa iblis Raja Kelelawar itu menye-rang si nenek yang
dibantu oleh murid utama suaminya, mereka tidak berani mendesak atau bertanya lebih lanjut.
Di dalam hati, kedua orang jagoan ini berdebar penuh ketegangan. Nenek ini memiliki ilmu
kepandaian yang hebat, tidak banyak selisihnya dengan mereka sendiri, dapat dikatakan setingkat.
Biarpun demikian, melawan iblis itu, padahal sudah dibantu oleh murid utama suaminya, masih
kalah dan nyaris tewas! Padahal, merekapun pernah melihat kelihaian murid utama itu, ialah Yap
Kiong Lee. Murid utama ini boleh dibilang telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian gurunya sehingga
dapat dibi-lang hampir selihai gurunya. Pemuda itu sering datang ke kota raja dan semua orang
gagah di kota raja mengenalnya.
"Hemm, jelas bahwa tentu iblis itu yang muncul di kota raja!" Pek-lui-kong berkata sambil
mengepal tinju. "Aku harus berhati-hati."
"Memang kita harus berhati - hati," kata Siang Houw Nio - nio. "Akan tetapi aku mendengar
dari pelaporan para dayang dari Pek-ji dan Ang-ji yang diutus oleh murid - muridku itu menyelidiki
ke tempat pertemuan kaum sesat, bahwa si iblis itu bersama dengan pembantunya akan mencari
Tung-hai-tiauw (Rajawali Lautan Timur) yang pada waktu itu tidak muncul. Jadi, mungkin dia
hanya lewat saja di sini."
Si cebol mengangguk. "Menurut pengamatan paduka, benarkah iblis itu keturunan Si Raja
Kelelawar beberapa puluh tahun yang lalu seperti tersebut dalam dongeng- dongeng itu ?"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Kurasa benar demikian, karena ilmu silat yang dimainkannya itu tentulah Kim - liong Sin -
kun seperti yang pernah kudengar, dan ilmu ginkang-nya itu tentulah Bu-eng Hwee-teng yang
membuat aku mati kutu. Kurasa, untuk masa kini, tidak ada lagi orang yang mampu
menandinginya." Nenek itu memandang kepada Pek-lui- kong dengan sinar mata tajam penuh
selidik. Menurut penu-turan Ouwyang Kwan Ek dalam percakapannya dengan suaminya, si cebol
ini telah mencapai tingkat tertinggi dalam perguruan Soa-hu-pai. Ingin sekali ia tahu, bagaimana
jika si cebol ini menandingi Raja Kelelawar. Mana yang lebih lihai antara ilmu si iblis itu, yalah Pathong
Sin-ciang atau Kim-liong Sin-kun dibandingkan dengan Ilmu Silat Teratai Soa-hu-lian dan
Ilmu Pukulan Pusaran Pasir Maut ?
Pek-lui-kong Tong Ciak tersenyum dingin. "Hemm, sekali-kali aku ingin sekali berkenalan
dengan ilmu- ilmunya. Tentu saja hal itu akan sukar terkabul karena aku terikat oleh tugas di dalam
istana. Akan tetapi, ingin sekali aku mencoba ilmuku, apakah mungkin dapat untuk dipakai
menghadapinya ? Kurasa, yang paling sukar dila-wan adalah Bu - eng Hwee - teng itu karena
kalau benar dia telah mewarisi ilmu itu dengan sempurna, kiranya di dunia ini sukar dicari orang
yang akan mampu menandingi kecepatannya. Kecuali apa bila locianpwe Sin - yok - ong hidup
kembali. Akan tetapi, dengan kecepatan gerak tangan Ilmu Silat Teratai Soa-hu-lian, kurasa iblis
itu tidak akan mudah untuk menundukkanku." Si cebol ini meng-akhiri kata-katanya dengan
kalimat yang penuh dengan kepercayaan akan kehebatan ilmunya sen-diri.
Ucapan itu bukan sekedar kesombongan kosong belaka. Semenjak dia berhasil mencapai
tingkat tertinggi dengan ilmu keturunannya, belum pernah ada lawan yang mampu mengalahkan
dia. Apa lagi jika dia mengeluarkan Ilmu Silat Soa-hu-lian karena kedua lengannya dapat bergerak
dengan luar biasa cepatnya sehingga nampak seperti ribu-an tangkai bunga teratai mencuat di
antara daun-daun teratai di telaga pasir. Karena ilmunya ini, selain julukan Pek-lui-kong (Malaikat
Halilintar), diapun kadang-kadang dijuluki Si Lengan Seribu.
Jenderal Beng Tian menarik napas panjang. Dia-pun amat tertarik. "Tentang Ilmu Bu-eng
Hwee-. teng itu, kurasa Tong - ciangkun salah duga kalau mengira tidak ada orang yang akan
mampu me-nandinginya. Ketika aku mengejar - ngejar ketua lembah, aku bertemu dengan
seorang kakek yang memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya. Kakek itu dengan menggendong
seorang gadis masih mampu menggandeng tangan si ketua lembah dan melarikan diri bebas dari
kepungan beribu orang perajurit pilihan. Padahal di sana masih ada aku sendiri dan dua orang
pengawalku. Bayangkan sa-ja betapa hebat ginkangnya."
"Memang banyak terdapat orang-orang tak terkenal yang sakti," kata Siang Houw Nio-nio.
"Para anak buah Ang - ji yang beruntung dapat menyaksikan pertemuan rahasia kaum sesat itu
mengatakan bahwa seorang kakek telah berhasil menundukkan kesombongan iblis itu dalam ilmu
ginkang yang luar biasa. Kakek itu memperkenal-kan diri sebagai murid bungsu Sin-yok-ong (Raja
Tabib Sakti)."
"Ohhh ! Jadi locianpwe Sim-yok–ong masih mempunyai murid?" kata Jenderal Beng
Tian. "Kalau begitu, kakek yang kuhadapi itu ten-tulah dia juga orangnya!"
"Mungkin demikianlah adanya. Tentang murid-murid Sin-yok-ong, aku masih mengenal
seorang muridnya yang lain, yaitu suheng dari murid bung-su itu. Dia adalah ketua perguruan
Liong - i - pang (Jubah Naga)."
"Kakek berjubah naga ?" Pek-lui-kong berseru kaget. "Ali, tidak kusangka ! Pantas saja
ilmu silatnya sedemikian hebat. Wah, kalau demikian halnya, si iblis Raja Kelelawar tentu akan
banyak menemui kesulitan dalam pemunculannya ini.
Murid-murid Sin-yok-ong... hemm, Beng-goanswe, benarkah bahwa ketua orang-orang
lembah itu diselamatkan oleh kakek murid bungsu dari Sin-yok-ong ?"
"Memang dia diselamatkan seorang kakek, akan tetapi aku tidak yakin apakah benar kakek
itu sama dengan kakek yang telah muncul dalam pertemuan rahasia para kaum sesat atau bukan,
aku tidak ta-hu benar apakah dia itu murid Sin - yok - ong atau-kah orang lain," jawab jenderal
itu.
"Heii! Aku ingat sekarang !" Tiba - tiba Siang Houw Nio - nio berseru keras. "Aku membawa
se-orang gadis yang pernah bersama - sama dengan ketua lembah itu. Aku malah membawanya
ke sini dari perlawatanku ke tempat Menteri Kang tempo hari. Mungkin ia tahu di mana adanya
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kawannya itu. Heh, kamu pelayan yang di luar. Cepat pang-gil Pek - ji dan Ang - ji ke sini, suruh
mereka mem-bawa tamunya!"
Mendengar perintah ini, Ho Pek Lian yang mendengarkan di ruangan samping tentu saja
menjadi terkejut sekali. Jantungnya berdebar tegang. Ia akan dihadapkan dengan dua orang
jagoan is-tana yang pernah dilawannya itu ? Mereka tentu akan mengenalnya kalau begitu. Akan
tetapi ah, mengapa ia mesti takut ? Bukankah ayahnya sekarang telah bebas, bukan menjadi
pemberontak lagi, bukan menjadi buronan pemerintah atau orang hukuman lagi ? Akan tetapi
kalau ia dituduh seba-gai komplotan orang - orang lembah itu. Ah, perduli amat! Bagaimanapun
juga, ia bukanlah komplotan mereka. Ia termasuk anggauta kelompok yang di-pimpin oleh Liu
Pang, sedangkan orang - orang lembah pimpinan Kwee Tiong Li itu adalah ke-lompok yang berada
di bawah perlindungan bengcu Chu Siang Yu.
Ketika dayang itu datang, dengan sikap tenang saja Pek Lian bersama Pek In dan Ang In
pergi menghadap memenuhi panggilan Siang Houw Nio-nio.
Jenderal Beng Tian memandang tajam ke arah gadis itu, kemudian diapun berseru dengan
suara keras, "Ah, benar! Inilah gadis itu! Aku pernah berhadapan dengan ia ini sampai dua kali.
Perta-ma ketika ia muncul secara tiba-tiba dari balik gerobak tokoh Ban-kwi-to dan membantu
ketua lembah yang menyamar sebagai perajuritku. Ke dua ketika ia diselamatkan oleh kakek sakti
itu! Benar begitu bukan, nona ?"
Ho Pek Lian maklum bahwa ia tidak mungkin dapat mengelak dan menyangkal lagi, maka
iapun dengan sikap tenang sekali mengangguk. "Benar, akulah gadis itu. Akan tetapi sekali lagi
kujelaskan kepada siapa saja bahwa aku bukanlah teman orang - orang lembah itu. Aku baru
mengenal dia pada saat dia menyamar sebagai peraiurit itu. Pa-da saat itu aku tidak tega melihat
dia dikeroyok banyak perajurit." Pek Lian bersikao tenang dan sedikitpun ia tidak kelihatan takut.
Sementara itu, Pek-lui-kong Tong Ciak juga memandang nona itu dengan penuh perhatian. Dia
merasa seperti pernah bertemu dengan gadis ini, akan tetapi dia lupa lagi entah kapan dan di
mana.
"Akan tetapi nona selalu bersama dengan pemuda pemimpin lembah itu, maka tentu saja
kami menyangka bahwa nona adalah anggauta mereka pula. Sekarang kami ingin bertanya
kepadamu, no-na, di manakah kawanmu pemimpin lembah itu ? Namanya Kwee Tiong Li, bukan ?
Dan dia itu termasuk kelompok manakah ?"
"Tai - ciangkun salah sangka kalau mengira aku selain bersama dengan dia. Sejak aku
diselamat-kan oleh kakek sakti, aku lalu memisahkan diri. Aku tidak tahu ke mana kakek dan
pemuda itu pergi. Memang benar namanya Kwee Tiong Li, akan tetapi aku tidak tahu dia termasuk
kelompok mana."
"Ah, nona. Sebagai seorang tua biasa tentu saja aku bisa percaya omonganmu. Akan tetapi
sebagai perajurit, aku terpaksa tidak danat menerimanya begitu saja tanpa penyelidikan. Kami
harus mena-hanmu untuk menyelidiki kebenaran kata - katamu. Tuan puteri, bolehkah aku
membawa gadis ini sebentar saja ? Kami ingin menyelidikinya !"
Siang Houw Nio-nio mengangguk dan meno-leh kepada Pek Lian. "Akan tetapi kuminta
dengan sangat kepada Beng - goanswe untuk memperlaku-kan gadis ini baik - baik. Aku suka
kepadanya, ia tabah dan gagah, dan aku percaya bahwa ia mem-beri keterangan yang
sebenarnya."
"Baik," jawab jenderal itu, lalu dia memberi perintah kepada bawahannya. "Bawa gadis ini ke
kantorku !"
Perwira itu bersama beberapa orang perajurit melangkah masuk. Pek In dan Ang In
memandang bingung, merasa serba salah. Dengan mata gelisah dan bersedih mereka itu
memandang kepada Pek Lian dan kepada subo mereka berganti - ganti, tak tahu harus berbuat
bagaimana.
Akan tetapi, Pek Lian yang memiliki kekerasan hati itu tentu saja tidak mau ditangkap
secara mudah begitu saja. Selama ini ia juga menjadi ta-wanan Siang Houw Nio - nio dengan dua
orang muridnya, akan tetapi ia lebih diperlakukan seba-gai sahabat atau tamu dari pada sebagai
tawanan. Selain itu, juga ia merasa bahwa ia kini adalah pu-teri seorang menteri yang telah bebas
dari hukuman pula. Mana mungkin ia membiarkan dirinya di-tangkap oleh perwira muda dan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
delapan orang perajuritnya itu. Maka, ketika perwira itu hendak menangkap lengannya, iapun
nrelangkah mundur dan mengelak.
"Nona, menyerahlah untuk kami tangkap. Ja-ngan sampai kami mempergunakan
kekerasan," ka-ta perwira muda itu yang merasa malu karena sambaran tangannya tadi dengan
mudah dapat di-elakkan oleh nona yang hendak ditangkapnya.
Pek Lian memandang dengan senyum dingin. "Hemm, hendak kulihat apakah akan mudah
begitu saja kalian menangkap aku yang tidak berdosa !"
Perwira muda itu menjadi merah mukanya dan diapun memberi aba - aba kepada delapan
orang perajuritnya, "Ringkus gadis ini!"'
Delapan orang perajurit itu lalu mengurung dan serentak maju untuk menangkap kedua
lengan Pek Lian. Akan tetapi, dengan langkah - langkah ter-atur Pek Lian mengelak sambil
menggerakkan ke-dua 'tangannya. Terdengar suara "plak, plak!" beberapa kali dan tiga orang
perajurit terhuyung ke belakang!
Melihat ini, lima orang perajurit yang lain men-jadi penasaran dan marah. Tak mereka
sangka bahwa gadis itu akan melawan. Merekapun seren-tak menubruk ke depan. Akan tetapi
kembali mereka hanya menubruk tempat kosong saja dan ta-ngan Pek Lian sudah menampar dua
orang pera-jurit lagi yang terhuyung dan terpelanting dengan muka biru terkena tamparan.
Kini perwira muda itu menjadi marah dan dia sendiripun maju, dibantu oleh delapan orang,
pera-juritnya. Akan tetapi, Pek Lian sudah mengambil keputusan untuk melawan. Ia tidak akan
membi-arkan orang menangkapnya dengan mudah tanpa perlawanan. Biarlah ia tertawan karena
kalah, bu-kan karena takut. Maka terjadikah perkelahian, antara sembilan orang pengeroyok itu
dengan Pek Lian. Pek In dan Ang In yang melihat perkelahian ini, tersenyum - senyum melihat
betapa Pek Lian membuat sembilan orang itu kocar-kacir. Dan karena yang hadir adalah ahli - ahli
silat, mereka-pun tertarik. Bahkan Jenderal Beng Tian setengah membiarkan perkelahian itu
terjadi dan dia-pun kagum melihat sepak terjang gadis itu.
"Bukan main... " pikirnya. "Boleh juga gadis muda ini." Diam - diam dia memperhatikan
gerakan-gerakan Pek Lian dan dia merasa heran. Dasar gerakan gadis itu menunjukkan bahwa ia
telah mempelajari ilmu silat yang baik dan bersih. Akan tetapi mengapa begitu campur aduk,
seolah - olah gadis itu telah menggabungkan beberapa macam ilmu silat dari aliran - aliran yang
berbeda dalam gerakan silatnya. Kadang-kadang gerakan silat-nya bergaya harimau tutul, kadang
- kadang seperti gaya ular dan ginkangnya juga amat baik, membuat tubuhnya dapat bergerak
ringan sekali. Jelaslah bahwa gadis ini bukan orang sembarangan dan telah menerima pendidikan
ilmu silat dari guru - guru yang baik.
Sembilan orang perajurit itu benar - benar dibu-at kewalahan oleh Pek Lian. Nona ini bukan
hanya menghindarkan diri untuk ditangkap dengan cara mengelak atau menangkis, akan tetapi
juga mem-bagi - bagi pukulan dan tamparan, walaupun nona itu tidak pernah mempergunakan
pukulan maut yang dimalcsudkan untuk membunuh lawan. Hal inipun diketahui dengan baik oleh
para ahli silat yang melihat perkelahian ini dan diam - diam mereka merasa kagum juga kepada
nona muda ini yang agaknya masih mampu mengendalikan pera-saannya.
Jenderal Beng Tian merasa sungkan untuk turun tangan sendiri terhadap seorang gadis
muda seper-ti Pek Lian. Akan tetapi diapun maklum bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan
dan kalau dia hanya menyuruh perwira - perwira saja agak-nya akan sukar untuk menangkapnya.
Oleh karena itu, melihat sembilan orang itu kembali jatuh ba-ngun, dia lalu membentak dan
menyuruh mereka mundur sambil memberi isyarat kepada dua orang pengawal pribadinya yang
sejak tadi berjaga-jaga di dekat pintu. Dua orang pengawal pribadi dari Jenderal Beng Tian ini
adalah sute - sutenya sendiri, maka biarpun tingkat kepandaian mereka tidak setinggi sang
jenderal, namun mereka meru-pakan dua orang tangguh yang berilmu tinggi.
Dua orang pengawal ini maklum bahwa atasan atau juga suheng mereka itu sungkan turun
tangan terhadap nona muda itu, maka merekapun meng-angguk dan keduanya lalu maju
menggantikan perwira muda dan delapan orang perajuritnya yang sudah keluar dari situ dengan
muka matang biru. Seorang di antara mereka lalu menyelonong ke depan dan tangannya
menyambar, mencengkeram ke arah pundak Pek Lian. Ada angin bersuit ketika tangan ini
meluncur ke depan. Pek Lian sudah maklum akan kelihaian dua orang ini, maka iapun sudah siap -
siap dan cepat mengerahkan tenaganya menangkis tangan yang mencengkeram itu.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Plakkk !" Sambil menangkis, Pek- Lian meng-gunakan tangan kanan untuk memukul ke
arah dada dan ia terkejut bukan main melihat betapa lawannya sama sekali tidak mengelak atau
menang-kis melainkan menerima pukulan itu begitu saja dengan dadanya.
"Bukk !" Kepalan tangan Pek Lian itu menda-rat di dada dengan empuk saja. Ia merasa
seperti memukul benda lunak yang kenyal seperti karet. Pek Lian terkejut dan maklumlah ia
bahwa lawan-nya ini memiliki kekebalan yang amat kuat. Maka iapun cepat mencabut pedangnya.
Biarpun ia men-jadi tawanan Siang Houw Nio - nio dan dua orang muridnya, akan tetapi ia telah
dipercaya setelah ia bersama dengan mereka ikut melawan musuh dan iapun diperbolehkan
membawa pedang di pinggangnya. Kini Pek Lian yang maklum bahwa kalau hanya dengan kedua
tangan kosong tak mung-kin ia mampu menghadapi dua orang pengawal Jenderal Beng Tian,
telah mencabut pedangnya. Dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari guru-nya yang baru dan
lihai, yaitu Liu Pang atau lebih terkenal dengan sebutan Liu - twako, bengcu yang amat disegani
itu, Pek Lian mulai memainkan pe-dangnya menghadapi pengawal pribadi Jenderal
Beng Tian yang hendak menangkapnya. Pedangnya bergerak indah dan kuat, membentuk
gulungan si-nar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan su-ara berdengung - dengung. Akan
tetapi, pengawal yang masih sute sendiri dari Beng - goanswe itu tetap menghadapinya dengan
kedua tangan kosong. Pengawal yang tangguh inipun maklum akan keli-haian pedang si nona
muda, maka diapun mengelu-arkan ilmu andalannya, yaitu ilmu pukulan yang amat hebat dari
perguruan mereka. Pukulan ini bernama Khong - khi - ciang (Pukulan Tangan U-dara Hampa) yang
amat hebat. Dari jarak jauh saja pukulan ini mampu melukai lawan karena me-ngandung getaran
seperti petir menyambar. Juga, pukulan ini mengeluarkan suara berdentam dan meledak - ledak.
Dengan kedua lengan yang am-puh ini, yang dipenuhi getaran tenaga sinkang yang amat kuat,
pengawal itu berani menghadapi pedang Pek Lian, bahkan berani menangkis pedang dengan
lengan telanjang!
Ilmu pedang Pek Lian adalah ilmu pedang pi-lihan yang merupakan ilmu silat tinggi. Akan tetapi,
gadis ini belum begitu lama menjadi murid Liu - taihiap atau Liu Pang, maka ilmu pedangnya
selain kurang matang, juga tenaga sinkangnya be-lum dapat mengimbangi sifat ilmu pedang yang
hebat itu. Oleh karena itulah, kini menghadapi seorang lawan yang memiliki ilmu silat tinggi, setelah
lewat tigapuluh jurus, ia mulai terdesak. Pada hal, pengawal ke dua belum juga maju
membantu temannya.
Sementara itu, Pek-lui-kong Tong Ciak yang sejak tadi menonton perkelahian itu selalu
memperhatikan gerakan-gerakan Pek Lian dan meng-ingat - ingat di mana dia pemah melihat
gadis ini. Setelah memperhatikan ilmu pedang dari gadis itu, barulah dia teringat.
"Tahan !" teriaknya dan diapun meloncat ke dalam arena pertempuran. Melihat majunya si
cebol, Pek Lian terkejut dan mengira bahwa si ce-bol botak itu hendak menangkapnya, maka
iapun sudah membalikkan tubuhnya ke kiri, meninggal-kan pengawal lihai itu dan menggunakan
pedang-nya untuk menyerang Pek-lui-kong Tong Ciak.
"Hyaaatttt...... !!" Pek Lian menerjang dan mengangkat pedangnya tinggi di atas kepala lalu
membacok ke arah kepala botak si cebol.
"Hemm... !" Pek-lui-kong berseru, kedua tangannya bergerak dan pandang mata Pek Lian
menjadi silau karena kedua tangan itu seolah - olah berobah menjadi banyak sekali dan tahu -
tahu pergelangan tangan kanannya kena ditotok dan dalam sekejap mata saja pedangnya telah
berpin-dah tangan!.
"Aku sekarang mengenal gadis ini!" kata Pek-lui-kong sambil meloncat mundur kemudian
melempar pedang rampasan itu ke atas lantai. "Tidak salah lagi! Nona, bukankah engkau gadis
yang menghadang iring-iringan kereta tawanan di sebelah utara kota Kong-goan, di dusun Hankung-
ce itu ? Herani, hampir saja engkau dan kawan-kawanmu berhasil menculik Menteri Ho
ketika pemuda gila kusir kereta itu mengamuk. Hampir separuh perajurit-perajuritku terbunuh.
Bukankah engkau gadis yang memimpin penghadangan itu ?"
Pek Lian merasa serba salah untuk menjawab pertanyaan ini dan sementara itu, Jenderal
Beng Tian dan Siang Houw Nio - nio, juga Pek In dan Ang In, terkejut bukan main mendengar
ucapan panglima cebol yang tidak berpakaian sebagai panglima itu.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Alih ?" Jenderal Beng berteriak hampir berbareng dengan nenek itu. Kemudian jenderal
itu melanjutkan, "Kalau begitu gadis ini harus ditawan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya
melawan negara! Pengawal, cepat ringkus gadis ini!"
Pengawal yang seorang lagi bergerak cepat me-nubruk ke depan hendak menangkap
pundak Pek Lian yang sudah tidak memegang pedang. Akan tetapi, tiba-tiba Pek-lui- kong Tong
Ciak menggerakkan tangannya menangkis cengkeraman ta-ngan pengawal yang tangguh itu.
"Ehh... !!" Pengawal itu terkejut dan meloncat ke belakang. Semua orang memandang
dengan mata terbelalak. Apakah Pek-lui-kong telah menjadi gila? Apakah panglima pengawal aneh
ini mau berkhianat ? Jenderal Beng Tian menge-rutkan alisnya dan dengan penuh rasa penasaran
dia memandang kepada rekannya sambil melangkah maju, juga bersiap siaga. Siang Houw Nio -
nio juga melangkah maju, siap membantu jenderal itu menghadapi si cebol yang lihai.
"Tong-ciangkun, apakah maksud ciangkun mencegah pengawalku menangkap gadis ini ?"
ta-nya Jenderal Beng Tian dengan sikap hati-hati, tidak berani sembarangan bergerak sebelum
me-ngerti benar duduknya perkara.
Melihat sikap jenderal itu dan juga Siang Houw Nio-nio yang mengerutkan alis dan bersiap
untuk melawannya, barulah Pek - lui - kong sadar akan keadaannya dan mengerti bahwa
tindakannya tadi menimbulkan kecurigaan. Maka cepat-cepat dia menjura dengan hormat kepada
jenderal itu dan berkata lantang, "Beng - goanswe, saya kira engkau tidak ingin menentang
keputusan sri baginda kaisar yang baru saja dikeluarkan itu, bukan ?"
Dengan sikap masih penasaran, tanpa mengu-rangi kewaspadaannya, jenderal itu
mengerutkan alisnya dan balas bertanya, "Apakah maksud ucap-an Tong - ciangkun itu ?"
Dengan sikap tenang dan ada kegembiraan terpancar dari pandang matanya, kegembiraan
da-ri, orang yang mengetahui suatu rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain, panglima cebol
itu kem-bali ke kursinya dan duduk.
"Beng - goanswe, untuk memulihkan keadaan negara yang dilanda kekeruhan, yang
diakibatkan karena rasa tidak puas dari rakyat atas dipecat dan dihukumnya beberapa orang
menteri, sri baginda telah memutuskan untuk memanggil kembali Wakil Perdana Menteri Kang dan
membebaskan Menteri Kebudayaan Ho dan menteri - menteri lainnya, agar memangku kembali
jabatan mereka, dengan tujuan agar rakyat menjadi tenang kembali. Bu-kankah demikian
keputusan sri baginda ?"
"Benar ! Akan tetapi apa hubungannya hal itu dengan pemberontak kecil ini ?" tanya Benggoanswe
sambil menuding ke arah Pek Lian.
"Harap goanswe suka bersabar. Ketahuilah, gadis ini adalah puteri tunggal dari Menteri Ho Ki
Liong ! Nah, kalau sekarang kita menangkapnya dan memasukkannya ke dalam penjara, apa yang
akan terjadi jika ayahnya mendengar akan hal itu ? Tentu dia akan marah dan menolak untuk
kembali ke istana. Padahal, Menteri Ho adalah sahabat baik Menteri Kang, bahkan pembebasan
Menteri Ho merupakan syarat utama dari Menteri Kang. Hal ini tentu akan menimbulkan akibat
luas dan kalau sampai bertentangan dengan keputusan sri baginda kaisar, lalu siapakah yang akan
menanggung aki-batnya ? Siapa yang berani mempertanggungja-wabkan ?"
Tentu saja semua orang tertegun mendengar penjelasan Pek - lui - kong Tong Ciak itu.
Semua mata kini ditujukan memandang kepada Pek Lian dari kaki sampai kepala. Tentu saja
mereka tidak pernah mengira bahwa gadis ini ternyata adalah seorang puteri bangsawan, puteri
tunggal dari Menteri Ho yang amat terkenal itu.
Jenderal Beng Tian sendiri menjadi lemas mendengar penjelasan itu. Dengan sinar mata
tajam dia memandang gadis itu lalu bertanya, "Benarkah bahwa nona adalah puteri Menteri Ho?"
Dengan sikap angkuh Pek Lian berkata, "Memang benar ! Memangnya kenapa kalau begitu ?
Mengapa tidak diteruskan pengeroyokan atas diriku ?"
"Nah, lihat saja sikapnya !* Pek - lui - kong ber-kata lagi. "Dan harap goanswe ketahui
bahwa nona ini adalah murid dari jago pedang yang terkenal dengan sebutan Liu - taihiap atau Liu
- twako, bengcu yang terkenal memimpin para pendekar yang merasa tidak puas atas perlakuan
pemerintah terhadap para menteri itu."
Jenderal Beng Tian menjadi semakin kaget. Dia terbelalak memandang. "Benarkah itu ?"
"Dahulu aku pernah bertanding melawan jago pedang she Liu itu sebelum aku mengabdi di
ista-na, dan aku mengenal gaya permainan pedangnya," kata Pek-lui-kong tegas.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Akan tetapi mengapa la selalu bersama-sama orang- orang lembah ?" Jenderal itu bertanya
dengan nada suara sangsi dan curiga.
"Apakah anehnya hal itu ? Bukankah kedua pi-hak itu sama - sama memusuhi pemerintah ?
No-na ini merasa sakit hati karena ayahnya akan dihu-kum mati. Orang - orang lembah itupun
sakit hati karena mereka dikejar - kejar dan dibasmi oleh pasukan pemerintah. Kalau keduanya
bertemu, tentu saja akan terjalin persahabatan sebagai ka-wan senasib sependeritaari, bukan ?"
Jenderal Beng Tian mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Ah, betapa
bodohnya aku sekali ini! Nona Ho, maafkanlah kekasaran para pembantuku tadi," katanya kepada
Pek Lian dan diapun kembali ke kursinya.
Pada saat itu, seorang perajurit datang melapor bahwa Hek - ciangkun yang diutus oleh
jenderal itu ke tempat tinggal Wakil Perdana Menteri Kang telah tiba kembali. Mendengar ini,
Jenderal Beng Tian lalu berkata, "Suruh tunggu sebentar!" Ke-mudian dia menjura kepada Siang
Houw Nio - nio dan Panglima Tong Ciak. "Harap maafkan karena saya terpaksa menunaikan
tugas."
Siang Houw Nio-nio lalu mengantar dua orang tamunya pergi, karena Panglima Tong Ciak
juga minta diri. Pertemuan itupun bubar dan kedua orang gadis itu setelah kini tahu bahwa Pek
Lian adalah puteri Menteri Ho yang terkenal itu, segera merangkulnya.
"Ah, kiranya engkau adalah puteri Menteri Ho yang hebat itu. Ah, pantas saja sikapmu
demikian angkuh !" kata Pek In dengan kagum.
"Sungguh nakal sekali! Kenapa tidak dari dulu kaukatakan tentang dirimu ?" Ang In juga
berkata gemas sambil mencubit sayang.
"Bagaimana aku berani mengaku ?" Pek Lian berkata sambil tertawa. "Kalau dahulu aku
meng-aku, tentu enci berdua sudah menyerangku dan bagaimana aku akan dapat selamat ?
Tadipun ka-lau tidak ada Tong - ciangkun, bukankah aku sudah dijebloskan ke dalam sel tahanan
?"
Siang Houw Nio - nio memang tidak pernah memperdulikan urusan politik, akan tetapi
sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, diam-diam iapun merasa simpati kepada
Menteri Ho yang berani itu, dan merasa suka kepada Pek Lian juga karena keberanian gadis ini.
Sekarang, men-dapat kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri menteri itu, iapun merasa semakin
suka.
"Sementara engkau menanti kedatangan ayah-mu ke istana, engkau boleh tinggal bersama
Pek In dan Ang In di sini," kata nenek itu dengan sikap ramah.
Pek Lian cepat memberi hormat kepada nenek itu, penghormatan yang sungguh - sungguh,
seba-gai puteri seorang menteri kepada seorang yang berkedudukan tinggi seperti bibi kaisar itu.
Akan tetapi karena ia lebih kagum dan tertarik kepada nenek ini sebagai seorang wanita sakti,
maka ia tetap menyebut locianpwe sebagai penghormatan seorang ahli silat muda terhadap
seorang tokoh besar yang jauh lebih tinggi tingkat ilmunya.
"Saya menghaturkan terima kasih atas semua kebaikan locianpwe dan harap sudi
memaafkan segala kesalahan saya yang sudah-sudah terhadap locianpwe."
Melihat sikap dan mendengar uc
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To
Register.]***
a tanda - tanda adanya orang yang me-masuki ruangan itu, bahkan telah bersembahyang,
subo. Akan tetapi, tidak ada seorangpun di antara anak buah teecu yang melihatnya." Demikian
Pek In imenutup laporannya. Gurunya mengerutkan alis dan memandang heran. Ia tidak perlu
meme-riksa sendiri ke ruangan itu karena ia percaya pe-nuh akan ketelitian muridnya ini
"Mengingat akan cerita tentang munculnya dua bayangan orang yang amat lihai di gedung
para bangsawan bahkan juga di istana, jangan-jangan yang memasuki ruangan sembahyang
inipun mere-ka itu, subo," kata Ang In dan diam - diam gadis yang gagah perkasa ini melirik ke
kanan kiri de-ngan hati mengandung rasa jerih juga. Siapa tahu bayangan setan itu pada saat itu
masih berada di situ!
"Akan tetapi, apa perlunya mereka berkeliaran di sini dan memasuki ruangan sembahyang
tempat penyimpanan abu leluhur ?" Nenek itu bertanya sangsi, akan tetapi ia teringat akan
dugaan Pek-lui-kong akan kemungkinan bahwa seorang di an-tara dua bayangan itu adalah Si
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Raja Kelelawar sendiri. Kalau benar yang datang ke istana ini adalah Si Raja Kelelawar, lalu apa
maksudnya ? Apakah iblis yang mengerikan itu masih terhitung keluarga istana dan dia datang
untuk bersembah-yang di depan abu leluhurnya sendiri ? Siang Houw Nio - nio mengerutkan
alisnya dan dengan terme-nung iapun lalu memasuki kamarnya sendiri. Dua orang muridnya yang
melihat sikap subonya, mak-lum bahwa subonya sedang berpikir keras, maka merekapun tidak
berani banyak bertanya, melain-kan mengiringkan subonya.
Siang Houw Nio-nio duduk termenung di da-lam kamarnya, di atas kursinya. Pek In dan Ang
In, diikuti oleh Pek Lian, duduk di luar kamar menanti dan menduga- duga apa yang dipikirkan
oleh nenek itu. Nenek itu melayangkan lamunannya.
Gedung mungil ini dahulunya menjadi tempat tinggal keluarga pamannya yang menjabat
sebagai kepala rumah tangga istana. Pamannya itu hanya mempunyai seorang putera yang kini
menjadi ke-pala kuil istana, yaitu Bu Hong Sengjin yang masih terhitung saudara sepupunya
sendiri. Ketika masih muda, Bu Hong Sengjin yang pangeran itu oleh ayahnya disuruh mempelajari
ilmu silat tinggi dari seorang kepala kuil Agama To - kauw. Tentu saja pamannya itu
mengharapkan agar putera tunggal-nya itu kelak dapat menjadi seorang panglima atau perwira
tinggi. Akan tetapi, tempat perguruan di mana pangeran itu belajar tidak hanya mengajar-kan ilmu
silat tinggi, melainkan juga keagamaan. Dan dia memang telah mewarisi ilmu silat tinggi, akan
tetapi di samping itu juga mewarisi ilmu ke-agamaan yang mendalam. Bahkan agaknya, pemuda
itu lebih condong mendalami agama dari pada ilmu silatnya sehingga setelah tamat belajar silat,
dia tidak mau pulang ke rumah orang tuanya, bah-kan lalu masuk menjadi pendeta Agama To
dengan julukan Bu Hong Tojin. Kemudian, sebagai seorang tosu dia lebih senang mengembara di
kalangan rakyat untuk menyebarkan Agama To - kauw.
Tentu saja hal ini amat mengecewakan hati pa-mannya. Watak pamannya itu keras dan
perbuatan puteranya itu dianggap merendahkan martabat dan nama keluarga. Maka dengan jalan
kekerasan pamannya lalu mengurus pasukan mencari putera-nya itu. Sampai bertahun - tahun
usaha itu dila-kukan dan akhirnya dengan bantuan para pembesar dan pasukan, puteranya dapat
dibawa kembali ke istana. Akan tetapi, Bu Hong Tojin juga memiliki watak yang sama kerasnya
dengan ayahnya. Dia berkeras tidak mau menjadi perajurit. Perbantahan terjadi dan akhirnya,
pamannya yang keras hati itu menjebloskan puteranya ke dalam penjara. A-kan tetapi, Bu Hong
Tojin tetap berkeras kepala. Hal ini amat mengesalkan hati pamannya sehingga dia "makan hati"
dan jatuh sakit sampai akhirnya meninggal dunia.
Hal ini amat mendukakan hati Bu Hong Tojin. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak suka
akan kekerasan, tidak mau menjadi perajurit. Dia tidak meninggalkan istana, akan tetapi dia
bahkan memasuki istana dan menjadi pendeta di situ. Akhir-nya, kaisar mengangkatnya menjadi
kepala kuil dan juga menjadi penasihat. Dan gedung istana mungil ini, karena tidak ada yang
menempati lagi, oleh kaisar lalu dihadiahkan kepadanya.
Ketika lamunannya melayang - layang sampai sejauh itu, Siang Houw Nio - nio lalu teringat
akan kakak sepupunya itu. "Hemm, tentu saja dia, siapa lagi ? Tentu Bu Hong Sengjin yang
datang ber-sembahyang di sini, menyembahyangi arwah men-diang paman. Tentu saja dengan
kepandaiannya yang tinggi, dia dapat datang tanpa terlihat oleh para dayang. Sebaiknya
kutanyakan sendiri kepa-danya." Wanita itupun lalu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah
keluar kamar, wajahnya tidak sekeruh tadi.
"Pek - ji dan Ang - ji, aku mau kembali ke istana," katanya kepada dua orang muridnya itu.
Tanpa menanti jawaban, nenek itu melangkah cepat me-ninggalkan mereka yang tentu saja hanya
dapat mengangguk dan tidak berani bertanya.
*
* * *
Malam yang kelam. Hujan rintik - rintik mem-buat hawa dingin sekali. Suasana di kompleks
is-tana amat sunyi menyeramkan. Bukan hanya karena kelamnya malam gelap - gulita, melainkan
teruta-ma sekali dengan adanya cerita tentang tamu yang misterius maka suasana menjadi
nampak sunyi dan menyeramkan. Para petugas jaga merasakan ini dan mereka memperketat
penjagaan, bersikap was-pada. Namun, makin tegang hati mereka, makin menyeramkanlah
suasananya. Lewatnya seekor kucing di atas genteng saja sudah cukup untuk membuat jantung
berdetak seolah akan pecah dan membuat darah tersirap meninggalkan muka. Lam-pu-lampu teng
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
yang dipasang oleh para hamba istana tidak mampu memberi penerangan yang cukup, bahkan
kabut tipis yang diciptakan oleh hujan rintik - rintik itu membuat lampu - lampu itu nam-pak
seperti cahaya - cahaya yang aneh menyeramkan.
Tiga orang gadis itu bukanlah orang - orang yang lemah. Sama sekali bukan. Pek In dan Ang
In adalah murid- murid kesayangan Siang Houw Nio-nio dan mereka telah memiliki tingkat ilmu
silat yang tinggi, lebih tinggi dari kepandaian Ho Pek Lian. Dan Pek Lian sendiri, biarpun belum
selihai dua orang gadis itu, namun sudah merupakan seorang gadis yang hebat ilmu silatnya, dan
jarang ada orang yang akan mampu menandinginya. Mereka bertiga ini sudah jelas sekali bukan
orang-orang penakut, bahkan tidak pernah merasa takut menghadapi lawan yang bagaimanapun
juga. Akan tetapi, pada malam hari ini, ada rasa ngeri dan takut menyelinap dalam hati masingmasing
dan mereka mencoba untuk menyembuyikannya dengan melalui obrolan yang asyik di
dalam ruangan duduk itu.
Rasa takut bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batin kita. sendiri. Rasa takut
timbul dari permainan pikiran sendiri yang membayangkan hal - hal yang mengerikan. Kalau kita
menghadapi segala sesuatu tanpa bayangan pikiran akan hal-hal yang belum ada ini, maka rasa
takut tidak akan muncul. Umpamanya, kita duduk seorang diri di dalam kamar dalam suasana
yang sunyi. Pikiran kita teringat akan cerita orang tentang adanya setan dalam kamar, tentang hal
- hal yang mengerikan lain, maka pikiran itu lalu membayangkan hal - hal yang tidak ada. Dalam
keadaan seperti itu, suara seekor tikus melanggar sesuatu saja sudah cukup untuk menimbulkan
bayangan dalam pikiran ten-tang munculnya setan yang menakutkan. Timbul-lah rasa takut dan
rasa takut ini membuat orang tidak waspada sehingga ada bayangan sedikit saja lalu bisa
kelihatan seperti setan oleh mata kita yang sudah terselubung rasa takut. Kewaspadaan yang
menyeluruh, perhatian yang menyeluruh ter-hadap apapun yang terjadi di depan kita, akan
meniadakan rasa takut itu.
Tiga orang gadis itu, dalam keadaan diliputi rasa ngeri dan takut akan kemungkinan
munculnya hal - hal yang tidak mereka inginkan, terutama sekali munculnya dua bayangan yang
dihebohkan itu, dan juga adanya bekas - bekas orang bersem-bahyang di dalam ruangan
penyimpanan abu lelu-hur, mencoba untuk melarikan diri dari rasa takut dengan jalan mengobrol.
Mereka saling mencerita-kan pengalaman dan riwayat masing - masing dan dalam kesempatan itu,
mereka merasa menjadi se-maian akrab satu sama lain.
"Aih, ternyata engkau mempunyai banyak guru yang sudah amat terkenal di dunia kangouw.
Mula-mula Huang-ho Su-hiap, empat orang pendekar Huang-ho yang terkenal itu menjadi
guru - gurumu, kemudian engkau digembleng pula oleh Liu-taihiap yang terkenal itu. Pantas saja
engkau lihai sekali, adik Lian," kata Ang In me-muji.
"Ah, jangan terlalu memuji, enci Ang. Biarpun aku mempunyai lima orang guru, akan tetapi
diban-dingkan dengan engkau atau enci Pek yang hanya mempunyai seorang guru saja, aku
masih belum ada setengahmu! Aku masih harus banyak bela-jar dari kalian !"
"Hemm, sesungguhnya tidak demikian, adik Lian. Ilmu silatmu sudah cukup hebat, hanya
agak-nya engkau masih kurang dalam latihan. Ilmu-ilmu-mu itu belum dapat kaukuasai dengan
matang. Kalau sudah matang, tentu aku bukan lawanmu karena engkau mempunyai ilmu yang
lebih leng-kap dan banyak ragamnya. Kalau engkau bisa merangkai semua itu, tentu engkau benar
- benar akan tangguh sekali," bantah pula Ang In.
Selagi Pek Lian hendak membantah untuk merendahkan
diri, tiba-tiba Pek In memandang kepada
mereka dengan mata terbelalak dan nona ini
menaruh telunjuk di depan mulut sambil mendesis
lirih, "Ssshhhhh !" Ang In dan Pek Lian melihat perobahan muka yang menjadi
tegang itu,
dan mereka berdua menjadi waspada. Melihat betapa
cuping hidung Pek In berkembang - kempis,
merekapun menggerakkan cuping hidung menciumcium
dan barulah mereka dapat menangkap bau yang agak harum itu. Dan mereka merasa
betapa bulu tengkuk mereka meremang, leher terasa dingin karena serem. Itu adalah bau asap
dupa hio ! Mereka bertiga saling pandang. Mereka lalu bangkit dan atas isyarat Pek In, ketiganya
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
lalu berganti pakaian ringkas. Dengan hati tegang mereka mengadakan persiapan, kemudian
dengan hati-hati sekali, mengerahkan ginkang agar jangan sam-pai langkah kaki mereka bersuara,
dipimpin oleh Pek In, ketiganya lalu keluar dari situ dan menuju ke belakang, ke arah datangnya
bau asap hio itu yang datang dari arah belakang, dari ruangan sem-bahyang tempat penyimpanan
abu leluhur!
Mereka bergerak sigap dan seluruh urat syaraf meneka menegang. Jantung mereka
berdebar pe-nuh ketegangrn ketika, mereka berindap - indap menuju ke ruangan sembahyang itu.
Makin dekat dengan ruangan itu, bau dupa semakin keras me-nusuk hidung. Betapa beraninya
orang itu, pikir mereka. Membakar hio di rumah orang sedemikian menyoloknya, seolah - olah
tidak memperdulikan penghuni rumah dan tidak takut dipergoki. Akan tetapi, bulu tengkuk mereka
meremang kalau mereka teringat akan kata-kata Pek-lui-kong siang tadi. Jika benar dugaan si
cebol itu yang mengata-kan bahwa orang yang berkeliaran di komplek istana pada beberapa hari
yang lalu adalah Si Raja Kelelawar, maka mungkin sekali orang yang membakar hio dalam mangan
itu adalah si Iblis itu sen-diri ! Jika hal ini benar, maka amatlah berbahaya untuk didekati. Iblis itu
kabarnya memiliki kepan-daian yang amat hebat dan apa yang mereka saksi-kan ketika iblis itu
berkelahi dengan Siang Houw Nio-nio sudah cukup membuat mereka jerih. Mereka maklum bahwa
kalau yang membakar hio adalah Raja Kelelawar, maka mereka bertiga bu-kanlah tandingan iblis
itu dan menyerbu masuk sama saja dengan membunuh diri atau mati konyol. Oleh karena itu
setelah tiba di luar ruangan yang pintunya tertutup itu, mereka berhenti dan saling pandang
dengan ragu - ragu.
"Kita pukul saja tanda bahaya?" bisik Ang In kepada kakaknya.
Pek In menggeleng kepalanya. "Jangan dulu," bisiknya kembali. "Kita masih belum yakin.
Kalau benar musuh, memang baik sekali memukul tanda bahaya. Bagimana kalau bukan ?
Bagaimana kalau dia sudah pergi ? Berarti menggegerkan is-tana dengan sia-sia dan tentu Kim - i
- ciangkun akan marah-marah kepada kita. Kita tunggu se-bentar."
Tiba-tiba mereka bertiga terkejut dan cepat menyelinap dan bersembunyi di balik tiang besar
sambil mengintai ke depan. Daun pintu ruangan sembahyang itu terbuka perlahan dari dalam ! Keadaan
menjadi semakin menyeramkan. Mereka bertiga memasang mata, memandang tanpa
berkedip.
Daun pintu terbuka perlahan-lahan dan di antara keremangan sinar lilin, mereka melihat dua
sosok tubuh yang tinggi kurus, mengenakan pakaian ringkas serba hitam. Wajah mereka itu
ditutupi kain hitam dari kepala sampai ke leher dan hanya sepasang mata mereka saja yang
nampak bersinar-sinar seperti bintang kecil. Dari bentuk tubuh mereka, tiga orang gadis yang
mengintai itu dapat menduga bahwa seorang di antaranya tentulah wanita. Ho Pek Lian
memandang dengan penuh perhatian dari tempat persembunyiannya.
Yang pria mungkin si iblis Raja Kelelawar, pikirnya. Badannya juga jangkung kurus,
pakaiannya hitam-hitam, sepasang matanya mencorong. Dan wanita itu, matanya begitu jeli,
bukankah itu Si Maling Cantik ? Akan tetapi kalau memang benar mereka itu adalah Raja
Kelelawar dan Maling Cantik, mengapa mereka harus memakai kedok kain ?
Dua orang yang berada di dalam ruangan sembahyang itu setelah membuka daun pintu
perlahan-lahan, dengan mata mereka yang mencorong itu memandang keluar ruangan, ke kanan
kiri, kemudian agaknya mereka hendak melanjutkan kesibukan mereka di dalam kamar itu, dan
siap untuk meninggalkan ruangan yang sudah mereka buka pintunya.
Sementara itu, Pek In berbisik kepada dua orang kawannya, "Ang - moi, cepat kaupukul
tanda ba-haya sedangkan aku dan Lian - moi akan menyerbu mereka dan menghadang mereka
agar tidak mela-rikan diri. Siap ? Hayo, Lian - moi!"
Mereka bertiga berpencar sambil menyelinap ke tempat gelap. Ang In cepat menuju ke
sudut di mana tergantung kentungan alat untuk dipukul ka-lau ada bahaya, sedangkan Pek In dan
Pek Lian su-dah berindap menghampiri jendela ruangan yang berada di depan kamar sembahyang
itu. Mereka berdua menanti dan begitu terdengar suara ken-tungan dipukul bertalu-talu dengan
gencarnya, merekapun menerjang ke depan !
Mendengar suara kentungan tanda bahaya ini dua orang yang berada di dalam kamar
sembah-yang terkejut dan menengok. Padi saat itu, Pek Lian sudah meloncat masuk sambil
membentak nyaring, "Maling - maling hina jangan lari !"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Hampir berbareng, Pek In juga muncul dan menyerbu dari pintu yang terbuka. Akan tetapi
ha-nya sejenak saja dua orang aneh itu kelihatan ter-kejut.
"Mari... !" Terdengar yang pria menggumam dan keduanya melesat dengan amat ceratnya
ke arah pintu. Pek In memapaki dengan pukulannya, akan tetapi dengan mudahnya dua orang itu
menghindar dengan gerakan tubuh yang amat cepat, dan sekali meloncat mereka telah dapat
melewati Pek In dan terus melesat keluar dari dalam ruangan itu melalui pntu. Pek Lian sendiri
tidak sempat menyerang. Dua orang itu meloncat naik ke atas tembok dan ketika mereka
mengayun tangan, semua lampu teng di sekitar tempat itu padam dan kea-daan menjadi gelap
sekali.
"Kejar !" Pek In berseru dan bersama Pek Lian ia mengejar. Akan tetapi karena di luar
amat gelap, mereka hampir kehilangan bayangan dua orang itu.
Akan tetapi, pukulan tanda bahaya yang dibunyikan oleh Ang In itu mengakibatkan
datangnya banyak sekali pengawal dan penjaga. Derap kaki mereka terdengar dari semua
penjuru, dan hal ini agaknya membuat dua orang itu menjadi bingung juga. Sebaliknya, Pek In
dan Pek Lian merasa lega dan terus mengejar ke depan dan melihat dua orang itu sedang berdiri
bingung di serambi depan taman bunga. Dua orang gadis ini segera menya-rang dan
menggunakan pedang mereka. Pek In menyerang maling pria dan Pek Lian menerjang maling
wanita. Akan tetapi dua orang itu sungguh lihai bukan main. Hanya dengan gerakan langkah kaki
dan kadang - kadang mengibaskan tangan, mereka mampu menghadapi serangan pedang itu dan
jelaslah bahwa Pek In maupun Pek Lian bukan tandingan mereka. Ketika mereka membalas dengan
serangan tamparan tangan dan tendangan kaki, Pek In dan Pek Lian terdesak mundur. Untung
bagi mereka bahwa pada saat itu, Ang In datang bersama para pengawal yang segera terjun
dan mengeroyok. Melihat ini, dua orang maling itu berloncatan jauh dan melarikan diri. Tak lama
kemudian keduanya sudah berada di atas genteng-genteng wuwungan kompleks istana dan
melarikan diri, dikejar oleh tiga orang gadis itu bersama para perwira pengawal yang memiliki
kepandaian cukup tinggi untuk dapat mengejar sambil berlompatan di atas wuwungan rumah.
Karena datangnya banyak pengejar dari semua jurusan, dua orang yang gerakannya cepat
seperti iblis itu kadang-kadang harus melawan pengero-yokan para pengejar, melarikan diri lagi,
dikeroyok lagi dan terjadilah kejar - kejaran yang amat ramai di kompleks istana, di bawah
cucuran hujan rintik-rintik. Banyaknya pengawal yang menghadang di sana-sini membuat dua
orang maling itu kebi-ngungan. Mereka berputaran di seluruh kompleks dan agaknya malah
kehilangan jalan. Memang ja-lan keluar telah dijaga ketat oleh para pengawal sehingga dua orang
mal'ng itu hanya mampu ber-lari—larian di sekitar bangunan-bangunan kom-pleks istana yang luas
itu dan tanpa mereka sadari mereka beberapa kali kembali ke tempat semula. Dari tingkah mereka
ini saja mudah diketahui bah-wa dua orang maling itu masih belum mengenal benar keadaan di
kompleks istana.
Padi saat itu muncullah Kim - i - ciangkun, komandan dari pasukan Kim-i-wi. Melihat bahwa
para anak buahnya yang membantu tiga orang nona itu mengeroyok dua orang berpakaian hitam
dan berkedok kain, Kim - i - ciangkun menjadi marah. Dengan suara gerengan seperti seekor
harimau marah dia menerjang ke depan, begitu maju dia telah mengeluarkan ilmunya yang ganas,
yaitu Hwi-ciang (Tapak Tangan Api) memukul ke arah maling yang bertubuh ramping. Iblis betina
yang berke-dok ini agaknya memandang rendah kepada lawan, dengan mengandalkan kecepatan
tubuhnya dan kekuatan tangannya iapun menangkis.
"Desss ! Aihhh !" Jeritan suara wanita
membuka rahasianya sehingga semua orang
tahu bahwa maling ke dua bertabuh ramping ini
benar-benar seorang wanita. Wanita itu meloncat
ke belakang dan matanya terbelalak memandang ke
arah lengan baju kirinya yang terbakar hangus!
Untung bahwa ia telah memiliki tenaga sinkang
yang amat kuat sehingga pukulan ampuh itu tidak
melukai kulitnya dan gerakannya yang cepat meloncat
ke belakang tadi telah menyelamatkannya.
Diam-diam Kim - i - ciangkun juga terkejut, tidak
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mengira bahwa wanita itu benar-benar mampu
menangkis pukulan saktinya, maka diapun menyerang
terus. Akan tetapi wanita itupun agaknya marah
karena lengan bajunya hangus. Ia menangkis,
mengelak dan balas meyerang. Kecepatan gerakannya
membuat Kim - i - ciangkun kewalahan dan
sebuah tendangan kilat mengenai pahanya, membuat
Kim - i - ciangkun terpelanting. Akan tetapi
para pengawal menerjang dan mengeroyok. Melihat betapa banyaknya pihak pengeroyok,
maling pria berseru kepada temannya, "Lari ...... !" Dan merekapun lari lagi, dikejar oleh banyak
sekali penga-wal. Bahkan kini nampak pula pengawal Gin-i-wi yang berpakaian perak datang
membantu dari luar.
Karena dikepung makin rapat, kedua orang ma-ling itu semakin bingung. Ke manapun
mereka lari, tentu ada pasukan yang menghadang. Akhirnya, tanpa disengaja mereka lari sampai
ke kuil agung istana. Melihat bangunan kuil ini, dua orang itu lari ke sana. Akan tetapi setibanya di
depan kuil yang megah itu, kembali mereka telah dikepung rapat oleh para pengawal yang sudah
ada pula yang berjaga di tempat itu. Segera terjadi penge-royokan lagi. Biarpun ada beberapa
orang penga-wal dan pengeroyok yang roboh terluka, namun dua orang itu dikepung terus sampai
tiga orang ga-dis lihai dan juga Kim - i - ciangkun datang pula di tempat itu.
"Sungguh aneh, kenapa iblis itu tidak segesit
dahulu ?" kata Pek Lian kepada dua orang temannya.
"Bukankah dahulu gerakannya luar biasa cepatnya
seperti pandai menghilang saja? Biarpun
sekarang gerakannya juga cepat bukan main akan
tetapi rasanya tidak sehebat dahulu "
"Mungkin karena dia harus melindungi teman pei'empuannya itulah," jawab Pek In yang
segera mengajak dua orang temannya untuk membantu para pengeroyok karena memang dua
orang iblis itu luar biasa sekali. Pengeroyoknya amat banyak, dipimpin oleh Kirn - i - ciangkun
yang tangguh. Semua pengawal adalah perajurit - perajurit pilihan karena untuk dapat diterima
menjadi anggauta pasukan pengawal istimewa ini orang harus melalui ujian berat. Maka mereka
itu rata - rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Biarpun demikian, agaknya mereka itu
menghadapi kesulitan untuk dapat merobohkan atau menangkap dua orang iblis itu. Bahkan
banyak sudah anggauta pengawal yang roboh terluka oleh pengamukan mereka berdua.
Hebatnya, dua orang maling itu tidak pernah menggunakan pedang mereka yang tergantung di
punggung. Ini saja menunjukkan bahwa selain mereka tidak ingin membunuh para pengeroyok,
juga menjadi tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah memiliki ilmu silat tinggi
sehing-ga merasa tidak perlu lagi dibantu oleh senjata dalam menghadapi lawan.
Selagi para pengawal itu dengan ramainya me-lakukan pengeroyokan, tiba - tiba terdengar
bentak-an melengking nyaring dan muncullah Pek-lui-kong Tong Ciak ! Melihat munculnya tokoh
ini, tentu saja para pengawal bersorak girang. Kalau jagoan ini yang turun tangan, tentu dua
orang ma-ling itu akan dapat ditangkap atau dirobohkan. Juga Kim - i - ciangkun merasa girang
sekali melihat munculnya atasan ini. Sebaliknya, Pek Lian dan dua orang tokoh wanita bertusuk
konde kemala itu mundur dan hanya menonton karena mereka sudah mulai meragukan bahwa
orang berkedok itu adalah Si Raja Kelelawar. Pula, kalau yang maju adalah orang seperti Pek - lui
- kong, tentu amat tidak enak bagi jagoan itu kalau dibantu. Biasanya, seorang tokoh besar yang
sudah menjadi jagoan, tidak sudi dan merasa malu untuk melakukan pengeroyokan.
Pengeroyokan itu terjadi di serambi depan, di bawah pagoda kuil yang bertingkat enam.
Melihat betapa para anak buahnya ternyata t'dak mampu menundukkan dua orang maling itu, Pek
- lui - kong Tong Ciak menjadi marah. Sambil membentak dia lalu menerjang ke depan dan
menggerakkan tangan kanannya menampar. Melihat ini, wanita dalam kedok itu menangkis dan
seperti tadi, perbuatannya ini sungguh ceroboh. Ia tidak tahu dengan siapa ia berhadapan dan
dengan ceroboh ia berani meng-adu tenaga begitu saja ! Padahal, pukulan Pek - lui-kong Tong
Ciak ini sama sekali tidak dapat disama-kan dengan pukulan api dari Kim - i - ciangkun tadi.
"Dessss ahhhh !!" Tubuh wanita itu terlemKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
par ke udara! Demikian hebatnya tenaga yang
terkandung dalam pukulan Pek - lui - kong sehingga
ketika wanita itu menangkis mengadu tenaga, tubuhnya
terlampar keras. Tubuh itu meluncur ke
arah pagoda dan terjadilah hal yang mengagumkan sekali. Kiranya wanita itu juga memiliki
sinkang yang amat hebat sehingga biarpun tubuhnya men-celat ke atas, namun agaknya ia tidak
terluka. Ma-lah dengan ginkang yang luar biasa indahnya, ia berjungkir balik dan dapat dengan
tenangnya turun dan hinggap di lantai dari tingkat ke dua pagoda itu ! Semua orang memandang
kagum.
Ketika tubuhnya terlempar ke atas tadi, teman-nya terkejut dan dengan ringannya tubuhnya
juga melayang ke atas menyusul kawannya. Melihat ini, Kim - i - ciangkun yang sudah
mempersiapkan pasukan panah segera memberi isyarat dan melun-curlah belasan batang anak
panah ke arah tubuh ma-ling yang melayang ke atas itu. Akan tetapi, kem-bali terjadi hal yang
amat mengagumkan ketika iblis atau maling itu berjungkir balik dan dengan mudahnya
menggerakkan kaki tangan memukul dan menendang runtuh semua anak panah yang melun-cur
ke arah tubuhnya. Semua ini dilakukan selagi tubuhnya berada di tengah udara. Kemudian tubuh
itu meluncur turun ke lantai tingkat dua, di dekat temannya. Melihat ini, Pek - lui - kong
mengeluar-kan dengus mengejek dan diapun bersama Kim - i-ciangkun meloncat ke atas loteng
tingkat dua. Pa-ra perajurit pengawal berlari-larian melalui tang-ga. Merekapun hanya ingin
menambah semangat saja karena setelah si cebol sendiri yang maju, mereka tidak berani
mengganggu dengan pengeroyokan mereka. Hanya pasukan anak panah saja yang masih siap di
luar dan di bawah menara, meman-dang ke atas di mana dua orang iblis itu kini ber-tanding
dengan amat serunya melawan Pek - lui-kong dan Kim - i - ciangkun.
Pek Lian, Pek In dan Ang In menonton di ba-wah. Mereka merasa terheran - heran melihat
be-tapa iblis yang mereka sangka Si Raja Kelelawar itu ternyata nampak terdesak oleh Pek-luikong
setelah mereka berkelahi belasan jurus lamanya. Sebaliknya, maling wanita itu bertempur
dengan seru dan nampaknya seimbang dengan Kim - i-ciangkun. Pek - lui - kong dan Kim - i -
ciangkun bernapsu sekali untuk mengalahkan dua maling itu, maka merekapun sudah
mengerahkan seluruh te-naga dan kemampuan, mendesak dua orang lawan yang hanya
melakukan perlawanan dengan sikap ragu - ragu itu. Karena terdesak dan tersudut, akhir-nya iblis
itu kembali menjejakkan kakinya dan tu-buhnya sudah melayang ke atas, ke arah loteng tingkat
tiga. Memang tidak ada lain jalan baginya. Ketika dia sudah tersudut ke pinggir loteng, hanya ada
dua pilihan, yaitu meloncat ke bawah lagi atau meloncat ke atas. Di bawah sudah menanti ratusan
pengawal yang siap dengan anak panah dan yang sudah mengepung pagoda kuil itu. Maka diapun
meloncat ke atas dan melihat ini, temannya si ma-ling wamta juga mempergunakan ginkangnya
yang hebat untuk menyusul dengan loncatan ke atas.
Melihat betapa dua orang lawannya berloncatan ke atas, tentu saja Pek-lui-kong yang sudah
merasa "menang angin" itu tidak mau melepaskannya dan diapun meloncat ke atas, mengejar,
diikuti oleh Kim-i-ciangkun yang berbesar hati karena adanya Pek-lui-kong di sampingnya.
Kini terjadi kejar-kejaran dan juga perkelahian sengit di tingkat tiga. Agaknya dua orang
maling itu hendak mengandalkan ginkang mereka karena mereka hanya sebentar saja
menghadapi lawan lalu cepat berloncatan lagi ke tingkat yang lebih tinggi. Dua orang jagoan
istana itu terus mengejar dan terjadilah perkelahian seru di atas leteng ke empat. Semua orang
yang menonton di bawah dapat meng-ikuti semua kejar - kejaran dan perkelahian itu de-ngan
jelas. Para anggauta pasukan bersorak - sorak menjagoi komandan mereka.
Kini Pek Lian dan dua orang temannya dapat melihat bahwa Pek - lui - kong benar - benar
dapat mendesak si iblis pria dengan pukulan - pukulan saktinya ! Iblis itu nampak kewalahan
sekali. Akan tetapi, sebaliknya, Kim - i - ciangkun juga nampak terdesak oleh iblis wanita itu.
Terutama sekali karena dia kalah cepat dalam bergerak, dan kalah panjang napasnya membuat
panglima ini terdesak dan napasnya mulai terengah - engah. Melihat ini, para perajurit yang di
bawah dan tidak dapat mem-bantu itu lalu melepas anak panah ke atas. Mereka tahu bahwa
dengan pakaian pengawalnya, ko-mandan mereka tidak akan terlukai oleh anak panah.
Kembali terjadi keheranan dalam hati Pek Lian.
Ia tahu bahwa iblis Si Raja Kelelawar memiliki juKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
bah yang dapat menahan segala macarn senjata
tajam. Akan tetapi iblis ini agaknya tidak berani
mengandalkan jubahnya, atau dia tidak memakai
jubah pusakanya itu. Iblis itu dan teman wanita
nya harus mengelak ke sana - sini dan menjadi kewalahan
ketika dihujani anak panah dari bawah,
maka mereka berdua lalu meloncat lagi ke tingkat
lima. Di sini anak panah tidak lagi dapat mencapai
mereka karena terhalang langkau melintang di tepinya.
Pek - lui - kong dan Kim - i - ciangkun terus
mengejar. Terjadilah perkelahian yang lebih hebat
di tingkat lima.
Agaknya si maling wanita itu menjadi marah karena terdesak dam tersudut. Ia
mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya melesat dengan luar biasa cepatnya menyambut
Kim - i - ciangkun yaag sudah mengejar ke tingkat lima. Komandan itu maklum bahwa lawannya
melakukan serangan yang berbahaya, maka diapun cepat mengerahkan tenaga untuk menangkis.
Akan tetapi, agaknya dia kurang cepat dan tahu-tahu sebuah pukulan telah mengenai pundak
kirinya.
"Dess !" Kim - i - ciangkun mengeluh dan terpelanting, roboh dan ketika dia hendak
bangkit lagi, dia menyeringai karena pundaknya terasa nye-ri sampai ke dada, bahkan lengan
kirinya tidak dapat digerakkan, amat nyeri rasanya kalau digerak-kan ! Tentu saja dia menjadi
terkejut dan maklum bahwa dia tidak mungkin dapat maju untuk ber-tanding lagi.
Sementara itu, melihat pembantunya roboh, Pek-lui-kong menjadi marah dan sepak
terjangnya menjadi semakin hebat. Dia kini dikeroyok dua oleh lawannya. Akan tetapi, dia tidak
merasa gen-tar, bahkan kini mengeluarkan ilmunya yang amat diandalkan, yaitu tenaga pukulan
Pusaran pasir Maut. Begitu dia melancarkan pukulan ini, angin puyuh bertiup dan hawa dingin
terasa melanda tubuh kedua orang lawannya! Seketika butiran-bu-tiran keringat dan air hujan
yang membasahi tubuh kedua lawan itu menjadi beku ! Keduanya meng-gigil kedinginan dan
menjadi gelagapan. Cepat mereka mengerahkan sinkang untuk memunahkan pengaruh luar biasa
dari pukulan Pusaran Pasir Maut itu. Si cebol mengeluarkan suara ketawa me-nyeramkan.
"Hayo, keluarkan ilmu - ilmu andalanmu yang terkenal itu !" bentaknya kepada iblis yang
tinggi dan yang disangkanya Raja Kelelawar itu. "Sudah kutunggu sejak tadi. Kenapa tidak
kaukeluarkan ilmu - ilmumu ? Orang bilang, ginkangmu tidak ada keduanya di dunia ini, tidak
tahunya Cuma sebegitu saja!" Kembali si cebol tertawa menge-jek. Kemudian dia memasang kuda
- kuda dengan tubuh yang sudah cebol itu direndahkan, kedua tangannya bergerak cepat sekali di
selatar tubuh-nya, makin lama makin cepat.
"Hayo, majulah !" bentaknya dan kini dua le-ngannya sudah sukar diikuti pandang mata,
biar oleh seorang ahli silat tinggi sekalipun. Seolah-olah kedua lengan itu kini nampak menjadi
ratusan atau ribuan banyaknya, membentuk bayang bayang dan sukar dilihat dengan nyata yang
manakah le-ngan aselinya dan di mana adanya kedua lengan itu di satu saat. Itulah ilmu sakti
yang luar biasa, Ilmu Silat Soa - hu - lian (Teratai Danau Pasir)!
Iblis itu nampak terkejut, sepasang matanya ter-belalak, nampak jerih dan putus asa.
"Koko , awas !" Maling wanita memperingatkan
dengan suara halus. Mereka berdua
cepat bersatu untuk menghadapi si cebol yang
benar - benar amat menggiriskan ilmunya. Biarpun
dikeroyok dua, namun tetap saja dia mampu mendesak
lawan. Kedua tangan yang berobah menjadi
banyak sekali saking cepat gerakannya itu, mengeluarkan
angin berputar menyambar - nyambar dan
membawa hawa dingin. Butir-butiran air hujan yang
jatuh di sekitar tempat itu, terkena sambaran angin
dingin ini menjadi beku dan berjatuhan mengeluarkan
bunyi seperti batu!
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Ho Pek Lian, Pek In dan Ang In juga sudah tiba di tingkat ke lima itu. Mereka berloncatan
dan kini menonton pertandingan hebat itu dari jarak yang agak jauh. Biarpun demikian, mereka
masih merasa betapa hawa dingin melanda tubuh mere-ka, terdorong oleh angin pukulan si cebol,
membu-at mereka mengg:gil.
Sepasang iblis itu telah terdesak hebat. Mere-ka tidak dapat lari lagi. Terpaksa melawan dari
pada mati konyol. Akan tetapi, gerakan si cebol benar - benar membuat mereka bingung. Ketika
Pek - lui - kong mengeluarkan bentakan nyaring dan kedua tangannya bergerak cepat, sepasang
ma-ling itu menangkis dan akibatnya hebat sekali. Kedok yang dipakai oleh maling pria itu terenggut
lepas, sedangkan maling wanita yang terkena sambaran tangan pada pundaknya itu, menjerit
dan tubuhnya terlempar jauh ke atas, ke tingkat paling atas !
Pada saat itu, dari tingkat paling atas terdengar suara halus menegur, "Siapa berkelahi di
bawah ?" Dan muncullah seorang kakek pendeta ke serambi tingkat teratas itu. Ketika dia melihat
sesosok tu-buh terlempar dari bawah, cepat dia mengulurkan tangan dan menangkap dengan
mencengkeram punggung baju tubuh itu. Dan ket;ka dia melihat bahwa wanita yang berpakaian
hitam itu terluka parah, dia lalu merebahkannya di atas lantai.
Pada saat itu berkelebat bayangan hitam dan ternyata maling pria tadi, yang terhindar dari
pukulan akan tetapi kedoknya copot itu, telah melon-cat dan menyusul maling wanita yang
terpukul dan terlempar ke atas. Tak lama kemudian, si ce-bol juga sudah meloncat ke atas dan
melihat beta-pa lawannya berjongkok menghampiri dan meme-riksa tubuh kawannya yang
terluka, Pek - lui - kong sudah melangkah maju untuk melakukan pukulan maut pula.
Pada saat itu, terdengarlah teriakan Ho Pek Lian, "Tahan!! Dia bukan Raja Kelelawar!!"
"Ehhh ??" Tentu saja Pek-lui-kong menjadi terkejut, juga, kecewa karena tadinya dia
sudah merasa girang dan bangga bahwa dia mampu menandingi bahkan mendesak dan nyaris
merobohkan iblis yang dikenal dengan nama si Raja Kelelawar itu! Akan tetapi, kini puteri Menteri
Ho itu mengatakan bahwa orang itu bukanlah si Raja Kelelawar! Tentu saja dia terkejut dan
kecewa. Dia menengok dan melihat bahwa Ho Pek Lian,
Pek In dan Ang In juga sudah tiba di tempat itu.
Sementara itu, iblis yang sedang berjongkok memeriksa kawannya yang terluka, terkejut
meli-hat si cebol telah mengejarnya, maka diapun me-loncat dan siap menghadapi serbuan lawan
yang amat tangguh itu. Pada saat itu, ada suara gemu-ruh angin pukulan melanda dirinya, dari
samping.
Karena dia tadi memperhatikan ke arah si cebol, dia tidak tahu bahwa di sampingnya ada
seorang lawan lain, maka kini diapun cepat mengangkat tangannya menangkis.
"Bresss !" Maling itu terdorong ke belakang
oleh tenaga yang amat hebat. Celaka, pikirnya.
Ada seorang lagi yang memiliki ilmu sedemikian
hebatnya. Kesempatan untuk meloloskan diri
bersama kawannya sungguh menjadi semakin tipis
lagi. Cepat dia mengangkat muka memandang
dan ternyata orang yang melepaskan pukulan sakti
yang amat hebat itu adalah seorang nenek!
Memang, sesungguhnya penyerang itu adalah Siang Houw Nio - nio yang juga baru keluar
dari ruangan dalam di tingkat tertinggi, bersama de-ngan kakek pendeta itu. Nenek ini memang
sedang berada di situ, dan melihat ada orang berpakaian hitam yang dikejar oleh si cebol, iapun
sudah dapat menduga bahwa tentu dua orang berpakaian hitam itulah yang dikabarkan menjadi
pengacau yang sering muncul di kompleks istana, maka iapun segera mengirim pukulan tadi.
"Adikku sabar dulu jangan sembarangan turun tangan !" Pendeta tua yang bukan lain
adalah Bu Hong Sengjin itu berkata halus. Pendeta itu sedang memeriksa maling wanita yang
terluka.
Ketika Pek Lian tadi melihat maling pria yang terenggut kedoknya, segera ia dapat mengenal
pria muda yang tampan itu. Maka iapun cepat menge-jar ke atas dan kini ia menghampiri maling
pria yang ternyata merupakan seorang pemuda tam-pan yang jangkung, usianya duapuluh tahun
lebih.
"Bu - taihiap ......!" serunya.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Pemuda itu memang Bu Seng Kun, yang di-kenal oleh Pek Lian sebagai putera Bu Kek Siang
keturunan murid Sin-yok-ong si Tabib Sakti itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari kisah
ini, setelah Bu Kek Siang tewas, "barulah Bu Seng Kun dan adiknya, Bu Bwee Hong, mengetahui
dari surat peninggalan kakek itu bahwa mere-ka sesungguhnya bukan putera dan puteri Bu
Kek Siang, melainkan cucu keponakan pendekar itu. Ayah kandung mereka adalah seorang
pangeran yang bernama Pangeran Chu Sin yang ditawan oleh pasukan pemerintah, sedangkan ibu
mereka yang She Bu, keponakan dari Bu Kek Siang, telah tewas. Jadi, mereka itu adalah Chu Seng
Kun dan Chu Bwee Hong dan mereka berdua meninggalkan tem-pat tinggal mereka untuk pergi
mencari ayah mereka yang lenyap setelah ditawan oleh pasukan pemerintah!
Melihat Pek Lian, pemuda itu segera mengenal-nya. "Ah, kiranya Ho - siocia berada di sini ?"
Dia memberi hormat dan menoleh ke arah maling wa-nita yang rebah terluka. "Dan dia adalah
adikku."
Lalu dengan sedih dia mendekati adiknya, menge-luarkan sebutir pel dan berkata, "Kau
cepat telan pel ini."
Dibukanya topeng adiknya dan dimasukkannya pel itu ke mulut adiknya. Semua orang
terkejut dan kagum. Kiranya yang bersembunyi di balik kedok hitam itu adalah wajah yang luar
biasa can-tiknya !
"Enci Hong !" Pek Lian cepat berlutut dan memegang tangan dara cantik yang sudah
dikenalnya dengan baik itu.
Gadis yang terluka itu setelah menelan pel dari kakaknya, dapat bernapas agak longgar dan
iapun tersenyum melihat Pek Lian.
"Anak nakal, engkau di sini dan ikut mengeroyok kami pula ?" katanya dan senyumnya
membuat semua orang seolah-olah melihat bulan bersinar penuh, demikian manis dan
cemerlangnya wajah itu.
"Ah, enci, mana aku tahu bahwa Bu-taihiap dan engkau ? Kenapa ...... ah, kenapa ?"
tanya Pek Lian yang tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu, Siang Houw Nionio
sudah bertanya kepadanya,
"Nona Ho, siapakah sesungguhnya mereka ini ?" "Locianpwe, mereka ini adalah kakak
beradik she Bu, yaitu Bu Seng Kun dan Bu Bwee Hong. Mereka ini adalah keturunan dan ahli waris
dari Sin - yok - ong, putera dan puteri dari mendiang pendekar besar Bu Kek Siang cucu murid
Sin-yok-ong locianpwe "
"Hemm !" Tiba-tiba pendeta Bu Hong Sengjin berseru dan diapun memberi isyarat kepada
nenek Siang Houw Nio - nio, lalu berkata, "Mari
kita semua bicara di dalam. Ternyata dua orang
muda ini adalah orang - orang sendiri. Dan nona
ini perlu istirahat dari lukanya "
Yang ikut masuk adalah selain kakek pendeta itu sendiri, Siang Houw Nio-nio dan dua orang
muridnya, Pek Lian, kakak beradik she Bu itu, dan Pek-lui-kong Tong Giak. Kim-i-ciangkun lalu
keluar dan memerintahkan semua pasukan untuk mengundurkan diri dan merawat mereka yang
menderita luka dalam perkelahian tadi. Suasana menjadi hening dan tenang kembali setelah tadi
terjadi keributan yang menggegerkan itu.
Biarpun pukulan dari si cebol itu amat hebat, namun berkat sinkangnya yang kuat, Bwee
Hong tidak sampai terancam maut. Apa lagi ia telah menelan pel mujijat dari kakaknya, bahkan
Pek-lui - kong sendiripun lalu memberi obat luka yang khusus untuk melawan bekas pukulannya
kepada gadis itu. Maka nona itu dapat ikut bercakap - ca-kap, walaupun ia harus duduk dengan
punggung diganjal bantal dan kaki dilonjorkan, dijaga oleh kakaknya, dan oleh Pek Lian.
"Nah, sekarang ceritakanlah semua," kata pen-deta tua itu dengan suara halus. "Kalau kalian
be-nar putera dan puteri dari pendekar Bu Kek Siang, lalu mengapa kalian datang ke sini seperti
dua orang maling ? Ceritakan sejujurnya, karena hanya itulah yang akan menerangkan duduknya
perkara dan akan dapat membebaskan kalian dari kecuri-gaan dan hukuman."
Kakak beradik itu saling pandang, kemudian Bu Seng Kun bercerita dengan singkat namun
jelas, "Kami berdua mengunjungi kompleks istana seperti dua orang pencuri, sesungguhnya bukan
dengan iktikad buruk. Kami sedang melakukan penyelidik-an untuk mencari seseorang yang
dahulu pernah tinggal di kompleks istana. Kami tidak tahu apakah dia masih hidup, akan tetapi
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kami tahu bahwa dia pernah menjadi seorang bangsawan di sini. Akhir nya, setelah mencari
selama beberapa hari, kami menemukan istananya dan kami mengunjunginya, tentu saja dengan
diam - diam karena tak mungkin kami dapat berkunjung dengan terang-terangan..."
Siang Houw Nio - nio yang sejak tadi meman-dang tajam penuh perhatian, merasa berhak
untuk bertanya karena yang dikunjungi kedua orang muda ini adalah rumahnya yang diberikan
kepada dua orang muridnya. "Siapakah bangsawan yang kalian cari itu ?"
"Dia seorang pangeran, namanya Chu Sin"
Kalau nenek Siang Houw Nio-nio dan kakek Bu Hong Sengjin terkejut, maka mereka tidak
memperlihatkan perasaan ini pada wajah mereka yang tetap tenang saja itu. Bahkan, nenek Siang
Houw Nio-nio lalu bertanya cepat, "Lalu mengapa kali-an mendatangi gedung itu, memasuki
ruangan penyimpan abu leluhur dan bersembahyang di sana ?"
"Kami hendak bersembahyang kepada arwah leluhur dari Pangeran Chu Sin"
Pek Lian, Pek in, Ang In dan juga Pek - lui - kong Tong Ciak mendengarkan dengan heran
karena mereka tidak tahu siapa yang dimaksudkan dengan Pangeran Chu Sin itu. Akan tetapi, kini
kakek Bu Hong Sengjin bertanya, dan suaranya agak gemetar,
"Mengapa kalian menyembahyangi leluhur Pangeran Chu Sin?"
Kembali kakak beradik itu saling pandang, lalu
Seng Kun menarik napas panjang. Tidak ada jalan
lain untuk menyatakan bahwa mereka tidak bermaksud
buruk, yaitu hanya dengan membuka rahasia
mereka. "Beliau adalah ayah kandung kami,
maka leluhur beliau berarti leluhur kami,pula "
Sebelum nenek Siang Houw Nio - nio yang ter-kejut sekali itu sempat bicara dan hanya
meman-dang kepada kakak sepupunya dengan melongo, kakek pendeta itu sudah bertanya lagi,
"Bagaima-na baru sekarang kalian datang mencari ayah kan-dung kalian di sini ?"
"Kami mendengar akan rahasia tentang ayah kandung kami itu baru saja setelah ayah... eh,
setelah paman kakek kami Bu Kek Siang meninggal, melalui surat wasiat peninggalannya. Kakek
Bu suami isteri meninggal dunia dan begitu kami ta-hu akan riwayat ayah kandung kami, lalu kami
da-tang ke kompleks istana untuk mencarinya."
Pendeta itu menarik napas panjang dan meman-dang kepada dua orang muda itu berganti -
ganti, kemudian dia menunduk dan sungguh mengheran-kan hati semua orang yang hadir kecuali
Siang Houw Nio-nio ketika nampak beberapa butir air mata turun dari sepasang mata itu.
"Seng Kun, Bwee Kong, akulah orangnya yang memberi nama - nama kepada kalian itu
karena akulah Pangeran Chu Sin yang kalian cari - cari."
Seng Kun terperanjat dan memandang kepada
kakek itu dengan mata terbelalak, akan tetapi ia
didahului oleh adiknya yang sudah menjerit, "Ayah
!!" Dan gadis itu sudah turun dari kursi tempat
ia bersandar dan menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki Bu Hong Sengjin. Juga Seng Kun cepat
menjatuhkan diri berlutut. Suasana menjadi sunyi
dan mengharukan sekali, yang terdengar hanya
isak tangis Bwee Hong.
Sambil duduk, kakek itu lalu meraih pundak. Suasana menjadi semakin mengharukan. Akan
tetapi, agaknya kakek itu telah dapat menguasai hatinya dengan mudah.
"Seng Kun, Bwee Hong, kalian adalah anak-anak kandungku. Duduklah dan tenangkan
hatimu, biar aku menceritakan semua riwayat kita agar mereka yang menyaksikan pertemuan
antara kita ini dapat mengerti duduknya perkara. Kurasa hanya bibi kalian Siang Houw Nio - nio
sajalah yang tahu akan rahasiaku ini."
xx—» DARAH PENDEKAR «—xx
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XI
SAMBIL menyusut air mata karena girang dan terharu, dua orang muda itu lalu duduk
kembali dan tentu saja kini pandang mata mereka terhadap kakek pendeta itu berrobah sebagai
pandangan anak terhadap ayahnya. Bu Hong Sengjin lalu bercerita secara singkat. Di waktu
mudanya, dia belajar ilmu silat dan juga ilmu Agama To. Ayahnya, seorang pangeran tua,
menghendaki agar dia menjadi seorang panglima. Akan tetapi, biarpun telah mempelajari ilmu -
ilmu silat tinggi dan mem-buatnya lihai sekali, Pangeran Chu Sin lebih suka memperdalam Agama
To dan lebih suka berkelana di antara rakyat. Apa lagi karena pangeran ini memiliki pandangan
yang berbeda dengan ke-luarga istana. Dia melihat penindasan yang dilaku-kan oleh istana
terhadap rakyat. Dia melihat keme-wahan yang berlimpah - limpah di kalangan istana dan melihat
kesengsaraan yang memilukan di ka-langan rakyat. Hal inilah yang membuat dia eng-gan untuk
menyumbangkkan tenaganya membantu istana. Ayahnya marah sekali dan dia dianggap sebagai
pemberontak atau penentang keluarga istana. Kemudian ayahnya minta bantuan pasukan dan
para pembesar untuk mencarinya. Akan tetapi, Pangeran Chu Sin yang sudah bertekad tidak mau
pulang itu melarikan diri dan merantau sampai jauh dan sampai bertahun - tahun. Bahkan di dalam
pelariannya ini dia bertemu dengan seorang gadis kang-ouw dengan siapa dia saling jatuh
cinta. Kemudian dia menikah dengan gadis she Bu itu, lalu suami isteri ini mengasingkan diri ke
gunung, hidup tenteram dan bahagia sampai terlahirlah Seng Kun dan Bwee Hong. Akan tetapi,
pada sua-tu hari, para penyelidik dari istana dapat menemu-kan jejaknya dan tempat tinggal
mereka diserbu. Biarpun Pangeran Chu Sin dan isterinya menga-muk dan melawan, namun jumlah
pasukan amat banyak dan setelah melihat isterinya tewas dalam pengamukan itu, Pangeran Chu
Sin menjadi lemas dan menyerah dengan syarat bahwa kedua orang anaknya tidak diganggu.
"Demikianlah, anak - anakku dan kalian yang menjadi saksi pertemuan ini," kakek itu
menutup ceritanya. "Ketika itu, Seng Kun baru berusia tiga tahun dan Bwee Hong berusia satu
tahun. Aku menyerahkan diri dan ditangkap. Kedua orang anak ini benar tidak diganggu dan
dipelihara oleh paman Bu Kek Siang, yaitu paman dari isteriku. Aku di-bawa ke istana dan karena
aku tetap tidak mau memegang pangkat untuk membantu pemerintah, aku dipenjarakan dan
ayahku sampai meninggal karena sakit dan menyesal. Bertahun-tahun aku berada di dalam
penjara di mana aku memperdalam ilmu silat dan ilmu agama. Akhirnya, aku dibebas-kan dan
menjadi pendeta di kuil ini, bahkan ke-mudian diangkat menjadi kepala kuil dan penasihat kaisar
seperti sekarang."
Tentu saja peristiwa geger mengejar maling itu berakhir dalam suasana gembira karena
pertemuan antara ayah dan kedua orang anaknya itu. Yang ta-hu akan rahasia itu hanyalah Siang
Houw Nio - nio seorang, karena memang Bu Hong Sengjin selama ini merahasiakan nama
mudanya. Orang-orang yang tidak mengenalnya di waktu kecil tentu tidak ada yang tahu bahwa di
waktu mudanya, ketua kuil itu bernama Pangeran Chu Sin. Siang Houw Nio - nio tentu saja tahu
akan hal ini karena kakek itu ada-lah saudara sepupunya yang dikenalnya sejak ke-cil, bahkan
iapun tahu akan petualangan kakek itu di waktu mudanya. Hanya saja, nenek inipun sa-ma sekali
tidak tahu bahwa kakak misannya itu, yang menjadi tosu yang dihormati, ternyata di wak-tu
mudanya ketika bertualang telah menikah, bahkan mempunyai dua orang anak !
Tentu, saja peristiwa yang menggembirakan itu disambut oleh Siang Houw Nio - nio dan
Pek - lui-kong Tong Ciak yang segera menghaturkan selamat kepada Bu Hong Sengjin. Dan dua
orang muda-mudi yang berbahagia itupun diterima dengan senang hati oleh Siang Houw Nio - nio,
Pek In dan Ang In untuk tinggal di istana itu, karena mereka berdua itulah yang sesungguhnya
berhak atas rumah nenek moyang mereka itu. Dengan hati rela Siang Houw Nio - nio dan kedua
orang muridnya menyerahkan kembali gedung istana mungil itu kembali kepada yang berhak dan
kakak beradik she Chu itu tinggal di istana itu sebagai tuan dan nona rumah ! Akan tetapi karena
Seng Kun dan Bwee Hong sejak kecil dididik dengan keras, mere-ka menjadi orang-orang
sederhana yang tidak menjadi angkuh dengan perobahan dalam kehidup-an mereka itu. Mereka
sendiri yang membujuk agar Pek In dan Ang In bersama para dayang untuk terus tinggal di istana
itu, para dayang itu tetap bekerja di situ dan kedua orang murid Siang Houw Nio-nio itu tinggal di
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
situ sebagai sahabat-saha-bat baik, bahkan dapat dibilang masih merupakan kerabat mereka
karena bukankah nenek Siang Houw Nio - nio itu adalah bibi mereka sendiri ? Dan mereka semua
segera dapat menjadi akrab, karena memang di dalam batin orang - orang muda ini terdapat
watak pendekar yang gagah perkasa se-hingga mereka itu sudah memiliki persamaan dalam
selera.
*
* * *
Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong telah dibawa menghadap kaisar oleh ayah mereka.
Kaisar sendiri menjadi tertegun dan heran, akan tetapi ju-ga merasa gembira bahwa Bu Hong
Sengjin ter-nyata mempunyai dua orang anak yang demikian cakap dan gagahnya. Atas
persetujuan kaisar pula maka Seng Kun dan Bwee Hong secara sah menjadi ahli waris istana
nenek moyang mereka, dan kaisar lalu memberikan sebuah istana lain untuk Siang Houw Nio - nio
dan murid - muridnya.
Beberapa hari kemudian, Chu Bwee Hong yang menjadi nona rumah itu menerima
kunjungan Pek In dan Ang In, sedangkan Pek Lian memang untuk sementara menjadi tamunya
yang amat disayang-nya. Empat orang gadis yang cantik - cantik ini duduk di serambi depan. Dari
tempat mereka du-duk bercakap - cakap nampak bunga - bunga yang sedang mekar. Musim semi
sudah tua, akan tetapi bunga-bunga di taman itu malah mekar semua sehingga suasana menjadi
amat indah dan segarnya di pagi hari itu. Mereka berempat bercakap - cakap sambil menghadapi
hidangan teh hangat dan kueh-kueh.
Chu Bwee Hong nampak cantik jelita bukan main. Apa lagi dalam pandang mata kaum pria,
sedangkan Pek Lian, Pek In dan Ang In sendiri diam - diam kagum bukan main. Wajahnya demikian
cemerlang, dengan garis - garis yang hampir sempurna, kulit mukanya halus licin dan seolaholah
mengeluarkan kehangatan dan kesegaran yang mempesona. Rambutnya hitam gemuk,
dengan anak-anak rambut yang berjuntai dari dahi, bah-kan sinom yang tumbuh di depan telinga
itu me-lengkung ke bawah seperti lukisan seniman yang pandai. Alisnya hitam kecil melengkung
seperti dilukis, padahal dara ini tidak pernah mempergu-nakan alat penghitam alis. Sepasang
matanya begitu bening dan tajam, kini sinarnya mengandung keba-hagiaan dan kegembiraan,
tentu karena pertemuan-nya dengan ayah kandungnya. Ia sudah sembuh sama sekali dari akibat
pukulan Pek - lui - kong dan nampak segar dari sepasang bibirnya yang merah membasah,
merekah seperti sekuntum bunga mawar diselimuti embun pagi itu. Juga kedua pipinya, yang
menonjol di bawah mata, kemerahan seperti buah tomat masak. Hidungnya kecil mancung,
cupingnya dapat bergerak lembut dan lucu menam-bah kemanisan wajahnya. Memang, Bwee
Hong adalah seorang dara yang cantik jelita dan manis.
Pek Lian dan kedua orang murid Siang Houw Nio - nio itupun merupakan dara - dara yang
can-tik, terutama sekali Pek Lian yang memiliki kecan-tikan yang khas, dengan mukanya yang
agak lon-jong, dagu meruncing halus, hidung mancung dan mata yang lebar dan tajam,
kecantikan yang me-ngandung kegagahan, keberanian dan penuh de-ngan gairah dan semangat
hidup. Akan tetapi, ke-cantikan Bwee Hong memang luar biasa sekali se-hingga nampak menonjol
di antara mereka.
Empat orang gadis itu bercakap - cakap dengan gembira sekali, terbawa oleh suasana segar
di pagi hari itu. "Aku dan Kun-koko sudah lebih dari sepuluh hari berkeliaran di daerah istana ini,"
terdengar Bwee Hong bercerita mengenang kembali semua pengalamannya yang menyeramkan.
"Kami berusaha mencari ayah yang belum pernah kami kenal, hanya bermodalkan pesan terakhir
mendi-ang kakek Bu Kek Siang itu."
"Engkau sungguh beruntung, enci Hong," kata Pek Lian. "Kalian mengunjungi tempat yang
amat berbahaya dan terjaga kuat, menyelidiki sampai berhasil menemukan rumah keluarga nenek
mo-yang ayahmu tanpa menemukan kesukaran."
Bwee Hong tersenyum manis dan mengangguk. "Memang kami beruntung sekali. Ketika
kami ber-dua tiba di sini, jagoan - jagoan istana kebetulan sekali sedang bertugas keluar.
Andaikata pada waktu itu di istana terdapat Beng - goanswe, atau Tong - ciangkun, atau bibi
Siang Houw Nio-nio, sudah pasti kami berdua akan tertangkap basah. Betapapun juga, beberapa
hari yang lalu kami pernah kepergok oleh Kim - i - ciangkun sehingga terjadi geger. Untung kami
masih dapat melolos,-kan diri.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Bagaimanapun juga, kami merasa amat kagum akan kepandaian nona Chu," kata Pek In
memuji. "Kim - i - ciangkun yang amat lihai dengan pukulan apinya itu masih dapat nona
kalahkan, sungguh sukar dapat dipercaya kalau tidak menyaksikannya sendiri. Nona yang begini
muda dan cantik jelita dan lembut, mampu mengalahkan seorang jagoan tangguh seperti dia.
Bukan main !"
"Apa lagi kakakmu itu, nona. Masih semuda itu sudah mampu melayani jagoan istana nomor
satu seperti Tong - ciangkun sampai begitu lama. Sung-guh luar biasa sekali, agaknya tidak kalah
kalau dibandingkan dengan Yap - suheng kami."
'"Tap - suheng kalian itu siapakah ?" tanya Bwee Hong. Ia sudah pernah mencela sebutan
kedua orang murid bibinya ini kepadanya yang bersikap hormat dan menyebut nona, akan tetapi
kedua orang gadis itu tetap menyebutnya nona. Bagai manapun juga, Bwee Hong adalah puteri
pangeran dan keponakan Siang Houw Nio - nio, maka tentu saja sudah layak kalau dihormati.
Mendengar pertanyaan ini, Ang In tertawa. Bi-arpun ia dan cicinya selalu bersikap hormat,
akan tetapi keakraban mereka terhadap Bwee Hong membuat mereka seperti sahabat-sahabat
biasa saja.
"Hi-hi-hik, kalau nona hendak mengetahui, tanya saja kepada Pek-cici. Ia pacarnya ......!"
"Hushh ! Siapa bilang ?" Pek In berseru dengan kedua pipi berobah merah sekali. Tangannya
me-nyambar ke depan untuk mencubit lengan adiknya, akan tetapi ribut-ribut disertai kekeh tawa
ini terhenti seketika ketika mereka melihat muncul-nya Seng Kun dari halaman depan. Bwee Hong
segera bangkit dan menyongsong kakaknya.
"Koko, ada berita apakah ? Kenapa sepagi ini engkau sudah dipanggil menghadap ke dalam
?"
Akan tetapi sebelum menjawab pertanyaan adik-nya, dengan sikap sopan Seng Kun lebih
dulu mem-beri hormat dan menyapa tiga orang gadis itu yang juga cepat membalas salamnya.
Kemudian mereka semua duduk menghadapi meja dan Seng Kun lalu bercerita.
"Malam tadi Hek-ciangkun, utusan Beng-goanswe pulang. Seperti diketahui, dia diutus untuk
menjemput ayah nona Ho dari penjara.
Juga Beng - goanswe sudah pulang dari tempat Wakil Perdana Menteri Kang. Menteri Kang
me-nunda keberangkatannya ke kota raja memenuhi panggilan sri baginda karena ...... karena
Hek-ciangkun telah gagal untuk membawa Menteri Ho ke kota raja."
"Eh ......!! Kenapa? Apa yang telah terjadi?"
Pek Lian berseru kaget, mukanya berobah agak pucat.
Melihat ini, Seng Kun segera menghibur. "Harap nona tidak menjadi gelisah. Karena ayahmu
pasti tidak kurang suatu apa."
"Akan tetapi ...... apa yang terjadi dengan ayah-ku ?"
"Menteri Ho telah diculik orang sebelum Hek-ciangkun tiba untuk menjemputnya. Para
penjaga tidak ada yang mengetahuinya. Jeruji - jeruji baja pintu penjara itu melengkung semua
sehingga ta-wanan dapat lolos. Memang luar biasa sekali. Ha-nya orang yang memiliki kekuatan
luar biasa saja yang akan mampu membuat jeruji - jeruji baja yang amat tebal itu melengkung
semua tanpa ada seorangpun penjaga yang mendengarnya."
"Ahh, ayahku ...... !!" Pek Lian mengeluh.
"Akan tetapi, mengapa engkau dipanggil oleh sri baginda, koko ?" tanya lagi Bwee Hong
kepada kakaknya.
"Sri baginda menjadi sangat marah. Beliau ingin mengutus seseorang yang akan dapat
menemukan kembali Menteri Ho dan mengantarkannya ke kota raja dalam keadaan selamat.
Utusan itu haruslah seorang yang belum dikenal baik oleh golongan sesat maupun oleh golongan
yang menentang kem-balinya para menteri di istana, karena kalau tugas merampas kembali
Menteri Ho ini diketahui pihak lawan, sebelum beliau dapat diselamatkan, mungkin
keselamatannya akan terancam. Sri baginda tidak berani mengutus Tong - ciangkun, Benggoanswe
maupun bibi Siang Houw Nio - nio yang sudah banyak dikenal. Pula, istana perlu dijaga
karena keadaan yang seperti sekarang ini sungguh meng-khawatirkan. Kemudian sri baginda
memilih aku atas petunjuk Tong - ciangkun. Hal itupun disetujui oleh ayah dan oleh bibi. Nah, di
sinilah aku, siap untuk berangkat melaksanakan tugas itu."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Aku juga akan pergi untuk mencari ayah !" Ho Pek Lian yang wajahnya pucat itu berseru, di
dalam suaranya terkandung kedukaan dan kegelisahan. Baru saja ia terbebas dari kedukaan ketika
sri baginda memutuskan untuk membebaskan ayahnya dan sekarang, kembali ayahnya dilanda
malapetaka, diculik orang tanpa diketahui siapa penculiknya dan apa maksudnya menculik orang
tua itu.
"Aku juga ikut!" kata Bwee Hong penuh sema-ngat. "Kapan kita berangkat, koko ?"
"Hari ini juga, nanti kalau matahari telah terbe-nam. Akan tetapi sebaiknya kalau kalian tidak
usah ikut."
"Aku harus pergi mencari ayah !" Pek Lian ber-seru. "Kalau engkau tidak mau mengajakku,
aku akan pergi mencari sendiri!"
"Dan akupun akan menemani adik Lian kalau engkau tidak mau mengajakku, koko !"
sambung Bwee Hong. Seng Kun tahu akan kekerasan hati adiknya dan diapun sudah mengenal
watak Pek Lian, maka dia menarik napas panjang dan mau ti-dak mau meluluskan juga
permintaan mereka. Dia bisa melarang adiknya, akan tetapi tidak mungkin dapat melarang Ho Pek
Lian yang hendak mencari ayahnya. Dan diapun tidak enak hati kalau harus melakukan perjalanan
berdua saja dengan Pek Lian.
Setelah bercakap - cakap beberapa lamanya, Pek In dan Ang In minta diri. Mereka khawatir
kalau - kalau guru mereka mencari mereka dan mereka mengucapkan selamat jalan kepada
mereka bertiga.
"Selamat jalan, nona Ho," kata Pek In. "Hati-hatilah di jalan karena sekarang ini di dunia banyak
berkeliaran orang - orang jahat yang amat sakti."
"Semoga engkau bisa cepat mendapatkan kem-bali ayahmu dalam keadaan sehat dan
selamat, no-na Ho," kata pula Ang In.
Pek Lian mengucapkan terima kasih dan iapun segera bersiap-siap bersama Bwee Hong.
Menu-rut petunjuk dan saran Seng Kun, mereka bertiga melakukan perjalanan sambil menyamar
sebagai petani - petani. Pemuda ini berpendapat bahwa akan lebih mudah dan aman, menjauhkan
gangguan-gangguan kalau tidak melakukan perjalanan sebagai nona - nona cantik yang
berpakaian mewah. Muka mereka dilapisi bedak yang agak kehitaman, ram-but mereka dibikin
kusut dan di atas telinga diberi warna keputih- putihan sehingga kedua orang dara jelita ini
berobah menjadi wanita-wanita petani setengah tua yang sederhana. Seng Kun sendiri juga
menyamar sebagai seorang petani, lengkap dengan caping dan jenggot palsu.
Setelah matahari terbenam, berangkatlah tiga orang keluarga "petani" itu meninggalkan kota
raja.
Mereka bertiga sengaja menguji penyamaran mere-ka dengan melewati para penjaga, akan
tetapi ter-nyata tidak ada seorangpun yang mengenal atau mencurigai mereka. Mereka keluar dari
pintu ger-bang kota raja dan berhenti di tempat yang sepi.
"Ke mana kita akan menuju untuk memulai de-ngan tugas mencari ayah ini ? Kita buta sama
sekali dan tidak tahu dengan siapa kita berhadapan, ke mana kita harus mencari," Pek Lian
berkata dengan sikap bingung.
"Benar kita sama sekali tidak tahu siapa pen-culiknya. Apakah para penculik itu termasuk
orang-orang yang menyukai Menteri Ho ataukah justeru mereka itu yang memusuhinya ? Kalau
yang menculik itu para pendekar yang ingin menyelamatkan Menteri Ho dari hukuman, ahh...
tugas kita menjadi ringan sekali dan keselamatan Menteri Ho tidak perlu dikhawatirkan. Akan
tetapi bagaimana kalau sebaliknya ?" Bwee Hong juga mengemukakan pendapatnya.
"Biarlah kita menggantungkan diri kepada nasib dan kewaspadaan kita. Mari kita menuju ke
dusun di depan sana, siapa tahu di suatu tempat kita akan bertemu dengan petunjuk," jawab
Seng Kun dan mereka lalu menuju ke dusun yang sudah nampak dari situ. Sebuah dusun yang
tidak begitu jauh dari kota raja. Senja telah tiba ketika mereka memasuki dusun itu dan mereka
lalu memasuki sebuah kedai teh yang berada di tepi dusun. Seng Kun mengajak dua orang gadis
itu singgah karena dia tertarik sekali melihat betapa warung itu penuh dengan tamu. Padahal
biasanya, kedai teh yang menjual makanan tentu hanya dikunjungi orang di-waktu pagi atau siang
saja. Seolah-olah ada ter-jadi sesuatu di situ dan hal inilah yang menarik perhatiannya. Karena di
bagian dalam telah penuh, mereka bertiga duduk di meja yang terdapat di halaman kedai.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kemunculan tiga orang ini tidak menarik perhatian karena mereka dianggap tiga orang dari
keluarga petani biasa saja dan banyak pula di situ terdapat petani - petani sederhana. Di halaman
depan itupun telah duduk beberapa orang tamu yang bercakap - cakap.
Ketika pelayan datang mengantar teh dan bak-pao yang mereka pesan, secara sambil lalu
Seng Kun berkata, "Wah, tamunya banyak sekali, ber-arti banyak rezeki!"
Pelayan itu menaruh teh dan makanan di atas meja dan tertawa senang. "Memang benar,
dan ke datangan kalian bertigapun merupakan rezeki ka-lian. Ketahuilah bahwa setelah
diumumkan oleh pemerintah bahwa Menteri Ho dan para menteri lainnya diampuni, juga Menteri
Kang kabarnya hendak bertugas kembali, kami merasa seperti ke-jatuhan bulan saking girangnya.
Majikan kami telah mengatakan kepada para langganan bahwa pada hari ini kami mengundang
semua orang untuk mengadakan pesta untuk bersyukur atas kurnia kaisar terhadap Menteri Ho
dan Menteri Kang yang kami cinta dan hormati. Jadi, kalian bertigapun kami anggap sebagai tamu
dan ... ha-ha, tentu saja mendapatkan minuman dan makanan gratis!" Pelayan itu meninggalkan
mereka sambil tertawa gembira, dan menghampiri meja lain. Sua-sana di situ memang seperti
orang dalam pesta.
Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan Pek Lian menundukkan mukanya untuk
menyembunyikan kedua matanya yang menjadi merah dan basah. Dengan kekuatan batinnya ia
dapat mem-bendung tangisnya. Setelah diusapnya air matanya dengan ujung baju tanpa ada yang
melihatnya ke-cuali dua orang kawan yang duduk di depannya, iapun mengangkat muka.
"Kenapa kau menangis ?" Bwce Hong berbisik. "Ayahmu demikian disuka dan dipuja orang !
Li-hat itu di dalam, hampir segala lapisan masyarakat begitu gembira menyambut berita
dibebaskannya ayahmu."
"Benar, nona. Semestinya nona gembira dan berbahagia mempunyai seorang ayah yang
demiki-an disuka orang," kata Seng Kun menyambung ucapan adiknya.
Pek Lian menghela napas panjang dan balas berbisik, "Semestinya demikian, akan tetapi
mereka itu tidak tahu kalau orang yang mereka rayakan kebebasannya itu kini sama sekali tidak
bebas lagi, bahkan tidak diketahui hidup matinya."
Diingatkan akan hal ini, kakak beradik itupun menjadi prihatin dan diam saja. Suasana di
dalam kedai itu benar-benar gembira dan terdengarlah orang - orang di dalam ruangan itu
bersorak - sorak dan berteriak, "Hidup Menteri Ho ! Hidup Mente-ri Ho !"
Seorang laki - laki yang berjenggot tebal naik ke atas sebuah kursi sambil mengisyaratkan
dengan kedua tangan ke atas agar semua orang suka memperhatikannya. Keadaan menjadi
hening dan laki-laki itupun berkata dengan suara yang lantang,
"Saudara - saudara, marilah kita bergembira me-rayakan kebebasan para tokoh pembela
rakyat dari kecurangan musuh - musuh rakyat. Menteri Ho mendapat pengampunan kaisar dan
Wakil Perdana Menteri Kang kembali akan memimpin kita. Negeri akan menjadi tenteram dan
damai seperti semula, dan kita akan hidup tenang dan terbebas dari pada penindasan!"
Semua orang bersorak-sorak. Bwee Hong me-ngerutkan alisnya dan berkata kepada
kakaknya dan Pek Lian, "Orang itu sungguh lancang dan berani. Tempat ini dekat sekali dengan
kota raja. Kalau kaki tangan para menteri korup yang memu-suhi Menteri Ho dan menentang
keputusan kaisar mendengar, bukankah akan terjadi keributan dan mungkin orang itu takkan
diampuni ?" Akan tetapi ketika Bwee Hong memandang kepada Pek Lian, ia terkejut dan berbisik,
"Adik Lian, ada apakah ? Engkau melihat siapa ?"
"Ssttt hati-hatilah kalian di sini terdapat pengunjung lain, seorang anak buah dari Raja
Kelelawar ......"
"Ehh ? Di mana ?" tanya kakak beradik itu dengan kekagetan yang ditekan.
"Sstt lihat di sudut halaman sebelah kanan," kata Pek Lian tanpa memandang ke arah
orang yang ditunjuknya. Kakak beradik itupun meman-dang secara sepintas lalu saja dan mereka
melihat adanya seorang laki - laki yang usianya kurang le-bih tigapuluh lima tahun, berwajah
ganteng dengan pakaian yang indah mewah. Pria itu tersenyum - se-nyum, wajahnya selalu
berseri dan berlagak, tangan-nya memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) dari emas yang
kadang-kadang diisapnya. Seng Kun dan Bwee Hong tidak mengenal pria itu, akan tetapi tentu
saja Pek Lian mengenalnya karena orang itu bukan lain adalah Jai-hwa Toat-beng-kwi, satu di
antara tokoh sesat yang dahulu pernah menghadiri pertemuan rahasia pemunculan Raja
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kelelawar. Itulah penjahat cabul yang lihai sekali, dan yang menjadi anak buah San - hek - houw
si Harimau Gunung, pembantu utama Raja Kelelawar. Sebagai anak buah San - hek - houw, tentu
saja penjahat cabul ini juga menjadi kaki tangan Raja Kelelawar.
Mendengar bahwa pria itu adalah anak buah Raja Kelelawar, tentu saja Seng Kun menjadi
curi-ga. Dia tidak mempunyai pegangan untuk meng-ikuti jejak penculik Menteri Ho, maka setiap
pe-tunjuk penting baginya. Dan kalau ada anak buah Raja Kelelawar di situ, belum tentu penjahat
ini tidak akan dapat memberi petunjuk. Peristiwa-peristiwa kejahatan harus diselidiki di antara
pen-jahat, pikirnya. Oleh karena itu, Seng Kun diam-diam memperhatikan pria tampan pesolek itu.
Ketika melihat laki - laki itu bangkit berdiri dan pergi, diapun segera mengajak dua orang gadis itu
untuk membayanginya.
"Akan tetapi itu berbahaya sekali," bisik Pek Lian. "Dia amat lihai, dan siapa tahu dia akan
menemui kawan-kawan si Raja Kelelawar yang lain ?"
"Justeru itu kebetulan sekali. Siapa tahu para penjahat itu menculik ayahmu, nona ? Dan
seti-daknya, mungkin mereka itu tahu siapa penculik yang kita cari." Mendengar jawaban Seng
Kun ini, Pek Lian terpaksa lalu mengikutinya karena iapun ingin sekali dapat cepat menemukan
ayahnya.
Akan tetapi setelah tiba di tempat sunyi, si pen-jahat cabul itu mengerahkan ginkang dan
berlari cepat sekali. Seng Kun dan Bwee Hong juga ber-lari cepat mengejar sehingga terpaksa Pek
Lian yang tingkat ginkangnya paling rendah itu harus mengerahkan seluruh tenaganya sampai ia
terengah-engah. Baiknya orang yang dibayangi itu tidak mengambil jalan hutan karena cuaca
sudah mulai gelap. Penjahat itu mengambil jalan melalui semak-semak dan padang ilalang
sehingga mereka bertiga dapat membayanginya dari jauh dengan mudah tanpa bahaya kehilangan
dia.
Setelah tiba di jalan besar lagi, penjahat itu menuju ke sebuah rumah yang berdiri terpencil
di tempat sunyi, di tepi jalan yang membelah pa-dang ilalang itu. Ternyata bahwa rumah itu adalah
sebuah kedai minuman yang biasa, dipakai untuk tempat peristirahatan dan persinggahan para
pe-dagang yang akan memasuki kota raja. Di setiap sudut kedai itu dipasangi lampu besar
sehingga keadaan di sekitarnya menjadi terang. Kedai itu nampak su
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To
Register.]***
nikan da-tangnya orang lain.
"Harap kalian suka bersembunyi dulu di sini. Aku akan mengambil jalan memutar dan pergi
ke warung itu sebagai tamu yang kemalaman dan ingin minum untuk mencoba mendengarkan
percakapan mereka dan kita melihat perkembangannya nanti," kata Seng Kun kepada dua orang
gadis itu.
"Baik, akan tetapi engkau berhati-hatilah, koko," kata adiknya.
Ketika Seng Kun tiba di kedai itu dari arah lain, dia disambut oleh pelayan dan tanpa
menarik perhatian dan sambil lalu dia lalu duduk di meja yang tidak berjauhan dengan meja
penjahat cabul bersama dua orang wanita itu. Akan tetapi, mereka sudah berhenti berbicara, atau
agaknya mereka memang tidak ingin percakapan mereka terdengar orang lain, maka mereka
menghentikan percakap-an dan memperhatikan petani setengah tua yang baru datang itu. Ketika
melihat bahwa petani itu hanya seorang petani sederhana yang kehausan, mereka kelihatan lega.
Dan pada saat itu, Seng Kun melihat munculnya sebuah gerobak yang di-tarik oleh seekor kuda
dan dikusiri seorang pemuda.
"Heii, A - piang ! Kenapa arakmu sangat ter-lambat ?" pemilik warung yang setengah tua
dan agak gemuk itu keluar dari kedainya dan meng-hampiri gerobak yang berhenti di pekarangan
ke-dai. "Sudah dua hari persediaan arakku yang baik habis. Tamu - tamuku sudah mengomel!"
Pemilik kedai itu menegur, kemudian dia melihat pemuda yang turun dari tempat kusir dan
tertegun. "Eh, siapa engkau ?"
"Lo-pek, A-piang berhalangan datang karena dia jatuh salut, itulah sebabnya pengiriman
arak menjadi terlambat dan sekarang aku yang disuruh menggantikannya mengantarkan
pesananmu."
Pemuda itu bertubuh tinggi tegap dan dengan kaku, agaknya merupakan pekerjaan yang
tidak biasa baginya, dia mulai menurunkan guci - guci arak dari gerobaknya. Pemilik kedai sejenak
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ter-mangu, akan tetapi lalu mengangguk - angguk dan mulai menghitung guci - guci arak yang
diturunkan itu, membuka tutup beberapa buah guci, mencium bau arak yang terhembus keluar
dan mengangguk-angguk puas. Siapapun kusirnya, bukan hal yang penting baginya. Yang
penting, araknya bagus! Seng Kun yang duduk tak jauh dari meja penjahat cabul, mendengarkan
akan tetapi mengambil sikap tidak perduli dan mengeluh memijati kedua kaki-nya seperti orang
yang kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh.
Sementara itu, ketegangan hebat terjadi dalam diri Pek Lian. Matanya terbelalak dan
jantungnya berdebar-debar keras, darahnya berdenyut ken-cang. Bwee Hong sendiri sampai
terkejut ketika merasa betapa lengannya dicengkeram orang.
"Eh, eh, kau kenapa ?" bisiknya kepada Pek Lian.
"Enci Hong... aku mengenal pemuda kusir pedati itu !" suara Pek Lian terdengar tergetar.
"Ehemm... , begitukah ?" Matanya yang bening itu melirik ke arah kawannya dan mulutnya
yang indah itu tersenyum penuh arti. "Dia memang seorang pemuda yang ganteng dan gagah,
pantas kalau menjadi kenalan baikmu."
Seketika muka Pek Lian menjadi merah sekali. "Ih, kau jahat, enci Hong! Siapa bilang dia
tam-pan dan gagah ? Aku kan cuma bilang kalau aku mengenal dia. Perkara dia ganteng atau
bopeng, siapa perduli ?"
"Wah - wah, kenapa jadi marah - marah ? Aku juga cuma bergurau ! Maafkan, ya ?" Bwee
Hong yang berada dekat sekali dengan. Pek Lian itu mendekatkan mukanya dan mencium pipi
teman-nya.
"Siapa sih dia ? Putera seorang pedagang arak?" tanya Bwee Hong, suaranya kini sungguh -
sungguh.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu benar siapa dia itu. Dia sangat baik, akan tetapi wataknya
sangat aneh. Mungkin... mungkin dia itu berpenyakit gila!"
"Lhoh... ?!" Dara cantik itu tertegun.
"Benar, enci, aku tidak bergurau. Sudah tiga kali aku bertemu dengan dia dan selalu dia
menolong dan menyelamatkan aku. Pertama ketika kami serombongan menghidang iring-iringan
kereta yang membawa ayahku. Pemuda itu yang menjadi kusir keretanya. Ke dua ketika kami
dikejar oleh Beng-goanswe, pemuda itu menjadi pelayan di kuil. Dan sekarang dia menjadi
penjual arak." Pek Lian memandang dan jantungnya berdebar aneh. Rasanya, ingin ia keluar dan
berlari menghampiri pemuda itu. Tadipun, hampir ia berteriak memanggil nama A-hai! Rasa girang
yang aneh dan luar biasa menyelinap di dalam hatinya ketika ia melihat A-hai. Padahal, selama ini,
jarang ia teringat kepada pemuda itu.
"Hemm, kalau begitu dia mencurigakan," kata Bwee Hong yang kini juga memandang penuh
perhatian melihat pemuda itu menurun- nurunkan guci arak.
"Engkau belum mendengar semua, enci. Kau-lihat langkahnya itu ? Seperti seorang biasa
yang sama sekali tidak mengenal ilmu silat, bukan ? Nah, itulah keadaannya kalau dia sedang
waras, seorang pemuda biasa yang baik hati dan lemah, yaitu ti-dak tahu ilmu silat walaupun dia
boleh jadi memi-liki tenaga dasar yang amat kuat. Akan tetapi ja-ngan ditanya kalau dia menjadi
kumat! Dia se-perti menjadi gila, menangis dan marah-marah, akan tetapi juga seketika dia
menjadi seorang yang sakti. Bahkan Tong - ciangkun sendiri, jagoan no-mor satu di istana itu,
terpaksa mundur ketika ber-adu tangan dengan dia."
"Wah! Benarkah itu ? Kalau begitu, betapa lihainya dia !" Nona cantik itu terkejut sekali dan
kini pandang matanya terhadap pemuda kusir itu berobah, menjadi kagum dan juga penuh
keheran-an. Kalau bukan Pek Lian yang bicara, tentu ia akan mentertawakan. Dari gerak-geriknya
ketika menurunkan guci - guci arak itu, jelas terlihat bah-wa pemuda kusir itu tidak pandai ilmu
silat dan agaknya tidak tahu bagaimana mempergunakan tenaga dalam. Buktinya dia menurunkan
guci - gu-ci arak itu mengandalkan tenaga otot saja. Ia sen-diri bersama dengan kakaknya yang
lihai pernah berhadapan mengeroyok si cebol Tong - ciangkun. Dan akhirnya mereka berdua harus
mengakui kelihaian si cebol itu. Dan sekarang ia mendengar bahwa pemuda kusir itu mampu
membuat si ce-bol terdorong mundur ? Betapa mustahilnya hal ini. Kini dengan tajam sepasang
mata yang in-dah bening itu memandang ke arah wajah si pemuda kusir. Mata seorang ahli silat
dan ahli pengobat-an, menilai dan memeriksa. Kini ia melihat bahwa perawakan pemuda itu
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
memang tepat apa bila menjadi seorang ahli silat yang tangguh. Tapi gerakan - gerakan pemuda
itu sungguh tidak me-yakinkan.
"Enci, engkau adalah keturunan Sin - yok - ong dan gurumu adalah seorang ahli pengobatan
yang paling hebat di dunia. Tahukah engkau penyakit apa yang membuat orang kadang-kadang
menga-muk dan kadang - kadang waras, kemudian lupa diri sama sekali seperti pemuda itu ?
Bisakah eng-kau atau kakakmu mengobati dan menyembuhkan pemuda itu ?"
"Entahlah, tidak mudah dikatakan begitu saja. Harus lebih dulu memeriksanya dengan teliti.
Akan tetapi, kalau penyakit gila itu akibat rusaknya syaraf - syarafnya, atau karena guncangan
jiwanya, memang tidak mudah menyembuhkannya."
Jawaban ini meragukan dan mengecewakan hati Pek Lian. Betapa akan bahagia rasa
hatinya kalau ia dapat melihat A - hai disembuhkan sama sekali dari penyakit lupa diri dan gila itu.
Biarpun dia tidak akan pernah bisa menjadi sakti kembali ka-rena sudah tidak dapat kumat
gilanya, namun pemuda itu tidak akan menderita seperti itu. Ke-adaan lalu menjadi sunyi, Pek Lian
tenggelam ke dalam lamunannya membayangkan nasib A - hai, sedangkan Bwee Hong masih
terkesan akan cerita tentang pemuda aneh itu. Mereka berdua meman-dang ke arah kedai itu.
A - hai, pemuda itu, setelah selesai menurunkan semua guci arak, agaknya menanti
pembayaran dan untuk itu dia melepaskan lelahnya sambil duduk di dekat lampu minyak yang
tergantung di atas. Pemilik warung itu sedang membereskan barang-barang dagangannya yang
baru diterimanya itu, dibantu pelayan mengangkut guci - guci arak itu ke dalam kedai, langsung
ke gudang yang berada di bagian belakang. Mata pemuda itu menyapu ke arah warung, meneliti
setiap wajah untuk me-lihat kalau - kalau ada yang dikenalnya.
Tiba-tiba kesunyian malam itu dipecahkan oleh suara derap kaki kuda yang datang ke arah
kedai itu. Semua orang menoleh ke arah datangnya suara derap kaki kuda. Di bawah remangnya
sinar bintang - bintang di langit, nampak serombongan penunggang kuda yang menuju ke kedai
itu. Yang terdepan adalah dua orang laki - laki gemuk pen-dek berjenggot lebat yang mukanya
hampir mirip satu sama lain. Di pinggang mereka tergantung sepasang golok pendek. Di belakang
mereka terdapat sepuluh orang yang agaknya adalah anak bu-ahnya, semua bersenjata dan lagak
mereka kasar dan bengis, jelas membayangkan bahwa mereka bukanlah golongan orang baik-baik
melainkan le-bih pantas kalau digolongkan orang - orang yang biasa mengandalkan kekuasaan
melakukan kekeras-an dan kekejaman untuk memaksakan kehendak mereka. Dari tempat
persembunyiannya, Pek Lian dan Bwee Hong yang merupakan dua orang dara perkasa dan sudah
banyak mengenal orang - orang dari dunia hitam, maklum bahwa rombongan ini tentu merupakan
gerombolan kaum sesat yang jahat. Maka merekapnn bersikap waspada karena agaknya di tempat
itu datang banyak gerombolan jahat.
"Ha-ha-ha, kalian memang gesit, agaknya telah tiba lebih dulu dari pada kami!'' dua orang
laki-laki gemuk pendek itu berteriak dari pung-gung kuda ketika mereka melihat Jai-hwa Toatbeng-
kwi si Penjahat Cabul dan dua orang wanita itu. "Mana kawan-kawan yang lain, apakah
belum ada yang datang ?"
Duabelas orang itu berloncatan turun dari atas kuda mereka dan dua orang gendut itu
segera menghampiri Jai - hwa Toat - beng - kwi yang men-jawab pertanyaan mereka tadi, "Baru
kami yang datang. Duduklah dulu sambil menanti kedatang-an teman - teman yang lain."
Dua orang pemimpin rombongan itu meman-dang ke kanan kiri dan ketika mereka melihat
Bu Seng Kun yang menyamar sebagai seorang petani setengah tua, seorang di antara mereka
menggerakkan kepala dengan dagu menunjuk ke arah pe-tani itu sambil bertanya kepada Si
Cabul, "Teman-mukah dia ?"
Si Cabul melirik ke arah Seng Kun lalu menggeleng kepala dengan sikap tak acuh. Tadi
ketika petani itu masuk, dia telah melakukan penyelidik-an dan keadaan petani itu tidak
mencurigakan. "Bukan, dia hanya tamu biasa yang kelaparan dan kehausan."
Mereka lalu bercakap - cakap dengan suara berbisik- bisik, kadang - kadang kalau mereka
hanya bersendau- gurau, suara mereka keras dan mereka tertawa-tawa sehingga Seng Kun yang
berada di meja lain, juga dua orang dara pendekar yang mengintai, mengerti bahwa bisikanbisikan
itu adalah percakapan penting yang menyangkut urus-an mereka pada waktu itu. Malam
itu nampak semakin menegangkan karena tiga orang pendekar itu seperti merasakan adanya
suatu ancaman, sesuatu yang akan meledak dan yang akan terjadi. Tidak percuma saja para
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
penjahat berkumpul di tempat itu pada malam hari itu. Pasti ada apa - apanya dan agaknya
urusan itu tentu penting sekali. Apa lagi ketika mereka melihat datangnya orang yang semakin
banyak. Seluruhnya terdiri dari orang - orang yang bersikap galak, bertampang serem dan
bertingkah kasar. Dari sikap mereka, di antaranya banyak yang saling mengenal dan pertemuan
itu mendatangkan kegembiraan di an-tara mereka. Seng Kun dapat menduga bahwa memang
pertemuan itu sudah direncanakan dan go-longan hitam itu tentu datang berkumpul atas panggilan
atau perintah pimpinan mereka untuk meren-canakan sesuatu yang penting. Maka diapun
me-rasa beruntung sekali dapat secara kebetulan hadir di situ. Sayangnya, di antara mereka itu
tidak ada seorangpun yang membocorkan rahasia urusan atau rencana mereka itu.
Warung itu menjadi penuh dan orang - orang baru masih saja berdatangan. Melihat keadaan
ini, pemilik warung itu merasa khawatir juga. Seorang bermuka hitam brewok yang matanya lebar
dan bengis, berteriak, "Heii, tukang warung! Di mana kami harus duduk ? Engkau bisa
menyediakan bangku untuk petani busuk, apakah tidak dapat melayani, kami dengan baik ?" Mata
yang lebar itu melotot ke arah Seng Kun yang menyamai sebagai petani setengah tua dan yang
duduk dengan tenangnya itu.
Pemilik warung melihat gelagat tidak baik. Karena dia melihat bahwa petani itu telah selesai
makan minum, maka bergegas dia menghampiri Seng Kun dan berkata dengan suara lunak dan
membujuk, "Harap saudara suka meninggalkan meja ini agar dapat dipakai oleh orang lain. Lihat
saja sendiri, tamu begini banyak dan tempat men-jadi kurang. Tentu saudara tidak ingin
menyusah-kan aku, bukan ?"
Sejak tadi, Seng Kun tentu saja sudah merasa tidak suka kepada mereka itu. Akan tetapi dia
datang bukan untuk mencari keributan atau memancing perkelahian, melainkan untuk melakukan
penyelidikan. Dia sedang melaksanakan tugas yang amat penting, jauh lebih penting dari pada
urusan yang menyangkut perasaan pribadi. Maka, biarpun dia merasa tidak senang dan penasaran
sekali karena dia diusir dengan halus, namun dia mengangguk dan sambil mengerutkan alis
menahan rasa
jengkel diapun bangkit berdiri. Dirogohnya saku bajunya untuk, membayar harga makanan
dan minuman, akan tetapi pemilik warung yang merasa bahwa dia telah mengusir tamu, cepat
menggerakkan tangan menolak. "Tak usah bayar..., engkau sudah baik sekali mau meninggalkan
tempat ini "
Kalau menurut perasaannya, tentu saja Seng Kun menjadi semakin penasaran dan tentu dia
akan memaksa dan membayar harga makanan dan mi-numan. Bukan wataknya untuk merugikan
lain orang. Akan tetapi dia teringat bahwa kalau dia melakukan hal ini, maka tentu akan
menimbulkan kecurigaan. Harga diri tidak pantas dipegang ter-lalu tinggi oleh seorang petani
sederhana. Maka diapun tersenyum dan memaksakan diri untuk mengucapkan terima kasih, lalu
pergilah dia keluar.
Dengan sikap sambil lalu dan tidak acuh, juga santai seperti seorang petani yang kecapaian,
Seng Kun yang keluar dari rumah makan itu lalu duduk di atas bangku butut yang berada di luar
warung. Di emper itu telah duduk pemuda kusir gerobak yang tadi datang mengirim arak.
Pemuda itu memandangnya dan mereka saling pandang. Seng Kun maklum bahwa pemuda
ini bukan seorang di antara para gerombolan itu, ma-ka diapun tersenyum dan mengangguk.
Pemuda itu, seperti telah dikenal oleh Pek Lian dari tempat persembunyiannya, memang benar
adalah A - hai, pemuda aneh yang pernah dijumpai gadis itu be-berapa kali. Biarpun A-hai sedang
menderita penyakit yang aneh, namun perasaannya masih peka dan diapun agaknya dapat
merasakan bahwa petani setengah tua yang duduk tak jauh darinya itu adalah seorang baik - baik,
tidak seperti para tamu yang berdatangan di situ, yang kelihatan bengis - bengis dan jabat - jahat.
Maka diapun balas mengangguk dan tersenyum kepada petani yang dianggapnya ramah itu.
"Banyak sekali tamu malam ini," kata Seng Kun sambil lalu, menoleh ke dalam di mana para
tamu memenuhi semua meja dan mereka itu bercakap-cakap dan bersendau - gurau secara kasar
sekali.
"Ya," A-hai mengangguk. "Amat banyak dan ramai."
Mendengar jawaban singkat dengan suara te-nang ini, Seng Kun memandang dan
memperhatikan. Pemuda ini sungguh tampan, pikirnya, dan memi-liki bentuk tubuh yang begitu
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kokoh membayang-kan tenaga besar. Seorang pemuda yang bertulang baik sekali dan diapun
menjadi tertarik.
"Saudara juga tamu ?" tanyanya.
A-hai menggeleng kepala. "Bukan, saya pem-bawa arak untuk warung ini. Itu gerobakku."
Dia menunjuk ke arah gerobak dan Seng Kun meman-dang guci-guci arak yang berjajar di
halaman wa-rung, tak jauh dari tempat mereka berdua duduk.
Kini agaknya sudah tidak ada lagi tamu baru yang datang, akan tetapi warung itu telah
penuh sesak, bahkan banyak di antara mereka yang tidak kebagian bangku sehingga mereka
hanya bercakap-eakap dan minum arak sambil berdiri saja. Mereka mulai kelihatan tidak sabar,
agaknya ada orang yang mereka nanti - nantikan dan yang belum juga muncul. Beberapa orang
yang tidak kebagian tempat duduk, menjadi tidak sabar dan merekapun keluar dari warung itu,
berjalan - jalan hilir - mudik di pelataran warung sambil mengomel. Mereka semua membawa
cawan penuh arak yang mereka minum sambil menanti di luar.
Dua orang laki-laki kasar yang pakaiannya kumal dan berbau busuk karena tak pernah
diganti dan dicuci, berkali-kali terendam keringat, men-dekati Seng Kun dan A-hai yang sedang
duduk mengobrol di emper warung.
"Sudah terlalu lama kalian duduk di sini, sekarang giliran kami. Hayo berikan bangku-bangku
itu kepada kamil" bentak seorang di antara mereka.
Seng Kun maklum bahwa melayani orang-orang seperti ini sama artinya dengan membuat
keributan, maka diapun bangkit berdiri, akan tetapi A-hai kelihatan tak senang hati dan
mengerutkan alis-nya, memandang dengan mata terbelalak dan ma-rah.
"Pergi kau ! Mau apa melotot?" bentak orang ke dua dan diapun sudah memegang lengan A
- hai dan menarik pemuda itu dari atas bangkunya. A-hai terhuyung dan hendak marah, akan
tetapi tangannya sudah dipegang oleh Seng Kun yang menariknya dengan halus menjauhi
bangku-bang-ku itu. "Ah, terlalu lama duduk juga melelahkan pinggang, mari kita jalan-jalan saja,"
kata Seng Kun dan A-hai yang sudah mengepal tinju itu dapat disabarkan. Mereka berjalan
menjauhi orang-orang itu dan berdiri di bawah pohon di sudut halaman.
"Mereka itu semua bukan orang baik-baik !" kata A-hai.
"Ssstt, perlu apa mencari keributan dengan mereka ?" Seng Kun berbisik. "Hanya akan
merugi-kan diri sendiri saja."
"Orang-orang macam itu tentu hanya akan menimbulkan kekacauan, hanya, akan
melakukan kejahatan saja."
"Saudara yang baik, apalah engkau mengenal mereka ? Siapakah mereka itu dan mengapa
malam ini mereka berkumpul di tempat ini ?"
A-hai memandang kepada petani itu sejenak, lalu menggeleng kepalanya. "Aku sama sekali
tidak tahu, malah tadinya aku mengira engkau yang tahu dan mengenal mereka."
Seng Kun menggeleng kepala. "Eh, kenapa engkau menyangka bahwa aku mengenal
mereka ?" tanyanya.
"Entahlah, karena engkau kelihatan begitu cerdik."
Seng Kun mengerutkan alisnya. Pemuda ini, yang kelihatan bodoh dan jujur, ternyata
memiliki pandang mata yang tajam sehingga agaknya seperti sudah menduga bahwa dia bukanlah
seorang pe-tani biasa! Begitu burukkah penyamaranku, pikir Seng Kun dengan hati khawatir juga.
Apakah orang lain juga akan menduga seperti pemuda ini ? Ka-lau begitu, gagallah
penyamarannya ini.
"Heii... ! Jangan ambil arakku... !!" Tiba-tiba A-hai melompat dan berlari ke depan.
Seng Kun terkejut memandang dan melihat seorang
di antara para tamu itu mengambil sebuah guci arak, membuka tutupnya dan menuangkan
arak dari guci itu ke dalam cawannya yang telah kosong.
A - hai berlari mendekat dan hendak merampas guci araknya, akan tetapi penjahat itu
tertawa dan menggerakkan kaki menendang. Sebuah tendangan yang sembarangan saja, bukan
tendangan seorang ahli silat tinggi, akan tetapi akibatnya, tubuh A-hai terjengkang setelah
terdengar suara berdebuk ka-rena perutnya tertendang.
"Ha - ha - ha ! Lihat tikus ini berguling-gulingan!!" Penjahat itu tertawa bergelak, disusul
suara ketawa teman-temannya yang sudah berdatangan. "Hayo siapa yang ingin tambah arak ?"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Enam orang lain yang berada di luar warung itu berda-tangan dan mereka mengulurkan cawancawan
kosong mereka untuk diisi oleh orang yang meme-gang guci arak.
"Itu arakku ! Jangan kalian mencuri sembarang-an saja !" A - hai sudah bangkit lagi dan
menyerbu, hendak merampas guci. Akan tetapi, beberapa buah kepalan menyambutnya dan orang
- orang itu ki-ni menjadi marah karena dimaki mencuri. A - hai lalu dihajar dan dijadikan bulan -
bulanan pukulan dan tendangan kaki mereka. Terdengar suara berdebukan dan A - hai jatuh
bangun menjadi kor-ban pukulan - pukulan keras.
Biarpun dia sedang menyamar dan tidak ber-niat untuk memancing keributan, akan tetapi
me-lihat pemuda yang amat disukanya karena diang-gap jujur dan polos, juga bertulang bersih
itu, Seng Kun tidak dapat menahan diri lagi.
"Heii, jangan pukuli orang yang tidak berdosa!" bentaknya dan sekali bergerak, tubuhnya
sudah melayang ke tempat di mana A-hai dihajar dan begitu dia menggerakkan kaki tangannya,
tu-. juh orang pengeroyok itu terlempar ke kanan kiri dan mereka mengaduh - aduh. Seng Kun
lalu me-narik bangun A-hai yang memandang kepada-nya dengan wajah berseri, walaupun pipinya
beng-kak dan matanya menghitam.
"Haa, sudah kuduga, engkau seorang yang li-hai, paman petani!" serunya.
Akan tetapi, teriakan-teriakan itu memancing munculnya para penjahat dari dalam warung
dan melihat keributan itu, mereka segera serentak me-nyerbu dan mengeroyok Seng Kun dan Ahai.
Seng Kun tentu saja menyambut mereka dan para pengeroyok segera menjadi kaget
mendapat ke-nyataan betapa petani setengah tua itu benar-be-nar amat lihai. Akan tetapi,
pemuda tukang gero-bak itu tidak merupakan lawan berat sehingga ki-ni mereka mengeroyok
Seng Kun sedangkan empat orang pertama masih menghajar A-hai yang melawan sedapatnya
sambil memaki-maki.
"Kalian manusia - manusia jahat! Kalian iblis-iblis berwajah manusia!" Pemuda ini hanya
ber-gerak sembarangan saja, sama sekali tidak menu-rut gerakan ilmu silat dan karena empat
orang pe-ngeroyoknya adalah orang-orang kasar yang su-dah biasa berkelahi dan juga semua
memiliki ilmu silat, maka A-hai menjadi bulan-bulanan pukul-an. Akan tetapi pemuda ini memiliki
tubuh yang kuat sehingga biarpun sudah dipukuli jatuh ba-ngun, dia tetap terus bangkit dan
melawan lagi.
Melihat pemuda itu dihajar dan dipukuli, Seng Kun yang dikeroyok oleh banyak orang itu
mem-bantu dan mencoba untuk melindunginya. Karena ini, maka dia sendiri menerima beberapa
kali pu-kulan yang cukup keras.
Ketika, melihat terjadinya keributan itu, dari tempat sembunyinya, Pek Lian dan Bwee Hong
tentu saja menjadi terkejut. Bwee Hong yang me-lihat kakaknya dikeroyok banyak sekali orang
jahat, segera meloncat maju, sedangkan Pek Lian yang melihat A - hai dipukuli orang, juga tidak
mungkin dapat berdiam diri dan gadis irupun sudah me-. lompat keluar dari tempat
persembunyiannya. Dua orang gadis ini lalu menyerbu dan mengamuk.
Para penjahat itu terkejut sekali melihat mun-culnya dua orang wanita petani yang demikian
lihainya. Mereka pun sadar bahwa petani setengah
tua dan dua orang wanita petani ini tentulah pihak musuh yang datang melakukan
penyelidikan, maka merekapun kini mengurung dan menyerang mati-matian mempergunakan
senjata mereka. Jumlah pengeroyok ada tigapuluh orang lebih dan mereka semua rata - rata
memiliki ilmu silat yang tinggi dan pengalaman berkelahi yang matang, apa lagi mereka itu adalah
penjahat - penjahat yang kejam dan sudah biasa membunuh orang.
Melihat kehebatan petani setengah tua itu, Jai-hwa Toat-beng-kwi, penjahat cabul berusia
tigapuluh lima tahun yang berwajah ganteng dan berpakaian mewah pesolek itu lalu meloncat ke
depan, begitu menerjang, dia sudah menggunakan huncwe emasnya untuk menotok ke arah leher
Seng Kun.
Melihat meluncurnya sinar emas di bawah sinar lampu yang kini dibantu obor itu. Seng Kun
mak-lum bahwa penyerangnya tidak boleh disamakan dengan para pengeroyok lainnya. Diapun
cepat melangkah mundur sambil mengelak dan meng-gerakkan lengan kanan untuk menangkis
huncwe emas itu. Akan tetapi, Si Cabul sudah menarik kem-bali huncwenya dan dengan gerakan
cepat sudah menggerakkan senjata istimewa itu yang meluncur ke arah muka Seng Kun, didahului
oleh percikan api tembakau dari hunewe yang menyambar ke arah mata. Inilah keistimewaan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
huncwe itu! Seng Kun maklum akan bahayanya serangan kilat itu, maka diapun lalu meniup ke
depan untuk menghalau percikan api tembakau, lalu membuang diri ke belakang, menyelinap ke
bawah dan dengan gerak-an indah namun kuat, tangannya sudah menusuk perut lawan dengan
jari - jari tangan terbuka.
"Wuiiuuttt !" Tusukan tangan yang kuatnya melebihi golok itu dapat dihindarkan pula
oleh Jai-hwa Toat - beng - kwi yang diam-diam juga merasa kaget. Kiranya petani ini benar-benar
bu-kan lawan ringan ! Diapun mempercepat gerakan huncwenya dan kini mengerahkan seluruh
tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya untuk mengha-dapi petani yang lihai itu, dibantu pula
oleh be-berapa orang penjahat yang memiliki kepandaian cukup tinggi.
Sementara itu, dua orang wanita yang pertama kali datang ke warung itu bersama Si Cabul
yang amat mirip satu sama lain, sudah mencabut pedang dan menyambut Bwee Hong karena
mereka meli-hat betapa wanita petani ini gerakannya amat si-gap dan cepat. Bwee Hong tahu
pula bahwa dua orang wanita ini cukup lihai, maka iapun sudah mencabut pedang yang
disembunyikan di balik baju, menyambut dan menyerang mereka dengan sengit. Terjadi pula
pertandingan seru di antara mereka dan dua orang wanita itu juga dibantu oleh beberapa orang
penjahat yang memperguna-kan senjata mereka untuk mengurung Bwee Hong.
Pek Lian meloncat dan hendak menolong A - hai yang masih menjadi bulan - bulan pukulan
dan ten-dangan empat orang jahat itu, akan tetapi iapun disambut oleh banyak orang yang
mengurung dan mengeroyoknya. Pek Lian membentak marah, mencabut pula pedangnya dan
mengamuklah gadis ini.
Daerah yang sunyi itu kini menjadi medan per-kelahian yang amat seru. Akan tetapi,
kepandaian tiga orang pendekar muda ini agaknya terlalu kuat bagi para penjahat itu. Terutama
sekali kakak ber-adik bangsawan she Chu itu, biarpun di pihak ka-um sesat terdapat Si Cabul dan
dua orang wanita berpedang, namun tetap saja mereka itu kewalahan menghadapi pengamukan
Seng Kun dan Bwee Hong. Bagaimanapun juga, dua orang muda ini adalah keturunan dari datuk
sakti Sin - yok - ong dan mereka memiliki gerakan yang amat cepat. Juga Ho Pek Lian merupakan
seorang dara yang-gagah perkasa. Ia memiliki dasar ilmu silat tinggi yang baik, dan selama
beberapa bulan ini ia telah digembleng oleh pengalaman - pengalaman hebat, bertemu dengan
orang-orang sakti dan semua pengalaman ini membuatnya menjadi masak dan ilmunya juga
menjadi semakin mantap. Pedangnya membentuk gulungan sinar yang membuat para
pengeroyoknya kewalahan.
Tiba - tiba terdengar suara mengaum seperti auman singa dan disambut oleh dua kali
auman harimau. Suara ini menggetarkan suasana yang hiruk-pikuk oleh perkelahian di tempat itu.
Semua orang tertegun dan Pek Lian segera mengerti bahwa bahaya besar muncul karena ia tahu
siapa orangnya yang datang. Mungkin orang inilah yang dinanti-nanti oleh para penjahat itu. Sanhek-
houw Si Harimau Gunung telah muncul ! Juga Bwee Hong dan Seng Kun cepat meloncat ke
bela-kang dan memandang.
Seorang kakek tinggi besar yang mengenakan jubah kulit harimau berdiri dengan gagahnya,
dan di belakangnya nampak dua ekor harimau kum-bang. Ketika tiba di tempat itu tadi, San-hekhouw
sudah tahu bahwa petani yang berkelahi melawan Si Cabul bersama beberapa orang temannya
itulah yang paling lihai di antara mereka yang dikeroyok oleh anak buahnya, maka diapun
tanpa banyak cakap lagi lalu menerjang ke depan dan menyerang Seng Kun. Tangannya diulur ke
depan dengan jari - jari tangan terbuka membentuk cakar harimau dan Seng Kun cepat meloncat
ke bela-kang untuk menghindarkan cakaran - cakaran yang amat kuat itu. Itulah Umu Silat Houw -
jiauw - kun (Ilmu Cakar Harimau) akan tetapi yang berbeda dengan ilmu silat harimau lainnya.
Gerakan orang ini amat kuat dan ganas ! Dengan hati - hati Seng Kun lalu balas menyerang dan
segera terjadi perke-lahian yang amat seru di antara mereka.
Melihat bahwa lawan yang tangguh itu kini telah dihadapi oleh San - hek - houw yang
merupa-kan tokoh yang lebih tinggi tingkatnya dari pada-nya, Si Cabul lalu tersenyum - senyum
mengham-piri Bwee Hong. "Ih, wanita petani kotor ternyata pandai juga berkelahi. Sayang kau
sudah agak tua, kalau masih muda tentu akan menjadi penghibur yang menarik !" Sambil berkata
demikian, Si Cabul sudah mencolek ke arah dada Bwee Hong.
"Plakk !" Bwee Hong menangkis dengan penge-rahan tenaga dan akibatnya, Si Cabul itu
terdorong ke belakang. Jai-hwa Toat-beng-kwi menjadi marah dan diapun menyerang dengan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
huncwenya, djbantu pula oleh dua orang wanita berpedang. Kini Bwee Hong menghadapi lawan
yang jauh le-bih lihai dari pada tadi. maka iapun memutar pe-dangnya dan melawan dengan matimatian.
Akan tetapi, pada saat Seng Kun mengerahkan semua kepandaiannya untuk dapat
mengalahkan San-hek-houw yang sudah dibantu pula oleh be-berapa orang anak buahnya, tibatiba
saja terde-ngar suara tinggi seperti suara wanita, akan tetapi suara itu mengandung getaran
khikang yang kuat.
"Ha-ha-ha, apakah Harimau Gunung sudah kehilangan sebagian giginya maka menghadapi
seorang petani saja sudah kewalahan ?"
Dari dalam kegelapan malam, muncullah seorang laki - laki yang usianya kurang lebih
empat-puluh tahun, tubuhnya gendut pendek, perutnya besar seperti perut kerbau bunting, dan
tangan kanannya memanggul sebuah senjata yang kelihatan-nya sederhana saja, yaitu sebatang
toya besar se-perti alu yang terbuat dari pada baja putih. Akan tetapi, melihat munculnya orang
ini, Pek Liari ter-kejut sekali karena ia mengenal orang ini sebagai Sin - go Mo Kai Ci. Julukannya
Sin - go (Buaya Sakti), raja dari segala bajak sungai dan menjadi rekan dari Harimau Gunung.
Inilah dua di antara Sam - ok {Tiga Jahat) yang menjadi pembantu-pembantu utama Si Raja
Kelelawar !
"Buaya hina, dari pada banyak mulut, tidakkah lebih baik cepat membantuku menundukkan
mu-suh ini ? Dia bukan petani biasa, tentu mata-.mata pihak musuh !" kata San-hek-houw sambil
rnen-coba untuk mendesak lawan. Namun, Seng Kun yang juga sejak tadi munculnya Harimau
Gunung ini sudah mainkan sebatang pedang, menahan se-rangannya dengan baik dan membalas
dengan se-rangan kilat yang nyaris merobek ujung jubah ha-rimaunya.
Buaya Sakti tertawa bergelak dan begitu tubuh-nya yang bundar itu bergerak, toya putihnya
sudah diputar dan diapun terjun ke dalam perkelahian itu membantu rekannya. Melawan Harimau
Gu-nung saja sudah merupakan hal yang cukup berat bagi Seng Kun. Kini ditambah munculnya
Sin - go Mo Kai Ci yang memiliki tingkat yang seimbang dengan rekannya, maka tentu saja Seng
Kun men-jadi repot sekali. Apa lagi karena corak permainan silat dan gaya permainan senjata
pendatang baru ini jauh berbeda, membuat mereka berdua itu me-rupakan kombinasi yang sulit
untuk dilawan.
Biarpun Seng Kun melawan mati-matian, na-mun akhirnya sebuah hantaman toya dari
Buaya Sakti itu mengenai punggungnya dengan amat ke-rasnya. Untung bahwa Seng Kun memiliki
tenaga sinkang yang amat kuat, maka hantaman itu tidak sampai mematahkan tulang
punggungnya, hanya membuatnya terpelanting saja. Akan tetapi, banyak orang menubruk dan
meringkusnya sehingga Seng Kun tidak mampu berkutik lagi. Dia telah terta-wan !
Melihat ini, Bwee Hong menjadi marah. Akan tetapi Pek Lian yang melihat betapa sia-sia kaku
mereka melawan dan akhirnya mereka berdua-pun tentu akan roboh tewas atau tertawan,
cepat mendekati Bwee Hong.
"Enci Hong, mari kita lari !"
"Tapi... tapi... Kun-ko"
"Kita bicarakan nanti. Lekas, ikut aku !" Dan Pek Lian lalu menarik tangannya. Bwee Hong
adalah seorang gadis yang cukup cerdas. Biarpun ia merasa khawatir sekali akan nasib kakaknya,
akan tetapi iapun tahu apa yang dimaksudkan oleh Pek Lian. Kalau mereka berdua selamat,
setidak-nya mereka akan mampu untuk memikirkan usaha agar dapat menyelamatkan Seng Kun.
Sebaliknya, kalau mereka berdua nekat dan melawan, lalu merekapun tertawan, habislah sudah
semua harapan untuk dapat lolos !
Dua orang wanita itu meloncat dan melarikan diri dalam gelap.
"Kejarl" teriak Harimau Gunung dan Buaya Sakti dengan penasaran, dan merekapun ikut lari
mengejar. Akan tetapi, dua orang gadis itu memang dapat bergerak cepat sekali, dan pula, kegelapan
malam menolong mereka sehingga akhirnya para pengejar itu terpaksa kembali ke warung
de-ngan tangan hampa.
Setelah melibat tidak ada pihak musuh yang mengejar, kedua orang dara itu berhenti dan
Bwee Hong segera mencela Pek Lian, "Adik Lian, bagai-manakah engkau ini ? Kakakku tertawan
dan eng-kau malah memaksaku melarikan diri ! Memang aku tahu bahwa kita tidak dapat selamat
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dan tidak dapat menolongnya, akan tetapi, melarikan diri selagi kakakku tertawan, sungguh
membuat aku merasa berduka dan malu. Apa yang akan dipikir oleh kakakku ?"
"Kakakmu tentu akan membenarkan tindakan kita ini, enci. Pihak musuh begitu banyak dan
di antaranya banyak terdapat orang lihai. Sedangkan kakakmu saja tertawan, apa lagi kita. Belum
lagi kalau sampai pimpinan mereka datang, yaitu Si Raja Kelelawar. Sungguh habislah kita !
Sekarang kita berdua masih selamat. Apa kaukira akupun akan diam saja melihat kakakmu dan A -
hai dita-wan orang ? Kita dapat membayangi mereka dan melihat keadaan selanjutnya. Kalau
memang ba-haya mengancam mereka, kita boleh turun tangan dan mengadu nyawa !"
Bwee Hong yang kebingungan karena memikir-kan kakaknya itu hanya mengangguk dengan
lesu dan selanjutnya ia akan menurut saja kepada saha-batnya ini. Biarpun tingkat kepandaian
silatnya masih lebih lihai dari pada Pek Lian, namun ha-rus diakuinya bahwa ia kalah wibawa, dan
juga kalah pengalaman. Hal ini adalah karena Pek Lian telah mewakili gurunya untuk memimpin
para pen-dekar. Pandangannya lebih luas dan ia tidak ber-tindak menurutkan perasaan belaka,
melainkan ber-tindak dengan pedntungari sebagai layaknya seorang yang berjiwa pemimpin.
Sementara itu, San-hek-houw dan Sin-go Mo Kai Ci yang memimpin pertemuan itu, nampak
tergesa - gesa membagi - bagi tugas kepada para anak buahnya, kemudian terdengar dia berkata,
"Munculnya gangguan ini merobah acara. Kita ha-rus cepat pergi meninggalkan tempat ini. Tidak
aman setelah diketahui orang lain." Pertemuan itu-pun bubaran dan dua orang yang ditawan itu,
A - hai dan Seng Kun, dibawa pergi sebagai tawan-an oleh dua orang tokoh sesat itu, ditotok
dan di be-lenggu kemudian dilempar di dalam pedati milik A - hai yang tadi dipergunakan untuk
mengangkat arak.
Melihat betapa dua orang itu dibawa pergi oleh Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti, Pek
Lian dan Bwee Hong lalu membayangi gerobak itu. Mereka berdua tidak berani sembarangan
turun tangan karena maklum bahwa keselamatan A-hai dan Seng Kun terancam jika mereka
dengan sembro-no melakukan penyergapan. Apa lagi karena dua orang tokoh sesat itu masih
dikawal oleh para pem-bantunya yang lihai.
Sampai beberapa hari lamanya dua orang gadis itu membayangi kereta atau gerobak dua
orang tokoh sesat yang menawan A-hai dan Seng Kun. Mereka melihat betapa kedua orang
tawanan itu diperlakukan dengan cukup baik, masih dibelenggu akan tetapi setiap kali rombongan
berhenti untuk makan, keduanya mendapatkan hidangan secukup-nya. Hal ini melegakan hati
Bwee Hong dan Pek Lian yang mendapat kenyataan bahwa agaknya para penjahat tidak berniat
membunuh dua orang tawanan itu.
Dan memang sesungguhnya demikianlah. Se-telah berhasil menawan A - hai dan Seng Kun,
Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti memperhatikan Seng Kun dan melarang anak buah mereka
untuk membunuh atau melukainya. Juga A-hai yang telah dibela oleh petani itu mendapatkan
perlakuan yang cukup baik walaupun kedua orang tawanan itu selalu dibelenggu. Hal ini adalah
karena Harimau Gunung merasa curiga melihat kelihaian petani itu dan menduga bahwa petani itu
tentulah seorang tokoh pembantu yang cukup ting-gi kedudukannya dari Si Petani Laut, seorang di
antara raja-raja lautan. Ciri khas dari para tokoh bajak lautan ini adalah pakaian mereka yang
seper-ti pakaian petani, walaupun pekerjaan mereka ada-lah perampok - perampok di lautan alias
bajak - ba-jak laut! Kabarnya, Si Petani Laut berasal dari ke-luarga petani, maka setelah menjadi
seorang di antara jagoan-jagoan atau bahkan raja-raja kecil yang menguasai lautan timur, dia
tetap berpakaian petani bahkan mengharuskan para pembantunya berpakaian seperti petani! Dan
karena Si Petani Laut juga termasuk tangan kanan atau juga sekutu dari Tung-hai-tiauw (Rajawali
Lautan Timur), maka Si Harimau Gunung menduga bahwa petani yang tertawan itu adalah
seorang utusan dari ke-lompok bajak laut. Seperti kita ketahui, Sam - ok atau Si Tiga Jahat adalah
Tung - hai - tiauw Si Rajawali Lautan Timur, Sin - go Mo Kai Ci Si Bua-ya Sakti, dan San-hek-houw
Si Harimau Gunung. Merekalah yang disebut raja - raja di wilayah dan daerah masing - masing,
yaitu raja lautan, raja sungai - sungai dan raja daratan. Dua di antara mere-ka, yaitu Si Buaya
Sakti dan Si Harimau Gunung telah menakluk terhadap Raja Kelelawar. Kemu-dian Raja Kelelawar
yang merupakan datuk terting-gi di antara kaum sesat itu mengutus dua orang pembantunya ini
untuk menghubungi Si Rajawali Laut.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Demikianlah, karena menduga bahwa Seng Kun adalah tokoh sesat lautan yang menjadi
anak buah Si Rajawali Laut, maka Harimau Gunung dan Buaya Sakti tidak mau bertindak lancang.
Bahkan mereka menganggap bahwa Seng Kun dapat men-jadi semacam sandera agar mereka
dapat dengan mudah menghubungi rekan yang kadang - kadang menjadi saingan dan musuh itu.
Harimau Gunung dan Buaya Sakti scndiripun tadinya sering kali bentrok dan bersaing. Hanya kini
setelah muncul Raja Kelelawar, mereka menjadi akur dan tidak berani bentrok, karena sama -
sama menjadi pem-bantu dari atasan mereka yang baru, yang amat mereka takuti, yaitu Raja
Kelelawar.
Ketika rombongan itu tiba di tepi lautan di se-belah timur kota raja, menghadapi Teluk Po -
hai yang luas, rombongan yang mengawal kedua orang raja penjahat itu segera menyediakan
sebuah pe-rahu layar besar. Kemudian, dikawal oleh belasan orang saja. Si Harimau Gunung dan
Si Buaya Sakti membawa dua orang tawanan naik perahu yang berlayar ke arah timur laut. Ketika
itu, hari masih amat pagi akan tetapi matahari telah meninggal-kan permukaan laut dan
membakar seluruh per-mukaan air dengan cahayanya yang masih belum terlalu panas, masih
keemasan. Perahu layar besar yang membawa dua orang tawanan itu mem-bentuk sebuah
bayangan memanjang di atas per-mukaan air yang merah tembaga. Angin laut pagi itu lembut
saja, namun cukup membuat perahu itu melaju karena layar terkembang yang lebar itu
menangkap banyak angin yang mendorong pe-rahu. Sunyi sekali, karena perahu - perahu nelayan
yang terapung di sana-sini sedang tenang, me-nanti datangnya rombongan ikan yang biasanya
muncul setelah sinar matahari menjadi keperakan. Para nelayan duduk di dalam perahu masingma-
sing, memandang ke arah perahu besar yang lewat melaju, tidak merasa curiga atau heran
karena memang sering terdapat perahu - perahu besar lalu - lalang di perairan itu, baik perahu -
perahu pedagang maupun perahu - perahu pelancong. Merekapun tidak khawatir kalau - kalau
ada pera-hu bajak laut, karena mereka semua berada dalam "perlindungan" raja - raja bajak laut
dengan cara membayar "pajak penghasilan" setelah mereka pu-lang membawa hasil penangkapan
ikan mereka nanti. Di darat telah menanti kaki tangan para raja bajak yang akan menentukan
besar kecilnya pajak itu disesuaikan dengan hasil pekerjaan mereka semalam, atau sehari. Dengan
pembayaran pajak seperti itu, keselamatan mereka terjamin dan mereka dapat bekerja dengan
tenang.
Pungutan liar semacam ini terdapat di manapun juga dan di jaman apapun juga. Pungutan
liar ini tercipta oleh kesempatan mengeduk keuntungan yang banyak dimiliki oleh mereka yang
mempunyai banyak kekuasaan, oleh mereka yang mempunyai wewenang. Dengan kekuasaan atau
wewenang yang ada pada mereka, maka terbukalah kesempatan un-tuk memeras. Kekuasaan
atau wewenang itu bisa saja timbul dari kedudukan atau dari kekuatan. Kedudukan dan kekuatan
itu dijadikan modal untuk memeras atau mencari keuntungan dengan jalan memeras. Para
nelayan itu tanpa mereka sadari te-lah diperas. Mereka merasa "dilindungi" oleh para bajak, dan
untuk itu mereka mau menyerahkan se-bagian dari pada hasil keringat mereka. Dilin-dungi dari
siapa ? Tentu saja dari gangguan, dan biasanya, yang mengganggu adalah para bajak itu sendiri.
Berarti, kalau tidak mau menyogok, akan diganggu ! Perbuatan para bajak laut ini tiada bedanya
dengan perbuatan para pejabat yang ju-ga akan "mengganggu" dengan menggunakan ke-kuasaan
dan wewenang mereka apa bila mereka ti-dak disogok.
Pungutan liar memang akibat disalahgunakan-nya wewenang dan kekuasaan. Akan tetapi,
sumber pokoknya terletak dalam batin seseorang itu sendiri. Kedudukan tinggi sebagai pejabat
tidak mempunyai kecondongan kc arah perbuatan baik atau buruk tertentu. Kedudukan itu
diperlukan untuk mengatur orang banyak, dan untuk pekerjaan ini dia telah menerima upah. Jadi
sepenuhnya ter-gantung kepada seseorang itu sendiri, mau dijadi-kan apakah kedudukannya itu !
Dapat saja dija-dikan modal untuk memeras, akan tetapi dapat pula dijadikan alat untuk
menertibkan dan mengatur, yang pertama adalah untuk kesenangan diri sendiri sedangkan yang
ke dua adalah untuk kesenangan orang - orang lain, atau setidaknya untuk meme-nuhi tugas yang
telah dibebankan ke atas pun-daknya dengan imbalan upah yang semestinya. Demikian pula
dengan kekuatan yang ada pada diri seseorang, dapat saja kekuatan itu dipakai un-tuk menindas
demi memenuhi kesenangan diri pribadi, dapat juga dipakai untuk melindungi orang-orang lain
dari pada ancaman kejahatan yang mengandalkan kekuatan. Jadi, sumber pokok dari perbuatan
pungutan liar itu, seperti dari pe-nyelewengan - penyelewengan hidup yang lain, ter-letak dalam
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
batin masing-masing. Tanpa adanya kesadaran batin, segala usaha untuk memberantas-nya hanya
akan berhasil untuk sementara saja. Dengan kekerasan, mungkin saja perbuatan sesat dapat
dihentikan, akan tetapi penghentian ini ha-nya lahiriah, hanya bersifat sementara karena bo-rok di
dalam batin itu masih belum sembuh. Kalau penjagaannya kurang ketat, maka borok itu akan
kambuh lagi dan perbuatan sesat itu akan tendang, mungkin lebih hebat dari pada yang sudah.
Seba-liknya, kalau batinnya sudah sembuh dari pada bibit penyakit itu, tanpa pengekangan
sekalipun, perbuatan sesat itu takkan muncul.
Ketika Pek Lian dan Bwee Hong melihat persi-apan para penjahat itu, Pek Lian segera dapat
men-duga bahwa dua orang tawanan itu akan dibawa pergi berlayar. Maka dengan cepat iapun
mencari perahu yang disewanya dari seorang nelayan. Ke-tika perahu besar itu mengembangkan
layar, Pek Lian dan Bwee Hong juga sudah mendayung pe-rahu dan tak lama kemudian perahu
kecil mereka pun berlayar mengikuti perahu besar. Dengan adanya banyak perahu nelayan di
sekitar tempat itu, maka tentu saja perbuatan dua orang wanita ini tidak menarik perhatian, juga
tidak dicurigai oleh para penjahat itu.
Dua orang gadis itu telah menanggalkan pe-nyamaran mereka begitu perahu kecil mereka
ber-gerak. Kini tidak perlu lagi menyamar karena mereka bukan sedang melakukan tugas
menyelidik dan membantu Seng Kun, melainkan sedang meng-hadapi para penjahat secara
langsung. Tidak perlu lagi mereka menyamar. Perahu kecil mereka me-luncur cepat ketika mereka
memasang layar. Un-tung bagi mereka bahwa Pek Lian tidak asing de-ngan pelayaran dan Bwee
Hong ternyata juga me-rupakan seorang gadis yang dapat belajar dengan cepat. Kekuatan dalam
mereka berkat latihan membuat mereka dapat bertahan terhadap gun-cangan dan goyangan
perahu mereka ketika di-permainkan oleh air laut yang mulai bergelombang. Bersama
meningginya matahari, gelombangpun se-maian membesar. Hal inilah yang membuat mereka
tertinggal oleh perahu besar di depan. Perahu be-sar itu tidak begitu payah melawan gelombang
seperti perahu kecil dua orang dara perkasa ini.
Menjelang tengah hari, mereka berdua kehi-langan perahu besar di depan! Tentu saja
mereka menjadi bingung dan biarpun mereka berusaha untuk mengejar, namun gelombang laut
yang besar itu membuat perahu mereka terombang-ambing.
"Ah, celaka perahu itu telah meninggalkan kita! Aih, bagaimana ini, adik Lian !
Bagaimana dengan Kun-koko !" Bwee Hong meratap dan hampir saja ia menangis. Bwee Hong
sama sekali bukan seorang gadis lemah. Bahkan dalam hal ilmu silat, ia masih lebih lihai dari pada
Pek Lian. Akan tetapi, ia amat sayang kepada kakaknya. Kini kakaknyalah satu-satunya keluarga
terdekat di dunia ini baginya. Ayah kandungnya, yang baru saja dijumpainya, telah
merupakan orang yang jauh dari batinnya. Bukan hanya karena sejak kecil terpisah, melainkan
juga karena ayahnya itu telah menjadi seorang pendeta di istana dan sudah tidak mau tahu akan
urusan keluarga lagi. Keluarga Bu yang mengasuh ia dan kakaknya sejak kecil, sudah tewas. Di
dunia ini ia hanya mempunyai seorang saja, yaitu Seng Kun dan sekarang kakaknya itu dilarikan
penjahat.
"Tenangkan hatimu, enci Hong. Dalain keadaan seperti sekarang ini, yang penting sekali
bagi kita adalah ketenangan. Kita tidak boleh panik dan putus asa. Arah perahu mereka menuju ke
arah timur laut dan lihatlah, bukankah di depan sana itu terdapat gugusan pulau - pulau yang
nampak lapat - lapat dari sini ? Tentu ke sanalah mereka menuju dan perahu mereka lenyap
karena pandang-an kita terhalang oleh gelombang. Kita menuju ke arah itu, pasti kita akan
bertemu lagi dengan mereka."
Melihat sikap Pek Lian yang tangkas dan pandang mata yang penuh semangat itu, Bwee
Hong terhibur dan merasa malu. Dirangkulnya teman-nya itu dan sejenak ia memejamkan mata
sambil bersandar pada pundak sahabatnya yang memiliki watak amat kuat itu. Sahabatnya inipun
menderita. Ayahnya juga dilarikan penjahat, akan tetapi Pek Lian masih mampu menghibur dan
membesarkan hatinya!
"Maafkan aku, Lian-moi. Aku telah bersikap cengeng seperti anak kecil. Mari, kita lanjutkan
pelayaran kita. Ombak - ombak ganas ini harus kita lawan dan atasi!" Di dalam suara dara cantik
jelita ini terkandung ketabahan dan ketekadan be-sar sehingga Pek Lian tersenyum,
"Bagus ! Mari kita bekerja keras!"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Demikianlah, kedua orang gadis itu bersitegang dengan gelombang lautan, memperebutkan
perahu dan nyawa mereka. Ombak - ombak besar itu seo-lah-olah merupakan jangkauan tangan
maut yang hendak menelan dan menghempaskan perahu, se-dangkan mereka berdua dengan
kedua tangan yang berjari kecil mungil halus itu mengerahkan tenaga untuk menahan perahu
mereka agar jangan teng-gelam ! Terjadilah proses pertarungan dan perju-angan hidup yang
mungkin sudah setua lautan itu sendiri atau setua sejarah manusia, antara manusia dan alam !
Antara ancaman mati dan memperta-hankan hidup ! Proses yang sampai kini masih me-landa
kehidupan manusia, dan karenanya amat mengharukan. Bukankah kita inipun setiap saat
dikelilingi jangkauan tangan - tangan maut ? Me-lalui penyakit, melalui kecelakaan, melalui
bencana alam? Betapa mati dan hidup ini seling - menye-ling, merupakan perpaduan yang serasi,
yang me-nguasai diri kita ? Kalau kita tidak membuka ma-ta mempelajari apa sesungguhnya
kehidupan ini, apakah kita lalu hanya hidup untuk menghindarkan diri dari pada jangkauan maut
belaka dan akhirnya kita akan tercengkeram juga dan tunduk di bawah kekuasaan maut sebelum
kita tahu apa sesungguh-nya kehidupan ini ? Apakah hidup ini hanya per-juangan, kesengsaraan,
kekecewaan, duka nestapa, permusuhan, segala pahit getir dengan hanya sedikit manis sekali -
kali, kemudian habislah semua itu dan mati ?
Setelah terhindar dari rasa khawatir, baik ke-khawatiran akan nasib kakaknya maupun rasa
ta-kut akan gelombang yang mengancam nyawanya, mulailah terasa oleh Bwee Hong kegairahan
dan kegembiraan dalam menghadapi gelombang lautan yang mendahsyat itu. Kegembiraan yang
jarang terasa olehnya, mungkin hanya terasa oleh mereka yang tahu apa artinya berdekatan
dengan maut, apa artinya dapat menyelinap di antara jari - jari tangan maut yang mengancam.
Saking besarnya rasa gem-bira ini, Bwee Hong yang membantu Pek Lian me-ngemudikan perahu,
menjerit - jerit, suaranya dite-lan angin dan gemuruh gelombang air yang saling timpa.
"Hayo, majulah! Datanglah gelombang! Ha-ha, hayo serbulah, aku tidak takut padamu !
Huiiii-huuu !" Perahu itu melambung tinggi lalu meluncur turun dengan kecepatan yang
membuat jantung terasa copot tertinggal di udara ! Namun Bwee Hong menjerit dan tertawa,
sehingga Pek Lian ikut pula terseret kegembiraan itu dan kedua orang dara perkasa itupun
menjerit - jerit dan ter-tawa-tawa, dan gelombang lautan itu berobah menjadi sahabat - sahabat
yang mengajak mereka bersendau-gurau!
Setengah hari lamanya dua orang dara pendekar itu berjuang melawan amukan air laut dan
tiga kali hampir saja perahu mereka terbalik. Pakaian mereka sudah basah kuyup, basah oleh air
bercam-pur keringat mereka. Wajah mereka yang cantik itu nampak berseri, berkilau dengan
cahaya kehi-dupan dan kesegaran, kemerahan dan sepasang mata mereka bersinar - sinar, muka
mereka yang berkulit halus itu kemerahan dan agak coklat ter-bakar matahari. Setelah setengah
hari lamanya bergurau, agaknya air laut menjadi jemu dan bo-san juga dan gelombangpun tidak
seganas tadi. Napas lautan yang tadinya terengah - engah itu kini menjadi tenang dan hanya
tinggal sisanya saja.
Tiba-tiba Pek Lian menunjuk ke arah depan. "Lihat, itu mereka ! "
Di antara -puncak - puncak gunung ombak di kejauhan, nampak mula-mula ujung tiang
perahu layar besar dengan benderanya, kemudian nampak layarnya dan mereka berdua hampir
bersorak gi-rang mengenal bahwa memang itulah perahu yang mereka bayangi, perahu yang
membawa A - hai dan Seng Kun sebagai tawanan. Karena kini ge-lombang tidak terlalu
mengganas lagi, badai tidak mengamuk seperti tadi dan angin bertiup tenang dan kuat, mereka
lalu memasang layar besar dan perahu kecil itu melaju, seperti anak kecil berlari-larian di atas
rumput - rumput ketika mereka me-nerjang puncak - puncak gelombang, mengejar ke depan.
Matahari telah condong jauh ke barat dan cua-ca sudah mulai berkurang terangnya, sinar
perak telah berganti sinar lembayung yang lemah dan redup, seolah - olah matahari telah mulai
mengan-tuk dan siap untuk beristirahat di balik permukaan laut, seperti hendak tenggelam di
dalam lautan yang amat luas itu. Dan seperti juga di waktu mun-culnya pagi tadi, ketika
menghilang, matahari juga bergerak amat cepatnya, tenggelam sedikit demi sedikit sampai
akhirnya yang tinggal hanya sinar redup kemerahan, memancar dari balik permukaan kaki langit di
atas lautan, bola mataharinya sendiri telah tenggelam di balik ujung laut.
Dua orang gadis itu tidak merasa khawatir lagi. Biarpun kegelapan malam akan melenyapkan
pera-hu di depan dari pandang mata mereka, akan tetapi mereka percaya bahwa perahu besar itu
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
akan me-masang lampu, atau setidaknya mereka berdua su-dah melihat bayangan gugusan pulaupulau
di depan. Mereka merasa yakin bahwa ke sanalah perahu di depan itu menuju.
Tiba - tiba, di dalam keremangan senja, nampak cahaya lampu bermunculan di sebelah
kanan dan kiri. Perahu - perahu ini membawa penerangan yang cukup terang, menerangi air laut
di sekitarnya.
"Eh, eh, dari mana munculnya perahu - perahu ini dan siapakah mereka ?" Pek Lian
bertanya de-ngan heran dan juga hatinya terasa tidak enak. Kini bermunculan perahu - perahu
dari kanan kiri dan melihat lampu-lampu mereka, mudah meng-hitung jumlahnya. Ada delapan
buah perahu yang muncul, semua memakai penerangan dan dari pe-rahu kecilnya, Pek Lian dan
Bwee Hong dapat me-lihat bahwa di atas setiap perahu terdapat anak buah sebanyak sepuluh
orang. Dan mereka itu bersenjata lengkap. Delapan buah perahu itu me-luncur searah dengan
perahu yang ditumpangi A - hai dan Seng Kun, seolah - olah mengawal pera-hu penjahat itu. Dan
mereka itu mungkin tidak melihat perahu kecil Pek Lian yang tidak memakai lampu.
Kurang lebih satu jam lamanya perahu - perahu itu berlayar menuju ke arah timur laut. Tiba
- tiba terdengar suara peluit ditiup berulang-ulang saling sahutan dan kedua orang dara itu
melihat betapa semua perahu itu berpencar ke kanan kiri dengan teratur, membentuk barisan
seperti hendak meng-gunting dan lampu - lampu penerangan merekapun kadang-kadang padam
kadang-kadang nampak, itupun hanya merupakan penerangan lampu hijau redup - redup. Karena
seolah - olah ditinggalkan oleh barisan perahu itu, perahu kecil Pek Lian dan Bwee Hong kini
meluncur ke depan dengan cepat-nya sendirian saja menempuh kegelapan malam. Keadaan amat
mengerikan, seolah - olah setiap saat mereka akan ditelan oleh sesuatu yang telah meng-ancam
sejak tadi. Namun, dua orang gadis itu te-lah memperoleh kembali ketabahan mereka dengan
jalan bersendau - gurau dan bercakap - cakap, seo-lah - olah mereka sedang menikmati sebuah
pela-yaran yang amat romantis dan menggembirakan. Langit amat indah. Langit di waktu malam
hanya nampak indah kalau gelap seperti itu. Bintang-bintang nampak jelas menghias angkasa
menghitam. Seperti hamparan beludru hitam yang ditaburi ratna mutu manikam yang berkilauan.
(Bersambung jilid ke XII.)
xx—» DARAH PENDEKAR «—xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XII
- O -
ENTAH berapa lamanya mereka berdua me-ngemudikan perahu layar mereka yang meluncur
pesat ke depan sambil menikmati keindahan angkasa dan mendengarkan dendang air yang
ter-sayat oleh moncong perahu mereka, ketika tiba-tiba keduanya terkejut melihat sinar terang
lampu dari sebuah perahu besar yang meluncur berla-wanan arah dengan perahu mereka.
"Cepat, belokkan perahu !" teriak Pek Lian ke-pada Bwee Hong yang kebetulan sedang
menggan-tikan tugas mengemudikan perahu. Bwee Hong sudah terlatih beberapa jam lamanya,
sudah gapah, akan tetapi karena terkejut dan panik, iapun bingung dan perahunya membelok
terlampau keras. Ham-pir saja perahu itu terbalik ketika layarnya menja-di kacau.
"Dukkkkk !!" Tiba-tiba mereka merasakan gun-cangan keras dan ternyata perahu mereka
telah me-numbuk sebuah perahu lain. Kiranya di kanan kiri perahu besar yang terang itu terdapat
pula dua buah perahu kecil yang agaknya mengawal perahu besar.
Terdengar teriakan dan maki - makian dalam ba-hasa asing. Perahu besar itupun berhenti
dan ra-mailah suara orang - orang dengan bahasa asing di atas perahu besar. Ketika Pek Lian dan
Bwee Hong dapat menenangkan hati mereka yang terguncang karena perahu mereka hampir
terbalik, dengan ma-rah mereka lalu memandang ke atas, ke arah pera-hu besar dan melihat
munculnya beberapa orang di atas perahu itu, menjenguk ke bawah ke arah mereka. Sebuah
lampu sorot ditujukan kepada mereka dan perahu kecil mereka kini bermandikan ca-haya sehingga
mata kedua orang dara itu menjadi silau karenanya.
Orang - orang yang menjenguk ke bawah itu berteriak-teriak dalam bahasa asing, agaknya
ma-rah - marah dan ada pula yang tertawa - tawa, ke-mudian dua buah perahu kecil di kanan kiri
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
perahu besar mewah itu didayung maju dengan cepat dan beberapa batang dayung panjang
mendorong - do-rong perahu dua orang dara itu, sehingga perahu itu terguncang - guncang ke
kanan kiri.
"Eh, kalian ini mau apa ?" bentak Pek Lian.
Akan tetapi orang - orang asing yang rata - rata bertubuh pendek itu hanya menjawab
sambil ter-tawa - tawa dan melanjutkan usaha mereka men-dorong-dorong perahu dua orang dara
itu, agak-nya bermaksud untuk menggulingkan perahu. Sementara itu, orang - orang yang berada
di atas pera-hu besar itu tertawa-tawa dan menggerakkan tangan, nampaknya memberi anjuran
kepada para pembantu mereka yang berada di dalam dua buah perahu kecil di bawah.
Biarpun tidak mengerti bahasa mereka, Pek Lian dan Bwee Hong maklum bahwa orang -
orang ini berusaha untuk menggulingkan perahu mereka, maka tentu saja mereka menjadi marah.
"Jahanam, kalian hendak menggulingkan perahu kami ?" ben-tak Pek Lian marah. Akan tetapi,
orang - orang di atas perahu besar itu tertawa - tawa dan menuding-nuding ke arah dua orang
gadis yang marah - marah itu.
"Adik Lian, mari kita hajar mereka !" kata Bwee Hong dan sekali tangannya bergerak, ia
sudah me-nangkap sebatang dayung yang mendorong pinggir perahu dan sekali renggut, dayung
itu dapat diram-pasnya dan pemegang dayung berteriak ketika tu-buhnya terlarik dan akhirnya dia
terjungkal keluar perahu ke dalam air laut!
"Jangan di sini! Mari kita naik ke perahu besar itu saja dan menghajar pimpinan mereka !"
kata Pek Lian yang maklum bahwa kalau mereka ber-dua melawan di dalam perahu kecil mereka,
kese-lamatan mereka malah terancam. Kalau sampai pe-rahu mereka itu digulingkan, tentu
mereka akan celaka. Bwee Hong mengerti apa yang dimaksud-kan oleh kawannya, maka iapun
mengangguk dan tiba-tiba mereka berdua, menggunakan kepa-nikan para pengganggu yang
melihat seorang ka-wan mereka tercebur ke dalam lautan tadi, untuk mengenjot tubuh dan
meloncat ke atas perahu be-sar yang mewah itu.
Ketika mereka yang berada di atas perahu besar melihat berkelebatnya dua bayangan
mereka me-layang ke atas perahu besar, mereka tercengang dan terkejut sekali. Tak mereka
sangka bahwa dua orang penghuni perahu nelayan yang mereka permainkan itu ternyata memiliki
kepandaian sehe-bat itu. Mereka mengeluarkan seruan kaget, apa lagi ketika melihat dua orang
dara cantik telah berada di atas perahu besar mereka. Sejenak mereka semua melongo. Baru
sekarang mereka dapat melihat jelas betapa cantik jelitanya dua orang penghuni perahu yang
bertumbukan dengan perahu mereka tadi! Tadinya mereka mengira bahwa perahu kecil itu hanya
ditumpangi dua orang nela-yan dan mereka hendak menghukum dan mempermainkan mereka
yang berani menghadang di tengah perjalanan. Siapa kira, penghuninya adalah dua orang dara
yang demikian cantik manisnya! Maka timbullah niat buruk di dalam hati mereka untuk
mempermainkan dua orang dara cantik jeli-ta ini.
"Aha, kiranya kalian adalah dua orang dewi lautan cantik jelita yang sengaja datang untuk
menghibur kami ? Ha - ha - ha !" kata seorang di antara mereka sambil- menepuk - nepuk
perutnya yang gendut. Orang ini dapat bicara dalam Bahasa Han dan dimengerti oleh dua orang
gadis itu, wa-laupun suaranya terdengar kaku dan asing. Pek Lian segera dapat menduga bahwa
ia berhadapan dengan orang - orang Jepang. Pernah ia melihat tamu - tamu Bangsa Jepang di
istana ayahnya keti-ka ayahnya masih menjadi menteri kebudayaan. Menurut penuturan ayahnya,
Bangsa Jepang adalah orang-orang pelarian dari Tiongkok dan masih seketurunan, bahkan
berkebudayaan sama, de-ngan bentuk tulisan huruf yang sama pula, meru-pakan sekelompok
suku bangsa yang telah memi-sahkan diri dari daratan Tiongkok dan tinggal di Kepulauan Jepang
di sebelah timur laut. Bangsa Jepang ini, menurut ayahnya, merupakan bangsa yang cerdik,
pandai, rajin dan orang harus berhati-hati menghadapi mereka karena mereka itu dapat menjadi
lawan yang amat berbahaya.
Dua orang laki - laki pendek, si perut gendut itu dan seorang yang mukanya seperti kanak -
kanak akan tetapi sepasang matanya mengandung penuh nafsu berahi, kini melangkah maju dan
kedua le-ngan mereka yang pendek - pendek dan nampaknya ceko itu dikembangkan seolah -
olah mereka hendak menangkap dua ekor ayam, ditonton oleh teman-teman mereka yang sudah
berkumpul di situ dan mereka semua tertawa riuh dan gembira.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Nona manis, mari ke sini... mari kupeluk cium..." kata si gendut yang agaknya merupakan
satu-satunya orang di antara mereka yang dapat berbahasa Han, sedangkan teman-temannya
hanya tertawa-tawa dan berkata-kata dalam Bahasa Jepang yang tidak dimengerti oleh kedua
orang nona itu. Setelah berkata demikian si perut gendut itu menubruk ke arah Pek Lian.
Gerakannya cepat dan nampaknya si perut gendut ini kuat sekali. Temannya, yang bermuka anakanak
itupun sudah mengeluarkan teriakan nyaring sambil menubruk kepada Bwee Hong.
Akan tetapi Pek Lian dan Bwee Hong sudah siap siaga. Pek Lian menyambut tubrukan itu dengan
elakan ke kiri, kemudian pada saat tubuh si perut gendut itu terdorong ke depan karena
menu-bruk tempat kosong, kakinya sudah melayang dan menyambar ke arah perut lawan.
"Ngekkk ! Aughhh... auhhh ......!" Si perut gendut itu membungkuk-bungkuk sambil
mendekap perut gendutnya dengan kedua tangan, meringis - ringis karena dia merasa perutnya
mulas seketika, begitu mulasnya sampai dia terhuyung-huyung lari ke kakus dan terdengar suara
membe-rebet dari tubuh belakangnya !
Si muka kanak - kanak yang menubruk Bwee Hong mengalami nasib lebih buruk lagi dibandingkan
dengan si perut gendut yang menjadi mu-las perutnya sehingga isinya menuntut keluar
itu.
Bwee Hong menyambut tubrukan lawannya dengan marah. Ia memiliki ginkang yang luar
biasa hebat-nya, dan si muka kanak - kanak itu tadinya sudah merasa yakin bahwa kedua
lengannya akan dapat memeluk nona yang cantik jelita itu. Akan tetapi, pada detik terakhir, tahu -
tahu tubuh nona itu hi-lang begitu saja dan sebelum dia dapat melihat di mana adanya nona itu,
tiba - tiba kaki nona itu me-nyambar dari samping dan menyambar dadanya.
"Desss !" Tendangan itu keras sekali. Tubuhnya yang pendek itu terjengkang dan si muka
kanak - kanak itu roboh dan pingsan, mukanya seperti seorang anak kecil sedang tidur dengan
nyenyak dan tenteramnya!
Tentu saja peristiwa ini membuat semua orang terkejut dan sekaligus juga sadar bahwa dua
orang dara yang hendak mereka permainkan itu ternyata adalah dua orang wanita yang memiliki
kepandai-an lihai! Mereka bukan hanya terkejut, akan teta-pi juga merasa penasaran sekali
melihat dua orang teman mereka dirobohkan, dan dengan muka ber-ubah merah cemberut,
lenyap semua kegembiraan tadi, belasan orang anak buah perahu layar itu me-ngurung Pek Lian
dan Bwee Hong! Tentu saja dua orang dara perkasa itupun siap - siap untuk menghadapi
pengeroyokan.
Orang - orang yang sebagian bertubuh katai itu mengurung makin ketat. Akan tetapi pada
saat itu terdengar bentakan dalam Bahasa Jepang. Bentak-an itu halus, akan tetapi mengandung
wibawa yang sedemikian hebatnya terhadap orang - orang itu karena mereka semua terkejut
seperti diserang ular dan mereka semua serentak mundur, lalu ber-diri tegak dan memandang
dengan penuh ketaatan dan kehormatan kepada seorang laki - laki yang berpakaian indah
bersikap agung, yang baru mun-cul dari dalam bilik perahu besar itu diiringkan oleh empat orang
yang pakaiannya warna - warni dan menyolok sekali. Empat orang ini bertubuh pendek gempal
dan nampaknya kokoh kuat, di pinggang mereka tergantung pedang panjang me-lengkung yang
ujungnya terseret di atas lantai pe-rahu !
Perahu layar besar mewah itu adalah milik la-ki - laki berusia tigapuluh lima tahun yang
baru muncul ini. Dia seorang Pangeran Jepang yang me-lakukan pelayaran menuju ke daratan
Tiongkok untuk mengunjungi kaisar dengan membawa ba-nyak barang-barang berharga yang
akan dihadiah-kan kepada kaisar. Empat orang pengawalnya ada-lah jagoan - jagoan samurai.
Ketika sang pangeran ini mendengar suara ribut - ribut di luar dan setelah dia keluar melihat dua
orang dara cantik dikurung oleh anak buah perahu, dia menjadi tertarik sekali dan menyuruh para
anak buahnya mundur. Dia sendiri memandang kepada dua orang nona cantik itu, maklum bahwa
mereka tentulah dua orang dara berbangsa Han dan melihat sikap mereka, tentulah dua orang
nona ini merupakan dua orang wanita petualang yang memiliki ilmu kepandaian silat. Sudah
banyak sang pangeran ini mendengar ten-tang ahli - ahli silat di Tiongkok, dan tentang pen-dekarpendekar
wanita. Hatinya tertarik sekali, terutama kepada Pek Lian yang dianggapnya me-miliki
sifat kegagahan yang amat mengagumkan hatinya di samping kecantikannya. Maka, kalau dia
dapat menawan dua orang dara ini, tentu akan menjadi suatu kebanggaan baginya kalau pulang
kelak, sebagai hasil perjalanan jauh ini yang paling menyenangkan dan mengesankan hatinya. Di
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
an-tara para selirnya, tidak terdapat seorang pendekar wanita dan betapa akan bangga hatinya
memiliki selir yang selain cantik juga berkepandaian silat tinggi seperti dua orang dara ini. Maka,
dengan senyumnya yang khas, senyum seorang Pangeran Jepang yang hanya merupakan gerakan
bibir ter-buka saja, seperti topeng tersenyum, pangeran itu melangkah maju menghadapi Pek Lian
dan Bwee Hong, lalu mengangguk dengan sikap ramah. Sebelum meninggalkan negerinya untuk
menghadap Kaisar Tiongkok, tentu saja pangeran ini lebih dulu telah mempelajari bahasa dari
negara yang hendak dikunjunginya, dan kini dia berkata dengan suara dan sikap halus, katakatanya
teratur rapi seperti kata-kata seorang yang menguasai bahasa asing melalui pelajaran,
bukan karena praktek.
"Harap nona berdua sudi memaafkan kekasar-an orang-orang kami. Akan tetapi mereka itu
menentang nona berdua karena perahu nona me-numbuk perahu kami."
"Hemm, dalam hal ini perahu siapa yang me-numbuk perahu siapa ? Agar tidak menuduh
yang bukan-bukan dan sembarangan saja !" bantah Pek Lian sambil memandang kepada laki - laki
itu de-ngan penuh perhatian. Juga Bwee Hong meman-dang dengan heran. Laki-laki itu berusia
kurang lebih tigapuluh lima tahun, pakaiannya dari sutera halus dengan potongan aneh-aneh.
Wajah orang itu dapat dikatakan tampan dan berwibawa, de-ngan jenggot yang dicukur dengan
bentuk aneh pula. Rambutnya digelung ke atas dengan hiasan beberapa batang tusuk konde
kemala, akan tetapi dahi yang teramat luas itu jelas merupakan dahi buatan, yaitu sebagian besar
dari rambut di atas dahi itu dicukur sehingga dahi kelihatan ting-gi dan luas! Diam-diam dua orang
dara itu me-rasa geli dan juga heran. Laki - laki ini termasuk tinggi di antara teman - temannya,
setinggi Pek Lian, sedangkan yang lain - lain itu jauh lebih pendek.
Pangeran itu menarik napas panjang. "Kami sudah menerima laporan dan ternyata bahwa
pe-rahu nona tidak memakai lampu. Jadi, tabrakan ini jelas sekali terjadi karena kelalaian nona."
Pek Lian tidak dapat membantah. Bagaimana-pun juga, ucapan itu memang benar,
perahunya tidak mempunyai lampu penerangan sehingga kalau orang - orang ini menabrak
perahunya, mereka tidak dapat terlalu disalahkan.
"Memang perahuku tidak mempunyai penerang-an. Lalu, setelah terjadi tabrakan, apakah
sudah sepatutnya kalau anak buahmu hendak menggu-lingkan perahuku ? Aturan mana itu ?" kata
Pek Lian marah.
"Itupun hanya akibat dari pada tabrakan perahu, nona. Dan nona sudah merasa betapa
kesalahan berada di pihak nona karena tidak adanya lampu penerangan. Kemudian nona malah
naik ke sini dan merobohkan dua orang kami."
Pek Lian menjadi marah. Dia menegakkan ke-palanya dan memandang tajam. "Habis, kalian
mau apa ?"
Pangeran itu tersenyum dan seperti tadi, Pek Lian merasa seolah -
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To
Register.]***
o-dak mengira bahwa mereka berhadapan dengan seorang pangeran Bangsa Jepang.
"Kita mengadu ilmu silat, kalau nona berdua dapat mengalahkan kami, aku berjanji akan
mem-bebaskan nona dan akan menghabiskan urusan ta-brakan perahu tadi."
"Kalau kami kalah ?" Pek kian mendesak.
Pangeran itu tersenyum. "Terpaksa nona ber-dua harus menjadi tamuku. Aku ingin
berkenalan lebih erat dengan nona berdua yang menarik ha-tiku."
"Bagus!" teriak Pek Lian marah. "Sudah kudu-ga tentu ada pamrih busuk di balik semua ini.
Majulah!" Ia menantang sambil mencabut pedang-nya. Bwee Hong juga mencabut pedangnya dan
dua orang dara itu siap menghadapi segala ke-mungkinan.
Pangeran itu tersenyum dan menoleh kepada empat orang pengawalnya, mengangguk dan
ber-kata dalam bahasanya sendiri, "Tangkap mereka ini!"
Seorang jagoan samurai yang pakaiannya war-na-warni, totol - totol dan mewah sekali
melom-pat maju ke depan menghadapi Pek Lian. jagoan ini juga memiliki dahi yang amat lebar,
bahkan seluruh permukaan kepalanya bagian atas telah dibotaki licin sehingga dahinya seolah -
olah sede-mikian lebarnya sampai di bagian belakapg kepa-lanya. Sisa rambut bagian bawah
digelung kecil dan dihias tusuk konde. Muka jagoan ini seperti monyet, akan tetapi harus diakui
bahwa gerakannya sigap dan tubuhnya yang pendek itu nampak ku-at bukan main. Bajunya
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
rangkap empat, kedua le-ngannya dari pergelangan tangan sampai dekat siku dibelit - belit kain
keemasan, pinggangnya juga dibelit - belit kain totol - totol merah dan sebatang pedang samurai
terselip di situ. Kakinya memakai sandal yang banyak talinya.
Jagoan ini berdiri di depan Pek Lian dan de-ngan sikap kaku membungkuk seperti pisau
lipat, kemudian dia mengeluarkan seman keras dari da-lam perut, kedua tangan bergerak dan
tahu - tahu nampak sinar berkilat dan sebatang samurai telah dicabutnya dengan kedua tangan
dan dipegang-nya seperti orang memanggul cangkul. Pedang ini gagangnya dua kali lebih panjang
dari pada pe-dang biasa dan jagoan itupun memegang pedang dengan kedua tangan. Kembali
jagoan Jepang ini berteriak nyaring dan tiba - tiba dia sudah melaku-kan penyerangan. Tubuhnya
bergerak dan pedang samurai yang dipegang dengan kedua tangan itu menyambar dari kanan ke
kiri mengarah tubuh Pek Lian.
Dara ini cepat meloncat ke belakang sambil menangkis dengan pedangnya. Ia mengerahkan
tenaga sinkang karena ia ingin menguji sampai di mana besarnya tenaga lawan. Karena tangkisannya
itu, tak dapat dihindarkan lagi. pedangnya bertemu dengan pedang samurai yang dibabatkan
dari kanan ke kiri itu.
"Trakkkk !" Pek Lian mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang
menghindarkan babatan ke dua ke arah kakinya. Dara ini melon-cat ke papan lantai perahu yang
lebih tinggi, me-mandang kepada pedang yang tinggal gagangnya dan sepotong kecil saja di
tangannya, matanya ter-belalak. Tak disangkanya bahwa pedang samurai lawan itu sedemikian
tajam dan kuatnya sehingga sekali beradu saja pedangnya telah patah ! Akan tetapi ia melihat
bahwa biarpun pedang samurai lawan itu amat ampuh, tajam dan kuat, gerakan lawan ini tidaklah
terlalu gesit. Maka iapun membuang pedangnya dan berseru kepada Bwee Hong, "Hati - hati, enci,
jangan mengadu senjata !" Iapun lalu menerjang maju melawan jagoan yang masih
mempergunakan samurainya untuk memba-cok dan membabat itu. Pek Lian mempergunakan
kelincahannya dan memang ia jauh lebih lincah dari pada lawannya sehingga biarpun kini ia bertangan
kosong, namun menghadapi samurai itu ia tidak terdesak. Tubuhnya berkelebat ke sana -
sini mengelak dari sambaran sinar pedang samurai, dan iapun membalas dengan tidak kalah
hebatnya, menggunakan pukulan dan tendangan kaki.
"Buk!" Sebuah tendangan kaki kiri Pek Lian mengenai perut lawan dan jagoan ini terpental
ke belakang sambil mengeluh dan memaki. Akan te-tapi ternyata dia memiliki kekebalan juga
karena tendangan itu tidak merobohkannya, lalu dia maju lagi sambil memutar-mutar pedang
samurainya dengan ganas sehingga terpaksa Pek Lian harus menggunakan kelincahan tubuhnya
untuk berlon-catan dan mengelak ke sana - sini.
Sementara itu, Bwee Hong juga sudah diserang oleh seorang jagoan samurai lain. Akan
tetapi, ka-rena Bwee Hong sudah melihat betapa samurai-samurai itu amat tajam dan kuatnya,
dan mende-ngar peringatan Pek Lian, ia sama sekali tidak mau mengadu pedangnya, melainkan
menggunakan ke-cepatan gerakannya untuk menghindarkan setiap bacokan lawan lalu membalas
dengan cepat. Kare-na Bwee Hong memang memiliki ginkang yang amat hebat, maka dalam
beberapa kali gebrakan saja, lawannya telah terdesak hebat dan terpaksa jagoan ke tiga lalu
mengeroyoknya ! Namun Bwee Hong tidak merasa jerih dan dara ini mengamuk terus,
mengandalkan ginkangnya dan juga kece-patan gerakan pedangnya.
Diam - diam sang pangeran mengikuti jalannya pertandingan itu dengan kagum. Melihat
betapa seorang di antara jagoannya dalam belasan jurus saja terkena tendangan kaki Pek Lian,
dia terke-jut sekali. Apa lagi melihat betapa dara yang ke dua itu bahkan memiliki kecepatan
gerakan yang me-lebihi dara pertama sehingga pengeroyokan dua orang jagoannya tidak
membuat terdesak, diam-diam dia menjadi kaget, kagum dan juga girang Betapa akan bangga
hatinya kalau dia dapat ber-hasil menundukkan dua orang dara perkasa ini dan mengangkat
mereka menjadi selir - selirnya ! Selain sebagai selir yang patut dibanggakan, juga dapat menjadi
pengawal pribadinya dalam arti yang pa-ling mesra dan mendalam.
Pangeran Akiyama lalu memberi isyarat kepa-da jagoannya nomor empat, lalu
memerintahkan jagoan yang melawan Pek Lian untuk membantu dua orang temannya yang sudah
mengeroyok Bwee Hong. Kemudian dia sendiri, dengan tangan ko-song, dibantu oleh jagoan
barunya yang juga ber-tangan kosong, menerjang dan mengeroyok Pek Lian. Dan Pek Lian
terkejut! Kiranya Pangeran Jepang inipun pandai ilmu silat tangan kosong, de-ngan pukulan -
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pukulan tangan miring yang cukup kuat, sedangkan pembantunya, jagoan samurai itu pandai ilmu
semacam Ilmu Kim - na - jiauw, yaitu ilmu menggunakan jari - jari tangan untuk men-cengkeram
dan menangkap ! Dikeroyok dua oleh dua, orang ahli yang memiliki ilmu yang berbeda ini, Pek
Lian menjadi sibuk juga. Setelah melawan sampai belasan jurus, tahu - tahu pergelangan ta ngan
kirinya sudah dicengkeram dan ditangkan oleh jagoan pembantu pangeran itu ! Untung sekali Pek
Lian bersikap waspada dan bergerak cepat. Sebelum sang pangeran yang juga lihai itu sempat
memperburuk keadaannya, kakinya sudah mela-yang ke arah bawah pusar jagoan itu dan tangan
kirinya menusuk dengan jari telunjuk ke arah mata! Diserang dengan hebat seperti ini, jagoan samurai
itu terkejut dan cepat membuang tubuh ke belakang dan tiba-tiba saja pundak kanannya
tertotok oleh jari tangan Pek Lian. Seketika lengan kanannya seperti lumpuh dan cengkeramannya
ter-lepas. Pada saat itu, Pangeran Akiyama telah me-nerjang lagi, akan tetapi Pek Lian sudah
terbebas dari cengkeraman sehingga ia mampu bergerak mengelak dan balas menyerang. Si
jagoan samurai hanya lumpuh sebentar saja. Dia sudah pulih kem-bali dan membantu sang
pangeran, mengeroyok Pek Lian dengan lebih ganas. Sekali ini Pek Lian benar - benar merasa
kewalahan. Tingkat kepan-daian pangeran itu sendiri sudah berimbang dengan tingkatnya, kini
pangeran itu dibantu oleh jagoan samurai itu, tentu saja ia menjadi kewalahan.
Keadaan Bwee Hong tidak lebih baik dari pada temannya. Pengeroyokan tiga orang Samurai
yang kesemuanya bersenjatakan pedang samurai yang amat berbahaya, tajam dan kuat itu
sungguh mem-buat ia kewalahan. Kalau melawan satu demi satu, atau katakanlah dikeroyok dua,
ia masih sanggup untuk menang. Akan tetapi yang mengeroyoknya ada tiga orang !Perlahan -
lahan dara inipun terde-sak dan main mundur, mandi keringat seperti juga keadaan Pek Lian.
Bagaimanapun juga, seperti juga Pek Lian, Bwee Hong pantang menyerah dan mengamuk terus
sambil mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya.
Melihat keadaan ini, hati sang pangeran men-jadi khawatir. Dia tidak menghendaki dua
orang gadis itu terluka, apa lagi terbunuh. Dia ingin me-nundukkan dan menangkap mereka hidup
- hidup. Akan tetapi mereka berdua itu sedemikian lihai nya sehingga tentu sukar untuk
mengalahkan mereka tanpa merobohkannya. Diapun lalu memberi aba - aba dalam bahasanya
dan kini belasan orang anak buahnya datang membawa jala yang lebar. Mereka mengurung Bwee
Hong dan tiba - tiba, de-ngan cepat sekali jala atau jaring itu mereka lem-parkan dan karena ia
sendiri terancam tiga batang samurai, Bwee Hong tidak mampu menghindar la-gi dan tahu - tahu
jaring itu telah menimpa tubuh-nya ! Tentu saja dara ini terkejut dan cepat meng-gunakan
pedangnya untuk membabat tali jaring yang meringkusnya. Akan tetapi, tiba - tiba pedang-nya
bertemu dengan benda keras.
"Krakkkk !" Dan pedang itu, seperti pedang Pek Lian tadi, telah patah - patah bertemu
dengan dua batang samurai yang menangkisnya dari luar ja ring ! Dan kini tiga orang jagoan itu
menyimpan samurai mereka dan menubruk, meringkus Bwee Hong yang meronta-ronta di dalam
jaring seperti seekor ikan yang terjala. Karena tiga orang jagoan itu memang bertenaga besar dan
Bwee Hong tak dapat banyak bergerak dalam jaring, akhirnya dara ini telah dibelenggu di dalam
jaring dan tidak mampu berkutik lagi.
Melihat ini, Pek Lian marah bukan main. "Pa-ngeran busuk, lepaskan sahabatku !" bentaknya
dan iapun menyerang dengan dahsyat, memukul ke arah kepala Pangeran Jepang itu dengan
pengerah-an tenaga. Pangeran itu melihat pukulan berbahaya, maka diapun cepat merendahkan
dirinya dan mengangkat kedua lengan menangkis. Pembantu-nya, jagoan yang- mengeroyok Pek
Lian, melihat kesempatan baik. Ketika lengan Pek Lian bertemu dengan lengan pangeran, diapun
mendorong dari samping ke arah lambung gadis itu !
"Dukk!" Pangeran Akiyama terguling ketika beradu lengan dengan Pek Lian, akan tetapi
gadis ini sendiri terkena dorongan jagoan samurai itu dan terlempar ke kanan. Malang baginya, di
sebelah ka-nannya adalah tepi perahu itu dan tanpa dapat di-cegah lagi, tubuhnya terlempar
keluar.
"Byuuurrrr !" Tubuh gadis itu menimpa air. Pek Lian maklum bahwa kalau ia tertawan
juga, habislah harapannya untuk menolong Bwee Hong dan juga dua orang pemuda yang
tertawan, maka iapun cepat menyelam. Ketika para anak buah pangeran itu menggunakan lampu
untuk mencari ke bawah, mereka tidak dapat menemukan gadis itu yang sudah bersembunyi di
balik perahu besar, di bagian yang gelap.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar terang dan ternyata perahu besar mewah milik
Pangeran Jepang ini telah dikepung oleh delapan buah pera[ hu yang malam tadi pernah dilihat
oleh Pek Lian. Dari permukaan air di balik perahu besar di mana ia bersembunyi, Pek Lian dapat
melihat betapa tiga orang yang bergerak sigap sekali memimpin anak buahnya dari delapan buah
perahu itu me-nyerbu ke perahu asing. Terjadi pertempuran he-bat, akan tetapi betapapun
lihainya sang pangeran dari Jepang itu bersama para jagoan samurai dan anak buahnya, namun
pihaknya kalah banyak dan para bajak itu dipimpin oleh tiga orang yang ting-kat kepandaian
silatnya tidak kalah dibandingkan dengan para samurai. Maka akhirnya sang pange-ran yang
melihat bahwa melanjutkan perlawanan tiada guna, lalu menyerukan aba - aba kepada anak
buahnya untuk menyerah ! Banyak di antara mereka yang tewas dan sisanya dijadikan tawanan.
Para bajak bersorak - sorai penuh kegembiraan ke-tika mendapat kenyataan bahwa perahu yang
mereka bajak itu adalah perahu seorang pangeran dan di dalam perahu terdapat banyak sekali
barang-barang berharga yang sedianya hendak dihadiah-kan kepada kaisar ! Benar - benar
merupakan hasil besar, mereka telah menangkap seekor kakap yang besar dan gemuk!
"Harap kalian orang - orang gagah suka dengar baik - baik !" Tiba - tiba Pangeran Jepang
itu ber-teriak sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Aku adalah Pangeran Akiyama,
seorang bangsawan tinggi dari Jepang yang hendak menghadap kaisar di Kota Raja Sian-yang!
Aku adalah sahabat kai-sar, maka harap kalian jangan mengganggu kami dan suka membebaskan
kami kembali. Untuk itu, kami tidak akan lupa dan akan memberi hadiah yang besar !"
Akan tetapi, tiga orang yang memimpin pemba-jakan itu tertawa bergelak. "Ha - ha - ha,
pangeran badut! Biar kaisar sendiri yang berada di dalam pe-rahu, tetap saja akan kami bajak !"
Para bajak laut itu bersorak - sorak dan tertawa - tawa dan Sang Pa-ngeran Jepang terpaksa
membungkam dan tidak berani bicara lagi, maklum bahwa dia terjatuh ke tangan para bajak laut
yang tidak mau mengakui kedaulatan siapapun kecuali kepala mereka. Dia hanya mengharapkan
bahwa kepala bajak akan mau menerima tebusan dan tidak akan membunuh-nya. Semua anak
buahnya ditawan, dan Bwee Hong juga termasuk menjadi tawanan. Bwee Hong tidak merasa
takut akan nasib dirinya sendiri, akan tetapi ia merasa khawatir sekali ketika melihat Pek Lian
tercebur ke dalam lautan tadi. Ingin ia mena-ngisi nasib kawannya itu dan kini setelah ia ditinggalkan
Pek Lian, mungkin ditinggal mati, ia merasa betapa harapannya untuk dapat menolong
kakak-nya menjadi semakin menipis. Akan tetapi, berada di tangan lawan sebagai tawanan, ia
pantang me-nangis !
**
Ketika pertempuran antara para bajak dan anak buah Pangeran Jepang terjadi, Pek Lian
masih bersembunyi di permukaan air. Dia hanya melihat para bajak berlompatan ke atas perahu
mewah setelah menempelkan perahu - perahu mereka ke-pada perahu korban, dan perahu
mewah itu ter-guncang - guncang selagi mereka bertempur. Un-tung baginya, ada sebuah perahu
sekoci kecil terle-pas dari perahu mewah dalam keributan itu dan iapun cepat berenang dan
berhasil memegang pe-rahu itu. Sementara itu, pertempuran sudah ber-henti dan perahu mewah
itu lalu ditarik oleh pera-hu - perahu bajak laut yang meninggalkan tempat itu jauh lewat tengah
malam.
Pek Lian menggunakan dayung, sekuat tenaga ia mendayung dan melawan ombak untuk
mengikuti ke arah perginya perahu - perahu itu. Hari telah hampir pagi dan cuaca mulai remang -
remang ke-tika perahu - perahu para bajak itu tiba di sekelom-pok pulau - pulau kecil yang
bertebaran di tengah lautan. Perahu besar mewah yang dibajak itu, yang membawa tawanan,
diseret ke sebuah pulau ter-besar yang berada di tengah kelompok pulau - pu-lau. Di atas
beberapa pulau kecil nampak bebe-rapa orang menyambut iring - iringan perahu itu dengan
teriakan dan sorak - sorai gembira. Mereka itu tahu bahwa kawan - kawan mereka telah ber-hasil
membajak sebuah perahu mewah yang kaya.
Tidak seperti pulau - pulau kecil di sekelilingnya yang berpantai pasir dan landai, pantai dari
pulau di mana perahu bajakan itu diseret merupakan tebing karang yang tinggi. Di tepi tebing
yang curam itulah para bajak menghentikan perahu - perahu mereka. Sebuah pintu baja terbuka
dan perahu - perahu itu memasuki pintu ini ke dalam pulau. Pintu rahasia dan agaknya perahu
luar tidak akan mungkin dapat masuk karena pintu karang itu menutup jalan masuk.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Ho Pek Lian memutar perahu sekocinya dan akhirnya ia mendapatkan sebuah tempat
pendaratan yang tersembunyi dan tidak begitu terjal. Ia menarik sekoci kecil itu ke darat,
menyembunyikannya dalam guha batu karang, dan ia sendiri lalu mendaki tebing dengan hati -
hati karena iapun maklum bahwa ia telah memasuki tempat berbahaya, sebuah pulau yang dihuni
oleh gerombolan bajak laut yang ganas.
Sementara itu, Bwee Hong yang masih berada di dalam jaring dan diikat dari luar, tidak
dapat bergerak. Selama terjadi pertempuran di atas perahu, ia hanya dapat rebah sambil
menonton saja dan ketika iapun terbawa sebagai tawanan bersama Pangeran Akiyama dan anak
buahnya, iapun hanya diam saja. Apa gunanya kalau ia berteriak memberi tahu bahwa ia biikan
anak buah pangeran itu ? Yang menang itu jelas adalah gerombolan bajak laut yang tentu lebih
ganas dan kejam dari pada gerombolan anak buah pangeran itu. Ia merasa betapa baru saja
terlepas dari mulut serigala ia kini terjatuh ke mulut buaya !
Semua tawanan dibawa ke dalam sebuah ba-ngunan besar yang dibangun seperti benteng
di pulau itu. Mula - mula Sang Pangeran Jepang itu yang dihadapkan kepada pimpinan bajak. Di
atas sebuah kursi besar, di ruangan yang luas, duduklah pemimpin bajak itu yang memandang
kepada semua tawanan yang dikumpulkan di situ dengan wajah dingin. Dia adalah seorang laki -
laki yang usianya kurang lebih limapuluh tahun, pakaiannya mewah, lebih pantas menjadi seorang
bangsawan atau se-orang hartawan besar dari pada seorang kepala ba-jak. Wajahnya juga tidak
membayangkan kekejam-an atau kekerasan seperti wajah para anggauta ba-jak, walaupun wajah
itu berkulit tebal kehitaman dan segala sesuatunya pada kepala bajak ini nam-pak tebal dan bulat!
Wajahnya gemuk bulat, de-ngan mata yang lebar dan biji mata besar. Hidung-nya juga besar dan
bulat, bibirnya tebal. Akan te-tapi wajah ini bukan wajah yang buruk atau me-nakutkan, melainkan
membayangkan kemakmuran duniawi, sering nampak pada wajah orang - orang kaya atau
bangsawan tinggi yang selalu hidup da-lam kemewahan dan kesenangan. Tubuhnya gemuk dan
perutnya gendut. Begitu si gemuk ini tadi mun-cul ke dalam ruangan, semua anggautanya
memberi hormat dengan menekuk sebelah lutut. Baru setelah ia duduk di atas kursi besar itu,
semua bajak berdiri lagi, dan ada pula yang duduk. Ketika Sang Pangeran Jepang dihadapkan,
pangeran ini meng-ambil sikap angkuh.
"Engkaukah pemilik perahu itu ?" tanya si ke-pala bajak dengan suara tenang.
Pangeran Akiyama lalu menggunakan kesem-patan ini untuk memperkenalkan diri. "Aku
adalah Pangeran Akiyama, seorang bangsawan tinggi di Jepang dan masih kerabat dari kaisar. Aku
sedang melakukan perjalanan menuju ke daratan besar untuk menghadap Kaisar Cin Si Hong-te.
Ka-rena tidak tahu, kami telah melanggar wilayah tu-an, maka harap suka memberi maaf dan
untuk itu kami sanggup untuk mengganti kerugian."
Kepala bajak yang perutnya gendut itu terse-nyum, akan tetapi senyumnya penuh ejekan.
"Kaum pedagang kaya raya dan bangsawan yang tinggi kedudukannya merupakan korban yang
paling ka-mi sukai. Pangeran, tanpa kauusulkan, karena eng-kau telah terjatuh ke tangan kami,
engkau baru akan kami bebaskan kalau keluargamu dapat me-nebus dengan sejumlah emas yang
akan kami te-tapkan kemudian. Masukkan dia ke kamar tahanan dan perlakukan dengan baik!"
Empat orang anak buah bajak lalu menarik pangeran itu keluar dari ruangan. Pangeran Akiyama
bersikap tenang se-perti layaknya seorang pangeran. Bagaimanapun juga, keluarganya takkan
membiarkan dia teran-cam oleh para bajak dan tentu uang tebusan akan dikirim.
Setelah pangeran itu dibawa pergi, kepala bajak itu memandang kepada sisa anak buah
sang pange-ran, lalu berkata kepada para pembantunya, "Su-ruh mereka ini bekerja keras, kalau
ada yang me-larikan diri, bunuh saja !"
Para tawanan itu lalu digusur pergi, dan di an-tara mereka itu terdapat Bwee Hong yang
masih terikat dan terbungkus jaring. "Tahan dulu, biar-kan tawanan wanita ini tinggal di sini! Aku
mau memeriksanya !" kata si kepala bajak. Anak buah-nya yang tadi sudah menyeret wanita
dalam jaring itu nampak kecewa. Biarpun berada dalam jaring, Bwee Hong masih dapat dilihat
dengan mudah dan anak buah bajak itu sudah merasa girang memper-oleh seorang tawanan yang
demikian muda dan cantiknya. Akan tetapi kini dia diperintahkan un-tuk meninggalkan tawanan ini
maka tentu saja dia kecewa.
Kini yang berada di dalam ruangan itu tinggal-lah si kepala bajak dan tiga orang
pembantunya, yaitu bajak laut lihai yang tadi memimpin penye-rangan terhadap perahu asing itu.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Siapakah engkau?" tanya kepala bajak itu sambil memandang kepada wanita tawanan itu
yang rebah miring di atas lantai. Bwee Hong yang mera-sa amat terhina itu tidak mau menjawab
sama sekali. Ia sudah tertawan dari tangan orang Jepang itu ke tangan bajak laut, dibelenggu dan
terbung-kus jaring, merasa seperti seekor harimau tertang-kap, diseret dan dilempar begitu saja di
atas lantai. Ingin ia menangis karena sakit hati, maka kini ia menimpakan kemarahan hatinya
kepada kepala bajak ini. Ia sudah tertangkap, biar akan dibunuh sekalipun ia tidak akan sudi
memperlihatkan sikap lunak atau tunduk !
Melihat wanita itu diam saja, si kepala bajak mengerutkan alisnya. Dalam keadaan
terbungkus jaring dan terikat seperti itu, tentu saja Bwee Hong tidak kelihatan terlalu cantik,
bahkan sebagian da-ri mukanya tertutup rambutnya yang terlepas dari sanggul dan riap - riapan,
dan bagian yang tidak tertutup itupun masih tidak dapat nampak jelas karena tertutup benangbenang
jaring.
"Kenapa engkau terbungkus jaring dan dibe-lenggu seperti seekor binatang buas ?" kembali
si kepala bajak laut bertanya. Bwee Hong makin mendongkol dan tidak mau menjawab. Menjawab
sama saja dengan menceritakan kekalahannya.
"Apakah engkau tuli ? Ataukah gagu barang-kali ?" Kepala bajak itu mulai ragu - ragu.
Semua tawanan tadi, biarpun tidak kelihatan ketakutan, setidaknya mentaatinya dan tidak
memperlihatkan sikap melawan, sadar bahwa mereka sudah kalah dan tertawan. Agaknya tidak
mungkin kalau wa-nita ini berani menentangnya dan sengaja tidak mau menjawab. "Atau
barangkali engkau tidak me-ngerti bahasa kami ?" Lalu tiba - tiba kepala bajak itu mengajukan
pertanyaan lagi dalam Bahasa Jepang ! Mendengar ini, diam - diam hati Bwee Hong merasa geli,
akan tetapi kemarahannya ti-dak mereda dan tiba - tiba iapun menjawab dengan suara lantang.
"Aku sudah tertawan, kalau mau bunuh, laksa-nakanlah. Siapa takut mati ? Tak perlu banyak
cerewet lagi!"
Kepala bajak itu nampak terkejut sekali mende-ngar ucapan ini. Sungguh merupakan
jawaban yang sama sekali tidak diduganya. Dan suara wa-nita ini sungguh merdu, nyaring dan
penuh sema-ngat, tidak mungkin suara seorang wanita biasa saja !
"Eh, siapakah sesungguhnya engkau ? Bukan-kah engkau juga anak buah Pangeran Jepang
itu kepala bajak itu mendesak dengan penuh keingin-an tahu.
"Bukan !" jawab Bwee Hong. "Perahuku berta-brakan dengan perahunya, aku dikeroyok dan
ter-tangkap."
"Ah, begitukah ?" kepala bajak itu berseru he-ran dan kagum. Tahulah dia kini bahwa wanita
itu adalah seorang wanita gagah, kalau tidak de-mikian, tak mungkin sampai dikeroyok. "Lepaskan
!" katanya kepada tiga orang pembantunya.
Tiga orang pimpinan bajak itu lalu mengguna-kan golok untuk membikin putus tali yang
mengikat kaki tangan dan tubuh Bwee Hong. Begitu terle-pas dari ikatan, Bwee Hong meronta dan
jaring itupun jebol dan iapun meloncat keluar, berdiri tegak dengan gagahnya di depan kepala
bajak itu.
"Ahhh !" Kepala bajak yang perutnya gendut itu kini memandang dengan melongo, juga
tiga orang pembantunya itu memandang kagum. Kiranya tawanan wanita itu adalah seorang dara
yang luar biasa cantik jelitanya! Biarpun pakaiannya
kusut dan rambutnya awut - awutan, mukanya kotor, namun jelas nampak betapa cantiknya
gadis ini. Seketika jantung kepala bajak itu berdebar-debar dan diapun sudah jatuh hati kepada
gadis itu. Dia sudah mempunyai seorang isteri dan beberapa orang selir, akan tetapi begitu
melihat Bwee
Hong, mau rasanya dia membuang semua isteri dan selirnya itu dan menggantikan tempat
mereka dengan gadis ini!
"Aihh, nona yang cantik dan gagah perkasa. Si-apakah engkau ? Siapa namamu ?"
Melihat perobahan sikap itu, senyum lebar yang disertai pandang mata -penuh gairah, hati
Bwee Hong sudah menjadi penasaran dan mendongkol. Ia menduga bahwa tentu si gendut inilah
yang pernah dibicarakan oleh Pek Lian, yaitu kepala atau raja penjahat yang menguasai lautan
dan memimpin para bajak yang berjuluk Tung-hai-tiauw Si Rajawali Lautan Timur, seorang di antara
Sam - ok yang sedang dicari - cari oleh dua orang rekannya, yaitu Si Harimau Gunung dan Si
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Buaya Sakti, atas perintah Raja Kelelawar! Ia ti-dak ingin berkenalan atau memperkenalkan diri
kepada segala macam raja penjahat!
"Namaku tidak ada sangkut - pautnya dengan kalian!" jawabnya kaku.
Kepala penjahat itu tidak menjadi marah meli-hat sikap ini. Malah sikap itu nampak semakin
me-narik dan gagah baginya! Setiap pendapat itu selalu diwarnai oleh perasaan suka atau tidak
suka, karenanya, pendapat itu selalu palsu adanya dan tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai
kea-daan sesungguhnya dari sesuatu.
"Nona, bagaimanapun juga, aku telah menye-. lamatkan nona dari pada malapetaka hebat.
Kalau tidak ada aku yang menolongmu, bukankah engkau akan celaka sebagai tawanan pangeran
asing itu ?" katanya membujuk.
"Kalian menyerbu perahu pangeran itu untuk membajak, sama sekali bukan untuk
menolongku," bantah Bwee Hong.
Makin larna, kepala bajak itu menjadi semakin
tertarik dan terpesona oleh kecantikan gadis ini.
"Kalau begitu, berilah kesempatan kepadaku untuk
dapat menolongmu, nona. Agar aku dapat membuktikan
bahwa aku sungguh ingin menolongmu
dan mempunyai niat baik terhadap dirimu "
"Kalau engkau beriktikad baik, berilah aku se-buah perahu kecil agar aku dapat pergi
mencari temanku yang terpisah dariku karena pengeroyok-an orang - orang Jepang itu !"
"Ah, ada lagi seorang temanmu ? Apakah diapun tertawan ? Seorang pemuda ataukah sudah
tua ?"
"Sahabatku itu juga seorang gadis, ia terjatuh dari perahu " Bwee Hong mulai mau
bercerita karena ia mengharapkan orang - orang ini akan dapat membantunya mencari dan
menyelamatkan Pek Lian. Selain itu ia percaya bahwa kakaknya tentu sudah menjadi tawanan pula
di tempat ini dan siapa tahu ia akan dapat membujuk agar ke-pala bajak ini mau membebaskan
kakaknya pula.
"Nona, Lautan Po - hai ini begini luas dan eng-kau yang tidak berpengalaman, bagaimana
dapat mencari seorang teman yang hilang hanya dengan menggunakan sebuah perahu kecil ?
Jadilah tamuku yang terhormat dan aku akan membantumu men-carikan sahabatmu itu. Akan
kukerahkan semua anak buahku. Engkau tentu lelah sekali, biarlah engkau mengaso dulu. Mari,
nona, mari kuantar nona ke kamar tamu dan nona akan menikmati ke hidupan di tempat ini."
Kepala bajak itu lalu mem-bawa sendiri Bwee Hong menuju ke ruangan sebe-lah dalam dan di
situ, beberapa orang pelayan wa-nita menyambutnya. Bwee Hong diberi sebuah kamar yang
indah. Karena mengharapkan bantuan untuk menemukan kembali Pek Lian, juga karena
mengharapkan akan dapat membebaskan kakaknya yang ia kira tentu berada di tempat ini pula
seba-gai tawanan, Bwee Hong tidak menolak, walaupun ia tidak pernah kehilangan
kewaspadaannya dan tidak mau bersikap manis kepada tuan rumah yang pandang matanya
mengandung gairah itu. Bagai-manapun juga, nona ini terkesan juga oleh sikap tuan rumah. Sama
sekali tidak seperti sikap kepala bajak. Begitu halus dan sopan, dan ternyata di se-belah dalam
istana itu, keadaannya seperti dalam istana raja - raja saja. Juga para pelayan wanita terlatih baik
dan bersikap amat halus!
Para anak buah bajak selama sehari semalam berpesta - pora merayakan hasil yang amat
besar di malam hari itu. Para tawanan, yaitu anak buah pangeran, dijebloskan dalam tempat
tawanan yang berada di bawah tanah. Hanya Pangeran Akiyama seorang yang dimasukkan dalam
kamar tahanan lain dan diperlakukan dengan sikap baik. Anak bu-ah pangeran ini menjadi orang
tahanan dan dipe-kerjakan secara berpencar untuk pembangunan di pulau itu.
Ho Pek Lian telah berhasil naik ke tebing dan dengan berindap - indap ia menyelinap melalui
bu-kit-bukit karang dan akhirnya ia berhasil mema-suki bangunan megah seperti istana itu. Ia
melihat betapa tempat itu terjaga ketat seolah - olah tempat itu merupakan benteng dengan
banyak bala tentaranya. Dan istana itu, yang terletak di tengah - te-ngah kompleks bangunan
benteng, sungguh megah. Aneh melihat sebuah istana dibangun di tengah-tengah pulau kosong
ini, di antara pulau-pulau kecil yang terpencil di tengah lautan.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Untung bagi Pek Lian bahwa para anak buah bajak sedang merayakan pesta kemenangan
dengan hasil baik itu. Para penjaga ikut pula berpesta dan biarpun mereka masih tetap dalam
tempat penja-gaan masing - masing, namun mereka juga kebagian arak dan daging sehingga
tentu saja penjagaan mereka menjadi kurang teliti dan lengah. Kesempatan inilah yang
dipergunakan oleh Pek Lian, dengan mengandalkan gerakannya yang gesit dan ginkang-nya yang
tinggi, untuk menyusup masuk ke dalam istana itu melalui pintu belakang di dekat taman bunga
batu karang. Hanya ada beberapa pohon bunga kecil yang hidup di dalam pot-pot bunga, dengan
tanah yang diambil dari daratan besar, se-dangkan hiasan lain merupakan batu-batu karang yang
dibentuk dengan nyeni, dicat dan diatur se-demikian rupa sehingga tempat itu merupakan se-buah
taman yang aneh tapi indah.
Bukan main girangnya hati Pek Lian ketika da-lam usahanya menyelidik dan mencari Bwee
Hong dalam istana yang luas ini, ia tersesat masuk ke dalam dapur! Memang perutnya sudah
terasa lapar bukan main. Kalau menurut perasaan hatinya, ingin ia menyerbu dan merampas
makanan dengan kekerasan. Akan tetapi Pek Lian bukanlah seorang gadis sebodoh itu. Tidak, ia
adalah seorang dara muda yang sudah banyak digembleng oleh keadaan, yang membuatnya
menjadi cerdas, tenang dan juga berpemandangan luas. Ia melihat tiga orang tukang masak
sedang sibuk di dapur itu dan beberapa orang pelayan hilir - mudik mengangkuti masakan -
masakan. Beberapa kali Pek Lian mene-lan ludah ketika bau masakan yang sedap memasuki
hidungnya, membuat perutnya berkeruyuk seperti ayam jago sedang berlagak. Ia sampai terkejut
sendiri dan menekan perut dengan tangan, khawa-tir kalau - kalau suara perutnya itu akan
terdengar orang dan membuatnya ketahuan. Ia hanya menan-ti kesempatan baik untuk dapat
mencuri makanan. Tiga orang koki itu sibuk masak dan kini, setelah para pelayan yang
mengangkuti masakan-masakan itu pergi, mereka bercakap-cakap.
"Huh, kalau sedang begini, kitalah yang repot!" kata seorang di antara mereka yang
matanya juling, agaknya karena bertahun - tahun bekerja di dapur dan matanya terlalu sering
terserang asap. "Setiap orang - orang merayakan pesta dan bersenang - se-nang, kita sendiri yang
repot di sini setengah mati. Terlambat sedikit akan didamprat!" Dengan gerak-an tangan yang
sudah terlatih baik sehingga tidak perlu lagi menggunakan mata melihat, dia menca-cah daging,
agaknya hendak membuat bakso.
"Aih, A - pek, engkau ini mengomel saja !" kata koki ke dua sambil melemparkan sepotong
daging panggang yang banyak gajihnya ke dalam mulut-nya, lalu mengunyahnya sampai ada
minyak gajih yang menetes dari ujung bibir. Melihat ini, kemba-li Pek Lian menelan ludah dan
memandang dengan mata benci kepada koki yang perutnya amat gen-dut ini. Mungkin karena
terlalu banyak makan, pikir Pek Lian iri. "Sekali ini bukan hanya karena pesta. Untuk anak buah
itu, cukup masakan seada-nya, asal sudah ada panggang daging dan arak bagi mereka sudah
cukup. Akan tetapi apakah eng-kau tidak tahu bahwa ong - ya mempunyai dua orang tawanan
istimewa ?"
Ucapan ini membuat Pek Lian melupakan la-parnya dan mendengarkan penuh perhatian.
Koki ke tiga yang tubuhnya jangkung dan kurus seperti orang kurang makan, keadaan yang amat
janggal mengingat akan pekerjaannya sebagai tukang ma-sak, segera berkata, "Tawanan
pangeran itu ?"
"Yang pertama adalah pangeran itu. Biarpun dia menjadi tawanan, akan tetapi dari
keluarganya diharapkan uang tebusan yang besar, maka dia harus dijamu dan diperlakukan
sebagai seorang-tamu terhormat dan berharga," jawab si gendut dengan mulut masih bergerakgerak
mengunyah daging. "Tapi yang paling istimewa adalah tamu ke dua."
"Kaumaksudkan gadis yang cantik dan gagah itu ?" kata si juling. "Kabarnya ia cantik sekali.
Semua pelayan mengatakan bahwa belum pernah mereka melihat seorang gadis secantik tawanan
itu, Aihhh, aku jadi ingin sekali menengoknya!" Si juling itu tersenyum - senyum dan sikapnya
menjadi genit, tanda bahwa kalau temannya yang gendut itu lebih suka makan enak, dia sendiri
agaknya le-bih memperhatikan wanita cantik.
"Hushh! Apa kau sudah bosan hidup ? Kau
tahu apa ?" cela si gendut yang agaknya selain
doyan makan enak juga paling tahu akan keadaan
dalam istana itu. "Ong - ya agaknya jatuh cinta
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kepada gadis ini dan karena itulah kita sekarang harus
masak semua bahan simpanan seperti mengadakan
pesta besar. Semua ini untuk disuguhkan kepada
gadis itu ! Masak pauwhi, sarang burung, daging
capit kepiting, sup kaki biruang, hemmm... hebat deh !" Tukang masak gendut ini
mengusap air liurnya ketika menyebutkan nama masakan-masakan mewah ini dan diam-diam Pek
Lian juga menelan ludahnya. Tentu Bwee Hong yang mereka bicarakan, pikirnya. Wah, Bwee
Hong agaknya menjadi tamu terhormat dan disuguhi makanan le-zat - lezat sedangkan ia sendiri
harus bersembunyi-sembunyi setengah kelaparan !
Tiga orang koki itu kini sibuk memasak sayuran yang tadi disebutkan oleh si gendut dan Pek
Lian semakin menderita karena bau masakan itu sung-guh luar biasa sedapnya, apa lagi bagi
seorang yang sedang kelaparan seperti dirinya. Ia tahu bah-wa kalau masakan - masakan itu
sudah selesai dan siap, tentu para koki itu akan menarik tali yang agaknya menjadi penyambung
tanda rahasia bagi para pelayan bahwa masakan telah siap dan para pelayan itu akan datang
mengangkut masakan - ma-sakan tadi. Maka Pek Lian pun siap - siap. Ketika masakan - masakan
itu sudah selesai dan dipindah-kan dari tempat masak ke dalam mangkok - mang-kok besar, tibatiba
Pek Lian menggerakkan ta-ngannya. Terdengarlah suara gedombrangan bi-sing sekali di lain
ruangan dapur itu, di mana di-simpan mangkok piring dan panci - panci. Men-dengar ini, para koki
itu terkejut.
"Wah, wah, jangan - jangan ada kucing lagi ma-suk ke sana !" kata si gendut yang segera
berlari ke tempat itu disusul oleh dua orang temannya. Pek Lian cepat meloncat keluar dan
dengan cekatan sekali ia bekerja. Tak lama kemudian ia sudah kembali ke tempat
persembunyiannya, membawa sebuah mangkok besar terisi nasi dengan lauk - pa-uknya, yaitu
pauwhi, sarang burung, capit kepiting, dan sup cakar biruang. Lezat! Ia makan dengan lahapnya,
dengan tangan saja karena dalam keada-an tergesa - gesa itu ia lupa menyambar sumpit. Hatinya
girang dan geli ketika mendengar tiga orang itu kembali ke dalam dapur sambil mengomel, akan
tetapi agaknya mereka tidak tahu bahwa masakan - masakan itu telah berkurang.
Ketika akhirnya pelayan - pelayan datang meng-angkut masakan - masakan, Pek Lian sudah
selesai mengisi perutnya dan iapun menyelinap dan mem-bayangi para pelayan yang
membawanya ke tem-pat di mana sahabatnya ditahan ! Di lain saat, Pek Lian telah bersembunyi di
atas genteng kamar Bwee Hong dan mengintai ke dalam. Dilihatnya Bwee Hong duduk
menghadapi meja, dilayani oleh dua orang pelayan wanita dan benar saja, sahabat-nya yang
cantik itu diperlakukan sebagai seorang tamu kehormatan. Akan tetapi Bwee Hong tidak kelihatan
gembira, bahkan sebaliknya, sahabatnya yang cantik itu kelihatan pucat dan agak kurus dan
menghadapi hidangan lezat itu dengan wajah ge-lisah dan duka. Karena agaknya kurang bernafsu,
maka tidak lama Bwee Hong makan, lalu ia me-nyuruh para pelayan membersihkan meja. Tak
lama kemudian, gadis itu nampak duduk termenung ditemani oleh dua orang pelayan yang
agaknya juga bertugas untuk menjaga dan mengamatinya.
Selagi Pek Lian berniat untuk meloncat masuk, tiba - tiba terdengar suara orang dan Pek
Lian me-lihat seorang laki - laki setengah tua yang pakaian-nya mewah dan perutnya gendut, yang
memasuki kamar Bwee Hong itu diikuti oleh empat orang dayang muda-muda dan cantik-cantik.
Melihat masuknya kepala bajak ini, Bwee Hong bangkit dari tempat duduknya dan memandang
dengan sinar mata bertanya-tanya dan alis berkerut. Sudah sehari semalam ia ditahan di situ
sebagai tamu terhormat dan ia masih menanti berita ten-tang Pek Lian, dan mencari kesempatan
untuk ber-tanya tentang kakaknya.
"Bagaimana kabarnya dengan usaha mencari sahabatku itu?" Bwee Hong segera
menyambut-nya dengan pertanyaan ini.
Kepala bajak yang gendut itu lalu memberi isyarat kepada para dayang dan pelayan yang
se-gera meninggalkan kamar itu dan menutupkan da-un pintunya dari luar, kemudian mereka
duduk di luar bersama dengan tiga orang pembantu utama kepala bajak itu yang agaknya
memang mengawal dan menanti di luar. Dari atas genteng Pek Lian dapat melihat bahwa selain
tiga orang itu, terdapat pula belasan orang penjaga yang agaknya siap membantu kalau sampai
pimpinan mereka membu-tuhkan tenaga mereka. Keadaan ini membuat Pek Lian menjadi
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
waspada dan tidak berani turun ta-ngan secara lancang. Iapun mengintai ke dalam kamar dan
memperhatikan pertemuan antara saha-batnya dan kepala bajak itu.
"Belum berhasil, nona. Kalau sahabatmu itu tidak mendapatkan perahu untuk
menyelamatkan diri, setelah tercebur ke dalam lautan, mana mung-kin ia dapat diharapkan tinggal
hidup ? Di daerah itu terdapat banyak ikan hiunya yang ganas. Jadi, hanya ada dua kemungkinan.
Pertama, ia menemukan perahu dan berhasil menyelamatkan diri, atau ke dua, yaaahh...
nyawanya sukar tertolong"
"Ahhh...... !" Bwee Hong mengeluh sambil menutupi mula dengan kedua tangannya.
Hening sejenak, kemudian kepala bajak laut itu berkata, suaranya halus seperti juga
sikapnya, "Nona, engkau telah menjadi tamuku, dan aku akan tetap mencari sampai anak buahku
tahu di mana adanya sahabatmu itu. Akan tetapi sampai sekarang aku belum mengenal namamu
"
Agaknya Bwee Hong. merasa tidak enak juga kalau tidak memperkenalkan nama, karena
memang sesungguhnya sikap kepala bajak ini amat baik se-lama ia menjadi tamu, balikan baru
sekarang kepala bajak ini datang menjenguknya.
"Namaku Chu Bwee Hong ......"
"Nona Chu, sungguh aku merasa berbahagia sekali mendapatkan kesempatan bertemu dan
ber-kenalan denganmu. Aku ingin sekali mendengar sendiri bagaimana jawabanmu terhadap usul
yang kuajukan pagi tadi. Engkau tentu telah mendengar-nya dari pelayan dan utusanku, bukan ?"
Sepasang mata yang jernih dan indah itu tiba-tiba mengeluarkan sinar berkilat dan Bwee
Hong bangkit berdiri dengan sikap marah. "Aku sudah mendengarnya dan justeru karena itulah
aku akan menjawab dan menegurmu ! Sudah kukatakan ke-marin bahwa anak buahmu
menyerang perahu
Pangeran Jepang itu untuk membajak, bukan untuk menolongku! Kemudian, engkau
memperlakukan aku dengan baik, sudah kuduga bahwa tentu ada pamrih sesuatu yang busuk.
Ternyata benar, engkau hendak membujuk aku menjadi isterimu! Hemm, dengarlah. Aku tidak
sudi menerimanya dan kalau sampai besok engkau tidak berhasil mendengar ten-tang sahabatku,
aku akan pergi dari sini!"
Kepala bajak itu menarik napas panjang. "Aku dapat mengerti penolakanmu, nona. Engkau
seorang dara yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi. Akan tetapi, engkau belum tahu siapa
ada-nya aku. Kalau engkau menjadi isteriku, nona Chu, berarti engkau akan mendapatkan
kemuliaan, ke-dudukan tinggi dan juga menjadi kaya."
Bwee Hong teringat akan kakaknya dan ia mengangkat mukanya memandang, lalu bertanya
dengan suara ketus, "Siapakah engkau ?"
"Nona Chu, dengarlah. Aku adalah raja di lautan
sebelah selatan, aku hanya dikenal dengan sebutan
Lam - siauw - ong (Raja Muda Selatan) dan "
"Ehh... ?" Bwee Hong memotongnya dengan kaget dan juga dengan wajah mengandung
keke-cewaan. "Jadi engkau bukan Tung-hai-tiauw ?"
Kepala bajak itu mengerutkan alisnya dan meng-geleng kepala. Hatinya kecewa pula karena
nona yang dicintanya ini ternyata mengira dia orang lain, orang yang selama ini memang menjadi
saingannya! "Bukan! Tung - hai - tiauw itu adalah seorang di antara kami, di antara tiga raja
bajak di lautan ini, dan dia kebetulan pada saat ini sedang menduduki kursi pimpinan."
Pek Lian yang ikut mendengarkan percakapan itu, juga sama kecewanya dengan Bwee
Hong. Kalau orang ini bukan Si Rajawali Lautan Timur, berarti bahwa dua orang di antara Sam -
ok itu ti-dak datang ke tempat ini, dan dengan demikian mereka telah kehilangan jejak dari A - hai
dan Seng Kun yang dibawa oleh kedua orang raja penjahat itu. Orang ini telah memiliki
kedudukan tinggi dan kuat, kalau orang ini masih merupakan pembantu saja dari Rajawali Lautan,
maka dapat dibayangkan betapa hebatnya raja penjahat itu sendiri.
Bwee Hong tidak tahu banyak tentang dunia penjahat dan ia hanya tahu sedikit - sedikit
karena mendengar cerita Pek Lian. Ia sudah men-dengar dari sahabatnya itu bahwa Sam - ok
adalah tiga raja penjahat yang kini menjadi pembantu-pembantu dari Raja Kelelawar yang
dianggap se-bagai datuknya kaum sesat. Akan tetapi mengapa kini kepala bajak ini mengatakan
bahwa Rajawali Lautan kini menduduki kursi pimpinan ? Biarpun hatinya kecewa karena merasa
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
seperti kehilangan jejak kakaknya, akan tetapi keinginan tahu membu-atnya bertanya, "Apa
maksudmu mengatakan bah-wa dia menduduki kursi pimpinan ?"
"Duduklah, nona dan agaknya engkau belum mengenal kami. Baiklah, engkau perlu
mengenal keadaanku lebih baik. Lautan di sebelah timur ini dikuasai oleh kami bertiga dan kami
masing-ma-sing mempunyai anak buah sendiri. Kami bertiga adalah Tung-hai-tiauw yang
menguasai wilayah timur, yang ke dua adalah Si Petani Lautan yang menguasai wilayah utara,
sedangkan ke tiga adalah aku sendiri yang menguasai wilayah selatan. Kami masing-masing tidak
saling melanggar wilayah dan melakukan operasi di batas wilayah masing-masing. Tempat kami
menyerang perahu Jepang itu adalah batas wilayah kami."
"Jadi kalian bertiga adalah saingan - saingan yang saling bermusuhan ?" tanya Bwee Hong
yang tertarik juga hatinya. Kepala bajak ini biarpun se-orang penjahat, namun sikapnya bukan
seperti penjahat yang kasar.
"Pada mulanya kami memang saling bermusuh-an sehingga terjatuh banyak korban di
antara kami sendiri. Lalu kami bermufakat untuk bersatu dan yang paling lihai di antara kami
berhak menduduki kursi pimpinan, menempati gedung istana lautan yang kami bangun bersama.
Nah, ternyata Rajawali Lautan yang berturut-turut menang dalam pemi-lihan dan menjadi raja
lautan. Setiap tiga tahun sekali kami mengadakan pertemuan dan mengadu ilmu. Tiga tahun telah
lewat sejak pemilihan yang lalu dan di dalam bulan ini juga, kurang beberapa hari lagi, kami akan
mengadakan lagi pertemuan. Tiga hari lagi dan aku yakin akan dapat mengalahkan Si Rajawali
Lautan karena selama ini aku telah berlatih dengan tekun. Tentu saja aku harus dapat pula
mengalahkan Petani Lautan yang memperdalam ilmunya yang hebat, yaitu ilmunya Ban-seng-kun
( Silat Selaksa Bintang ) yang hebat. Dan engkau...... kalau engkau menerima pinanganku, nona,
engkau akan menjadi ratu lautan !"
Baik Bwee Hong maupun Pek Lian yang ikut mendengarkan, menjadi ngeri. Macam apakah
Ilmu Silat Selaksa Bintang itu ? Sampai di mana kehe-batannya ? Dan si gendut ini agaknya
memiliki il-mu yang tidak kalah tingginya, karena buktinya dia merasa yakin akan dapat
menangkan Petani Lautan dan juga Rajawali Lautan ! Betapa banyak-nya terdapat orang - orang
lihai di dalam dunia kaum sesat.
"Engkau akan merasa ngeri kalau menyaksikan Ilmu Silat Selaksa Bintang itu, nona. Petani
Lautan itu tidak pernah memakai baju karena tubuh atas-nya selalu penuh dengan keringat yang
keluar ba-gaikan sumbernya yang tidak pernah kering. Dia selalu membawa tempat air ke
manapun dia pergi untuk minum setiap saat. Minumnya banyak sekali, melebihi kuda karena
keringatnya luar biasa ba-nyaknya. Di dalam pertempuran, keringatnya itu memercik - mercik
keluar dan kalau tertimpa sinar matahari atau lampu, dapat menimbulkan sinar berwarna - warni
dan berkelap - kelip seperti selak-sa bintang di langit. Itulah sebabnya maka ilmunya dinamakan,
Selaksa Bintang dan gerakannya demikian cepatnya seperti bintang beralih. Siapa-pun yang
bertanding melawannya akan menjadi basah kuyup tersiram keringat-keringat itu, apa lagi kalau
keringat itu menyerang ke arah muka lawan, akan membuat mata menjadi silau dan gerakan
Petani Lautan yang cepat itu akan sukar dapat diikuti lagi."
Bwee Hong mendengarkan cerita itu dengan alis berkerut dan diam - diam ia kurang begitu
percaya akan cerita ini. Ilmu sesat macam itu tidak perlu ditakuti, pikirnya. Yang hebat hanya
luarnya saja, akan tetapi pada hakekatnya, tidak mengandung inti yang kuat dan dalam. Akan
tetapi, Pek
Lian yang sudah sering menyaksikan betapa ganas dan jahatnya ilmu orang-orang dari
dunia hitam, mendengarkan dengan hati ngeri dan jijik. Betapa menjijikkan kalau harus bertanding
melawan Petani Lautan itu. Keringat orang itu akan menyiram seluruh tubuhnya, mukanya dan
ihh, betapa keras dan busuk baunya dan menjijikkan! Pek Lian bergidik.
"Akan tetapi, sehebat itu, dia masih kalah oleh Rajawali Lautan ?" Bwee Hong bertanya,
bukan hanya ingin tahu, akan tetapi juga untuk mengikat tuan ramah itu dalam membicarakan
urusan lain agar urusan "pinangan" itu tidak diulang lagi.
"Nona Chu, agaknya engkau belum tahu siapa Rajawali Lautan itu. Dia amat lihai, dia malah
orang pertama dari Sam - ok, Si Tiga Jahat di da-ratan besar. Bukan saja ilmu silatnya yang amat
tinggi, akan tetapi sepuluh buah jarinya mempunyai kuku yang kuat seperti baja, dan juga dia
mema-kai baju emas yang membuatnya kebal terhadap segala macam senjata."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Hemm, jadi dia kebal ?"
"Benar, dan kekebalan serta kuku-kuku jari tangannya itulah yang berbahaya."
"Kalau begitu, bagaimana engkau akan dapat menang menghadapinya ?"
Si gendut itu menarik napas panjang. "Entahlah, akan tetapi pokoknya, aku harus menang
dan aku telah memperdalam ilmu pedangku yang kuberi nama Hun - kin - kiam (Pedang Pemutus
Urat), mudah - mudahan aku akan dapat mengalahkan mereka berdua."
"Mudah - mudahan."
"Dan engkau menjadi ratu "
"Sudahlah, jangan bicara soal itu. Aku tidak dapat menjadi isterimu."
"Kenapa tidak dapat ? Kurang apakah aku ini?"
"Pokoknya aku tidak mau, aku belum mau menikah."
"Engkau harus !"
Bwee Hong meloncat berdiri dan menegakkan kepalanya. "Eh ? Siapa yang menghaluskan ?
Aku tidak mau dan hendak kulihat engkau akan dapat berbuat apa terhadap diriku!" Bwee Hong
me-nantang berani. Agaknya tidak ada jalan lain baginya kecuali menggunakan kekerasan.
Kakaknya tidak berada di sini dan agaknya sukar mengharap-kan bantuan Pek Lian, maka jalan
satu-satunya hanya menantang dan menggunakan kekerasan. Menang dan bebas, atau kalau
kalah biarlah ia mati di situ dari pada harus menjadi isteri si perut gendut ini.
Lam - siauw - ong juga melompat dari tempat duduknya. Mukanya yang bulat itu menjadi
merah, matanya yang lebar itu melotot semakin lebar dan kepalanya yang bundar itu
mengangguk-angguk. "Bagus, akupun ingin sekali melihat sampai di ma-na kelihaianmu agar
dapat kupertimbangkan- apa-kah engkau memang patut menjadi ratuku." Si gendut ini menepuk
tangan dua kali dan tiga orang pembantunya yang lihai itupun bermunculan dari pintu, berdiri
dengan sikap hormat.
"Nona Chu ingin memperlihatkan kepandaian-nya. Coba kalian menangkapnya dan kalau
berha-sil, ikat kaki tangannya I"
Tanpa bertanya lagi, tiga orang pembantu setia ini maklum dan dapat menduga bahwa tentu
nona ini menolak kehendak raja mereka, maka setelah memberi hormat kepada Lam - siauw -
ong, mereka lalu menghampiri Bwee Hong dan mengurungnya dengan kedudukan segi tiga."
Bwee Hong berdiri tegak dan siap untuk menghadapi pengeroyokan mereka. Bahkan ia tidak mau
membuang waktu lagi karena maklum bahwa perkelahian yang akan dihadapi ini baginya bukan
sekedar menguji kepan-daian, melainkan perjuangan untuk mencapai ke-menangan dan untuk
meloloskan diri! Begitu tiga orang lawan itu datang dekat, ia sudah menge-luarkan teriakan
melengking nyaring dan tubuhnya sudah bergerak cepat sekali mengirim serangan kepada orang
yang di depannya, sedangkan kakinya mencuat dalam tendangan kilat ke arah lawan di sebelah
kanan.
Dua orang lawan itu terkejut bukan main. Ham-pir mereka tidak melihat gerakan nona itu
dan ta-hu - tahu orang yang berada di kanan itu telah ke-na tendangan pada pahanya! Dan orang
yang berada di depannya itu hanya menggulingkan tu-buh saja dapat terhindar. Dan Bwee Hong
lalu mengamuk ! Tiga orang itu berusaha untuk mengurungnya rapat, akan tetapi mereka itu
bahkan men-jadi bulan - bulanan pukulan dan tendangan Bwee Hong yang membuat mereka jatuh
bangun ! Me-lihat ini, Lain - siauw - ong memandang dengan wajah berseri - seri dan tiada
hentinya memuji.
"Bagus ! Bagus ! Ginkang yang sempurna ! Hebat
! Pantas menjadi ratuku, lebih dari pada pantas !" Dia bertepuk tangan tiga kali dan
muncul-lah lima orang pembantu lain yang dia perintahkan untuk membantu tiga orang pertama
dan menge-royok Bwee Hong.
"Keparat, curang tak tahu malu!" Bwee Hong memaki dan Pek Lian yang berada di atas juga
merasa marah sekali menyaksikan kecurangan si gendut yang main keroyok itu. Akan tetapi ia
tidak menurutkan hati, tidak mau turun tangan memban-tu sebelum melihat kesempatan baik agar
ia dan sahabatnya itu dapat lolos dari pulau yang dihuni oleh para bajak itu. Andaikata ia turun
membantu dan mereka menang sekalipun, masih amat sukar untuk dapat lolos dari pulau itu
karena para penja-hat itu tentu akan merintangi dan menghadapi mereka di laut, sama saja
dengan membunuh diri atau menyerahkan diri! Tidak, ia harus menanti saat baik. Hanya kalau
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
terpaksa saja, kalau melihat Bwee Hong menghadapi ancaman maut, baru ia akan turun tangan
dengan nekat, kalau perlu mati bersama dengan sahabatnya itu.
Biarpun dikeroyok delapan, namun Bwee Hong tetap mengamuk dan semua pengeroyoknya
telah merasakan pukulan atau tendangannya. Semua pe-rabot dan isi kamar menjadi porak -
poranda ketika para pengeroyok itu terlempar ke sana - sini. Akan tetapi, tiba - tiba Lam - siauw -
ong sendiri maju dan begitu dia menyerang, Bwee Hong terkejut sekali. Ternyata raja penjahat ini
benar - benar amat lihai! Bahkan melawan satu sama satu saja ia belum tentu dapat mengalahkan
si gendut ini! Maka ia menjadi penasaran dan marah sekali. Memiliki ke-pandaian yang tinggi,
namun si gendut ini masih mengerahkan anak buahnya untuk mengeroyok !
Akan tetapi Pek Lian mengerti mengapa si gen-dut itu tadi tidak maju sendiri dan menyuruh
orang-orangnya untuk mengeroyok. Tentu selain ingin menguji sampai di mana kelihaian Bwee
Hong, juga si gendut ini ingin menangkap Bwee Hong tanpa melukainya, maka dia menggunakan
tenaga banyak orang. Dan memang dugaannya ini tepat. Setelah dikeroyok sembilan orang, maka
akhirnya Larn-siauw - ong berhasil menotok pundak kiri Bwee Hong. Separuh tubuh dara itu
menjadi lumpuh dan ketika si gendut "memeluk dan meringkusnya, iapun tidak dapat berkutik dan
di lain saat dara itu telah dibelenggu kaki tangannya !
Pek Lian sudah mengepal tinju. Ia tentu akan nekat kalau melihat Bwee Hong hendak
diperkosa, akan tetapi ternyata si gendut iba, biarpun kepala bajak, bukanlah seorang yang kasar.
Dia sama se-kali tidak memperkosa, bahkan menciumpun tidak ! Agaknya, di depan delapan orang
anak buahnya, si gendut ini menahan diri dan karena itulah maka dia dihormati sekali oleh para
anak buahnya. Seti-daknya, biarpun dia kepala bajak, namun julukan-nya adalah Raja Muda
Selatan !
Setelah tubuh Bwee Hong direbahkan di atas pembaringan, kedua kaki dibelenggu, kedua
lengan diikat di belakang tubuh dan mulutnya juga diikat saputangan agar jangan mengeluarkan
teriakan atau makian, si gendut menyuruh semua anak buahnya keluar lagi. Mereka keluar, ada
yang terpincang-pincang, ada yang mengaduh memegangi perut, ada yang kepalanya benjolbenjol
dan ada yang sebelah matanya menghitam. Kini tinggallah si gendut berdua dengan Bwee
Hong dan kembali Pek Lian siap untuk menolong sahabatnya. Akan tetapi, Lam - siauw - ong
hanya mendekati pemba-ringan sambil berkata, "Nona Chu, salahmu sendirilah sehingga terpaksa
aku membelenggumu. A-kan tetapi, engkau masih kuberi waktu untuk berpi-kir selama tiga hari
ini. Setelah selesai menghadiri pertemuan antara pimpinan lautan, baru aku akan memaksa
engkau mengambil keputusan, yaitu men-jadi isteriku secara suka rela ataukah secara pak-saan !"
Setelah berkata demikian, Lam - siauw - ong meninggalkan kamar itu. Tak lama sesudah si gendut
ini pergi, barulah Pek Lian cepat melayang turun ke dalam kamar itu. Tadi, ketika mencari-cari di
dalam istana, ia menemukan gudang sen-jata dan ia telah memilih sebatang pedang untuk dibawa
berlindung diri.
Melihat melayangnya sesosok tubuh ke dalam kamarnya, Bwee Hong cepat memandang dan
dapat dibayangkan betapa girangnya melihat bahwa yang melayang turun itu adalah Pek Lian
yang ta-dinya dikhawatirkan telah terkubur di perut ikan hiu ! Kalau saja mulutnya tidak diikat
dengan kain, tentu ia sudah berteriak saking girangnya.
"Ssttt !" Pek Lian menaruh telunjuk kanan di depan mulut memberi isyarat kepada
sahabatnya itu agar tidak bersuara. Kemudian dengan cekatan ia meloncat ke dekat pembaringan,
mencabut pe-dang curiannya dan membebaskan Bwee Hong dari belenggu.
Setelah bebas dari belenggu, Bwee Hong me-rangkul sahabatnya itu. Sejenak mereka
berangkul-an tanpa ada sepatahpun kata keluar dari mulut mereka. Kata - kata tidak berarti lagi
untuk menya-takan kebahagiaan hati mereka masing-masing pada saat itu, bahkan kata - kata
dapat berbahaya karena dapat terdengar para penjaga di luar pintu.
"Mari kita pergi, melalui atas saja," bisik Pek Lian. Bwee Hong mengangguk dan dara ini
telah mendapatkan kembali semangatnya setelah melihat sahabatnya ini. Seperti biasa, biarpun
kepandaian-nya masih kalah dibandingkan dengan Bwee Hong, namun Pek Lian mengambil sikap
memimpin. Ia sudah mendahului meloncat ke atas dan dengan se-lamat mereka berdua lolos dari
kamar itu tanpa menimbulkan suara berisik dan keduanya di lain saat telah berdiri di atas genteng
dan memandang ke kanan kiri.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Kita ke mana, adik Lian ?" tanya Bwee Hong.
Karena tidak melihat seorangpun penjaga. Pek Lian berbisik memberitahukan rencananya,
"Kita harus dapat cepat meninggalkan pulau ini sebelum ketahuan. Kita naik perahu dan mencari
Istana Laut di mana tinggal Si Rajawali Lautan !”
"Kau tahu juga ?"
"Aku tadi ikut mendengarkan cerita Lam-siauw-ong. Tapi kita harus mempunyai seorang
petunjuk jalan. Kita tawan seorang anggauta bajak dan me-maksanya membawa kita ke sana.
Nah, mari ikuti aku, enci, dan berhati - hatilah. Sekali ketahuan dan kita dikepung, akan sukar
sekali meloloskan diri."
Dengan Pek Lian menjadi petunjuk jalan di depan karena Pek Lian sudah mulai mengenal
tempat itu, mereka menuju ke belakang gedung besar itu, di tempat sunyi dari mana Pek Lian tadi
datang dan bersembunyi. Mereka berdua mende-kam di balik pohon dalam taman batu karang,
po-hon buatan dari batu karang pula dan menanti. Tak lama kemudian rombongan penjaga
meronda lewat dan kedua orang gadis itu membiarkan mereka lewat tanpa mengganggu. Setelah
keadaan sunyi kem-bali dan aman, barulah Pek Lian mengajak Bwee Hong melanjutkan
perjalanan. Dengan berindap-indap dan hati - hati, mereka menyelinap dan me-nyusup, menuju
ke pantai. Untung bagi mereka bahwa pantai itu gelap dan malam hanya diterangi bintang saja. Di
pantai itu terdapat banyak perahu dan terdapat pula beberapa orang anggauta bajak yang hilirmudik,
dan ada pula yang bertugas menjaga pantai.
"Enci, kita harus dapat menangkap seorang
"Lian-moi, sekarang giliranku. Engkau sudah terlalu banyak bekerja, dan aku hanya
menyusah-kan saja. Sekarang biarkan aku yang turun tangan menangkap seorang bajak."
Pek Lian mengangguk. Sudah tentu saja ia percaya akan kemampuan Bwee Hong dan kalau
ia menolak permintaan itu, mungkin saja Bwee Hong akan tersinggung dan merasa tidak percaya.
"Baiklah, enci Hong, asal engkau berhati-hati saja. Aku menanti di sini," bisiknya kembali.
Bwee Hong mengangguk dan tak lama kemudian dara itu berkelebat lenyap. Diam-diam Pek Lian
me-rasa kagum sekali. Ia sudah tahu bahwa Bwee Hong terutama sekali amat unggul dalam ilmu
ginkangnya. Ia sendiri kalah jauh dibandingkan dengan Bwee Hong walaupun ia sendiri telah menerima
gemblengan dari Huang - ho Su - hiap (Em-pat Pendekar Huang - ho) bahkan kemudian
di-perdalam oleh bimbingan Liu - twako atau Liu-taihiap. Akan tetapi kalau diingat bahwa Bwee
Hong mewarisi ilmu keturunan dari mendiang Sin-yok - ong, maka kehebatan ginkangnya itu
memang tidaklah mengherankan.
Betapapun juga, Pek Lian merasa tidak enak kalau membiarkan sahabatnya itu bekerja
tanpa perlindungannya, maka diam-diam iapun memba-yangi. Ia melihat Bwee Hong telah berada
di ujung pantai, agaknya mendekati dua orang penjaga yang terpencil. Dara itu mengambil dua
potong batu karang sebesar kepalan tangan, kemudian menga-yun tangannya ke kanan kiri.
Terdengarlah dua suara berisik berturut-turut di kanan kiri tempat itu.
"Eh, apa itu ?" terdengar dua orang penjaga bertanya kaget dan merekapun lalu bangkit
berdiri dan berpencar ke kanan kiri, hendak memeriksa apa gerangan yang menimbulkan bunyi
berisik tadi. Setelah jarak antara mereka cukup jauh, tiba-tiba Bwee Hong meloncat ke depan dan
sebelum orang itu sempat berteriak, ia sudah merobohkannya de-ngan pukulan pada tengkuknya,
menggunakan ta-ngan miring. Orang itu roboh pingsan lalu dara cantik dan perkasa itu
menyeretnya pergi ke tempat semula ia meninggalkan Pek Lian. Akan tetapi, Bwee Hong merasa
kaget ketika ia tidak mendapatkan lagi Pek Lian di tempat itu. Ia melempar-kan tubuh orang yang
pingsan itu ke atas tanah dan ia sendiri lalu berdiri dan memandang ke sana-sini, mencari - cari
Pek Lian. Tak lama kemudian, muncullah Pek Lian dan dara ini tersenyum, me-nyerahkan
sebatang pedang kepada Bwee Hong.
"Ih, engkau membuatku gelisah, adik Lian. Ke-mana saja engkau pergi dan dari mana kau
men-dapatkan pedang ini ?"
Sambil berbisik Pek Lian menceritakan bahwa ketika melihat Bwee Hong merobohkan
seorang di antara dua penjaga, ia berpendapat bahwa kalau penjaga ke dua tidak dirobohkan
pula, tentu pen-jaga itu akan kehilangan kawannya dan menjadi curiga. "Karena itu, aku
merobohkannya, dan kini dia tersembunyi dalam keadaan tertotok dan kaki tangannya terikat,
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mulutnyapun kusumbat. Selain itu, juga pedangnya ini tentu berguna bagimu. Aku sendiri sudah
mengambil pedang dari gudang sen-jata. Mari kita kerjakan tawanan itu, enci!"
Bwee Hong menerima pedang dan semakin ka-gum. Sungguh seorang dara muda yang
cerdas se-kali, pikirnya. Ia sendiri sama sekali tidak memi-kirkan kemungkinan-kemungkinan itu
dan kalau tidak bersama Pek Lian, mungkin perbuatannya menawan seorang bajak ini akan cepat
ketahuan dan hal ini tentu akan membahayakan sekali. Maka iapun menyerahkan segala sesuatu
selanjutnya ke-pada Pek Lian, juga ketika "mengerjakan" tawanan itu.
Dengan beberapa kali tepukan, Pek Lian me-nyadarkan tawanan itu, akan tetapi begitu
orang itu membuka mata, ujung pedang di tangan Pek Lian telah menempel di lehernya. "Engkau
tentu belum ingin mati, bukan ?" bisiknya dengan suara penuh ancaman. Orang itu terkejut sekali,
apa lagi ketika merasa betapa lehernya sakit tertusuk ben-da tajam.
"Belum , ampunkan aku " bisiknya.
"Baik, kamipun tidak ingin membunuhmu. Ka-mi hanya ingin engkau membantu kami
melarikan diri dari sini. Kalau sampai kami berhasil lolos dengan selamat, engkau akan kami
ampuni dan tidak kami bunuh. Mengerti ?"
Bajak itu mengangguk dan matanya terbelalak ketakutan. "Ampun aku mempunyai
anak isteri, ampunkan aku dan aku akan berusaha membantu ji - wi lihiap (nona pendekar
berdua).”
"Bagus ! Nah, sekarang kita harus dapat meng-gunakan sebuah perahu untuk melarikan diri.
Hayo bawa kami mendapatkan sebuah perahu yang baik. Awas, jangan sampai ketahuan kawan -
kawanmu, karena kalau ketahuan, terpaksa aku akan membu-nuhmu lebih dulu sebelum kami
mengamuk dan membasmi mereka semua!"
"Baik, saya tidak berani menipumu, nona, saya masih ingin hidup."
"Kalau begitu, mari kita ke sana," Pek Lian me-nunjuk ke kiri, ke tempat yang nampaknya
sunyi untuk mencari perahu di sana. "Tidak, di sana berbahaya." "Mengapa?" Pek Lian
menghardik. "Di sana sunyi tidak nampak penjaga dan kulihat ada bebe-rapa buah perahu di
sana." Ia merasa curiga.
"Jangan salah duga, nona. Di sana ada penja-ga-penjaga tersembunyi, memang disengaja
kare-na semua pelarian tentu akan mencari perahu di sana. Tidak, mari kita mencari ke sana."
Orang itupun menunjuk ke kanan, arah sebaliknya dari yang dikehendaki Pek Lian. Sebelah kanan
itu nampak ramai oleh hilir - mudiknya para anggauta bajak. Tentu saja dia dan Bwee Hong
meragu. Melihat keraguan mereka, bajak yang sudah ter-tawan itu berkata, "Tentu ji - wi
mengetahui bahwa sekali saya menipu, ji - wi akan membunuh saya. Marilah, saya tidak menipu,
saya masih sayang nyawa."
Pek Lian dan Bwee Hong menurut, akan teta-pi mereka tidak pernah melepaskan pedang
yang selalu siap untuk menyerang bajak ini kalau - kalau dia mengkhianati mereka. Akan tetapi,
setelah me-lalui jalan berliku-liku, akhirnya bajak itu dapat menemukan sebuah perahu dan tidak
ada seorang-pun penjaga di situ. Cepat dia melepaskan tali perahu dan mereka bertiga lalu naik
ke dalam pe-rahu dan mereka bertiga bekerja sama mendayung perahu itu meninggalkan pantai.
Karena langit mulai penuh dengan awan hitam, dan cahaya bin-tang - bintang di langit yang sudah
muram itu kini menjadi semakin gelap, maka hal ini amat mengun-tungkan mereka yang sedang
berusaha untuk me-larikan diri.
Akan tetapi, tiba - tiba bajak itu mengeluarkan seruan kaget dan nampak panik. Sungguh
tidak kebetulan sekali, dari depan datang meluncur em-pat buah perahu bajak yang baru saja
pulang ! Ten-tu saja hal ini sama sekali tidak disangka - sang-kanya.
"Celaka, kita ketahuan !" katanya dan diapun mendayung perahu itu dengan
sepenuh te-naga. Dan memang benar. Dari perahu - perahu itu terdengar bentakan - bentakan
dan perahu - pe-rahu itupun lalu memutar haluan dan melakukan pengejaran!
Melihat ulah si bajak yang mati - matian menda-yung perahu itu, Pek Lian dan Bwee Hong
maklum bahwa bajak itu tidak mengkhianati mereka dan memang pertemuan dengan perahu -
perahu bajak itu merupakan hal yang tidak disangka - sangka dan di luar perhitungan, maka
mereka berduapun lalu membantu bajak itu mendayung perahu menambah lajunya perahu yang
hanya terdorong oleh sedikit angin pada layar terkembang yang hanya kecil itu. Akan tetapi,
begitu mendapat bantuan dua orang dara perkasa itu, perahu kecil melaju lebih cepat dan empat
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
buah perahu bajak yang lebih besar de-ngan layar yang lebih lebar itu tertinggal. Mereka berteriak
- teriak dan kini merekapun mengerah-kan anak buah bajak untuk mendayung sehingga kembali
jarak di antara mereka tidak begitu jauh.
Kalau pengejaran itu terjadi di darat, tentu Pek Lian dan Bwee Hong takkan merasa gentar.
Mere-ka berdua dapat melarikan diri lebih cepat, dan kalau perlu harus bertanding sekalipun,
mereka ti-dak takut menghadapi pengeroyokan duapuluh le-bih bajak - bajak ini. Akan tetapi,
mereka berada di atas perahu - perahu di tengah lautan, daerah yang asing bagi mereka dan
kalau sampai mereka dapat disusul, tentu keadaan mereka berbahaya sekali. Para bajak itu tentu
saja lebih mahir menjalankan perahu dan lebih mahir pula berkelahi dalam air kalau sampai
perahu itu digulingkan. Maka Pek Lian dan Bwee Hong lalu mati - matian mengerah-kan tenaga
untuk mendayung perahu kecil itu.
"Cepatan ! Cepatan lagi ! Ah, untung ji - wi sungguh hebat dapat
mendayung begini kuat ...... ah, kita dapat meninggalkan mereka !" Bajak itu terengah-engah
memuji karena memang dia kagum sekali terhadap dua orang gadis ini.
(Bersambung jilid ke XIII.)
xx—» DARAH PENDEKAR «—xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XIII
SEMENTARA itu, langit makin gelap karena berkumpulnya awan - awan mendung dan tiba -
tiba perahu mereka terguncang keras dan ter-ayun tinggi, mengejutkan Pek Lian dan Bwee Hong.
"Apa yang terjadi ?" tanyanya kepada ba-jaik itu.
"Alih, sungguh nasib kita yang buruk. Agaknya sebentar lagi badai akan mengamuk dan ini
tidak kalah bahayanya dari pada pengejaran mereka itu ! Cepat bantu saya menurunkan layar,
nona. Cepat sebelum badai melanda kita !"
Karena maklum akari kemahiran bajak itu me-nangani perahu, Pek Lian dan Bwee Hong
cepat membantunya dengan membuta dan memang be-nar sekali, air laut bergelombang hebat
dan angin menderu kencang. Kalau layar masih terpasang, entah apa akan jadinya dengan perahu
kecil itu ! Mereka bertiga kini mengemudikan perahu dan berusaha menguasainya dengan
kekuatan dayung mereka, agar perahu itu tetap berada di atas pun
cak ombak - ombak yang mengalun ganas. Empat buah perahu bajak yang melakukan
pengejaran ta-dipun tahu akan bahaya dan mereka sudah sejak tadi putar haluan meninggalkan
perahu kecil yang ditelan badai itu.
Semalam suntuk tiga orang dalam perahu kecil itu berjuang melawan badai lautan yang
mengga-nas. Demikian hebatnya hempasan badai sehingga tiang layarpun patah ! Kalau saja tidak
ada Bwee Hong yang cepat menangkis tiang itu dengan le-ngannya yang kecil dan berkulit halus,
tentu tiang itu akan menimpa kepala bajak itu.
"Krekkk!" Tiang sebesar paha itu patah ketika bertemu dengan lengan Bwee Hong sehingga
ba-jak laut itu menjadi semakin kagum. Mereka terus mempertahankan perahu mereka agar tidak
sampai terbalik sampai mereka hampir kehabisan tenaga dan napas. Mereka tidak tahu lagi di
mana mereka berada. Sekeliling mereka hanya ada air mengga-nas, bahkan di antara mereka
nampak puncak - pun-cak ombak dengan lidah - lidah yang terjulur dari sana - sini seolah - olah
hendak menelan mereka. Mereka tentu telah terseret jauh sekali.
Untung bagi mereka, pada keesokan harinya, bersama dengan munculnya matahari di ufuk
timur, badai mereda dan air laut menjadi tenang kembali. Mereka bertiga, di bawah pimpinan si
anggauta bajak yang lebih paham akan perahu, mulai beru-saha memperbaiki perahu sedapat
mungkin. Untung bahwa mereka berjuang dengan gigih sehingga da-yung - dayung tetap berada
di tangan mereka, bah-kan gulungan layar dan tiang yang patah tidak sampai lenyap terbawa a
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To
Register.]***
igapi omongan ini, diam - diam mereka bersyukur bahwa mereka dapat lolos dari lubang
jarum, lolos dari an-caman maut yang mengerikan ditelan badai. Dan bagaimanapun juga,
anggauta bajak ini sudah ber-jasa, karena tanpa adanya orang ini, mereka ber-dua belum tentu
akan mampu mempertahankan perahu kecil itu. Pek Lian agak paham tentang perahu dan lautan,
sedangkan Bwee Hong baru sa-ja belajar mengenal air dan perahu setelah pergi bersamanya.
Mereka berdua kini sibuk membersih-kan pakaian mereka yang basah dan kotor.
Melihat betapa dua orang nona itu tidak me-nanggapi ucapannya, bajak itupun berdiam diri
dan melanjutkan pekerjaannya memperbaiki perahunya yang rusak diamuk badai. Dua orang gadis
itu saling pandang. Bajak laut ini bagaimanapun juga
menarik hati mereka. Seorang laki - laki yang usia-nya kurang lebih empatpuluh tahun, agak
kurus dan kulit mukanya kehitaman karena terlalu ba-nyak dibakar matahari. Yang menarik adalah
sikap-nya yang sama sekali berbeda dengan penjahat pada umumnya. Tidak kurang ajar pandang
mata-nya, tidak kasar bicaranya dan tidak ugal - ugalan sikapnya.
"Paman, sudah berapa lamakah engkau menjadi bajak laut ?" Akhirnya Pek Lian bertanya
setelah selesai membereskan pakaian dan rambutnya. Orang itu mengangkat mukanya
memandang, agaknya terkejut mendengar dirinya disebut paman.
"Sudah lama juga, nona. Belasan tahun sudah."
"Mengapa engkau menjadi bajak laut ? Dan engkau tidak seperti bajak laut yang kasar itu."
"Nona, tidak semua anak buah Lam-siauw-ong-ya berasal dari penjahat. Lam - siauw -
ongya sen-diri bukan berasal dari penjahat, bahkan masih ada darah bangsawan dalam tubuhnya.
Kami meng-anggap pembajakan di laut ini sebagai pekerjaan, bukan sebagai kejahatan. Kami
tidak pernah meng-ganggu para nelayan, baik di lautan maupun di pantai."
"Huh, membajak masih dikatakan bukan keja-hatan ? Lalu apa saja yang dinamakan
kejahatan kalau merampok barang orang dengan kekerasan tidak dianggap kejahatan?" Bwee
Hong berkata dengan suara mengejek.
Bajak itu menarik napas panjang. "Entahlah, nona, saya sendiripun tidak dapat menjawab
pertanyaan itu. Akan tetapi, sebelum saya menjadi anggauta bajak dan mengabdi kepada Siauw -
ong-ya, saya pernah hidup sebagai anak keluarga petani. Saya melihat kejahatan - kejahatan yang
lebih ga-nas dan kejam dilakukan oleh para tuan tanah dan para pejabat terhadap keluarga petani
miskin yang tidak mempunyai tanah, yang hanya mengandalkan tenaga dan cucuran keringat
mereka untuk dapat makan setiap hari. Membajak memang merampas milik orang lain, akan
tetapi setidaknya kami mem-beri kesempatan yang sama kepada pemilik barang untuk
mempertahankan barang - barangnya. Akan tetpi, para tuan tanah dan pejabat di dusun - dusun
itu seperti lintah yang menghisap darah para kelu-arga petani, sedikitpun tidak memberi
kesempatan kepada para petani untuk dapat memperjuangkan hak dan nasibnya. Saya melihat
mereka itu jauh lebih kejam dan jahat dari pada bajak!" Anggauta bajak itu berhenti sebentar dan
dua orang dara itu termenung karena merekapun pernah mendengar tentang kesewenang -
wenangan mereka yang meng-andalkan kekayaan atau kekuasaan mereka.
"Kemudian, dari dusun saya pernah pindah ke kota dan hidup sebagai buruh kasar. Dan di
sana-pun saya menyaksikan kekejaman - kekejaman yang luar biasa, dilakukan olth semua orang
kepada orang lain dalam memperebutkan uang dan kekuasaan. ji-wi lihiap, harap maafkan saya.
Akan te-tapi sesungguhnya, katakanlah bahwa pembajakan merupakan kejahatan, namun
kejahatan yang sifat-nya terbuka, tidak seperti kejahatan orang-orang itu yang melakukan
kejahatan secara gelap dan terselubungi bahkan kadang-kadang kejahatan mereka dilindungi oleh
hukum."
Dua orang dara itu kembali saling pandang. Mereka mendengar akan kekejaman -
kekejaman para pembesar bahkan kekejaman yang dilakukan kaisar. Bukankah semua itupun
merupakan keja-hatan, bahkan amat besar, jauh lebih besar dari pada kejahatan para bajak laut
ini yang hanya mempergunakan kesempatan dan mengandalkan tenaga mereka untuk merampas
barang orang, dan kadang-kadang kalau pihak pemilik barang lebih kuat, mereka akan mati
konyol? Kata-kata bajak yang sederhana itu sama sekali bukan merupakan pembelaan diri seorang
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
penjahat, bukan untuk membenarkan perbuatannya, melainkan timbul karena kepahitan melihat
'kenyataan yang terjadi di dalam dunia ramai yang sopan. Dan kepahitan-kepahitan macam ini
sering kali mendorong orang untuk menjadi penjahat secara berterang! Pek Lian teringat akan
para pendekar yang berkumpul di gunung - gunung dan lembah - lembah sungai. Bukankah
mereka itu melakukan gerakan menen-tang pemerintah karena kepahitan itu, dan bukan-kah
merekapun dicap sebagai pemberontak - pem-berontak, yaitu golongan yang dianggap paling
rendah dan paling berdosa, lebih rendah dari pada perampok atau bajak ? Dan bukankah kalau
perlu
p
para pendekar yang memberontak itupun akan me-lakukan perampokan - perampokan dan
pembajak-an - pembajakan untuk menentang pemerintah? Sampai di sini jalan pikirannya, Pek
Lian menjadi bingung.
"Di manakah kita sekarang, paman ?" tanyanya dan suaranya kini lebih ramah, tidak seperti
suara orang terhadap musuh yang ditawan, melainkan suara orang terhadap teman seperjalanan,
bahkan teman senasib. Setelah mengalami ancaman badai seperti yang telah terjadi semalam,
orang - orang yang bersama-sama mengalaminya terdorong un-tuk menjadi lebih erat dan akrab.
Mendengar pertanyaan itu, si bajak laut agaknya
baru sadar dan diapun memandang ke kanan
kiri sambil berkata, "Aih, kita sudah terseret jauh
ke timur oleh badai semalam, nona. Dan kita harus
berhati - hati daerah ini agaknya telah dekat
dengan " bajak laut itu berhenti bicara
dan mukanya berobah pucat sekali ketika tiba-tiba terdengar suara bising yang gemeresak
disertai suara melengking dan mengiang seperti suara suling yang ditiup secara aneh sekali, makin
lama makin nya-ring.
9
Sikip bajak laut itu menjadi semakin aneh. Tu-buhnya menggigil dan matanya beringas,
meman-
Darah 13 dang ke kanan kiri dengan sikap yang amat ketakutan. Melihat ini, tentu saja dua
orang dara itu menjadi terkejut dan khawatir juga.
"Paman, ada apakah ?" Pek Lian bertanya.
"Nona cepat cepat belokkan arah perahu!
Itulah yang kumaksudkan yang
kutakuti suara itu 1 Ah, daerah ini termasuk
daerah Siluman Lautan! Itu adalah suara
pintu masuk sarang mereka. Pusaran Maut! Dalam
jarak selemparan batu, tidak ada benda atau
mahluk yang mampu terlepas dari daya sedotnya.
Mari kita menghindar cepat, nona !"
Tentu saja Pek Lian tidaklah setakut orang itu. Bukan hanya karena ia lebih tabah dan
sudah ter-lalu sering menghadapi ancaman bahaya dengan mata terbuka, akan tetapi juga karena
ia belum mengenal tempat ini dan karenanya ia tidak begitu percaya akan keterangan orang itu.
Akan tetapi tiba-tiba ia dan Bwee Hong melihat di kejauhan ada kabut tebal membubung tinggi
berbentuk tiang layar yang luar biasa besarnya dan mengeluarkan suara gemuruh. Dua orang dara
itu menjadi terke-jut dan gentar juga, mulai percaya akan keterangan bajak laut itu. Jangan -
jangan keterangan itu tidak bohong ! Mereka lalu cepat - cepat membantu un-tuk memutar haluan
perahu mereka.
Bajak laut itu berhasil memperbaiki perahu dan memasang tiang layar darurat, lalu mereka
mema-sang layar sedapatnya. Layar itu tertiup angin dan perahupun meluncur menjauhi tempat
yang ber-bahaya itu sampai akhirnya kabut itu tidak nampak lagi dan suara gemuruhpun tidak lagi
terdengar oleh mereka.
Perahu mereka meluncur ke arah utara ketika mereka menghindarkan diri dari kabut
mengerikan tadi dan tiba - tiba dari jauh nampak sebuah perahu besar yang berlayar menuju ke
selatan. Karena pe-rahu itu masih terlampau jauh untuk dapat dilihat dari atas geladak, bajak laut
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
itu lalu memanjat ti-ang layar dan melindungi kedua mata dari sinar matahari untuk mempelajari
keadaan perahu dari jauh itu.
"Itu perahu asing dan membawa banyak pera-jurit asing!" akhirnya dia berkata kepada dua
orang pendekar wanita yang berada di atas geladak.
"Ah, apakah mereka itu pasukan Jepang, jago-an - jagoan samurai ?" tanya Pek Lian yang
teri-ngat akan pengalamannya bertemu dengan perahu Jepang.
"Bukan, nona. Kalau tidak salah mereka itu tentulah orang - orang dari daerah utara, jauh
di luar tembok besar. Lebih baik kita menghindar saja, jangan sampai bertemu dengan mereka
yang sebentar lagi tentu akan berpapasan dengan perahu kita."
Akan tetapi, agaknya para penumpang perahu besar itu sudah melihat mereka dan memang
benar, perahu dari depan itu memotong jalan! Dan kini nampak ada beberapa orang yang berada
di pun-cak tiang layar mengamati perahu kecil yang ditum-pangi Pek Lian dan Bwee Hong. Tidak
ada kesem-patan untuk menghindar lagi dan jelaslah bagi dua orang nona itu bahwa perahu besar
dari depan itu memang sengaja memotong jalan perahu kecil mereka ! Dan bajak laut itu sibuk
untuk berusaha menghindarkan perahunya ditabrak perahu besar itu.
Pek Lian dan Bwee Hong sudah siap dengan pedang di tangan, berdiri di geladak perahu
kecil dan memandang marah. Tiba - tiba terdengar te-riakan - teriakan dari perahu besar dan
muncullah beberapa orang yang segera meluncurkan anak pa-nah ke arah perahu kecil.
"Keparat! Mereka menyerang dengan anak pa-nah !" teriak Pek Lian dan bersama Bwee
Hong ia segera memutar pedang untuk meruntuhkan semua anak panah yang menyambar. Akan
tetapi, sung-guh kasihan sekali nasib bajak laut itu. Sebatang anak panah menembus dadanya.
Dia berteriak ke-ras dan tubuhnya terjungkal keluar dari perahu, tercebur ke dalam lautan.
"Manusia - manusia jahanam !" Bwee Hong juga memaki marah.
Kini perahu kecil itu sudah dekat sekali dan nampak orang - orang tinggi besar yang
menuding-nuding ke arah mereka, wajah mereka menyeringai dan pandang mata mereka kurang
ajar. Terdengar pula teriakan-teriakan mereka untuk menawan dua orang nona cantik itu hidup -
hidup ! Bahkan dua orang di antara mereka dengan tidak sabar telah meloncat turun ke perahu
kecil. Tubuh mereka yang besar dan loncatan mereka yang kasar membuat perahu kecil hampir
terguling, akan teta-pi dua batang pedang berkelebat dan tubuh kedua orang kasar itu sudah
terguling ke dalam lautan dengan mandi darah. Pek Lian dan Bwee Hong sudah menjadi marah
sekali karena mereka tadi diserang anak panah yang mengakibatkan bajak laut itu tewas. Karena
mereka maklum bahwa pe-rahu kecil mereka bukan merupakan tempat yang tepat untuk
berkelahi, Pek Lian berseru, "Enci Hong, kita naik dan serbu !"
Dua orang dara perkasa itu lalu meloncat ke atas perahu besar dan kembali, seperti pernah
mereka lakukan di perahu orang - orang Jepang, mere-ka mengamuk. Mereka segera dikeroyok
oleh be-lasan orang perajurit asing yang merasa terkejut karena sama sekali tidak mengira bahwa
dua orang wanita penumpang perahu kecil itu selain cantik jelita, juga memiliki kepandaian
sedemikian hebat-nya. Dan kini Pek Lian dan Bwee Hong sudah marah sekali. Pedang mereka
berkelebatan dahsyat dan di antara para pengeroyok sudah ada enam orang yang roboh terluka
oleh sambaran pedang mereka.
Tiba - tiba terdengar bentakan halus dan muncullah dua orang laki - laki yang berpakaian
pre-man, tidak seperti para pengeroyok yang berpakai-an seragam. Dua orang ini mempunyai
rambut, jenggot dan kumis yang lebat namun berwarna agak keputih - putihan, dan muka mereka
merah keka-nak-kanakan. Tubuh mereka tinggi besar akan tetapi mata mereka kecil. Begitu kedua
orang ini membentak, semua pengeroyok mundur dengan sikap hormat dan kini dua orang laki -
laki tinggi besar itulah yang menerjang dan menghadapi Pek Lian dan Bwee Hong. Mereka berdua
tidak bersen-jata, akan tetapi dua pasang tangan telanjang itu berani menangkis pedang dan
setiap kali tangan mereka bertemu dengan pedang, terdengar suara nyaring dan pedang di tangan
kedua orang dara itu terpental seolah - olah bertemu dengan benda-benda keras yang amat kuat !
Tentu saja Pek Lian dan Bwee Hong terkejut dan mereka mengeluarkan semua kepandaian dan
mengerahkan semua tenaga mereka. Dan agaknya mereka berdua itu hanya lebih unggul dalam
hal kecepatan saja, akan tetapi kalah tenaga dan semua kecepatan mereka tertum-buk kepada
kekebalan dua orang tinggi besar ini !
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Bwee Hong dan Pek Lian terdesak hebat dan mereka terpisah. Pek Lian didesak sampai
terpak-sa menggunakan kecepatan gerakannya lari ke sa-na - sini dan 'mengelak dari pukulan -
pukulan yang amat kuat dari lawannya. Ia berloncatan dan masuk ke lorong-lorong bilik perahu
besar itu, terus di-kejar dan didesak oleh lawannya. Ketika gadis ini meloncat lagi untuk
menghindar dan hampir me-nabrak pintu sebuah bilik, tiba-tiba terdengar su-ara seorang laki - laki
menegur dari dalam bilik itu.
"Hei, siapa ribut - ribut di luar itu ? Pergi dan jangan ganggu aku! Aku tidak sudi dibujuk
lagi!" Lalu terdengar suara seperti pukulan dan suara orang itu tidak terdengar lagi.
Pek Lian tertegun dan matanya terbelalak, mu-kanya pucat sekali dan pada saat itu,
pukulan la-wannya menyambar. Untung bahwa ia masih sempat membuang diri ke belakang
sehingga ia terhuyung dan hampir jatuh, akan tetapi selamat dari pukulan dahsyat yang datang
pada saat ia tertegun dan terkejut itu. Jantungnya masih ber-debar kencang, bukan karena ia
hampir saja terke-na hantaman lawan, melainkan karena suara itu ! Suara itu adalah suara
ayahnya ! Tidak salah lagi! Ia mengenal benar suara ayahnya ! Akan tetapi mana mungkin ?
Ayahnya di perahu orang asing ini ?
"Wuuuttt krakkkk !" Pedangnya menyambar
ke arah lawan dan ketika lawan mengelak, ia
melanjutkan pedang itu menyambar pintu sehingga
pintu bilik itu roboh. Akan tetapi di dalam bilik
dari mana tadi terdengar suara ayahnya, tidak nampak
seorangpun. Ia melihat pintu belakang dalam
bilik itu telah terbuka lebar.
Karena perhatiannya terpecah, tentu saja Pek
Lian menjadi semakin terdesak. Kembali lawan yang amat tangguh itu menerjang dengan
tendang-an kakinya yang besar, kuat dan berat. Pek Lian meloncat ke belakang dan hampir
terjatuh oleh tambang yang melintang di belakangnya. Ketika ia berdiri lagi, ternyata ia telah
berada di tepi pe-rahu !
"Lian-moi, hati-hati !" Terdengar suara
Bwee Hong. Nona yang memiliki ilmu lebih lihai dari pada Pek Lian inipun terdesak, akan
tetapi de-ngan kecepatan gerakan tubuhnya, Bwee Hong dapat berloncatan dan seperti
mempermainkan lawan yang terlalu lamban untuk dapat mengikuti gerak-geriknya. Betapapun
juga, Bwee Hong juga mak-lum bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan rak-sasa berambut
putih itu, maka ketika ia melihat Pek Lian terdesak hebat, ia cepat melompat dekat dan pada saat
lawan mereka menerjang lagi, melihat mereka telah tersudut di tepi perahu, Bwee Hong berteriak
nyaring dan mendorong tubuh Pek Lian keluar dari dalam perahu itu! Setelah Pek Lian terjatuh ke
dalam air di luar perahu, Bwee Hong sendiripun lalu meloncat keluar. Tubuh mereka diterima oleh
air bergelombang dan sebentar saja terseret jauh dari perahu.
Seorang ahli renang sekalipun takkan banyak dapat berdaya kalau melawan gelombang
lautan, apa lagi dua orang dara itu yang kepandaian re-nangnya hanya amat terbatas. Mereka
berusaha untuk melawan gelombang dan untuk tidak sampai ber-jauhan, akan tetapi ombak
menyeret mereka dan membuat mereka saling terpisah sampai jauh dan akhirnya Pek Lian tidak
dapat melihat temannya itu lagi. Karena merasa khawatir, juga lelah dan tidak melihat harapan
untuk dapat menyelamatkan diri dari ancaman lautan luas itu, akhirnya Pek Lian tidak sadarkan
diri. Tubuhnya hanyut dan diperma-inkan air, dilemparkan tinggi - tinggi lalu dihempas-kan
kembali, ditelan dan dimuntahkan kembali!
* * *
Telah banyak sekali terbukti dengan peristiwa-peristiwa yang aneh dan luar biasa yang
mengantar manusia kepada kematiannya atau sebaliknya yang menghindarkan manusia dari pada
ancaman maut yang nampaknya sudah tak mungkin dapat dielak-kan lagi. Banyak sekali orang
yang tewas dalam keadaan yang tidak tersangka - sangka sama sekali, bahkan dalam keadaan
jasmani yang nampaknya segar-bugar dan sehat, banyak pula yang mati secara mendadak oleh
kejadian - kejadian yang aneh dalam kecelakaan - kecelakaan maupun bencana-bencana alam.
Akan tetapi sebaliknya, banyak pu-la orang yang terancam bahaya maut, yang nampak-nya sudah
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tidak mungkin dapat dielakkan lagi, secara aneh pula terhindar dari kematian. Orang yang
menderita sakit yang sudah terlalu parah, dapat saja sembuh secara aneh dan kebetulan, atau
orang yang sudah dianggap tidak ada harapan lagi untuk ditolong kemudian ternyata dapat
terhindar dari maut hanya karena hal - hal yang "kebetulan'' dan sederhana. Semua ini merupakan
sesuatu yang mujijat, yang aneh dan yang diliputi rahasia yang sudah terlalu sering diselidiki
orang dan hendak
ditembusnya.
Segala hal yang belum dimengerti selalu menim-bulkan berbagai pendapat, rekaan, dan
dipandang sebagai hal yang mujijat dan aneh. Padahal, segala sesuatu yang terjadi di dalam alam
ini adalah WAJAR, dan setiap peristiwa itu tentu ada yang menyebabkannya. Hidup dan mati
merupakan rangkaian yang tak terpisahkan, merupakan suatu pertumbuhan yang wajar.
Kerusakan jasmani kare-na usia tua yang berakhir dengan kematian adalah lumrah dan dapat
dimengerti dengan adanya ke-majuan dalam ilmu tentang itu. Akan tetapi, karena manusia selalu
dikuasai oleh pikiran yang men-ciptakan "aku", maka si aku inilah yang mencari-cari ke mana dia
akan pergi setelah jasmaninya berhenti hidup, setelah tubuhnya mati. Dan ba-yangan bahwa
"aku" akan hilang begitu saja mem-buatnya merasa ngeri dan takut.
Kalau memang sudah tiba saatnya sang maut datang menjemputnya, walaupun kita
bersembunyi di dalam lubang semut, tetap saja nyawa kita akan direnggut. Sebaliknya kalau
memang belum tiba saatnya mati, ada saja yang menjadi penolong diri.
Karena ketidakpengertian tentang rahasia saat ke-matian, kita lalu dengan mudah saja
memakai isti-lah nasib dan takdir! Padahal, setiap peristiwa, juga kematian, tentu terjadi karena
suatu sebab tertentu. Dan sebab - sebab itu terkumpul karena ulah kita sendiri. Oleh karena itu,
dari pada men-cari - cari akal untuk mengungkapkan rahasia yang tidak mungkin dipecahkan
selama kita masih hidup ini, lebih bermanfaat kalau kita selagi hidup men-jaga diri, mengurangi
hal - hal yang dapat menjadi bertambah banyaknya sebab - sebab yang dapat mengakibatkan
kematian.
Menurut perhitungan dan pendapat umum, orang yang dihanyutkan ombak di tengah lautan
seperti yang dialami oleh Pek Lian, tentu dianggap sudah tidak ada harapan lagi untuk selamat.
Na-mun, ternyata Pek Lian belum mati! Ketika dara perkasa ini siuman dan membuka matanya, ia
men-dapatkan dirinya sudah berada di atas perahu. Se-orang nelayan tua dengan caping lebar,
nampak se-dang mendayung perahunya perlahan - lahan.
Pek Lian masih rebah akan tetapi matanya su-dah bergerak - gerak memandang ke sana -
sini, alisnya berkerut ketika ia mengumpulkan ingatan-nya.
"Ah, untung nona kuat sekali sehingga laut tidak mampu mengalahkamnu," kakek nelayan
itu ber-kata mengangguk-angguk, kagum melihat betapa wanita muda yang ditemukannya hanyut
oleh ombak
dalam keadaan pingsan itu ternyata hanya rne-nelan sedikit saja air dan kini bahkan
sudah si-uman kembali.
Kini Pek Lian sudah teringat sepenuhnya dan tiba-tiba ia bangkit duduk dan memandang ke
kanan kiri, mencari-cari. "Lopek telah menyela-matkan aku dari lautan ?"
Nelayan tua itu mengangguk. "Nona hanyut dalam keadaan pingsan. Tadinya dari jauh
kusang-ka seekor ikan mati. Ketika melihat pakaianmu, aku cepat mendekat dan untung saja
engkau tidak di-hanyutkan menjauh dan dapat kuraih dan kutarik ke dalam perahu."
"Ah, terima kasih atas budi pertolonganmu, lopek.
Akan tetapi apakah lopek tidak melihat sahabatku
?"
"Sahabatmu ? Siapakah yang nona maksud-kan ?"
"Sahabatku, seorang gadis juga. Kami berdua terjatuh dari atas perahu! Apakah lopek tidak
me-lihatnya ?"
Nelayan tua itu menggeleng kepalanya dan mukanya
membayangkan rasa duka. "Hanyut oleh gelombang
seperti itu, nona, sukarlah bagi seorang
manusia untuk dapat menyelamatkan diri. Nona
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
memiliki tubuh dan semangat yang kuat dan kebetulan
sekali bertemu denganku, akan tetapi sahabatmu
itu ah, agaknya sukar untuk dapat diharapkan
"
Pek Lian menutupi mukanya dengan kedua tangan. Matikah Bwee Hong ? Ia merasa berduka
sekali. Mencoba untuk menolong A - hai dan Seng Kun juga belum berhasil, kini malah kehilangan
Bwee Hong ! Betapa buruk nasib gadis cantik jelita itu. Tak terasa lagi, dari celah - celah jari
tangannya nampak air mata menetes - netes. Pek Lian adalah seorang dara yang sudah banyak
di-gembleng oleh kekerasan hidup dan sudah menga-lami banyak hal yang menyedihkan, akan
tetapi mengingat dan membayangkan betapa Bwee Hong tewas dicabik - cabik ikan hiu, ia tidak
dapat mena-han tangisnya lagi. Nelayan tua itu merasa kasih-an.
"Nona. mari kau ikut bersamaku ke daratan un- . tuk memulihkan kesehatanmu. Siapa tahu,
secara aneh pula sahabatmu itu juga dapat diselamatkan. Kekuasaan Thian berada di manapun
juga, nona, dan lautan inipun hanya sebagian kecil saja dari pada kekuasaan Thian. Kalau Thian
menghendaki, mungkin saja sahabatmu itu masih hidup dan se-lamat."
Ucapan seorang yang percaya penuh akan ke-kuasaan Tuhan, ucapan sederhana namun
dapat menyegarkan perasaan Pek Lian, dapat menumbuh-kan tunas harapan di hatinya, dan
sekaligus me-nyadarkannya bahwa berduka saja tidak ada guna-nya sama sekali, bahkan hanya
akan melemahkan dirinya lahir batin. Padahal, tugasnya masih banyak, masih bertumpuk. Bukan
hanya mencoba untuk menolong Seng Kun dan A-hai, akan tetapi juga terutama sekali mencari
ayahnya ! Dan iapun teringat akan suara di dalam perahu asing itu. Suara ayahnya! Maka iapun
mengangguk dan menurut saja ketika diajak kembali ke daratan oleh
si nelayan tua.
Yang dimaksudkan daratan oleh nelayan tua itu ternyata bukanlah daratan besar, melainkan
sebuah pulau kecil yang dihuni oleh belasan orang keluarga saja, keluarga nelayan. Akan tetapi, di
tempat su-nyi sederhana dan miskin ini nampak pula kenya-taan hidup bahwa kemiskinan lahiriah
kadang-kadang menonjolkan kekayaan batiniah, sebalik-nya kekayaan lahiriah kadang - kadang
mendatang-kan kemiskinan batiniah. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat sikap dan cara hidup
orang - orang kota besar dan orang - orang di dusun - dusun ter-pencil. Orang - orang kota sudah
terbiasa hidup mewah, hidup bersaing dan memperebutkan keka-yaan, bersaing dan bermusuhan,
iri hati dan keta-makan, membuat mereka hidup menyendiri dan tidak mengacuhkan orang lain.
Sebaliknya, kehi-dupan di dusun - dusun terpencil, di mana orang-orang-hidup sederhana
membuat mereka juga ber-batin sederhana, tidak dijejali oleh banyak keingin-an sehingga rasa
persaudaraan dan kegotongro-yongan menjadi tebal, lebih akrab dalam membagi suka dan duka
di antara sesama manusia. Pek Lian merasakan benar hal ini ketika para nelayan miskin di pulau
itu menyambutnya dengan gembira, dan ikut merasa bersyukur mendengar betapa gadis yang
telah hanyut dipermainkan gelombang lautan ini masih dapat tertolong dan selamat. Dalam keadaan
sederhana dan seadanya itu mereka lalu menyambut Pek Lian dengan perjamuan yang meriah,
walaupun hidangan yang diberikan kepada gadis itu amatlah sederhana, terdiri dari masakanmasakan
ikan laut belaka.
Para penghuni pulau itu bukan hanya gembira karena kedatangan seorang nona tamu,
melainkan terutama sekali melihat kembalinya kakek nelayan yang dianggap sebagai orang tertua
di pulau itu dan disuka oleh semua anggauta keluarga nelayan. Pada waktu itu, para nelayan tidak
ada yang berani keluar mencari ikan karena mereka tahu bahwa ba-nyak bajak laut berkeliaran
berhubung dengan pesta besar yang diadakan tiap tiga tahun sekali oleh apa yang mereka kenal
sebagai Istana Laut. Akan tetapi, kakek nelayan itu berlayar seorang diri dan sudah tiga hari
belum pulang, membuat mereka merasa khawatir sekali dan untuk menyusul dan mencari, mereka
tidak berani. Kini, kakek itu pulang dalam keadaan selamat, bahkan telah me-nyelamatkan
seorang gadis cantik yang hanyut dalam gelombang lautan.
Pek Lian mendengarkan mereka bercakap-ca-kap dan diam - diam ia mengambil
keputusan untuk
mengunjungi Istana Laut itu. Ia tidak dapat men-cari keterangan tentang nasib Bwee Hong,
akan tetapi kedukaan ini tidak menghentikan niatnya untuk mencoba menolong A-hai dan Seng
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kun yang ia duga tentu oleh kedua orang Sam - ok di-bawa ke Istana Laut di mana tinggal
Rajawali Lautan sebagai pucuk pimpinan para bajak.
Karena maklum bahwa gadis itu baru saja lolos dari cengkeraman maut dan tubuhnya
masih lemah, para nelayan tidak terlalu lama membiarkannya bergadang dan nona itu
memperoleh sebuah kamar dalam rumah sederhana kakek nelayan. Ia dipersi-lahkan tidur. Akan
tetapi, Pek Lian tidak dapat tidur pulas. Ia rebah di pembaringannya dengan gelisah, pikirannya
kacau karena ia teringat kepada ayahnya yang tak diketahui di mana adanya dan yang amat
membingungkan hatinya adalah ketika ia teringat suara ayahnya di atas perahu asing itu. Selain
teringat ayahnya, juga teringat kepada A-hai dan Seng Kun yang juga menjadi tawanan pen-jahat,
dan Bwee Hong yang membuatnya amat berduka karena menduga bahwa sahabatnya itu tentu
telah tewas, tenggelam atau dimakan ikan.
Hatinya yang gelisah dan berduka membuat Pek Lian tidak dapat memejamkan matanya,
makin keras ia berusaha untuk tidur, makin sulitlah. A-khirnya iapun bangkit dari pembaringan,
turun dan keluar dari dalam kamar yang sederhana itu, terus keluar dari pondok kecil menuju ke
pantai laut yang mengelilingi pulau kecil itu. Bulan muda yang muncul menerangi pulau dan
mendatangkan cahaya remang - remang yang indah. Ketika ia se-dang asyik berjalan - jalan di
atas pasir yang lunak basah, tiba - tiba ia terkejut melihat seorang manu-sia berpakaian serba
hitam duduk bersila di atas gundukan pasir. Sinar bulan yang tidak dihalangi awan itu membuat
jubah yang juga hitam warna-nya itu mengkilat seperti dilapisi perak. Seketika Pek Lian merasa
kedua kakinya seperti lumpuh, jantungnya berdebar kencang dan semangatnya terbang. Orang itu
adalah Si Raja Kelelawar! I-ngin ia melarikan diri, akan tetapi kedua kakinya mogok. Apa lagi
ketika orang itu menoleh, meman-dang kepadanya sambil menyeringai, matanya yang bulat tajam
dan mengeluarkan sinar yang dingin dan aneh sekali itu seolah - olah mempunyai kekuatan untuk
mencengkeram hatinya. Hampir saja Pek Lian jatuh pingsan saking ngeri dan ta-kutnya. Belum
pernah ia merasa takut dan ngeri seperti pada saat itu. Sebetulnya, dara perkasa ini tidak takut
mati. Akan tetapi, tokoh yang menjadi raja - di - raja sekalian kaum sesat ini sungguh membuat ia
merasa ngeri.
"Ke sinilah engkau, heh budak kecil!" Terde-ngar suara orang berpakaian hitam itu, suaranya
berdesah seperti desir angin laut, dingin dan me-nerbangkan butiran pasir lembut. Hati Pek Lian
menjadi semakin gentar. Kekerasan hatinya bermaksud untuk membangkang, namun sungguh
aneh. Di luar kehendaknya, kedua kakinya bergerak dan iapun mendekat, menghampiri iblis itu. Ia
tidak tahu bahwa ini juga merupakan satu di antara il-mu kesaktian si iblis, yaitu di dalam pandang
mata dan suaranya terkandung kekuatan khikang yang dapat mempengaruhi semangat orang lain.
"Cepat!!" Bentakan ini seperti mempunyai daya tarik yang amat kuat sehingga Pek Lian
merasa seperti ditarik ke depan atau didorong dari bela-kang, membuat ia meloncat ke depan
menghampiri orang itu, dan berdiri berhadapan dengan orang itu, mukanya agak pucat dan
jantungnya berdebar penuh rasa ngeri dan takut.
"Kenapa takut ? Saat ini aku sedang tidak mem-punyai minat terhadap wanita. Aku hanya
ingin bertanya kepadamu. Kenapa engkau sampai di tempat ini dan di mana teman - temanmu itu
? Ke mana perginya kakek tua murid Tabib Sakti yang menolongmu itu ? Hayo jawab sejujurnya !
Kalau tidak kaujawab, akan kutelanjangi kau di sini dan kukubur hidup - hidup di pasir ini!"
Pek Lian mengerahkan tenaga batinnya untuk menenangkan perasaan hatinya, namun iblis
itu memiliki wibawa yang sedemikian kuatnya sehing-ga ia tetap saja merasa betapa tubuhnya
gemetar dicekam rasa ngeri dan takut. Ia tahu bahwa iblis ini dapat melakukan hal - hal yang
tidak lumrah dan yang kejam karena pembawaannya yang tidak seperti manusia biasa, seperti
pembawaan yang di-miliki oleh orang gila. Ketika ia menjawab, suara-nya juga tergagap - gagap
dan Pek Lian dapat men-dengar sendiri betapa suaranya gemetar ketakutan.
"Saya ...... aku ...... aku ingin mencari kawan-kawanku. Mereka dibawa oleh Si Buaya Sakti
dan Harimau Gunung ke tempat Si Rajawali Lautan.
Tentang kakek yang membantuku dahulu itu
...... aku tidak tahu ke mana perginya. Dia bersama
ketua muda Lembah Yang - ce itu telah pergi
berpisah dengan kami "
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Hemm, sungguh berani engkau, pergi sendirian ke tempat Rajawali Lautan Timur ! Tapi aku
senang melihat seorang gadis muda yang berani sepertimu ini. Tidak percuma ayahmu
mempunyai anak seper-ti engkau. Eh, bagaimana dengan ayahmu ? Bukan-kah engkau sedang
mencarinya ? Sudah dapat kau-temukan ?"
Pek Lian tertegun. Sungguh iblis yang luar biasa, yang agaknya mengetahui segala -
galanya ! Hatinya menjadi semakin gelisah. Jangan - jangan ayahnya terjatuh ke tangan iblis ini ?
Begitu mem-bayangkan bahwa ayahnya terjatuh ke tangan iblis ini, sungguh aneh, semua rasa
takut lenyap dari hatinya dan ia mulai dapat memandang iblis itu dengan berani, dan tubuhnya
tidak lagi gemetar. Demi ayahnya, ia sanggup menghadapi dan me-nentang apapun juga, kalau
perlu iblis inipun akan ditentangnya mati-matian. Ia sudah mengepal tinjunya. Akan tetapi iblis
itu seakan - akan dapat membaca pikirannya.
"Jangan mengira yang bukan - bukan. Tidak ada persoalan antara ayahmu dan aku. Aku
belum pernah bertemu dengan dia, hanya baru mendengar namanya saja. Nah, pergilah! Pakailah
perahuku untuk melanjutkan usahamu, aku sendiri akan ber-jalan kaki saja!"
Iblis itu lalu bangkit dari duduknya. Badannya jangkung besar dan begitu kedua kakinya
bergerak, tubuhnya berkelebat seperti terbang saja. Tubuh itu meluncur ke arah laut tanpa
menengok lagi. Pek Lian memandang dengan bengong dan mata-nya terbelalak ketika ia melihat
betapa iblis itu te-rus berlari ke arah laut dan ketika telah mencapai air laut, iblis itu masih terus
berlari - lari di atas air laut, menempuh gelombang ! Di bawah kedua sepatunya terdapat sepotong
bambu kurang lebih semeter panjangnya. Kini iblis itu mengembangkan kedua lengannya dan
jubah panjangnya menjadi seperti layar terkembang, menggembung dan tubuh-nya didorong oleh
angin, meluncur secepat perahu membalap menuju ke tengah lautan!
Pek Lian baru menarik napas panjang setelah bayangan hitam itu lenyap. Ia menggosok
mata dengan ujung lengan bajunya, merasa seperti ba-ngun dari mimpi buruk. Matanya dikejap -
kejap-kan, akan tetapi bayangan hitam itu telah lenyap. Sunyi sekali di situ. Hanya nampak
sebuah perahu kecil tergolek di atas pasir, tidak jauh dari situ dan ini menjadi bukti bahwa ia tidak
mimpi, bahwa memang benar ia telah bertemu dengan Raja Ke-lelawar dan bahwa iblis itu telah
meninggalkan perahunya, bahkan memberikan kepadanya. Pek Lian menghampiri perahu itu dan
memeriksanya. Sebuah perahu kecil yang baik sekali, buatannya kuat dan bentuknya
memungkinkan perahu itu dapat meluncur cepat. Juga perahu kecil ini diper-lengkapi dengan
dayung, layar dan juga jangkar. Hatinya menjadi girang sekali. Ia tidak tahu meng-apa sikap Raja
Kelelawar terhadap dirinya menjadi begitu baik, bukan saja tidak mengganggunya, bahkan
meninggalkan dan memberikan sebuah pe-rahu yang baik kepadanya dan menganjurkannya untuk
mencari ayahnya. Dan ia akan mencari ayah-nya besok!
* * *
Pada keesokan harinya, pagi - pagi sekali ia me-ninggalkan pulau para nelayan itu setelah
mengu-capkan banyak terima kasih kepada nelayan tua yang telah menyelamatkannya. Ia
menolak ketika para nelayan yang hidup sederhana dan berwatak jujur itu hendak mengantarnya.
Ia bertekad un-tuk mencari sendiri ayahnya. Setelah perahunya meninggalkan pulau itu, ia
memasang layar dan mengenangkan semua yang telah dialaminya.
Ia masih bingung mengenangkan suara ayahnya yang didengarnya di dalam perahu para
perajurit asing. Benarkah ayahnya berada di dalam perahu itu ? Kalau benar demikian, tentu amat
sukar ba ginya untuk menyelamatkan ayahnya. Raksasa-raksasa berambut putih yang berada di
atas perahu itu sungguh lihai bukan main. Selain itu, iapun tidak tahu ke mana ia akan dapat
menyusul perahu besar yang disangkanya membawa ayahnya itu. Juga ia merasa curiga kepada Si
Raja Kelelawar. Iblis ini menyebut - nyebut ayahnya. Apakah hu-bungannya ? Jangan - jangan iblis
yang luar biasa lihainya dan mungkin saja melakukan segala macam perbuatan yang aneh - aneh
itu benar - benar telah menguasai ayahnya atau setidaknya tahu di ma-na ayalmya berada. Wah,
kalau benar demikian dan ia harus berhadapan dengan iblis itu, makin kecil kemungkinannya
untuk dapat menyelamatkan ayahnya.
Mengingat akan semua kesukaran ini, Pek Lian termenung dan semangatnya menurun.
Hampir ia menangis karena ia tidak tahu ke mana ia harus pergi, ke mana ia harus mencari dan di
sekeliling-nya hanya nampak air kebiruan yang demikian lu-asnya. Akan tetapi dara pendekar ini
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mengepal tinjunya dan mengeraskan hatinya. Tidak, ia tidak boleh menangis! Ia tidak boleh patah
semangat! Ia harus berbakti kepada ayahnya. Sampai mati sekalipun ia tak boleh undur
selangkah, harus me-lanjutkan usahanya mencari dan menyelamatkan ayahnya.
Akan tetapi, karena ia tidak tahu ke mana harus menuju, perahu layarnya itu meluncur ke
depan, ke arah matahari terbit tanpa tujuan tertentu. Ka-dang - kadang ia membelok ke utara dan
mencari-cari, namun sehari penuh ia tidak pernah melihat adanya perahu besar yang diperkirakan
membawa ayahnya sebagai tawanan itu. Yang dijumpainya hanya perahu - perahu nelayan, itu
pun jarang seka-li. Akhirnya, matahari condong ke barat dan malam menjelang tiba.
Untung bagi Pek Lian malam itu bulan purna-ma. Ia tidak perlu menyalakan lampu
perahunya. Lebih aman tidak menggunakan lampu agar tidak mudah nampak oleh perahu lain.
Tiba - tiba ia me-lihat titik-titik terang di kejauhan. Hampir ia bersorak. Biarpun titik - titik terang
itu sama sekali tidak menjamin bahwa ia akan menemukan apa yang dicarinya, akan tetapi
setidaknya ada harap-an dan perahunya mempunyai tujuan. Iapun me-ngemudikan perahunya
yang didorong angin itu menuju ke cahaya api di depan itu. Lampu itu kelihatan dekat saja, akan
tetapi setelah ditempuh, ternyata bukan main jauhnya. Sampai hampir se-tengah malam, baru ia
dapat mendekat dan kini nampak bahwa banyak sekali lampu bernyala me-menuhi sebuah pulau
kecil. Akan tetapi ketika perahu makin mendekat, ribuan lampu itu makin
berkurang, lenyap dan yang nampak hanya ting-gal sebuah lampu yang tinggi dan terang,
yang terdapat di tengah - tengah pulau. Tadinya Pek Lian merasa heran. Akan tetapi setelah
perahunya dekat dengan pulau itu, mengertilah ia mengapa lampu - lampu itu lenyap. Kiranya
pulau itu tepinya tidak landai, melainkan merupakan tebing yang curam seperti dinding tembok
yang amat tinggi. Tentu saja ketika perahunya masih jauh dari pulau itu, ia dapat melihat semua
lampu yang berada di atas pulau, akan tetapi setelah dekat, lampu - lam-pu itu terhalang oleh
tebing yang tinggi, kecuali sebuah lampu besar yang agaknya berada di tempat paling tinggi di
tengah pulau itu.
Melihat pulau yang tebingnya tinggi itu, Pek Lian menjadi bingung. Bagaimana mungkin
men-darat dan memasuki pulau ? Tebing itu amat cu-ram, sedikitnya ada limapuluh meter
tingginya. Hanya burung bersayap sajalah yang kiranya akan dapat mendarat ke pulau itu. Pek
Lian mengeli-lingi pulau dengan perahunya, menggulung layar dan mendayung dengan perlahan,
mencari - cari jalan masuk atau tempat mendarat yang tepat, atau hendak melihat di mana para
penghuni pulau men-daratkan perahu mereka. Terdengar suara orang-orang bersorak - sorai di
pulau itu, terdengar dari atas dalangnya suara sorakan. Agaknya para peng-huni pulau itu sedang
berpesta - pora atau bersu-ka ria.
Ketika perahu Pek Lian tiba di bagian timur pulau dan dara ini sedang mencari - cari tempat
pendaratan, tiba - tiba ia melihat berkelap - kelip-nya banyak lampu yang datang dari arah laut
me-nuju ke pulau itu. Ia cepat mendayung perahunya, bersembunyi di balik batu karang menonjol
dan mengintai. Beberapa buah perahu datang mende-kati pulau. Karena tidak mengenal tempat
apa adanya pulau ini dan siapa pula orang - orang da-lam perahu itu, Pek Lian merasa lebih aman
kalau menyembunyikan diri lebih dulu. Kiranya perahu-perahu itupun dihias dengan meriah,
digantungi lampu teng warna - warni, suasana pesta nampak di perahu - perahu itu.
Pek Lian mengintai dengan penuh perhatian dan karena perahu-perahu itu mempunyai
banyak lampu yang cukup terang, maka dia dapat melihat kesibukan-kesibukan di situ. Di atas
perahu paling depan nampak berdiri seorang laki - laki bertubuh kurus dengan kumis tikus,
pakaiannya mewah seperti seorang pembesar kerajaan saja. Terdengar orang meniup terompet
tanduk dan pe-rahu - perahu itu merapat ke tebing. Ketika Pek Lian memandang ke arah tempat
itu, nampaklah olehnya sebuah lubang besar di tebing itu, persis di atas permukaan laut, seperti
mulut raksasa. Di dalam lubang itu berserakan batu - batu besar ke-cil dan di sela - selanya
mengalir air bening ke laut. Itu adalah sebuah muara sungai bawah tanah yang menembus ke
tebing itu dan ternyata muara inilah yang agaknya menjadi pintu menuju ke pulau! Satu - satunya
pintu yang aneh sekali.
Para penghuni perahu berlompatan memasuki lubang. Diam-diam Pek Lian mendayung
perahu-nya sambil bersembunyi di balik batu karang dan kini ia memandang penuh perhatian.
Setelah dekat, baru ia melihat bahwa di mulut lubang terowongan itu terdapat ukiran huruf - huruf
di tebing yang licin mengkilap. Jantung gadis itu berdebar tegang ketika ia membaca tulisan huruf
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
- huruf besar itu. Hai Ong Kong Hu (Istana Raja Lautan)! Kiranya di sinilah tempat tinggal Si
Rajawali Lautan Timur, datuk atau raja para bajak itu! Akan tetapi meng-apa tidak ada penjagaan
sama sekali ? Apakah semua sedang berpesta - pora di pulau itu seperti yang dapat didengarnya
dari luar pulau ?
Pek Lian menanti sampai semua orang dalam perahu - perahu itu memasuki lubang dan
mereka meninggalkan perahu - perahu mereka yang mele-pas jangkar di dekat tebing. Perahu -
perahu itu bergoyang - goyang akan tetapi tidak sampai mem-bentur tebing, tertahan oleh tali -
tali kuat yang dihubungkan dengan jangkar yang dilepas di dasar laut. Setelah merasa yakin
bahwa tidak ada lagi orang yang akan dapat melihatnya, Pek Lian lalu menambatkan perahunya
pada batu karang di ping-gir tebing yang terlindung, kemudian berindap-indap dia berloncatan dari
batu karang lain menghampiri lubang. Dengan hati - hati iapun mema-suki terowongan itu.
Dengan penuh kewaspadaan, ia berloncatan ke atas batu - batu dan ternyata terowongan itu
berbelok - belok mendaki. Ia terus mengikuti terowongan itu dan akhirnya sampailah ia ke mulut
terowongan di atas pulau. Terowongan itu tiba di tepi sebuah telaga kecil dan agaknya
terowongan itu merupakan jalan air untuk pembu-angan air dari telaga.
Dengan berindap - indap, Pek Lian mengintai keluar dari lubang yang merupakan mulut
tero-woagan itu. Ia melihat bahwa di mulut terowong-an itu terdapat sepuluh lebih penjaga. Akan
tetapi, seperti semua orang yang berada di pulau itu, para penjaga inipun asyik bersorak - sorak
dan menonton perlumbaan yang diadakan di atas telaga, menjagoi sampan yang dikemudikan
oleh kawan - kawan mereka. Ternyata di atas telaga itu diadakan per-lumbaan perahu sampan
yang luar biasa ramainya. Semua orang menonton, di tepi telaga penuh orang dan yang berada di
belakang mencari tempat yang agak tinggi untuk dapat menyaksikan perlumbaan perahu itu. Para
penjaga ini yang berada di mulut terowongan, mendapatkan tempat yang tinggi se-hingga mereka
dapat menyaksikan perlumbaan itu dengan jelas, walaupun dari tempat yang agak jauh.
Agaknya seluruh penghuni pulau itu dan juga semua penjaga dan para tamu, berkumpul di
tepi telaga itu. Karena keadaan yang berjejal - jejal ini,
laki - laki dan wanita, walaupun jauh lebih banyak prianya ketimbang wanitanya, maka
kehadiran Pek Lian tidak begitu menarik perhatian. Apa lagi waktu itu masih malam dan mulut
terowongan itu masih gelap, demikian pula tempat di mana semua orang menonton itu. Hanya di
tepi telaga terdapat penerangan yang beraneka warna, dan juga pada sampan - sampan yang
melakukan perlumbaan itu terdapat lampu - lampu yang mengenakan kap de-ngan warna dan
tulisan tertentu sehingga mereka itu dapat dikenal dari jauh oleh teman - teman mereka yang
menjagoi mereka.
Pertempuran adu kepandaian antara tiga orang raja lautan yang diadakan tiap tiga tahun
sekali, selalu diawali dengan tontonan yang amat mena-rik ini, yaitu lumba perahu. Perlumbaan ini
diikuti oleh semua perkumpulan bajak laut yang tergabung di bawah bendera tokoh yang
dianggap sebagai Raja Lautan dan yang berhak mendiami Istana Ra-ja Lautan selama tiga tahun.
Pada saat itu, yang menjadi Raja Lautan adalah Rajawali Lautan Ti-mur. Perkumpulan -
perkumpulan ini adalah anak buah Lain - siauw - ong si Raja Muda Selatan, ke-mudian Petani
Lautan, dan beberapa perkumpulan kecil lainnya. Akan tetapi tentu saja hanya para anak buah
tiga perkumpulan di bawah tiga orang datuk itu saja yang termasuk golongan kuat, yaitu anak
buah Rajawali Lautan Timur, Raja Muda Se-latan, dan Petani Lautan. Tiga orang ini sejak bertahun
- tahun telah menjadi saingan - saingan yang paling keras, sedangkan para pimpinan
perkumpul-an - perkumpulan kecil lainnya boleh dibilang tidak masuk hitungan. Mereka yang kecil
ini boleh dibilang hanya bertugas meramaikan pesta perte-muan itu saja, walaupun mereka juga
berhak untuk mengikuti perlumbaan, bahkan mencoba kepandai-an mereka untuk dapat terpilih
sebagai Raja Laut-an yang baru !
Perahu - perahu yang ikut dalam perlumbaan itu adalah sampan - sampan kecil yang
bentuknya runcing, ditumpangi tiga orang. Selain ada lampu warna - warni, juga setiap perahu
dihias dan dicat, diberi bendera dari perkumpulan masing - masing yang berkibar di kepala
perahu. Namanya saja perlumbaan dan perahu - perahu itu menang ber-lumba cepat mencapai
garis yang telah ditentukan di mana dipasang tambang dengan pita berkem-bang. Siapa yang
lebih dulu melewati tambang inilah yang dianggap juara.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Namanya saja perlumbaan adu cepat, akan te-tapi karena yang melakukan perlumbaan
adalah para bajak perompak, maka perlombaan itupun bersifat keras, sesuai dengan watak
mereka masing-masing. Perlumbaan itu tanpa memakai peraturan, pendeknya siapa mencapai dan
melewati tambang sebagai garis terakhir, dialah yang menang. Tidak ada larangan apapun dalam
perlumbaan ini. Kare-na tidak ada aturan ini, dan tidak ada larangan sama sekali, maka
merekapun berusaha untuk mencapai kemenangan dengan segala macam cara mereka sendiri.
Terjadilah pukul-memukul dan usaha me-nenggelamkan perahu lawan ! Saling sodok, saling
kemplang dengan dayung. Pendeknya, mereka itu saling menghalangi lawan agar jangan sampai
mencapai garis finish dan tentu saja usaha ini dila-kukan dengan kekerasan, maka terjadilah
perkela-hian sengit di antara mereka sebelum ada yang berhasil mencapai garis kemenangan.
Hanya ada batasnya dan hal ini sudah diumumkan sebe-lumnya, yaitu bahwa mereka, sesuai pula
de-ngan kedudukan mereka sebagai bajak - bajak laut, mereka tidak diperbolehkan menggunakan
alat senjata lain kecuali dayung dan mereka juga tidak boleh meninggalkan perahu masingmasing.
Tentu saja pertempuran yang kacau - balau dan acak - acakan itu amat ramainya. Banyak
sudah di antara para anggauta bajak yang terlempar ke luar dari perahunya, tercebur ke dalam air
telaga dengan kepala benjol atau bocor terkena hantaman dayung lawan. Akan tetapi mereka
adalah orang-orang kasar yang sudah biasa dengan kekerasan se-hingga mereka tidak menjadi
marah, bahkan terta-wa - tawa dalam suasana pesta dan mereka itu rata-rata adalah perenang -
perenang yang pandai maka masing - masing dapat menyelamatkan dirinya sen-diri. Ada pula
perahu yang sempat digulingkan lawan, dan tentu saja tiga orang penumpangnya.
terguling semua dan tercebur ke dalam air, bere-nang ke sana - sini berusaha membalikkan
perahu sendiri atau kalau tidak berhasil, merekapun lalu menggulingkan perahu lawan mana yang
terdekat. Suasana menjadi ramai, hiruk - pikuk dan lucu. Para penonton bersorak - sorai
gembira. Akan tetapi kegembiraan yang kasar, dan tidak jarang terjadi perkelahian sendiri di
antara penonton, bukan per-kelahian antara musuh melainkan perkelahian se-sama rekan,
menggunakan tangan kosong dan su-dah puas kalau lawan terpelanting, tidak ada yang
bermaksud membunuh rekan. Taruhanpun terjadi-lah dan para petaruh ini yang bersorak - sorak
kalau melihat perahu yang mereka jagoi itu dapat maju melampaui lainnya.
Pek Lian menengok ke sana - sini, mencari - cari dengan penuh perhatian. Ia tidak melihat
adanya orang - orang berperahu yang dilihatnya berlon-catan memasuki terowongan
mendahuluinya tadi. Dan iapun tidak dapat menduga di mana adanya Bu Seng Kun atau juga Ahai
kalau memang mereka berdua itu dibawa ke tempat ini oleh para penawan mereka. Pek Lian
sendiri sampai menjadi bingung memikirkan nasibnya. Mula - mula ia ber-sama Bu Seng Kun dan
Bu Bwee Hong mencari ayahnya. Ayahnya belum bisa didapatkan, Bu Seng Kun dan juga A - hai
malah lenyap ditawan orang. Dan akhirnya, mencari ayahnya dan dua orang pemuda itu belum
berhasil, ia sudah harus berpisah lagi dengan Bwee Hong yang tidak dike-tahui bagaimana
nasibnya itu.
Perlumbaan perahu itu terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah para
anggauta bajak tingkat rendah yang tadi telah diperlihatkan kenekatan masing - masing. Adapun
golongan ke dua yang diperlumbakan adalah golongan thouw-bak (kepala regu) dari perkumpulan
masing - masing yang akan diadakan kemudian. Sementara itu, ke-but - kebutan sambil berkelahi
kacau - balau itu masih terus berlangsung dengan ramai dan sengit-nya di tengah telaga.
Pek Lian bersembunyi di belakang setumpuk jerami kering sambil melihat suasana di
sekeliling tempat itu. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia telah memasuki sarang srigala buas di mana
terdapat banyak sekali orang yang memiliki kepandaian tinggi. Juga ia tahu bahwa orang - orang
di tempat, ini berwatak seperti binatang, kejam dan buas. Ka-lau sampai ia tertangkap, tentu ia
akan mengalami nasib yang amat mengerikan. Akan tetapi ia telah berada di situ, tidak mungkin
lagi ia mengundurkan diri karena kini ia melihat betapa mulut terowong-an dari mana ia tadi lewat,
telah mulai dijaga dan diperhatikan kembali.
Perlumbaan masih terjadi dengan amat ramai-nya. Sampan dari anak buah Si Raja Muda
Selatan agaknya seperti memimpin perlumbaan, dikejar oleh sampan pihak tuan rumah, yaitu anak
buah Rajawali Lautan Timur. Sedangkan kelompok perkum-pulan lain mengejar sambil gebug -
gebugan. Dua buah perahu, yang lampunya merah dan hijau, saling tabrak dan perahu merah
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
terguling! Tiga orang penumpangnya terpelanting, disoraki lawan. Akan tetapi, tiga orang itu
berhasil memegang ujung perahu lawan yang berlampu hijau dan mendorong-nya terbalik pula.
Tentu saja tiga orang penum-pangnya juga terpelanting dan tercebur. Dan enam orang itu kini
saling pukul menggunakan dayung, berkelahi di air. Hiruk - pikuk suaranya ! Agaknya, perlumbaan
ini belum tentu dapat selesai sampai fajar nanti. Perahu - perahu yang sudah maju se-lalu
terhalang oleh lawan sehingga segi lumbanya sendiri hanya sedikit sekali, akan tetapi perkelahiannya
yang banyak. Para penonton makin keran-jingan. Makin banyak darah muncrat, makin
banyak orang celaka, makin banyak perahu terguling, ma-kin penuh gairah para penonton, makin
gembira hati mereka karena dalam keadaan seperti itu mereka ingin melihat orang menderita
sehebat - hebat-nya. Memang demikianlah watak orang. Suka sekali melihat orang lain menderita,
bahkan merasa lucu kalau melihat orang lain menderita dan ke-sakitan. Sebaliknya, melihat orang
menikmati ke-senangan, timbullah iri hati.
Manusia pada umumnya memiliki watak welas asih (belas kasihan), penuh pertimbangan,
suka akan keadilan, menentang kelaliman. Akan tetapi di samping watak - watak yang baik ini,
terdapat pula watak yang sadis, yang senang melihat penderitaan orang lain dan merasa iri hati
kalau melihat orang lain bersuka ria. Sifat - sifat yang bertentangan ini disebabkan oleh konflik
batin yang ditimbulkan oleh pikiran yang menciptakan si aku yang selalu ingin senang dan selalu
mencari dan mengejar ke-senangan, atau keadaan lain yang lebih menye-nangkan dari pada
keadaan sekarang yang telah dirasakan dan dimilikinya.
Watak seseorang dibentuk oleh kebiasaan - ke-biasaan. Dan kebiasaan lahir dari
ketidakwaspa-daan. Kebiasaan membuat seseorang menjadi seperti robot, yang bergerak karena
kebiasaan itu sendiri, dan kebiasaan dihidupkan oleh keinginan untuk senang. Kebiasaan ini dapat
dihentikan seketika dengan kewaspadaan. Waspada meman-dang kenyataan, mengerti dan sadar
akan kekeliru-an sendiri dan kewaspadaan ini, kesadaran ini ber-arti tindakan seketika pula, yang
menghentikan kebiasaan itu. Tanpa ini, maka pengertian itu palsu adanya, bukan kewaspadaan,
melainkan permainan si aku yang enggan melepaskan kese-nangan sehingga dalam melihat
kesalahan atau kekeliruan sendiri, si aku lalu mencari seribu satu macam alasan untuk membela
diri dan memperta-hankan kebiasaan itu! Semua ini dapat kita lihat dengan jelas apa bila kita mau
membuka mata dan mengamati diri sendiri lahir batin.
Ho Pek Lian melihat betapa semua orang seperti tenggelam ke dalam tontonan yang makin
ramai itu, maka iapun berindap - indap meninggalkan tepi telaga menuju ke rumah - rumah yang
bertebaran di sekitar telaga kecil itu. Ia memasuki sebuah rumah dengan hati - hati dan tepat
seperti yang diduganya, rumah itu kosong karena semua peng-huninya beramai - ramai nonton
perlombaan pera-hu. Pek Lian merasa betapa jantungnya berdebar-debar tegang. Ia merasa
seperti seorang pencuri memasuki rumah orang yang kosong dan merasa khawatir kalau - kalau
penghuni rumah itu akan masuk sewaktu - waktu dan memergokinya di da-lam rumah itu.
Dimasukinya sebuah kamar dan dengan girang akhirnya ia menemukan pakaian wanita yang
cocok untuknya, pakaian sederhana dan kasar dari keluarga bajak. Setelah merasa bahwa dengan
dandanan itu ia tidak akan berbeda banyak dengan para wanita yang berada di tepi telaga, ia lalu
keluar. Rambutnya sudah diubah gelungnya meniru gelung cara dusun dari para wanita yang
berada di antara para penonton. Mu-lailah ia mencampurkan dirinya dengan para penon-ton
lainnya dan memang tidak ada orang yang tertarik untuk memperhatikannya setelah ia mema-kai
pakaian seperti para wanita lain di tempat itu. Pek Lian memperhatikan dan mencari - cari dengan
pandang matanya, namun ia tetap tidak melihat para penumpang perahu - perahu yang
mendahuluinya memasuki terowongan yang menuju ke pu-lau itu.
Tiba - tiba ia menyelinap di antara banyak orang untuk menyembunyikan diri ketika ia
melihat munculnya tiga orang yang telah dikenalnya. Mere-ka itu adalah para pembantu Raja
Muda Selatan yang pernah mengeroyok Bwee Hong ketika Bwee Hong dicoba oleh raja bajak itu.
Mereka bertiga itu nampak sedang berjalan bersama dua orang bermuka hitam dan bopeng,
meninggalkan tepi telaga dan menuju ke sebuah gedung di tengah pu-lau. Melihat tiga orang ini,
Pek Lian segera mem-bayangi mereka. Gadis ini tadi sudah melihat bahwa anak buah Si Raja
Muda Selatan hadir pula dalam keramaian itu, dan karena itulah ia sangat berhati - hati
menyembunyikan diri karena ia ter-ingat akan minat Raja Muda Selatan terhadap Bwee Hong,
yaitu ingin mengambilnya sebagai isteri, baik dengan halus maupun kasar.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Lima orang yang dibayangi Pek Lian memasuki gedung itu dan mereka disambut oleh empat
orang lain yang wajahnya membayangkan kekerasan dan sikap mereka kasar - kasar, akan tetapi
pakaian mereka bukan seperti bajak laut, melainkan seperti para petani. Melihat ini, Pek Lian
dapat menduga bahwa tentu empat orang itu anak buah Petani Lautan seperti yang pernah
didengarnya dari per-cakapan antara Raja Muda Selatan dengan Bwee Hong. Melihat sembilan
orang itu duduk di ruangan
depan gedung itu, minum bersama dan ditemani oleh wanita - wanita muda yang genit -
genit, Pek Lian menyelinap dan mengintai untuk mendengar-kan percakapan mereka.
"Hei, kawan. Persembahan apakah yang akan dihaturkan oleh pimpinan kalian ?" tanya
empat orang anak buah Petani Lautan itu kepada tiga orang anak buah Raja Muda Selatan.
"Pimpinan kami akan menghadiahkan beberapa buah benda berharga hasil rampasan kami
dari perahu Pangeran Jepang," jawab seorang di antara mereka, "dan apa yang akan
dipersembahkan pim-pinan kalian ?"
"Entah, mungkin sebuah golok pusaka yang kami rampas baru - baru ini dari perahu
kerajaan."
"Aih, besok akan ramai sekali dan membayang-kannya hatiku menjadi tegang. Pertandingan
silat antara para raja lautan yang hanya dapat kita nik-mati setiap tiga tahun sekali," kata orang
yang mukanya bopeng, yaitu anak buah dari tuan rumah, Si Rajawali Lautan.
"Kitapun besok sore akan saling bertemu dalam perlumbaan perahu," sambung temannya
yang ber-muka hitam.
"Ha - ha - ha ! Benar sekali, aku sudah ingin sekali tahu kemajuan apa yang kalian peroleh
se-lama tiga tahun ini!" seorang thouw - bak dari Raja Muda Selatan berkata gembira. Suasana
men-jadi makin gembira ketika mereka itu mengadu
tebak jari sambil minum - minum. Makin banyak mereka minum arak, makin gembira
suasananya dan kadang - kadang terdengar jerit - jerit kecil para wanita pelayan kalau tangan
orang - orang kasar itu mulai usil.
Pek Lian menyelinap masuk ke dalam gedung itu dari pintu samping. Ternyata gedung
inipun kosong dan di ruangan dalam ia tidak menemui se-orangpun manusia. Agaknya
penghuninya keluar semua dan para wanita yang menemani sembilan orang itu tentu pelayan -
pelayan atau memang wanita yang disediakan untuk para tamu. Ketika ia menuju ke ruangan
belakang, ia mendengar su-ara orang dari sebuah kamar. Pek Lian cepat me-nyelinap
bersembunyi. Suara itu tidak jelas, akan tetapi seperti suara seorang laki - laki dan seorang
perempuan. Karena ia hendak menyelidiki dan mencari kalau - kalau ia dapat menemukan di mana
adanya Bu Seng Kun atau A - hai, maka ia lalu ber-indap menghampiri kamar itu. Dengan ludah
dan jari tangan, ia melubangi kertas jendela dan meng-intai ke dalam kamar yang hanya diterangi
oleh sebatang lilin itu. Dan apa yang disaksikannya membuat Pek Lian cepat - cepat membuang
muka, wajahnya menjadi kemerahan dan cepat - cepat ia pergi meninggalkan tempat itu dengan
hati me-nyumpah - nyumpah ! Kiranya yang berada di dalam kamar itu adalah seorang anggauta
bajak yang sedang bergumul dengan seorang wanita !
Pek Lian terus menuju ke belakang dan keluar dari gedung itu melalui pintu belakang. Ia
melihat sebidang tanah kosong yang penuh dengan batu-batu karang di antara semak - semak. Di
tengah nampak sebatang sungai kecil yang dangkal penuh dengan batu - batu. Fajar mulai
menyingsing dan Pek Lian mendaki bukit dari mana air sungai kecil itu mengalir. Pulau itu sepi,
tidak nampak ada penjagaan seorangpun. Agaknya, semua orang te-lah pergi menonton
perhambaan di tepi telaga.
Pek Lian termenung. Rajawali Lautan bukanlah seorang pemimpin yang baik. Pulau ini
memang merupakan tempat sembunyi yang baik sekali, juga dapat menjadi semacam benteng
yang kuat karena pulau ini dikelilingi tebing yang terjal dan tidak akan dapat diserbu lawan. Jalan
masuk satu - satu-nya hanya melalui terowongan. Akan tetapi meng-apa penjagaannya begini
lemah ? Kalau terjadi ser-buan musuh, mana mungkin akan dapat melawan dengan baik ? Apa lagi
kalau yang menyerang itu orang - orang yang lihai macam Harimau Gunung dan Buaya Sakti.
Berpikir demikian, dara itu ter-ingat akan dua orang dari Sam - ok yang menjadi pembantu -
pembantu utama Raja Kelelawar itu. Heran sekali, ke manakah mereka itu pergi ? Apa-kah belum
sampai di pulau ini ? Rasanya mustahil. Mereka itu berangkat lebih dulu dari padanya.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Melihat betapa di puncak bukit di depan terdapat sebuah bangunan besar, jantung Pek Lian
berdebar
tegang. Bangunan itu seperti istana saja.
Itukah Istana Raja Laut ? Ah, kalau memang benar
dua orang pemuda yang dicarinya itu menjadi tawanan,
agaknya di istana itulah mereka ditahan !
Dan siapa tahu ia akan bertemu dengan ayahnya
pula di istana itu. Hatinya menjadi tegang dan
dengan cepat namun hati - hati sekali ia berlari
mendaki bukit menuju ke istana itu. Makin dekat,
makin nampaklah bahwa bangunan itu memang
megah dan indah, pantas menjadi sebuah istana. Ia
menyelinap di antara semak-semak dan mengintai
ke depan. Nampak para penjaga hilir - mudik di
halaman istana. Tidak salah, pikirnya. Tentu inilah
yang dinamakan Istana Raja Laut dan karena bangunan
ini merupakan tempat tertinggi, maka satusatunya
lampu yang nampak ketika perahunya sudah
mendekati pulau malam tadi tentulah lampu
dari istana itu.
Pek Lian maklum bahwa tentu amat berbahaya kalau sampai ketahuan, maka iapun lalu
menyeli-nap ke samping bangunan, menjauhi aliran sungai kecil yang agaknya bermata air di bukit
itu. Ia mengintai dari balik sebatang pohon dan melihat beberapa orang wanita muda yang
berpakaian se-perti pelayan - pelayan istana turun dari anak tangga pintu samping istana
membawa keran-jang, menuju ke arah telaga.
Fajar telah tiba dan sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan malam. Pek Ljan mulai
melihat para penonton bubaran. Dari tempat tinggi itu ia dapat melihat keadaan di tepi telaga di
mana perhambaan diadakan. Celaka, pikirnya. Semua orang akan pergi ke tempat masing -
masing dan kalau ia tidak cepat mendapatkan sebuah tempat persembunyian yang baik, tentu
akan sukar bagi-nya untuk menghindar dari tangkapan. Mencoba memasuki istana sama dengan
menyerahkan diri. Dari tempat tihggi ini ia mencari - cari dengan pandang matanya dan akhirnya
ia melihat sebuah ba-ngunan kuno yang tidak terawat berdiri terpencil di lereng bukit, arahnya di
belakang istana itu. Ce-pat ia meninggalkan tempat ia mengintai tadi dan berlari - lari menuju ke
bangunan kuno itu.
Hatinya girang melihat bahwa bangunan kuno itu memang sebuah bangunan yang tidak
dipakai orang lagi. Semacam bengkel atau gudang di ma-na bertumpuk banyak bangkai perahu,
sampan, tiang layar dan semacam itu, berserakan tidak di-pakai lagi. Pek Lian cepat membuka
pintu dan menyelinap masuk. Memang sebuah tempat per-sembunyian yang baik, kata hatinya
girang. Di situ terdapat alat - alat pertukangan dan balok - balok kayu. Sebuah bengkel tempat
pembikinan perahu. Terdapat banyak pula patung - patung yang bia-sanya dipakai menghias
kepala perahu - perahu be-sar, patung dewa - dewa dengan muka yang me-nyeramkan, sebesar
manusia.
Mengerikan juga melihat patung - patung itu sebesar orang dengan posisi berdiri atau
duduk, dengan muka yang menyeramkan. Ada. patung yang rambutnya terbuat dari rambut
manusia aseli. Patung - patung ini berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan sambil
melangkah perlahan - lahan memeriksa keadaan tempat itu, Pek Lian merasa serem. Seolah - olah
semua patung itu mengawasi setiap gerak - geriknya. Dan patung - patung itu seperti hidup saja,
apa lagi di dalam ruangan yang remang - remang seperti itu. Pek Lian berusaha untuk tidak
mengamati patung - patung itu. Teng-kuknya meremang dan hatinya diliputi rasa serem. Akan
tetapi, makin ia berusaha untuk tidak me-mandang, matanya malah selalu memperhatikan ke
sekeliling, ke arah patung - patung itu. Berada di tempat itu ia merasa seolah - olah kalau berada
se-orang diri di tanah kuburan, atau di ruangan yang penuh dengan peti - peti mati. Seolah - olah
ada yang bergerak, ada yang hidup, ada setannya !
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kita tidak mungkin dapat melarikan diri dari rasa takut. Rasa takut bukanlah sesuatu yang
ter-pisah dari kita. Rasa takut adalah kita sendiri, ba-tin kita sendiri penciptanya. Ke manapun kita
lari, kalau memang kita takut, tentu akan tetap takut. Hiburan yang kita cari hanya akan membuat
kita terlupa sebentar saja, akan tetapi rasa takut itu masih ada dalam batin.
Ada bermacam - macam rasa takut, yaitu misal-nya takut terhadap setan, takut terkena
malapeta-ka, takut penyakit, bahkan takut mati. Akan tetapi semua bentuk rasa takut itu pada
hakekatnya sama saja. Semua itu timbul dari pikiran yang memba-yangkan hal-hal yang belum
ada, hal-hal yang dianggapnya amat tidak menyenangkan seperti yang pernah diketahuinya dari
orang lain atau dari pengalaman sendiri. Orang takut kepada se-tan yang melakukan hal - hal
yang menyeramkan, dan orang yang takut kepada setan itu tentu belum bertemu dengan setan,
jadi yang ditakutinya itu hanyalah bayangan - bayangan yang dibuatnya sendiri dalam pikirannya.
Orang yang takut mati tentu takut karena membayangkan keadaan yang mengerikan sesudah
mati seperti yang pernah di-dengarnya dari cerita - cerita dongeng, atau takut membayangkan
kesepian dan kehilangan segalanya sesudah mati. Melarikan diri dari rasa takut sia-sia belaka.
Akan tetapi, kalau kita mau mengha-dapinya, menghadapi rasa takut setiap kali ia mun-cul,
mengamatinya dengan penuh perhatian, maka pengamatan ini sendiri akan membebaskan kita
dari cengkeraman rasa takut. Pengamatan dengan penuh perhatian akan melenyapkan pikiran
yang membayang - bayangkan, dan pengamatan ini akan membuat kita mengerti dengan jelas
proses terja-dinya rasa takut dalam pikiran kita.
Pek Lian yang sudah merasa ngeri itu hampir saja menjerit ketika ia melirik ke kiri dan
merasa ada sebuah patung yang bergerak di pojok ruangan itu. Untung ia masih ingat sehingga
tidak ber-teriak dan menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Ah, mana mungkin ada patung bisa
bergerak ? Di-bantahnya sendiri dugaan tadi. Akan tetapi tetap saja hatinya merasa gentar dan ia
menjauhi tempat patung - patung itu menuju ke pintu untuk meng-intai keluar, melihat suasana di
luar.
"Gedobrakkk ! Huh, bedebah ! Sialan !"
Tentu saja Pek Lian merasa terkejut sekali se-perti disambar halilintar mendengar suara
bising yang disusul suara makian itu. Cepat ia menoleh dan wajahnya menjadi pucat, matanya
terbelalak ketika ia melihat sebuah patung benar - benar ber-gerak menyingkirkan sebuah patung
lain yang tadi agaknya roboh menimpanya. Rasa takut membuat Pek Lian kehilangan
kewaspadaan dan iapun men-dorong daun pintu dan melompat keluar dari da-lam rumah setan
itu. Serombongan orang yang se-dang lewat di depan rumah tua itu terkejut me-lihat munculnya
seorang gadis yang ketakutan. Mula - mula mereka mengira bahwa gadis itu te-man sendiri karena
Pek Lian memang menyamar dengan pakaian yang diambilnya dari sebuah rumah, akan tetapi
ketika mereka melihat wajah Pek Lian, mereka tahu bahwa gadis itu adalah seorang asing. Karena
masih menduga bahwa mungkin ia seorang gadis yang dibawa datang oleh para tamu, maka
seorang di antara mereka cepat meloncat ke depan Pek Lian sambil menyeringai.
"Eh, nona manis, engkau datang dari rombong-an manakah ? Dan apa yang telah terjadi
maka engkau keluar dari bengkel lama ini ?"
"Ha-ha-ha, agaknya nona manis ini menjum-pai kekasihnya di sini!"
"Tak salah lagi, tentu semalam suntuk telah bermain
cinta sepuasnya "
Beberapa orang laki - laki mengeluarkan kata-kata yang makin lama makin cabul dan tidak
pan-tas, maka Pek Lian tidak dapat menahan kemarah-annya lagi.
"Tutup mulutmu yang busuk !" bentaknya dan tangan kirinya menampar.
"Plakk !" Orang yang mengeluarkan katakata
cabul itu terkena tamparan pipinya. Dia
mengaduh dan terpelanting roboh, lalu merintih
karena muka yang kena dihantam itu membengkak
! Tentu saja para anak buah pulau itu menjadi
marah. Dua orang teman yang melihat kawannya
ditampar, sudah meloncat ke depan dan mereka
berdua ini menubruk untuk merangkul dan menangkap
gadis yang galak itu. Akan tetapi, Pek
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Lian menggerakkan kaki tangannya dan dua orang
itupun roboh terpelanting! Gegerlah para anak buah pulau itu. Baru mereka tahu bahwa
gadis ini
lihai sekali. Lima orang maju mengeroyok dan
yang lain memberi tanda memanggil teman - teman.
Para anak buah Rajawali Lautan berdatangan dan selain nona itu dikeroyok, juga rumah tua
itu di kepung.
"Periksa di dalam rumah ! Mungkin masih ada kawan - kawannya. Mereka ini tentu mata -
mata dari luar !" demikian seorang thouw - bak pemban-tu Rajawali Lautan berteriak.
Tiba - tiba terdengar sumpah serapah dari da-lam rumah itu dan pintu depan yang baru
sete-ngahnya dibuka oleh Pek Lian tadi kini jebol di tendang orang dari dalam. Lalu muncullah dua
orang kakek yang keluar sambil mengomel. Yang seorang berusia empatpuluh lima tahun,
bertubuh gemuk pendek dan membawa sebatang toya baja putih, sikapnya angkuh dan
memandang rendah mereka yang datang mengepung. Orang ke dua adalah seorang kakek
berusia limapuluh tahun ber-jubah kulit harimau, tubuhnya tinggi besar mena-kutkan dan
tangannya membawa sehelai rantai baja yang ujungnya merupakan tombak berjangkar, dili-litkan
di lengannya. Dua orang ini bukan lain ada-lah dua di antara Sam - ok, yaitu yang pertama adalah
Sin - go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti, sedang-kan yang ke dua bukan lain adalah San - hek - houw Si
Harimau Gunung! Tentu saja Pek Lian segera mengenal dua orang pembantu utama dari Raja
Kelelawar ini, dan j
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To
Register.]***
an para pengero-yok terkejut karena ternyata dua orang ini jauh lebih ganas dan lihai dari
pada nona itu. Sebentar saja, beberapa orang pengeroyok telah roboh dan luka - luka. Sementara
itu, San - hek - houw men-dekati Pek Lian dan memaki, "Bocah kurang ajar! Engkau membikin
kacau rencana orang saja!"
Perkelahian keroyokan itu menjadi semakin seru ketika muncul sembilan orang thouw - bak
dari tiga kepala bajak itu. Karena mereka ini termasuk orang - orang yang lihai, maka setelah
sembilan orang ini mengeroyok, barulah dua orang di antara Sam - ok itu agak dapat ditahan.
Bagaimanapun juga, sembilan orang thouw - bak itu kewalahan, walaupun mereka telah dibantu
oleh banyak anak buah mereka. Sementara itu, Pek Lian juga repot sekali dikeroyok banyak
anggauta bajak, walaupun banyak sudah anggauta bajak yang roboh olehnya. Agaknya
perkelahian keroyokan ini merupakan pertunjukan yang tidak kalah menariknya dari pada
perlumbaan semalam. Banyak yang datang me-nonton dan kalau ada seorang anggauta bajak
yang terpental dengan kepala benjol atau tulang patah,
para penonton mentertawainya. Sementara itu pengeroyokan menjadi semakin ketat.
Tiba - tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan para penonton bersibak memberi jalan
masuk kepada Lam - siauw - ong Si Raja Muda Selatan dan Si Petani Laut. "Kalian mundurlah dan
biar-kan kami menghajar pengacau - pengacau ini!" terdengar Raja Muda Selatan berkata dan
sembilan orang thouw - bak yang sudah kewalahan itu lalu mundur. Juga para bajak yang tadinya
mengeroyok. Pek Lian, mengundurkan diri sehingga - nona itu dapat mengaso dan menghapus
peluh di leher dan dahinya dengan ujung lengan baju.
Raja Muda Selatan yang berpakaian mewah dan bertubuh gendut itu segera mencabut
sebatang pedang panjang yang besar, lalu menerjang Si Bua-ya Sakti tanpa banyak cakap lagi.
Agaknya Lam-siauw - ong ini tadi sudah melihat betapa lihainya kakek gemuk pendek ini, maka
dia langsung saja menyerang menggunakan pedangnya.
"Trang - trang - tranggg !" Pedang bertemu
bertubi - tubi dengan toya baja putih, membuat
telinga yang mendengarnya menjadi sakit dan
nampak bunga api berpijar menyilaukan mata..
Ternyata keduanya memiliki tenaga yang berimbang
dan terjadilah perkelahian seru antara Raja
Muda Selatan dengan Si Buaya Sakti.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Adapun Si Petani Laut yang melihat rekannya-sudah saling serang dengan seorang
pengacau, lalu
menggerakkan senjatanya untuk menyerang Si Ha-rimau Gunung. Senjata dari Petani Laut
ini memang istimewa, yaitu sebuah cangkul bergagang panjang. Caranya menyerang seperti
mencangkul tanah, akan tetapi sekali ini bukan tanah yang di-cangkulnya, melainkan kepala lawan
!
"Trangg wuuuut, cringgg !" Si Harimau
Gunung juga cepat menangkis dengan senjata
rantainya dan balas menyerang sehingga merekapun
terlibat dalam perkelahian yang amat
seru.
Kini para penonton menjadi semakin gembira karena pertandingan itu sungguh amat hebat,
jauh lebih ramai dari pada tadi karena kedua pihak memiliki kepandaian dan tenaga yang
berimbang. Pek Lian sendiri hanya dapat menonton karena tentu saja ia tidak dapat berpihak
manapun. Mere-ka yang saling berkelahi itu adalah sama - sama penjahat, hanya bedanya kalau Si
Buaya Sakti dan Harimau Gunung adalah raja - raja penjahat da-ratan, maka dua orang lawannya
adalah raja pen-jahat lautan. Diam - diam ia merasa heran mengapa mereka itu saling hantam
sendiri, akan tetapi ia teringat bahwa kedua orang raja penjahat daratan itu adalah pembantu -
pembantu utama Raja Ke-lelawar dan bahwa Tung - hai - tiauw si Rajawali Lautan Timur sebagai
orang pertama dari Sam - ok masih belum menjadi anak buah atau pembantu iblis itu.
"Tahan senjata !" Tiba - tiba terdengar bentakan nyaring. "Kita adalah orang - orang
sendiri!" Em-pat orang yang sedang loerkelahi itu berhenti dan ternyata yang muncul itu adalah
seorang bertubuh tinggi kurus yang berwibawa dan orang ini bukan lain adalah si Rajawali Lautan
Timur sendiri, peng-huni Istana Raja Lautan karena selama tiga tahun ini dialah yang berhak
menjadi raja lautan setelah mengalahkan semua kepala bajak lainnya.
Empat orang itu segera berloncatan mundur dan perkelahian yang amat seru itupun segera
dihenti-kan. Tung-hai-tiauw tertawa bergelak dan meng-angkat tangan sebagai tanda salam
kepada dua orang raja penjahat daratan itu. "Ha - ha, selamat datang di tempat kami! Sungguh
tidak pernah kami duga bahwa dua orang sahabat lama kami sudi berkunjung ke sini. Ha - ha,
kalau tidak ber-kelahi berarti tidak kenal, betapa tepatnya kata-kata itu. Saudara - saudaraku Raja
Muda Selatan dan Petani Lautan, mereka ini adalah sobat - sobat-ku yang baik, yaitu Sin - go Mo
Kai Ci Si Buaya Sakti dan San - hek - houw Si Harimau Gunung, dua orang yang amat terkenal di
daratan sana!" kata-katanya yang terakhir ini untuk saling memperkenalkan empat orang yang
tadi saling serang itu.
"Aha! Kiranya ini saudaramu yang berjuluk Raja Muda Selatan yang tersohor itu ? Aihh,
pantas saja, hampir - hampir aku terjungkal di tangannya
kalau aku tidak berhati - hati tadi!" kata Si Bua-ya Sakti memuji.
"Wah, Sin - go Mo - sicu terlalu memuji orang," kata Raja Muda Selatan. "Sebaliknya, toya
baja putihmu benar-benar membuat aku repot tadi!"
"Gila! Aku sendiripun repot sekali menghadapi cangkul panjang itu, kiranya yang
memainkannya adalah Petani Lautan ! Pantas begitu lihai!" kata pula San - hek - houw memuji.
"Dan nona ini, siapakah ia ? Apakah murid dari kalian ?" Rajawali Lautan bertanya sambil
me-mandang kepada Pek Lian, diam - diam kagum ka-rena selain cantik sekali, juga nona ini
masih muda akan tetapi telah memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan keberanian yang luar
biasa. Juga sikap dara ini bukan seperti wanita - wanita dari golong-an sesat, melainkan gagah
sekali dan membayang-kan keagungan dan ketinggian harga diri.
"Sialan mempunyai murid macam ini!" Hari-mau Gunung berseru.
"Bocah perempuan ini di mana - mana hanya membikin kacau saja!'" kata pula Si Buaya
Sakti "Kami tidak mengerti bagaimana ia bisa tiba-tiba muncul di tempat ini!"
Mendengar ucapan dua orang tamu itu, wajah Rajawali Lautan berseri gembira. Kiranya
nona ini tidak ada sangkut - pautnya dengan dua orang ta-mu itu. Tentu seorang mata-mata, akan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tetapi mata - mata dari mana ? Dan ia begitu muda dan cantik dan lihai. "Bagus! Kalau begitu, ia
adalah tawanan kami!" Ia lalu memberi isyarat kepada para pembantunya untuk menangkap Pek
Lian.
Empat orang thouw - bak maju dan menubruk Pek Lian. Akan tetapi dara ini sudah siap dan
segera menggerakkan kaki dan tangannya mela-kukan perlawanan mati - matian. Semua orang
kini nonton dara yang hendak ditawan ini dan ternyata empat orang thouw - bak yang lihai-lihai
itu ke-walahan untuk dapat menangkap si nona. Kalau mereka diperintahkan untuk merobohkan
Pek Lian, mungkin lebih mudah bagi mereka. Akan tetapi perintahnya adalah menangkapnya, jadi
mereka tidak berani mempergunakan senjata dan tidak be-rani menggunakan pukulan maut,
hanya berusaha menubruk dan menangkap saja. Karena itu, mere-ka berempatlah yang menjadi
bulan - bulanan tam-paran dan tendangan Pek Lian. Bahkan seorang di antara mereka terkena
hantaman pada dadanya sehingga roboh pingsan dan tidak mampu bangkit kembali! Melihat
keadaan itu, Rajawali Lautan menjadi marah. Dia mendengus dan menerjang maju, tangannya
yang berkuku tajam seperti baja kuatnya itu mencengkeram ke arah pundak Pek Lian. Dara ini
mengenal serangan berat, maka ia-pun cepat mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk
mengelak sambil mengirim tendangan yang disusul pukulannya ke arah perut kepala bajak itu.
"Dukk ! Bukkk !" Baik tendangan maupun pukulannya dengan tepat mengenai sasaran,
yaitu dada dan perut orang tinggi kurus itu. Akan tetapi sama sekali tidak mengguncangkan tubuh
Tung-hai - tiauw, bahkan dia mempergunakan kesempat-an selagi Pek Lian tertegun melihat
serangannya mengenai tubuh yang kebal, cepat tangannya me-nyambar tengkuk dan menotok.
Seketika Pek Lian merasa tubuhnya lunglai dan iapun tidak dapat melawan lagi ketika para thouw
- bak menubruk dan meringkusnya, membelenggu kaki tangannya dan membawanya pergi ke
kamar tahanan !
Rajawali Lautan tertawa, lalu berkata kepada empat orang kawannya, "Nah, sobat-sobatku,
ma-rilah kita pergi ke ruang tamu untuk bercakap-cakap !" Mereka lalu pergi menuju ke istana di
puncak bukit. Dua orang raja penjahat daratan itu tiada habisnya mengagumi istana yang megah
dan mewah itu. Sungguh keadaan para bajak lebih baik dibandingkan dengan keadaan para
perampok di daratan yang selalu dikejar - kejar oleh pasukan pemerintah.
Di sebuah ruangan yang luas di dalam Istana Raja Lautan itu sedang diadakan perjamuan
makan minum istimewa, perayaan pesta untuk meramai-kan pertemuan antara pimpinan yang
diadakan tiap tiga tahun itu. Ketika Rajawali Lautan sebagai tuan rumah bersama empat orang
tamu dan rekan-nya memasuki ruangan itu, tempat itu sudah penuh dengan para tamu dan sejak
tadi suara musik mengiringi
para penari dan penyanyi yang cantik - cantik. Para tamu bangkit berdiri ketika
melihat lima orang gagah itu, terutama sekali untuk menghormat Ra-jawali Lautan yang dianggap
sebagai raja dan juga tuan rumah. Dengan sikap ramah dan gagah, Raja-wali Lautan memberi
isyarat kepada semua tamu untuk duduk kembali dan diapun mempersilahkan Raja Muda Selatan,
Si Petani Lautan, Si Buaya $akti dan Si Harimau Gunung untuk mengambil tempat duduk di kursi -
kursi kehormatan, dekat tempat duduknya sendiri sebagai tuan rumah. Se-telah tuan rumah dan
para tamu kehormatan hadir, musik dipukul makin meriah, dan para penari memperlihatkan
keindahan tarian mereka, diseling oleh para penyanyi. Guci-guci arak baru dikeluarkan dan
suasana menjadi semakin meriah.
"Kursi siapakah itu?" tiba-tiba Si Buaya Sakti bertanya kepada tuan rumah. Juga temannya,
Si Harimau Gunung, merasa heran melihat adanya sebuah kursi yang gemerlapan, seperti sebuah
singgasana raja. Kursi itu kosong dan ditutup kain pu-tih, ditaruh di tengah - tengah dan di tempat
yang paling tinggi.
Tuan rumah tertawa dan memberi penjelasan kepada dua orang rekan yang menjadi tamu
kehor-matan. "Ah, kalian secara kebetulan saja datang ke sini, tidak tahu bahwa kami sedang
mengada-kan pesta yang paling meriah di antara kami, para pendekar lautan ! Ketahuilah, di
antara kami, setiap
tiga tahun sekali dipilih seorang yang paling tinggi tingkat kepandaiannya dan orang ini
diang-kat menjadi Raja Lautan, dan dia berhak tinggal di pulau ini, di Istana Raja Lautan sebagai
orang yang paling berkuasa di seluruh lautan ini, selama tiga tahun. Dan setelah tiga tahun,
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
diadakan pemi-lihan untuk mengangkat Raja Lautan yang baru. Untuk tiga tahun terakhir ini,
akulah yang berun-tung menjadi Raja Lautan. Hari ini aku harus dapat mempertahankan
kedudukan itu untuk tiga tahun lagi. Kalau ada yang lebih lihai dari pada aku, dialah yang berhak
menjadi Raja Lautan se-lama tiga tabun mendatang. Kursi itu adalah sing-gasana raja kami dan
karena hari ini sedang dia-dakan pemilihan, maka tentu saja kedudukan itu kosong. Hari ini
kedudukanku telah berakhir maka akupun tidak duduk di situ. Mengertikah kalian, sekarang ?"
(Bersambung ke jilid XIV.)
xx—» DARAH PENDEKAR «—xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XIV
* * *
DUA ORANG gembong penjahat itu meng-angguk-angguk dan saling pandang. Biarpun
mereka bertiga itu terkenal dengan sebutan Sam - ok, yaitu Si Tiga Jahat untuk mengakui kedudukan
mereka sebagai pimpinan para bajak laut-an, pimpinan para bajak sungai dan pimpinan
para
perampok, namun mereka itu tidak pernah saling bersahabat Bahkan mereka sering kali
bentrok dan bersaing. Hanya setelah muncul Raja Kelela-war, maka Si Buaya Sakti dan Harimau
Gunung terpaksa dapat bekerja sama di bawah kekuasaan Raja Kelelawar. Akan tetapi, Rajawali
Lautan itu belum menjadi anak buah atau taklukan Raja Ke-lelawar, maka sikapnya tentu saja
berbeda dan dia merasa masih menjadi yang dipertuan di daerah lautan. Dua orang gembong
daratan itu sama se-kali tidak pernah menyangka bahwa mereka yang datang sebagai utusan Raja
Kelelawar, tiba pada saat kebetulan di situ diadakan pemilihan raja lautan baru. Mereka tidak
mengira ada peraturan semacam itu. Mereka hanya mengetahui bahwa Rajawali Lautan adalah
seorang datuk lautan yang telah men-jadi raja sekalian bajak dan menguasai lautan yang amat
luas itu. Mereka berdua maklum bahwa tentu saja urusan itu amat penting bagi para bajak, merupakan
peristiwa besar dalam dunia bajak. Mereka membayangkan dengan hati tegang betapa
akan serunya pertandingan memperebutkan kursi Raja Lautan itu nanti. Mereka tadi sudah
merasakan kelihaian Raja Muda Selatan dan Petani Lautan, belum tokoh-tokoh lainnya.
Menghadapi urusan besar ini, keduanya saling memberi isyarat dan ber-sepakat untuk menunda
urusan mereka sebagai utusan Raja Kelelawar. Mereka ingin melihat pertandingan itu dan melihat
siapa yang akan menang dan menjadi Raja Lautan. Lalu kepada orang yang menjadi Raja Lautan
itulah mereka berdua akan berhadapan sebagai utusan Raja Kelelawar sebagai pucuk pimpinan
semua golongan di dunia sesat.
Kini Rajawali Lautan bangkit berdiri dan mem-beri isyarat dengan mengangkat tangan kiri ke
atas. Seketika suara musik berhenti, para penari berla-rian kembali ke tempatnya dan semua
orang me-mandang ke arah tuan rumah. Suasana menjadi su-nyi dan tidak ada yang berani
mengeluarkan suara berisik. Hal ini bukan karena para tamu itu tahu akan sopan santun dan
aturan. Sama sekali bukan. Mereka taat karena mereka itu takut. Pelanggaran dapat saja
mengakibatkan mereka dihukum secara kejam sekali, mungkin dibunuh !
"Saudara saudaraku sekalian yang baik! Se-perti tiga tahun yang lalu, hari ini adalah hari
ber-bahagia bagi kita kaum pendekar lautan ! Dan se-kali ini, pertemuan antara kita dihadiri pula
oleh dua orang tamu terhormat yang sehaluan dengan kita. Sin-go Mo Kai Ci adalah pimpinan
bajak su-ngai, sedangkan San - hek - houw adalah pimpinan dari semua perampok, maling dan
copet sehingga lengkaplah tiga golongan dari kaum kita yang di-anggap oleh sementara orang
sebagai golongan hitam. Biarlah dua orang tamu kita menjadi saksi atas upacara kita dan marilah
kita mulai !"
Para tamu mulai bergerak dan suasana menjadi bising karena para tamu saling bicara
sendiri. Ada pula yang sibuk mempersiapkan bingkisan masing-masing. Sebagian besar di antara
mereka telah mengenal siapa adanya Rajawali Lautan yang me-miliki ilmu kepandaian amat tinggi,
maka jaranglah di antara mereka ada yang berani main - main. Mereka yang merasa bahwa
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kepandaian mereka jauh di bawah tingkat Rajawali Lautan, hanya mengha-turkan bingkisan atau
sumbangan secara suka rela tanpa hendak menguji kepandaian Akan tetapi, para kepala
perkumpulan bajak, tentu saja di antara mereka ada yang merasa penasaran kalau belum
memperlihatkan kepandaian, biarpun mereka tiada harapan untuk dapat mengalahkan Rajawali
Laut-an, namun setidaknya mereka akan memperlihat-kan kepandaian dan agar mereka dianggap
sebagai
orang yang telah berani mencoba kepandaian Ra-jawali Lautan! Ini saja sudah akan
mengangkat sedikit derajat mereka dan dapat mereka jadikan bahan cerita yang membanggakan
hati.
Seorang bajak laut tunggal yang biasa berope-rasi di sekitar Lautan Jepang, tampak maju
mem-bawa sebuah bingkisan. Seperti yang telah diten-tukan dalam peraturan mereka, yaitu
peraturan bagi mereka yang hendak menguji kepandaian Rajawali Lautan yang harus
mempertahankan kedudukan-nya, bingkisan diletakkan di atas senjatanya. Sen-jata bajak tunggal
ini adalah sebatang samurai pan-jang. Dia berdiri tegak di depan Rajawali Lautan yang sudah
bangkit berdiri dan melangkah maju di tempat lapang pula. Bajak tunggal itu melonjorkan pedang
samurainya di depan dada, dan bing-kisan itu berada di ujung pedangnya. Tangan kiri-nya
diangkat ke atas kepala, melintang dan terbuka, lalu tangan kiri itu turun ke depan dada sebagai
penghormatan, dan terdengar suaranya yang berlo-gat Jepang karena bajak laut ini memang
seorang peranakan Jepang dan lebih banyak merantau di luar daratan.
"Hai-ongya, harap terima bingkisan dariku!" Pedang samurainya digetarkan dan bingkisan
yang terletak di ujung pedang itu tiba - tiba mencelat ke atas, ke arah Rajawali Lautan. Raja
Lautan yang harus mempertahankan kedudukannya ini berdiri dengan sikap tenang, kipas besinya
siap di tangan-nya.
Ketika dia melihat bingkisan itu terbang ke arahnya, tangan kirinya yang memegang kipas
besi bergerak untuk menangkap bingkisan itu. Akan tetapi, nampak sinar berkelebat cepat ketika
pedang samurai itu menyambar ke arah pergelangan tangan kiri yang memegang kipas dengan
gerakan menda-tar dari kanan ke kiri. Suaranya berdesing karena pedang samurai itu tajam dan
gerakan orang itu-pun amat kuatnya. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangannya,
Rajawali Lautan telah membalikkan kipas besinya menangkis dan tangan kanannya diulur ke
depan untuk menyambut bing-kisan yang melayang ke arahnya.
"Trangggg !!" Pedang samurai yang tertangkis
kipas besi itu terpental, akan tetapi bajak
tunggal itupun cukup lihai. Pedang yang terpental
itu membuat gerakan lingkaran dan tahu - tahu telah
menyambar dari samping ke arah leher lawan !
"Bagus!" kata Rajawali Lautan yang telah ber-hasil menangkap bingkisan tadi. Sambaran
pedang lawan dibiarkan lewat di atas kepalanya dengan menundukkan kepala, dan kipas besinya
sudah menotok ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang pedang dan yang menyambar
lewat. Bajak tunggal itu terkejut sekali, cepat menarik kembali pedang dan tangannya, akan tetapi
pada saat itu, Rajawali Lautan sudah menggunakan tangan kanan yang memegang bingkisan
untuk men-dorong ke arah dada lawan sambil berkata, "Teri-ma kasih atas bingkisan yang
berharga !"
Dorongan itu mengandung tenaga yang luar biasa kuatnya sehingga biarpun bajak tunggal
itu mempertahankan diri, tetap saja dia terdorong ke belakang, terhuyung - huyung dan hampir
saja dia terpelanting. Diapun tahu diri karena kalau tuan ramah tadi menghendaki, dia tentu sudah
terluka parah atau bukan tidak mungkin roboh dan tewas.
Memang cara - cara yang dipergunakan oleh ka-um bajak ini amat keras. Para tamu
menyerahkan bingkisan, akan tetapi pada saat itu dia dan tuan rumah boleh adu kepandaian dan
saling serang, bukan hanya untuk saling mengalahkan dan memperebutkan kedudukan sebagai
Raja Lautan untuk waktu tiga tahun, bahkan boleh saja mereka itu mengalahkan lawan dengan
membunuhnya ! Raja wali Lautan sendiripun pada sembilan tahun yang lalu telah merobohkan
Raja Lautan lama dengan membunuhnya dalam adu ilmu itu ! Dan semenjak itu, belum pernah
ada bajak lain yang dapat me-ngalahkannya. Akan tetapi, Rajawali Lautan adalah seorang cerdik.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Dia tidak mau membunuh lawan karena dia ingin agar semua tokoh bajak laut tun-duk dan takluk
kepadanya, bukannya membenci dan mendendam. Maka diapun jarang sekali me-nurunkan
tangan maut, kecuali tentu saja kalau ke dudukannya terancam.
Beberapa orang maju lagi secara bergiliran, akan tetapi tidak ada seorangpun yang mampu
menandingi Rajawali Lautan lebih dari sepuluh jurus! Dan sebagian besar dari pada para tamu
yang tadinya ingin mencoba - coba kepandaian, menjadi jerih dan akhirnya mereka itu hanya memasuki
rombongan yang memberi bingkisan secara suka rela tanpa bertanding lagi.
Ketika Petani Lautan maju, semua orang me-mandang dengan hati penuh ketegangan dan
di sana - sini terdengar orang berbisik-bisik. Sekarang tuan rumah benar - benar berhadapan
dengan seorang musuh bebuyutan atau seorang yang memiliki kepandaian setingkat. Semua bajak
laut tahu be-laka bahwa di daerah lautan mereka, yang menjadi jagoan hanya tiga orang, yaitu
Raja Lautan seka-rang yang berjuluk Rajawali Lautan Timur, Si Pe-tani Lautan, dan Raja Muda
Selatan. Mereka ber-tiga inilah yang tiga tahun yang lalu merupakan tokoh - tokoh yang saling
memperebutkan kedu-dukan secara seru dan setingkat. Memang akhirnya Rajawali Lautan yang
menang, akan tetapi keme-nangannya tipis sekali. Sekarang, tiga tahun telah lewat dan semua
orang tentu saja tahu betapa dua orang tokoh yang dikalahkan itu telah memperda-lam ilmu -
ilmu mereka untuk dapat menjatuhkan Rajawali Lautan dan merebut kedudukan Rajawali Lautan
dalam kesempatan ini. Jadi, dua orang itu tentu telah bersiap - siap dengan matang ! Maka.
setelah kini akhirnya orang yang mereka tunggu-tunggu muncul, yaitu Si Petani Lautan,
semua orang memandang dengan hati tegang dan wajah berseri gembira karena mereka maklum
bahwa pertunjukan sekali ini benar - benar amat hebat dan menarik.
"Maaf, Hai - ong. Aku yang bodoh ingin mempersembahkan sebuah pusaka kepadamu!" kata
Petani Lautan sambil memberi hormat.
Rajawali Lautan tertawa. Memang sejak tadi dia sudah menanti - nanti datangnya saat ini, di
mana Petani Lautan atau Raja Muda Selatan akan menyerahkan bingkisannya yang berarti dia
harus mempertahankan kedudukannya terhadap mereka. Hanya dua orang itulah yang
dianggapnya sebagai saingan yang patut untuk dilawan, yang lainnya tidak masuk hitungan.
"Ha - ha - ha, silahkan, saudara Phang, silahkan. Sebenarnya hampir aku tidak berani
menerima persembahanmu. Tiga tahun yang lalu saja, ham-pir aku kehilangan sebelah tanganku
ketika men-coba untuk menerima bingkisanmu. Apa lagi se-karang tentu engkau sudah maju pesat
sekali, buk-tinya engkau sudah bisa mengendalikan aliran keringatmu. Dahulu engkau terpaksa
harus selalu bertelanjang baju, akan tetapi sekarang engkau sudah dapat memakai baju dan
mengendalikan keluarnya keringatmu. Hebat! Aku sebenarnya jerih, akan tetapi aku kepingin
mencobanya juga!"
Rajawali Lautan sengaja mengucapkan kata-kata merendah, bukan hanya untuk membuat
lawan tenggelam dalam kebanggaannya sehingga mungkin saja menjadi lengah, juga dia harus
menjaga segala kemungkinan, sehingga andaikata dia benar - benar kalah, dia tidak sampai
terbanting oleh sikap yang congkak sebelum bertanding. Sebenarnya, bagi orang - orang yang
hidup di dunia hitam, atau yang disebut kaum sesat, mereka tidak lagi memperdulikan akan sopan
santun, tidak perduli apakah sikap mereka itu merugikan orang lain atau me-nyinggung orang lain.
Setiap jalan pikiran, setiap ucapan dan perbuatan, selalu hanya demi keun-tungan diri sendiri.
Sikap kaum sesat itu menjadi pelajaran yang teramat baik bagi kita. Pernahkah kita meneliti
dan mengamati sikap hidup kita sendiri sehari-hari? Bagaimanakah keadaan jalan pikiran atau
batin kita, kemudian bagaimana pula keadaan yang nya-ta dari perbuatan dan juga ucapan kita ?
Pernah-kah kita berpikir, berkata atau berbuat yang di ba-liknya tidak mengandung pamrih untuk
enak sen-diri, senang sendiri, dan menang sendiri ? Benar-kah apa yang terucap oleh mulut kita
selalu sejalan dengan bisikan hati kita ? Adakah kesatuan antara batin, ucapan dan perbuatan ?
Kita berlumba me-nonjolkan kebaikan - kebaikan kita, bukankah itu hanya merupakan jembatan
saja bagi kita untuk mencapai kesenangan dalam bentuk kepuasan batin, pujian, harapan, pahala
dan sebagainya ? Per-nahkah kita bertindak atau bicara dengan dasar belas kasihan atau cinta
kasih ? Pernahkah ? Kalau tidak pernah, mengapa ? Semua pertanyaan ini kiranya amat perlu bagi
kita manusia - manusia yang hidup dan yang dianggap sebagai mahluk berahlak dan berakal budi,
bukan ?
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Sikap Rajawali Lautan Timur yang merendah tadi jelas mengandung pamrih demi
keuntungan diri sendiri, bukan rendah hati lagi. Rendah hati bukan terletak di mulut, melainkan di
batin, dan mulut baru bersih dan benar kalau menyuarakan batin tanpa dipertimbangkan dan
disensor oleh pikiran yang selalu berpalsu - palsu.
Si Petani Lautan yang bernama Phang Kui ter-senyum. Senyum orang yang percaya akan
kehe-batan diri sendiri, yang menyembunyikan rasa bangganya karena pujian lawan tadi,
menyembunyikannya di balik senyuman, yang bukan lain juga merupakan suatu bentuk pamer
terselubung. Dia membuka bajunya sehingga badan yang kurus de-ngan tulang iga menonjol dan
membayang di balik kulit nampak nyata. Tidak nampak setetespun keringat keluar dari kulit
tubuhnya. Akan tetapi semua orang yang sudah mengenal kelihaian pria ini, cepat mundur dan
menjauh karena mereka tahu betapa berbahayanya benda cair kecut yang kelu-ar dari tubuh
tokoh ini.
Phang Kui menarik napas panjang, menghimpun
sinkangnya dan brolll ! Peluhnya mulai
keluar dari pori-pori kulitnya dan mengucur deras ! Mula-mula nampak butir-butir air seperti
mutiara menghias kulit tubuhnya, dan tak lama kemudian butir - butir ini saling bertemu dan
mengalir ke bawah, berlenggak - lenggok dan membasahi semua kulit tubuhnya. Dia
mengacungkan senjata-nya yang istimewa, sebuah cangkul bergagang pan-jang. Sebelum
bergerak lebih lanjut, Phang Kui menyambar sebuah teko terisi air teh dari atas meja. Teko besar
itu dituangkannya ke mulut yang ternganga sampai habis isinya. Dengan wajah nampak lega dan
puas, Si Petani Lautan mengem-balikan teko kosong dengan tangan kirinya ke atas meja,
kemudian mulutnya berkata lirih dan lem-but, "Terimalah persembahanku !" Kata-kata yang halus
itu tiba - tiba disambung dengan bentakan yang amat nyaring dan mengejutkan semua orang.
"Hyaaaatttt !!" Nampak sinar menyambar
dan cangkul bergagang panjang itu telah bergerak seperti kilat cepatnya. Mata cangkul
berki-lauan dan gerakannya mengundang datangnya angin, ketika mata cangkul itu terangkat dan
bung-kusan panjang terlempar dengan amat lajunya ke arah muka Rajawali Lautan ! Baru
meluncurnya benda sumbangan itu saja sudah merupakan se-rangan kilat yang berbahaya. Akan
tetapi itu ha-nya merupakan "pembukaan" belaka karena luncuran
benda sumbangan itu disusul hampir sama. cepatnya oleh mata cangkul yang
membacok atau mencangkul ke arah dada lawan !
"Hemmmm !" Rajawali Lautan Timur
menggerakkan tubuhnya yang tinggi kurus, melon-cat ke belakang dan miringkan kepala,
menangkap bungkusan dengan tangan kiri yang memegang kipas besi.
"Trappp !" Kipas besi yang tadinya terbuka
itu, begitu menerima bungkusan lalu menutup
dan menjepit benda sumbangan. Akan tetapi pada
saat itu, cangkul lawan telah datang menyambar
ke arah dadanya dengan kecepatan yang dahsyat.
Dengan gerakan indah Tung - hai - tiauw atau Rajawali
Lautan Timur sudah melemparkan barang
sumbangan itu ke arah pembantunya yang segera
menerimanya dan menumpuk benda itu di atas
meja tempat menaruh benda - benda sumbangan,
dan sambil melontarkan benda tadi, Si Rajawali
Lautan sudah mengelak sambil menangkis dengan
gagang kipas besinya. Akan tetapi karena sebelum
menangkis tadi dia melontarkan dulu barang sumbangan,
tangkisannya agak terlambat sehingga mata
cangkul itu masih menyerempet lambungnya.
"Cringgg trakk !" Mata cangkul tertangkis
gagang kipas lalu menyerempet lambung, akan tetapi Kim-pouw-san (Jubah Mustika Emas)
yang kebal membuat serangan itu meleset dan tidak me-lukai kulit lambung! Bahkan karena
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pengerahan sinkang, mata cangkul itu terpental dan penyerang-nya merasa betapa kuatnya
lambung yang mene-rima mata cangkul tadi.
Akan tetapi, Petani Lautan itu lihai bukan ma-in. Dia sudah mempergunakan langkah
ajaibnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah menyelinap dan gagang cangkulnya kini menyerang
dengan sodokan keras ke arah leher lawan !
"Bagus !" Si Rajawali Lautan memuji dan dia-pun terkejut, tidak menyangka lawan memiliki
gerakan secepat ini. Karena yang menyerangnya adalah gagang cangkul, maka dia berani
menang-kis dengan lengan kirinya yang kuat.
"Dukk !" Lengan kiri yang kuat itu menangkis gagang cangkul. Pertemuan antara lengan dan
gagang cangkul itu tidak terhenti di situ saja ka-rena gagang cangkul itu telah membalik dan kini
mata cangkulnya mencangkul kepala dan lengan yang tadinya menangkis itupun tiba - tiba
meluncur ke depan, tangan yang berkuku tajam sekuat baja itu sudah membentuk cakar rajawali
dan menceng-keram ke depan, ke arah pusar lawan ! Begitu ce-patnya kedua orang ini bergerak
melanjutkan per-temuan lengan dan gagang cangkul sehingga ke-duanya terkejut karena tahu -
tahu serangan lawan telah tiba sedemikian hebatnya ! Kalau mereka berdua melanjutkan serangan
dan membiarkan se-rangan lawan datang, tentu berarti akan mengadu nyawa dan mungkin
keduanya akan tewas atau setidaknya terluka parah. Melihat ini, diam - diam Lam - siauw - ong
sudah tersenyum-senyum girang. Biar mereka berdua itu mampus bersama, pikirnya,, dan kursi
Raja Lautan akan dapat diperolehnya tanpa banyak membuang tenaga !
Akan tetapi, Tung - hai - tiauw dan Petani La-utan adalah dua orang tckoh besar yang telah
me-miliki kepandaian tinggi, tentu saja mereka tidak mau mati konyol begitu saja. Dalam ilmu silat
ada hal - hal yang selalu dipentingkan oleh kaum per-silatan, yaitu pertama, sedapat mungkin
mendahu-lui lawan dengan serangan yang tepat, dan kalau hal ini tidak mungkin, maka yang
terutama adalah menyelamatkan atau menghindarkan diri lebih du-lu dari bahaya yang
mengancam pada saat itu. Ma-ka, melihat bahaya yang mengancam hebat, kedu-anya lalu
menunda serangan mereka dan lebih dulu mereka berdua melemparkan diri ke belakang. Ragi
Petani Lautan yang memiliki langkah - lang-kah ajaib, dengan lebih mudah sudah dapat memu-tar
kaki mengatur langkah sehingga tubuhnya men-jauh dan sekaligus menghindarkan diri dari cengkeraman
lawan akan tetapi juga hantaman mata cangkulnya tidak mencapai kepala lawan. Si Rajawali
Lautan lebih repot dan terpaksa tadi dia me-lempar diri ke belakang sehingga tubuhnya membuat
poksai (salto) sampai tiga kali ke belakang.
Kesempatan ini tidak disia - siakan oleh Petani Lautan. Dia sudah lebih dulu dapat
menguasai posisinya dan melihat betapa lawan masih bersalto untuk mengatur keseimbangan
tubuh, dia sudah mendesak dengan cangkulnya, mainkan Ilmu Silat Ban - seng - kun yang
dahsyat! Didesak seperti itu, Rajawali Lautan Timur terpaksa memutar ki-pasnya dan
mengandalkan jubah emasnya untuk mempertahankan diri dan sampai belasan jurus dia tidak
sempat membalas serangan lawan yang ber-tubi - tubi.
Memang hebat sekali permainan cangkul dari Petani Lautan. Selama tiga tahun ini dia sudah
memperdalam gerakan - gerakannya, bahkan memperkuat sinkangnya dengan latihan - latihan.
Selain gerakannya cepat dan kuat, langkah - langkah ke-dua kakinya aneh sekali dan tubuhnya
seperti dapat pindah - pindah posisi di luar perhitungan la-wan, juga kini peluh - peluhnya mulai
berpercikan di sekitar tubuhnya dan terutama sekali di bagian depan tubuh sehingga butiran -
butiran keringat itu menyambar ke arah lawan seperti senjata - sen-jata rahasia. Memang tentu
saja butiran - butiran peluh ini tidak berbahaya, akan tetapi bagaimana-pun juga harus diakui
bahwa sambaran air - air yang berbau kecut ini cukup membingungkan la-wan, apa lagi kalau
menyambar ke arah muka dan terutama mata.
Tiga tahun yang lalu, dalam pertandingan yang sama, yaitu memperebutkan kedudukan Raja
Laut-an, Rajawali Lautan Timur menang tipis. Hanya se-sedikit selisih tingkat di antara mereka.
Andaikata tingkat kepandaian Si Rajawali Lautan masih sama dengan tiga tahun yang lalu, sekali
ini mungkin dia akan kalah. Akan tetapi, sebagai seorang Raja La-utan, tentu saja selama ini dia
tidak tinggal diam. Dia tahu bahwa mempertahankan lebih sukar dan berat ketimbang merebut
karena yang hendak me-rebut tentu berusaha mati - matian untuk merebut kedudukan itu. Maka
selama tiga tahun ini Si Ra-jawali Lautan Timur juga telah menggembleng diri dan mencapai
kemajuan - kemajuan besar.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Setelah agak terdesak selama belasan jurus, akhirnya Tung - hai - tiauw dapat mengatur
kem-bali posisinya dan dapat menguasai perkelahian itu. Kipas besinya mengebut runtuh semua
butiran keringat yang menyambar ke arahnya dan sekaligus menangkis setiap serangan cangkul
dan gagangnya. Kipas besinya itu seolah - olah membentuk benteng baja yang membuat cangkul
lawan tidak dapat menembusnya, dan sebagai pembalasan, tangan kanannya membentuk cakar
rajawali dan menyam-bar-nyambar ke depan. Kipas telah dipindahkan ke tangan kiri, dan kini
lengan kanannya berobah keras dan amat kuat, kuku-kuku jari tangán ka-nannya tajam dan
runcing melengkung. Betapapun juga, Si Rajawali Lautan Timur hanya dapat me-lindungi dirinya
karena semua cengkeramannya tidak pernah mengenai sasaran. Agaknya langkah-langkah ajaib
dari lawannya amat luar biasa pula.
membuat tubuh lawannya itu kadang - kadang se-perti lenyap dari depannya dan tahu -
tahu muncul di sebelah kiri, kanan atau bahkan di belakangnya !
Karena merasa jengkel melihat kelincahan la-wan, Rajawali Lautan Timur lalu sengaja
memper-lambat gerakannya. Melihat lowongan ini Si Petani Lautan girang sekali dan cangkulnya
menyambar dengan dahsyatnya ke arah kepala lawan.
"Wuuuuttt !" Mata cangkul berobah menjadi
sinar berkilat ketika menyambar muka Tunghai
- tiauw. Akan tetapi, Rajawali Lautan itu tidak
mengelak atau menangkis, bahkan meloncat ke
atas sehingga mata cangkul menyambar ke arah
dadanya! Raja Lautan itu sengaja menerima hantaman
cangkul itu dengan dadanya yang tentu saja
terlindung oleh jubah emasnya yang membuatnya
kebal. Dan satu - satunya bahaya hanyalah tenaga
pukulan itu yang mengandung sinkang amat kuat,
maka diapun mengerahkan tenaga sinkang ke arah
dada untuk melawan tenaga penyerangnya.
"Desss !" Pada saat mata cangkul menghantam
dadanya, pada saat itupun Tung-hai-tiauw menggunakan tangan kiri yang
memegang kipas menotok ke arah jalan darah di dada lawan.
Si Petani Lautan terkejut sekali. Mata cang-kulnya terpental ketika mengenai dada lawan dan
melihat totokan gagang kipas, dia cepat mengelak. Akan tetapi, kini tangan kanan Tung - hai -
tiauw
yang membentuk cakar telah mencengkeram ke arah ubun - ubun kepalanya.
Melihat ini, Si Petani Lautan cepat membalik-kan cangkulnya, menangkis dengan gagangnya.
Akan tetapi, Tiing - hai - tiauw melanjutkan serang-annya dan ketika gagang cangkul menangkis,
dia mencengkeramnya.
"Krekkkk !" Gagang cangkul itu hancur
lebur dicengkeram oleh cakar rajawali! Dengan wajah pucat, Si Petani Lautan meloncat dua
meter ke belakang sambil menjura.
"Hai - ong, kepandaianmu makin hebat saja dan engkaulah yang pantas menjadi Raja
Lautan. Aku mengaku kalah !"
Semua orang yang mengikuti jalannya perkela-hian itu memandang terbelalak dan merasa
ngeri membayangkan betapa kuatnya cakar rajawali itu. Kalau anggauta badan lawan yang kena
diceng-keram, tentu akan cabik - cabik dagingnya dan re-muk-remuk tulangnya. Setelah Si Petani
Lautan mengaku kalah, terdengar tepuk tangan memuji.
Tepuk tangan itu tiba - tiba terhenti ketika semua orang melihat majunya Lam - siauw - ong.
Si Raja Muda Selatan. Dengan sikapnya yang ang-kuh, pakaiannya yang mewah seperti seorang
bang-sawan tulen, tubuhnya yang gendut, dia melangkah ke depan menghampiri tuan rumah.
"Hebat, hebat kepandaian Si Rajawali Lautan
Timur semakin tangguh saja, membuat aku
merasa jerih untuk dapat merebut kedudukan. Haiong,
terimalah persembahanku ini!" Sambil berKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
kata demikian, tangan kanannya meraba ke balik
jubahnya yang lebar panjang dan pada saat itu,
seorang pembantunya melontarkan sebuah bungkusan
kecil yang kelihatan berat ke arahnya. Nampak
kilat menyambar menyilaukan mata dan tahutahu
Raja Muda Selatan ini telah memegang sebatang
pedang di depan dadanya, pedang ditodongkan
ke depan dan bungkusan kecil yang berat
itu telah berada di ujung pedangnya !
"Tunggu sebentar, Siauw - ong !" kata Raja-wali Lautan Timur dan diapun sudah menghampiri
meja tempat ditaruhnya barang - barang bing-kisan, menyimpan kipasnya dan mengambil
bung-kusan panjang pemberian Si Petani Lautan tadi. dibukanya bungkusan itu dan ternyata
benda itu adalah sebatang golok dengan sarungnya yang amat indah. Sebuah golok pusaka yang
telah dirampas oleh Si Petani Lautan dari perahu kerajaan ! Raja-wali Lautan Timur agaknya sudah
tahu ketika tadi menerima benda itu dan untuk menghadapi pedang Raja Muda Selatan, tidak
cukup kalau hanya mempergunakan kipas besinya. Dia sudah mendengar bahwa lawan ini telah
memperdalam ilmu pedang-nya dan menguasai Ilmu Pedang Hun - kin - kiam (Pedang Pemutus
Urat) yang amat berbahaya. Untuk menghadapi ilmu pedang itu, Raja Lautan ini sengaja
menciptakan sebagai tandingannya ilmu golok yang hebat. Dia memang ahli main golok di
samping ilmu silat lainnya dan dianggapnya bahwa satu - satunya senjata yang tepat untuk
menghadapi pedang lawan hanya ilmu golok. Dia sendiri me-miliki sebatang golok yang baik, akan
tetapi karena dia tahu bahwa golok yang dipersembahkan oleh Si Petani Lautan itu adalah golok
pusaka yang ampuh, maka diapun segera mengambilnya.
Si Petani Lautan tersenyum. Memang dia se-ngaja menyerahkan golok itu karena dia mendengar
akan persiapan tuan rumah menghadapi Raja Muda Selatan. Memang sudah direncanakan
de-mikian. Kalau dia kalah, biarlah tuan rumah ini tetap menjadi Raja Lautan dan mengalahkan
Raja Muda Selatan pula. Dia tidak rela kalau keduduk-an Raja Lautan itu akan terampas oleh Lamsiauw-
ong, saingan besarnya..
Tung - hai - tiauw kini melangkah ke depan dan berdiri di lantai atas, lebih tinggi dua anak
tangga dari pada Lam - siauw - ong yang berdiri di bawah. Raja Lautan ini nampak gagah perkasa
dengan pakaian yang mewah pula, gelung rambut di atas kepala itu dihias dengan hiasan rambut
seperti yang biasa dipakai oleh para bangsawan, agaknya untuk menandakan bahwa dia adalah
Raja Lautan, walaupun raja kaum bajak! Tubuhnya yang ting-gi itu berdiri tegak, tangan kanan
memegang golok
pusaka di depan dada, tangan kirinya siap pula membantu, dan matanya memandang tajam
ke arah lawan.
"Lam - siauw - ong, aku telah siap menghadapi Ilmu Hun - kin - kiam dari pedangmu !"
katanya dengan sikap tenang.
Lam - siauw - ong berdiri tegak dengan kaki kanan di depan. Suasana amat sunyi dan menegangkan
hati. Orang bertubuh gendut yang meng-aku sebagai Raja Muda Selatan ini, sejenak
meno-leh dan memandang ke arah Petani Lautan dengan alis berkerut. Agaknya diapun dapat
"mencium" rencana siasat yang dijalankan oleh saingannya itu dengan memberi sumbangan
berupa sebuah golok pusaka kepada tuan rumah. Melihat Si Petani La-utan yang sudah kalah itu
tersenyum, Lam - siauw-ong mengeluarkan suara menggumam dari kerong-kongannya, kemudian
dia memandang lagi kepada tuan rumah yang sudah siap.
"Hai - ong, terimalah !" Tiba - tiba dia berseru dan sekali pedangnya tergetar, tiba - tiba
bung-kusan di ujung pedang itu seperti hidup, bergerak-gerak dan akhirnya meloncat ke arah tuan
rumah ! Menyusul itu, nampak sinar pedang bergulung-gulung dan terdengar suara berdesing -
desing di-sertai angin yang membuat lampu - lampu gantung bergoyang dan api lilin berkelap -
kelip.
"Haiiiittt !" Lam - siauw - ong mengeluarkan
suara melengking nyaring dan sinar pedang
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
yang bergulung - gulung itu kini meluncur ke arah tuan rumah, mengikuti bungkusan barang
sum-bangannya tadi.
Tung - hai - tiauw sudah menggerakkan golok-nya menyambut bungkusan. "Trakkk !"
Bungkusan yang berat itu menempel pada golok itu seperti besi dengan sembrani. Akan tetapi
sinar pedang lawan sudah datang menyerang. Menerima bung-kusan sumbangan haruslah dengan
hormat dan pantang untuk menjatuhkan bungkusan itu. Akan tetapi kalau bungkusan yang
menempel pada golok itu tidak dilempar, tentu akan sukar baginya menghadapi serangan lawan
yang demikian dah-syat ! Maka Tung - hai - tiauw lalu menggetarkan goloknya dan bungkusan itu
terbang ke atas. Pada saat itulah sinar pedang datang menyambar dan golok yang diputar itupun
berobah menjadi gu-lungan sinar putih cemerlang.
"Trang - cringgg tranggg, tranggg !!"
Empat kali beruntun dua senjata itu bertemu. Bu-nga api berpijar dan keduanya merasa
betapa ta-ngan mereka tergetar hebat. Pada saat itu, bung-kusan sumbangan sudah melayang
turun kembali, disambut oleh Tung - hai - tiauw dengan tangan kiri sedangkan kakinya meloncat
ke belakang untuk menghindarkan diri kalau - kalau lawan kembali menyerang. Akan tetapi, sinar
pedang itu berkele-bat panjang mengitari tubuh Lam - siauw - ong dan ketika dia berdiri tegak,
ternyata ada tiga batang
lilin pendek bernyala di atas pedangnya ! Kiranya pedang itu telah menyambar tiga batang
lilin yang bernyala di atas meja tak jauh dari situ dan sede-mikian hebat gerakan pedang itu
sehingga mam-pu membabat tiga batang lilin yang potongannya melekat pada pedang, sedangkan
api ketiga lilin itu tidak padam! Kecepatan gerak disertai tenaga sinkang yang amat kuat ini
membuat semua orang melongo karena gerakan pedang membabat dan membawa potongan lilin
itu seperti permainan sulap saja. Maka terdengarlah tepuk tangan me-muji.
Lam - siauw - ong memandang dengan mata bersinar mengejek ketika tuan rumah
melempar-kan bungkusan sumbangan itu kepada seorang pembantunya yang segera menaruhnya
dengan si-kap hormat ke atas meja, di antara tumpukan ba-rang - barang sumbangan lain.
Kemudian, Lam-siauw - ong menggerakkan tangan yang memegang pedang dan tiga batang lilin
pendek yang bernya-la itu menyambar berturut - turut ke arah Tung-hai - tiauw. Laki - laki tinggi
kurus ini menggerak-kan goloknya dan nampak sinar golok berkelebat menyilaukan mata tiga kali
dan tiga batang potong-an lilin itu berobah menjadi enam potong dengan apinya masih menyala
ketika enam potong itu runtuh ke atas lantai dan apinya padam. Kiranya golok itu dengan
kecepatan kilat telah membelah potongan lilin itu menjadi dua dengan belahan di tengah-tengah
sehingga sumbunyapun terbelah dua dan masing - masing masih bernyala ! Tentu saja
demonstrasi penggunaan golok yang luar bia-sa hebatnya ini disambut dengan tepuk sorak oleh
para tamu.
Lam - siauw - ong memandang dengan hati panas dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah
me-nerjang ke depan, pedangnya bergerak dengan ce-pat. Lawannya menyambut dan mereka
sudah sa-ling serang dengan serunya, tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar pedang
dan golok yang seolah - olah berobah menjadi dua ekor naga yang saling belit dan saling himpit.
Dua orang raja kaum sesat yang hadir sebagai tamu, yaitu Sin-go Mo Kai Ci dan San - hek -
houw, memperhatikan gerakan mereka berdua yang ber-kelahi itu dan diam - diam mereka
terkejut dan kagum bukan main, maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu menandingi
tuan rumah dan saingannya itu. Apa lagi mengingat bahwa mereka sebagai tokoh - tokoh darat
dan sungai kini berada di "dunia lain", yaitu di daerah kekuasaan bajak-bajak laut sehingga
mereka terpencil dan merasa amat asing. Kalau saja mereka tidak mengingat bahwa mereka
berdua adalah utusan Raja Kelela-war dan mengandalkan iblis yang amat lihai itu, tentu mereka
berdua akan merasa jerih sekali.
"Cring - trang - tranggg !!" Untuk ke sekian
kalinya pedang bertemu dengan golok dan nampaklah
bunga api berpijar menyilaukan mata. Ke-dua orang yang telah mengadu tenaga
lewat sen-jata mereka itu cepat memeriksa senjata masing-masing dan legalah hati mereka
melihat bahwa senjata mereka tidak menjadi rusak. Lam - siauw-ong yang tadinya mengandalkan
pedangnya dengan Ilmu Pedang Hun - kin -kiam - sut itu, merasa pe-nasaran sekali bahwa
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
lawannya mampu mematah-kan semua serangannya dengan ilmu goloknya. Dia mengeluarkan
bentakan nyaring dan menerjang la-gi ke depan dengan dahsyat, pedangnya lenyap berobah
menjadi gulungan sinar panjang dan me-nyambar - nyambar dengan ganasnya. Hun - kin-kiamsut
(Ilmu Pedang Pemutus Urat) adalah ilmu pedang yang dilatihnya selama tiga tahun ini, dan
merupakan ilmu pedang yang amat dahsyat. Ujung pedang itu seperti hidup saja, dapat mencari
urat - urat halus dan jalan - jalan darah yang me-matikan, maka setiap tusukan atau bacokan
meru-pakan serangan maut. Karena Lam - siauw - ong menggerakkan pedangnya dengan
pengerahan sin-kang, maka selain pedang itu lenyap berobah men-jadi sinar bergulung - gulung,
juga dari gulungan sinar itu kadang - kadang mencuat sinar menyam-bar ke arah lawan dan setiap
kali nampak sinar menyambar ini, terdengar bunyi bercuitan menge-rikan.
Akan tetapi, ternyata ilmu golok yang dimain-kan oleh Tung - hai - tiauw juga hebat sekali.
Se-lain golok yang dimainkannya merupakan golok pusaka, juga ilmu goloknya amat hebat. Golok
itu adalah golok pusaka yang tadinya merupakan pu-saka istana kaisar, bernama Toat - beng - to
(Go-lok Pencabut Nyawa). Sebenarnya, kalau diban-dingkan dengan ilmu golok yang dimainkan
tuan rumah dengan Ilmu Pedang Hun - kin - kiam - sut, maka ilmu golok itu masih kalah hebat.
Sekiranya Tung - hai - tiauw hanya mengandalkan ilmu go-loknya menghadapi Lam - siauw - ong,
agaknya dia akan kalah. Akan tetapi, kekalahannya dalam hal mainkan senjata itu tertutup oleh
keuntungannya karena dia memakai baju emas yang membuatnya kebal itu. Beberapa kali ketika
ujung pedang me-nyambar ke arah dadanya, dengan berani dia me-nerima tusukan itu dengan
baju emasnya dan mem-barengi dengan bacokan golok sehingga Lam-siauw - ong menjadi sibuk
bukan main karena tu-sukannya meleset dan dirinya bahkan terancam bacokan maut! Di samping
baju emas yang mem-buatnya kebal itu, juga Tung - hai - tiauw masih memiliki cengkeraman
kukunya dari tangan kiri dan cengkeraman ini amat berbahaya, tidak kalah dari serangan
goloknya. Karena bantuan baju emas dan cengkeraman kuku inilah maka Tung - hai-tiauw mulai
dapat mendesak lawannya !
Kembali pedang itu meluncur ke arah leher de-ngan tusukan yang halus dan cepat sekali
sampai mengejutkan hati Tung - hai - tiauw. Kalau tusuk
an itu mengenai jalan darah di lehernya, tidak usah dalam - dalam tusukan itu, tentu dia
akan roboh dan tak mungkin dapat bangkit kembali. Maka cepat dia menangkis dengan goloknya
sambil me-ngerahkan tenaga. Pedang tertangkis, terpental dan dengan cepatnya pedang yang
tertangkis itu me-luncur ke bawah, membacok ke arah urat di pun-dak. Untuk ke sekian kalinya,
Lam - siauw - ong yang bergerak menurut ilmu pedangnya, lupa bah-wa lawannya memakai baju
emas yang membuat-nya kebal, maka pedangnya membacok pundak lawan. Tung - hai - tiauw
membiarkan saja pun-daknya diserang bacokan dan sebagai balasan, go-loknya menyambar ke
arah paha kanan lawan dan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar! Sungguh luar biasa
dahsyat dan berbahayanya se-rangan balasan Tung - hai - tiauw ini! Pada detik terakhir yang amat
menegangkan dan berbahaya bagi nyawanya ini, terdengar Lam - siauw - ong mengeluarkan
suara melengking, pedangnya ber-kelebat dan tubuhnya dilemparkan ke belakang.
"Bretttt !!" Terdengar suara nyaring dan
Lam - siauw - ong berjungkir balik dan dapat ber-diri dengan terhuyung, mukanya pucat
sekali ka-rena bajunya bagian pusar telah koyak-koyak. Nyaris perutnya yang koyak oleh
cengkeraman tadi dan pedangnya mampu menyerempet pung-gung tangan kiri lawan,
menimbulkan luka sedikit dan berdarah sedikit.
Mengertilah Lam - siauw - ong bahwa pihak tuan rumah telah bersikap murah hati terhadap
dirinya, karena kalau Tung - hai - tiauw tadi meng-hendaki, tentu kini dia telah roboh dengan isi
perut berantakan ! Maka diapun tahu diri, maklum bah-wa sampai saat itu tingkat kepandaiannya
masih kalah sedikit. Diapun menjura dan berkata dengan suara mengandung kekecewaan besar,
"Hai - ong, aku mengaku kalah !"
Tung - hai - tiauw merasa girang bukan main telah dapat mengalahkan lawan yang paling
berba-haya ini. Dia tersenyum lebar dan balas menjura. "Ah, Siauw - ong telah bersikap
merendahkan diri dan sengaja telah mengalah terhadapku. Terima kasih, Siauw-ong. Nyaris
tanganku buntung oleh pedangmu yang amat lihai!"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Raja Muda Selatan itu kembali ke tempat du-duknya dengan lesu dan tepuk sorak para
hadirin yang menyambut kemenangan Rajawali Lautan itu baginya seperti ejekan terhadap dirinya
sehing-ga mukanya menjadi kemerahan.
Setelah Petani Lautan dan Raja Muda Selatan kalah, tidak ada lagi kepala bajak yang berani
maju mencoba kepandaiannya terhadap Rajawali Lautan, oleh karena itu, jelas bahwa kedudukan
Hai - ong (Raja Lautan) masih dimiliki Tung - hai-tiauw untuk jangka waktu tiga tahun lagi. Kursi
singgasana yang tadinya ditutupi kain putih kini dibuka dan dengan resmi, di bawah tepuk tangan
para hadirin, Tung - hai - tiauw duduk di atas kursi singgasana itu dengan sikap gagah dan
gembira. Semua orang lalu mengangkat cawan memberi se-lamat kepada Raja Lautan.
Sin - go Mo Kai Ci dan San - hek - houw yang; datang sebagai tamu yang tidak mempunyai
hu-bungan dengan pemilihan Raja Lautan, juga seba-gai rekan - rekan dari Tung - hai - tiauw
karena mereka bertiga pernah dikenal di dunia kang - ouw sebagai Sam - ok (Si Tiga Jahat), juga
bangkit dari kursi mereka, menghampiri Tung - hai - tiauw sam-bil mengangkat cawan arak
mereka.
"Hai - ong, kami berdua dalam kesempatan ini mengucapkan selamat atas kemenanganmu
!" kata San - hek - houw dan dia mengangkat cawan arak-nya, diikuti oleh Si Buaya Sakti.
Karena dua orang ini merupakan tokoh - tokoh besar di dunia hitam, Tung - hai - tiauw
menerima ucapan selamat itu sambil tertawa gembira dan bangga, mengucapkan terima kasih
sambil meng-angkat cawan dan sekali tenggak habislah arak da-lam cawannya. Sebelum kedua
orang rekannya itu kembali ke tempat duduk mereka, Tung-hai-tiauw berkata kepada mereka,
"Dua sahabat baik yang jauh - jauh datang tentu membawa keperluan pen-ting. Nah, setelah kini
upacara pemilihan Raja La-utan yang baru telah selesai, harap kalian suka. menceritakan
keperluan penting itu."
Dua orang itu lalu menarik bangku dan duduk di depan Rajawali Lautan itu, dan Si Buaya
Sakti dengan suaranya yang tinggi lalu berkata, "Sesung-guhnya kami berdua diutus oleh
keturunan dari junjungan golongan kita, yaitu yang mulia Raja Kelelawar, untuk menemuimu dan
menanyakan apakah engkau sudah menerima surat undangan beliau beberapa bulan yang lalu ?"
Tung - hai - tiauw mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada kedua orang
tamunya. Kalau bukan dua orang ini yang datang bercerita, tentu dia tidak akan mau percaya. Dua
orang ini adalah raja-raja kaum sesat golongan darat dan sungai, mana mungkin dapat menjadi
utusan kalau yang mengutusnya itu bukan orang yang benar-benar hebat sekali kepandaiannya ?
Mereka itu memiliki kedudukan dan kepandaian yang seting-kat dengan dirinya, dan kini mereka
datang seba-gai utusan, agaknya untuk menegurnya karena dia telah mengabaikan surat
undangan yang diterima-nya secara aneh itu.
"Memang benar, aku telah menerimanya. Akan tetapi aku harus hati - hati. Siapa tahu ada
orang yang memalsukan nama junjungan kita itu dan mengaku - aku saja. Kita sendiri kan belum
pernah bertemu dengan tokoh yang disebut Raja Kelela-war itu. Kita cuma mendengar saja dari
dongeng nenek moyang kita. Mana kita bisa tahu apakah yang muncul ini tulen ataukah palsu ?"
San - hek - houw mengerutkah alisnya dan pandang matanya mengandung kemarahan. Dia
sudah takluk benar kepada Raja Kelelawar dan dia su-dah yakin bahwa raja iblis itu memang
benar amat sakti dan memiliki kesaktian - kesaktian seperti yang terdapat dalam dongeng tentang
Raja Kele-lawar. Kini sebagai orang kepercayaan Raja Kele-lawar, dia mendengar bahwa keaselian
junjungan-nya itu diragukan orang, maka hatinya menjadi panas. Akan tetapi dia bukan orang
bodoh dan dia tahu bahwa dia sebagai seorang tamu di sarang ba-jak, mempunyai kedudukan
yang amat lemah dan berbahaya. Oleh karena itu, diapun menelan saja perasaan dongkolnya dan
memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Buaya Sakti agar mereka cepat - cepat pergi
dari tempat itu. Si Buaya Sakti maklum akan kemarahan kawannya, maka diapun berkata dengan
suara datar,
"Kami berdua hanya utusan saja, dan jawaban Hai - ong tentu akan kami sampaikan seperti
apa adanya kepada Raja Kelelawar yang mengutus kami. Nah, sekarang kami berdua terpaksa
mohon diri untuk kembali ke tempat kami masing - ma-sing."
"Ah, kenapa tergesa - gesa ?" Tung - hai - tiauw berkata, merasa tidak enak juga karena
tidak ingin dianggap kurang ramah apa lagi mengusir dua orang tamunya ini. Diapun tahu bahwa
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
di darat, dua orang ini jauh lebih terkenal dari pada dirinya-dan juga kedudukan mereka berdua ini
lebih kuat. Dengan dua orang seperti ini, yang telah dirang-kaikan dengan dia sebagai Si Tiga
Jahat, lebih aman kalau bersahabat, bukan bermusuhan. "Apa-kah kalian tidak ingin melihat
perlumbaan perahu-perahu kita malam nanti ? Dan yang lebih mena-rik lagi, apakah kalian tidak
ingin melihat upacara penyerahan korban perawan jelita di Pusaran Maut ?"
"Tidak, terima kasih." Kini Harimau Gunung, yang menjawab. "Kami harus cepat - cepat
pulang untuk membuat laporan kepada Raja Kelelawar."
Rajawali Lautan Timur bukan tidak berkesan mendengar tentang Raja Kelelawar itu. Kalau
dua orang rekannya ini sudah begitu tunduk, tentu to-koh yang mengaku sebagai Raja Kelelawar
ini benar - benar hebat kepandaiannya. Akan tetapi, dia sendiri baru saja menangkan kedudukan
Raja Lautan, mana mungkin dia memperlihatkan kele-mahan dan rasa jerihnya terhadap tokoh
yang baru muncul dan yang belum dikenal serta diketahui sampai di mana kelihaiannya itu ? Pula,
dia berada di tempat sendiri, di daerah bajak, di mana hadir orang - orang lihai yang akan
membantunya dan membela kawan sendiri seperti Petani Lautan, Ra-ja Muda Selatan dan semua
anak buah yang de-mikian banyaknya. Takut apa ? Maka diapun ter-
{
senyum mengejek mendengar ucapan Harimau Gu-nung tadi.
"Hemm, baiklah. Aku tidak akan menahan lagi. Akan tetapi, kita bertiga yang sudah lama
menjadi rekan - rekan, yang nama kita dikaitkan orang seba-gai Sam - ok, sungguh sayang kita
kini berbeda pendapat dalam hal kekuasaan dan kedaulatan kita. Sampaikan saja salam kami
kepada orang yang mengaku keturunan Raja Kelelawar itu. Katakan bahwa kami, orang - orang
lautan, ingin hidup be-bas tanpa, harus diperintah orang dari golongan lain."
Ucapan ini merupakan tantangan halus yang ditujukan kepada Raja Kelelawar! Dua orang
to-koh sesat itu marah dan mendongkol sekali. Kalau saja mereka tidak berada di wilayah bajak,
tentu mereka akan menyerang Rajawali Lautan. Akan tetapi mereka tahu diri, maka mereka tidak
men-jawab dan hanya mengangguk. Tung - hai - tiauw juga tidak mau banyak cakap lagi, lalu dia
sendiri mengantar dua orang tamu ini keluar dan melihat sampai keduanya benar - benar telah
pergi mening-galkan pulau itu.
Setelah dua orang yang dianggapnya saingan berbahaya itu pergi, Tung - hai - tiauw yang
kini untuk ketiga kalinya kembali telah menduduki sing-gasana Raja Lautan dan berhak menjadi
majikan dari pulau dengan istananya itu, lalu mengajak dua orang tangan kanannya, yaitu Petani
Lautan dan juga Raja Muda Selatan untuk melihat perlumbaan perahu. Dengan diiringkan oleh
para pengawal, para dayang dan juga isteri dari Rajawali Lautan, mereka semua lalu pergi ke
panggung yang didiri-kan di tepi telaga, dengan wajah gembira nonton perlumbaan yang baru
akan dimulai setelah Raja Lautan itu hadir di panggung.
Senja telah mendatang, matahari telah condong jauh ke barat. Perlumbaan yang hendak
diadakan sekarang adalah perlumbaan terakhir yang merupa-kan puncak pertunjukan karena kini
yang akan berlumba hanya tiga buah sampan saja. Akan te-tapi, para penumpangnya adalah
thouw - bak-thouw - bak (mandor - mandor bajak) yang meru-pakan pembantu - pembantu
utama para raja bajak yang telah memiliki kepandaian tinggi. Tentu saja keadaan menjadi
menegangkan dan panas, karena tiga perahu yang akan berlumba itu seakan - akan mewakili
golongan masing - masing, yaitu golongan anak buah tuan rumah yang menjadi Raja Lautan,
golongan anak buah Petani Lautan dan anak buah Raja Muda Selatan.
Setelah tiga buah perahu yang ditumpangi ma-sing-masing oleh tiga orang itu siap,
dimulailah perlumbaan dan terjadilah perlumbaan seperti yang sudah terjadi kemarin. Akan tetapi
sekarang lebih ramai-lagi karena para penghuni perahu itu adalah orang - orang yang lihai, bukan
hanya lihai ilmu silatnya akan tetapi juga lihai dalam mengemudikan dan melayarkan perahu
mereka. Dan se-perti juga kemarin, perlumbaan ini lebih berupa, perkelahian di atas perahu atau
usaha untuk saling; menenggelamkan perahu lawan dari pada perlum-baan adu cepat. Setiap kali
ada sebuah perahu yang agaknya meluncur paling cepat, yang dua lalu menggunting dari kanan
kiri dan menyerang pera-hu itu dengan dayung-dayung panjang mereka, bukan hanya berusaha
menghantam badan perahu atau merusak layar atau merobohkan tiang layar, akan tetapi bahkan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tidak segan - segan untuk sa-ling hantam ! Mereka sungguh ahli mengemudikan perahu. Perahu -
perahu itu sampai miring, saling, serobot dan saling tabrak, akan tetapi dengan ce-katan mereka
mampu menghindar dan balas me-nyerang untuk menggenjot perahu lawan dari sam-ping dalam
usaha mereka menggulingkan lawan.
Perlumbaan atau perkelahian antara tiga pera-hu itu terjadi dalam suasana panas, apa lagi
karena tepuk sorak para pendukung masing - masing tak pernah berhenti memberi semangat
kepada jagoan masing - masing. Beberapa kali ada perahu yang tertabrak dan terguling. Akan
tetapi dengan ce-katan para penumpangnya sudah berhasil memba-likkan perahu mereka dan
mendayung lagi. Ada yang kepalanya benjol - benjol terkena hantaman dayung. Akhirnya, dengan
kepala benjol-benjol dan pera-hu dalam keadaan tidak utuh lagi, perahu anak buah Raja Muda
Selatan keluar sebagai pemenang setelah lebih dulu berhasil mencapai garis yang ditentukan.
Mereka menerima sambutan sorak-sorai dan juga menerima hadiah-hadiah dari Raja Lautan.
Sementara itu, matahari telah terbenam dan se-bagai gantinya, bulan yang amat besar dan
merah muncul dari permukaan laut sebelah timur. Sete-lah perlumbaan selesai, kini disusul pesta
air ! Raja Lautan dan keluarganya, juga para kepala bajak seperti Petani Lautan dan Raja Muda
Selatan, naik perahu yang dihias meriah dengan lampu - lampu gantung yang berwarna - warni,
dan berpesta-pora di atas telaga. Terdengar bunyi musik mengiringi nyanyian wanita-wanita
penghibur dan semua orang mulai bermabok - mabokan. Acara terakhir malam itu adalah
penyembahan korban untuk Dewa Laut yang akan dilakukan di Pusaran Maut. Seorang perawan
jelita akan dikorbankan, seperti yang terjadi setiap tiga tahun sekali!
Tiupan rumah kerang raksasa menjadi tanda bahwa upacara itu akan segera dilaksanakan.
Pera-hu - perahu dipersiapkan dan semua perahu yang berpesta - pora lalu minggir. Perahu
Rajawali La-utan dan perahu - perahu para pimpinan bajak te-lah siap mengikuti upacara itu.
Sebuah perahu yang dihias secara khas nampak diturunkan ke air dari pantai. Lalu dari pantai
nampak sebuah ge-robak dorong yang didorong orang ke atas perahu. Di atas gerobak dorong ini
nampak seorang gadis yang duduk bersandar tiang dalam keadaan terbe-lenggu kaki tangannya.
Gadis itu dalam keadaan sadar dan dengan sepasang matanya yang mengelu-arkan sinar berapi -
api, gadis itu memandang ke kanan kiri. Jelas bahwa ia berada dalam keadaan terancam, akan
tetapi hebatnya, sedikitpun ia ti-dak kelihatan takut. Kedua lengannya terbelenggu ke belakang
tubuhnya, diikat oleh belenggu besi pada tiang, dan kedua pergelangan kakinya juga dibelenggu
dengan belenggu besi yang dipasang di papan gerobak. Dara itu bukan lain adalah Ho Pek Lian !
Seperti telah kita ketahui, dara itu memasuki pulau dengan berani dalam usahanya mencari
Bu Seng Kun, A-hai, dan juga Bu Bwee Hong, di samping juga berusaha untuk mencari ayahnya
yang pernah didengar suaranya di dalam sebuah perahu. Akan tetapi, karena terkejut melihat patung
yang tiba - tiba hidup, ia ketahuan dan akhir-nya dikeroyok dan tertawan. Sungguh malang
baginya, pada waktu itu Raja Lautan membutuhkan seorang dara jelita yang pantas untuk menjadi
korban yang akan dipersembahkan kepada Dewa Laut, dan iapun terpilih ! Bahkan Tung-hai-tiauw
merasa bangga dapat mempersembahkan seorang dara yang bukan hanya cantik jelita melainkan
ju-ga gagah perkasa. Dia percaya bahwa Dewa La-utan akan merasa girang sekali dengan
persembah-an istimewa ini dan tentu akan memberi berkah kepada semua bajak sehingga di masa
mendatang akan berhasil baik dalam pekerjaan mereka mem-bajak !
Perahu kecil terhias yang membawa Pek Lian itu pun meluncur perlahan, diiringkan oleh
perahu-perahu Rajawali Lautan, Petani Lautan, Raja Muda Selatan dan para kepala bajak lainnya.
Iring-iringan perahu itu amat banyak, seperti armada saja akan tetapi suasananya tetap gembira,
apa la-gi karena bulan purnama yang bundar besar ke-merahan itu nampak cemerlang tidak
terhalang awan seolah - olah sang bulan ikut merestui kesi-bukan mereka yang akan
mempersembahkan kor-ban sedemikian mulusnya kepada Dewa Laut! Bulan purnama yang
kemerahan itu nampak besar dan perlahan-lahan naik menjauhi permukaan laut. Malam yang
amat indah. Lautpun tenang sekali, seolah - olah tidak ada keriputnya sedikitpun juga. Langit
bersih sekali sehingga nampak bin-tang-bjintang dengan cahayanya yang pudar karena dikalahkan
oleh sinar bulan.
Akan tetapi, kini para anak buah bajak mulai tenang dan suara kegaduhan merekapun
mereda, bahkan lalu menghilang. Mereka maklum bahwa perjalanan sekali ini bukan lagi
kelanjutan dari pesta - pora, melainkan perjalanan yang keramat dan penting, juga berbahaya!
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Mereka akan mela-kukan upacara persembahan korban seorang pera-wan suci, kebiasaan
tradisionil nenek moyang mereka. Yang membuat mereka merasa ngeri adalah karena
persembahan korban itu dilakukan di dae-rah yang teramat berbahaya dan yang amat mere-ka
takuti, yaitu daerah pusaran maut, tempat yang mereka anggap sebagai pintu gerbang menuju ke
neraka. Oleh karena itu, makin dekat dengan tem-pat mengerikan itu, makin teganglah hati
mereka dan makin sunyilah keadaan di atas perahu-perahu yang beriringan itu.
Pek Lian yang duduk terbelenggu di atas ge-robak dorong yang berada di atas perahu itu,
me-mandang semua kegiatan ini. Ia tahu bahwa ia menghadapi bahaya maut walaupun ia belum
me-ngerti bahaya maut macam apa yang dihadapinya. Ia tertawan dan dalam keadaan tertotok, ia
telah ditelanjangi dan dimandikan oleh para dayang, di-mandikan dengan air yang diberi wangi -
wangian seperti seorang calon mempelai saja. Kemudian, pakaian yang baru dari sutera dikenakan
pada tu-buhnya. Sampai ia dibelenggu di atas gerobak dan didorong menuju ke perahu itu, ia
masih belum mengerti apa yang akan dilakukan orang terhadap dirinya. Namun, ia bersikap
tenang walaupun hati dan pikirannya tak pernah berhenti berusaha men-cari kesempatan untuk
dapat meloloskan diri. Ia sudah terbebas dari totokan dan sudah beberapa kali ia mengerahkan
tenaga mencoba kekuatan be-lenggu kaki tangannya. Maka satu - satunya harap-an hanyalah
pada saat orang membebaskannya dari belenggu itu, baru ia akan bergerak mengamuk mati -
matian. Kalau perlu, ia akan meloncat ke dalam lautan dari pada mati di tangan iblis - iblis
berwajah manusia ini. Satu - satunya hal yang membuatnya berduka hanyalah bahwa ia belum
berhasil menemukan ayahnya dan yang amat aneh terasa olehnya adalah betapa dalam keadaan
menghadapi bahaya maut seperti itu, yang terba-yang olehnya hanya wajah ayahnya dan wajah
A-hai! Di manakah pemuda itu sekarang ? Masih hidupkah ? Apakah masih ingat kepadanya ?
Pertanyaan - pertanyaan ini tanpa disengaja menyeli-nap dalam hatinya dan membuatnya heran
sendiri.
Kini semua orang mulai dapat mendengar suara itu. Suara yang selalu mendatangkan rasa
ngeri di hati setiap orang bajak laut. Suara gemuruh bagai-kan guntur. Wajah para bajak laut
menjadi pucat. Itulah suara Pusaran Maut! Dan sungguh luar bi-asa sekali, berbareng dengan
terdengarnya suara gemuruh itu, seperti secara mendadak sekali, nam-pak awan tebal hitam
bergulung - gulung datang dan menutupi bulan purnama. Keadaan yang tadi-nya terangbenderang
itu tiba-tiba menjadi ge-lap-gulita dan lampu-lampu perahu kini baru nampak terang
berkelip-kelip. Semua orang me-mandang ke arah bulan yang menyelinap ke balik awan hitam itu
dengan hati cemas. Suara gemuruh semakin keras terdengar, membuat semua orang menjadi
gelisah.
Tiba-tiba , tiba-tiba sekali sehingga membingungkan
semua orang, terdengarlah suara
mengiang yang merupakan lengking tinggi, seperti
suara nyamuk di dekat telinga. Mengiang tajam
sekali, membuat semua orang menjadi semakin ngeri.
Semua orartg yang memandang ke atas mengharapkan
agar awan yang menutup bulan cepat
berlalu. Mereka tidak ingin datang ke daerah Pusaran
Maut dalam cuaca yang gelap - gulita seperti
itu. Terlalu berbahaya ! Akhirnya, awan tebal itu
sedikit demi sedikit meninggalkan bulan purnama.
Para pengawal yang menjaga Pek Lian berna-pas lega. Calon korban masih terikat di
tempat-nya seperti tadi. Akan tetapi, tiba - tiba juru mudi perahu calon korban itu mengeluarkan
teriakan tertahan, disusul kata - katanya yang gagap, "Heiii
! Lihatlah ! Lihatlah bulan itu !
Ada manusia di dalamnya !!"
Semua orang, di atas perahu - perahu itu memang sudah melihatnya dan semua mata
terbela-lak. Memang benar ucapan juru mudi perahu ca-lon korban itu ! Di sana, di atas leher
burung raja-wali sebagai penghias ujung perahu Rajawali La-utan, nampak seorang laki - laki
berpakaian hitam-hitam dan bermantel hitam pula, berdiri membela-kangi bulan purnama, maka
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dia kelihatan seolah-olah berada di dalam bulan yang besar itu ! Karena pakaiannya serba hitam
dan bulan itu sendiri ku-ning keemasan, maka nampak kontras dan indah seperti lukisan saja. Pek
Lian sendiri juga sudah melihat bayangan itu dan jantungnya berdebar te-gang ketika ia mengenal
bahwa orang itu serupa benar dengan orang yang pernah dijumpainya di atas pulau nelayan. Raja
Kelelawar!
Semua orang masih memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, wajah pucat.
Mereka tidak tahu bagaimana ora
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To
Register.]***
ntiba tubuh orang berpakaian serba hitam itu melayang de-ngan kecepatan seperti burung
terbang saja menuju ke arah perahu di mana Pek Lian terbelenggu. Mantel hitam itu berkibar di
belakangnya seperti sayap yang lebar dan tahu - tahu dia sudah berada di atas dek perahu dekat
gerobak di mana Pek Lian terikat. Kedua tangannya bergerak - gerak dan terdengarlah besi
belenggu itu patah - patah dan dalam sekejap mata saja Pek Lian telah be-bas ! Akan tetapi, Pek
Lian masih belum mampu bergerak. Tubuhnya masih kaku - kaku karena terlalu lama dibelenggu.
Para pengawal tadinya tertegun seperti orang-orang terpesona oleh permainan sulap yang
meng-herankan saja- Akan tetapi, mereka segera sadar bahwa tawanan telah dibebaskan orang,
maka em-pat orang pengawal dengan senjata di tangan me-nerjang dan menyerang pria tinggi
kurus berjubah hitam itu.
Bit - bo - ong atau Raja Kelelawar, orang yang mukanya kaku seperti topeng itu, seperti
tidak memperdulikan datangnya empat buah senjata ta-jam yang menyerangnya. Dia hanya
mendengus, tangan kirinya bergerak cepat dan terdengar empat kali suara pekik mengerikan dan
empat orang pengawal itu roboh terpelanting dengan kepala berlubang tertembus jari-jari tangan
yang runcing bagaikan pedang. Tentu saja para pengawal lain yang berada di atas perahu itu
menjadi ngeri dan jerih. Bunyi terompet tanda bahaya segera ditiup-kan orang dan perahu -
perahu yang lain berda-tangan mengepung perahu calon korban.
"Hemmmm !" Raja Kelelawar mendengus,
tangan kirinya bergerak ke arah Pek Lian dan ga-dis ini mengeluh karena ia telah tertotok
dan di lain saat tubuhnya sudah diangkat dan dipanggul di atas pundak iblis itu. Gilanya, agaknya
sesuai dengan watak iblisnya yang biadab, tangan kanan iblis itu mengelus - elus pinggul dara
yang membu-sung itu, sedikitpun tidak merasa takut atau ma-lu biarpun ditonton oleh begitu
banyaknya musuh
yang mengepungnya ! Kasihan Pek Lian yang ha-nya dapat mematikan rasa malunya karena
ia sama sekali tidak berdaya biarpun ia merasa betapa pinggulnya dielus-elus dan beberapa kali
dicubit!
Terdengar aba - aba dari Rajawali Lautan dan ratusan anak panah menyambar ke arah Raja
Kele-lawar. Agaknya tak mungkin orang dapat meng-hindarkan diri dari sambaran ratusan anak
panah itu kecuali kalau dapat memutar senjata menang kis atau kalau mengelakpun harus
meloncat keluar perahu. Akan tetapi, iblis itu sama sekali tidak mengelak, juga tidak menggunakan
senjata untuk menangkis, melainkan menggerakkan tangannya dan jubah lebarnya bergerak
melingkari dan me-nyelimuti seluruh tubuhnya dan tubuh Pek Lian yang dipanggulnya. Anak
panah yang ratusan ba-nyaknya itu begitu menyentuh jubahnya, berjatuh-an di sekeliling
badannya sampai bertumpuk - tum-puk. Tidak ada sebatangpun yang mampu me-nembus jubah
itu. Anak panah yang ratusan ba-nyaknya itu berserakan di sekeliling kakinya. Me-lihat kesaktian
ini, para anak buah perahu calon korban cepat-cepat meninggalkan perahu, pindah ke perahu lain
karena merasa takut dan ngeri ter-hadap iblis itu.
Para thauw - bak dengan suara gagap dan kaki gemetaran mencoba untuk mengumpulkan
kembali anak buah masing - masing yang dilanda ketakut-an. Melihat munculnya orang yang sama
sekali tidak pernah mereka sangka - sangka itu, apa lagi karena tadi Raja Lautan memang
membicarakan, iblis ini dengan kedua orang pembantunya, maka Tung - hai - tiauw, Petani Lautan
dan Raja Muda Selatan serentak berloncatan dari perahu masing-masing menuju ke perahu calon
korban di mana iblis itu masih berdiri sambil memanggul tubuh Pek Lian, dengan sikap yang amat
tenang. Tiga raja bajak itu tiba di perahu calon korban hampir berbareng, dari tiga jurusan.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Melihat ini, tiba - tiba Raja Kelelawar mengeluarkan suara melengking nyaring dan begitu dia
menggerakkan jubahnya yang dikembangkan dengan kekuatan dahsyat, tum-pukan anak panah di
sekelilingnya itu terbang ber-hamburan kembali ke tempat masing - masing !
Kembali terdengar jerit-jerit mengerikan dan belasan orang anak buah bajak roboh dengan
tu-buh tertembus anak panah ! Ada pula yang sempat menyelamatkan diri di balik perisai mereka.
Tiga orang raja bajak itu sendiri cepat mengibaskan ta-ngan mereka dan runtuhlah anak panah
yang me-luncur ke arah mereka.
Kini Tung - hai - tiauw, Petani Lautan, dan Ra-ja Muda Selatan sudah berdiri berhadapan
dengan iblis itu. Mereka bertiga tentu saja sudah mende-ngar dongeng penuturan nenek moyang
mereka tentang Raja Kelelawar dan kini, berhadapan de-ngan orang yang mengaku keturunan
Raja Kelela-war, mereka memandang tajam penuh selidik. Terutama
sekali Tung - hai - tiauw yang baru saja tadi menolak untuk menakluk kepada iblis ini
karena bagaimanapun juga, dia masih belum dapat mene-rima begitu saja munculnya seseorang
yang meng-aku sebagai keturunan raja - diraja penjahat yang hanya hidup sebagai dongeng itu.
Apa lagi kalau dia, seorang Raja Lautan, harus takluk begitu saja !
Bagaimanapun juga, hati tiga orang raja bajak ini gentar juga. Orang yang berdiri dengan
tegak di depan mereka itu memang mempunyai ciri - ciri seperti Raja Kelelawar dalam dongeng
yang mere-ka dengar dari orang - orang tua dan guru - guru mereka. Orangnya tinggi kurus
dengan pakaian serba hitam, mantel atau jubah hitam pula dan mukanya tersembunyi dalam
gelap karena membe-lakangi bulan, muka yang nampak kaku seperti to-peng. Di pinggangnya
sebelah kiri terselip dua buah pisau panjang yang gagangnya indah berta-bur batu pennata. Tiga
orang raja bajak itu terta-rik dan juga merasa tergetar hatinya, Menurut dongeng yang pernah
mereka dengar, raja iblis ini memiliki ilmu - ilmu yang sakti dan tidak lumrah. Kabarnya memiliki
ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang tidak ada bandingnya yang disebut Bu - eng Hwee -
teng (Loncat Lari Tanpa Bayang-an), ilmu silat sakti Kim - liong Sin - kun (Naga Emas) dan tenaga
sinkang yang dinamakan Pat-hong Sin - ciang (Tangan Sakti Delapan Dewa).
Akan tetapi, mereka bertiga memberanikan diri dan mengandalkan ilmu kepandaian mereka
sendiri yang tidak boleh dipandang rendah. Maka, mere-kapun bersikap menantang dan bersiap
untuk me-layani iblis itu. Raja Kelelawar melangkah maju dan dengan suaranya yang tajam dan
tinggi dia bertanya,
"Siapakah di antara kalian yang berjuluk Raja-wali Lautan Timur ?"
Tung - hai - tiauw juga maju selangkah dengan berani, kemudian menjawab dengan suara
nyaring, lebih nyaring dari biasanya untuk menambah se-mangatnya sendiri, "Akulah Tung - hai -
tiauw yang juga menjadi Hai - ong ! Siapakah engkau ?"
Iblis itu mendengus. "Huh, mengapa engkau tidak mau datang memenuhi perintahku
mengha-diri pertemuan di kuil atas bukit itu ? Kenapa pula engkau tidak menerima kedua orang
utusanku siang tadi secara baik ? Benarkah engkau tidak mau bersatu di bawah benderaku,
seperti yang terjadi pada jaman nenek moyang kita dahulu ? Apakah engkau masih meragukan
aku ? Nah, kalau begitu, majulah, akan kuperlihatkan bahwa aku adalah keturunan Raja Kelelawar
yang sejati!"
Sambil berkata demikian, dengan lengan kiri masih memanggul tubuh Pek Lian di atas
pundak-nya, tangan kanan bertolak pinggang, raja iblis itu melangkah maju dengan sikap
menantang se-kali ! Tung - hai - tiauw abalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Apa
lagi dia merasa sebagai Raja Lautan, tentu saja dia tidak mau memperlihatkan kelemahannya.
Ditantang seperti itu, tentu saja dia tidak sudi untuk undur selangkah.
"Bagus! Hendak kulihat macam apa adanya orang yang berani menggunakan nama Raja
Kele-lawar untuk mengacau"
Tung - hai - tiauw sudah menggunakan ilmu andalannya, yaitu Tiauw - jiauw - kang (Ilmu
Kuku Rajawali) yang begitu dipergunakan, kuku - kuku jarinya menjadi kaku dan keras seperti
baja. Akan tetapi, cakaran - cakaran kedua tangannya itu di-sambut oleh tangan kanan Bit - bo -
ong seenaknya saja dan setiap kali cakar yang kuat itu bertemu dengan tangan Raja Kelelawar,
Tung - hai - tiauw merasa betapa tangannya panas dan tergetar he-bat ! Padahal, lawannya itu
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menyambut serangan-serangannya hanya dengan sebelah tangan saja karena tangan kirinya
masih memanggul tubuh Pek Lian di pundaknya !
Tung - hai - tiauw merasa penasaran sekali dan dia sudah mengeluarkan senjatanya yang
ampuh, yaitu kipas besi dan segera menubruk ke depan, ta-ngan kirinya tetap mencengkeram ke
arah kepala lawan sedangkan kipas besinya sudah menotok ke arah pusar. Kembali Raja Kelelawar
memperlihat-kan kelihaiannya. Dengan mudah saja dia menang-kis cengkeraman pada kepalanya
sedangkan totok-an kipas besi itu diterimanya dengan badan yang terlindung jubah pusakanya.
"Trakkk !" Tubuh Tung - hai - tiauw terpental ke belakang karena ketika kipas besinya
menotok, senjatanya itu membalik dengan amat kerasnya. Dia menjadi semakin penasaran dan
dicabutlah golok pusaka Toat-beng-to hadiah dari Petani Lautan. Kini golok dan kipasnya
berkelebatan cepat menyerang Bit - bo - ong tanpa memperduli-kan kalau - kalau senjatanya itu
akan mengenai tu-buh nona yang dipanggul oleh raja iblis itu. Na-mun, tiba - tiba saja tubuh Raja
Kelelawar itu le-nyap dari pandang matanya dan dari samping, tangan kanan iblis itu sudah
mencengkeram ke arah pelipisnya! Demikian cepat gerakan iblis itu sehingga Tung - hai - tiauw
tidak mampu mengikuti gerakannya dengan pandang mata! Namun, Raja Lautan inipun lihai dan
dari angin pukulan yang menyambar dia tahu di mana lawan yang pandai "menghilang" itu, dan
diapun membacokkan golok nya menangkis untuk membuntungi lengan lawan. Kembali Bit - bo -
ong mengelak dan kmi dengan mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya yang seolah-olah
pandai menghilang atau beterbangan amat cepatnya itu, dia dapat mempermainkan Tung - hai -
tiauw !
Raja Lautan itu merasa terkejut bukan main. Lawannya itu memanggul tubuh dara itu, dan
ha-nya mempergunakan sebelah tangan saja, tangan kosong pula, namun sanggup menghadapi
golok dan kipas besinya. Maklumlah dia bahwa memang
benar lawan ini sakti bukan main, maka diapun lalu memberi isyarat kepada dua orang
pembantu-nya. Memang sejak tadi Petani Lautan dan Raja Muda Selatan sudah merasa
penasaran. Mereka berduapun merasa tidak rela kalau sampai kedau-latan mereka di atas lautan
digeser dan dikuasai oleh seorang asing yang berada di daratan. Maka, begitu melihat isyarat Raja
Lautan, mereka berdua lalu terjun ke dalam perkelahian itu dan memper-gunakan senjata mereka.
"Plakkk !" Tiba - tiba sebuah tamparan tangan kanan Raja Kelelawar mengenai punggung
Raja Lautan. Tamparan itu memang bertemu dengan baju emas yang melindungi tubuh Tung-haitiauw
sehingga tidak sampai terluka. Akan tetapi hawa tamparan itu sedemikian kuatnya sehingga
dia me-rasa seolah - olah isi dadanya rontok semua ! Un-tung bahwa pada saat itu, kedua orang
pembantu utamanya sudah menerjang. Petani Lautan mempergunakan senjata cangkul bergagang
panjang sedangkan Raja Muda Selatan mempergunakan pedang pemutus urat yang berbahaya itu.
Bit - bo - ong mengeluarkan suara mendengus keras dari hidungnya. Harus diakuinya
bahwa se-telah tiga orang raja bajak ini mengeroyoknya, dia tidak mungkin dapat melayani
mereka seenaknya seperti itu. Betapapun lihainya, harus diakuinya bahwa tiga orang itupun
memiliki tingkat kepan-daian yang cukup tinggi. Maka diapun lalu meng-gerakkan tangan
kanannya dan tahu - tahu dia sudah mencabut keluar sebatang pisau panjang yang gagangnya
indah bertaburan batu permata itu. Karena tangan kirinya masih merangkul Pek Lian yang
dipanggulnya, maka dia hanya dapat mempergunakan sebatang pisau panjang saja. Na-mun, ini
juga sudah cukup karena dengan ilmunya meringankan tubuh yang luar biasa, ditambah pula
lindungan yang kuat dari jubah hitamnya, tiga orang lawannya itu tidak mampu berbuat banyak.
Senjata mereka hanya dapat mengenai jubah hitam dan selalu senjata mereka terpental tanpa
dapat melukai lawan, sedangkan gerakan iblis itu memang amat cepat, sukar diikuti dengan
pandang mata. Betapapun juga, karena mereka bertiga itu dapat bekerja sama dan saling bantu,
bagi raja iblis itupun tidak mudah untuk dapat merobohkan seorang di antara mereka. Kalau saja
iblis itu tidak memanggul tubuh Pek Lian, kiranya tiga orang jagoan laut itu tidak akan mampu
bertahan sedemikian lamanya.
Pertempuran satu melawan tiga ini sungguh amat seru dan mati - matian. Sebetulnya, kalau
saja Raja Kelelawar menghendaki, biarpun dia memanggul tubuh Pek Lian, dengan ilmunya yang
mujijat, agaknya dia masih mampu merobohkan dan membunuh para lawannya dengan seranganserangan
maut. Akan tetapi, dia tidak menghen-daki demikian. Dia membutuhkan bantuan
rajaraja bajak ini untuk memperluas kekuasaannya, maka dia harus mampu menaklukkan mereka,
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
bu-kan membunuh mereka. Tenaga mereka akan sa-ngat berguna baginya kelak. Karena inilah
maka pertempuran itu berjalan seru dan sampai lewat ratusan jurus belum ada yang kelihatan
menang atau kalah.
Perkelahian tingkat tinggi ini amat menegang-kan hati para anak buah bajak, juga para raja
ba-jak kecil yang tidak berani maju karena merasa be-tapa tingkat kepandaian mereka masih
belum cu-kup untuk membantu raja mereka. Mereka demi-kian tegang dan tertarik, hampir tak
pernah ber-kedip menyaksikan pertempuran di atas perahu calon korban itu sehingga mereka
tidak sadar bah-wa perahu - perahu itu bersama - sama terbawa arus yang halus mendekati
daerah Pusaran Maut! Baru setelah sebagian dari mereka terkena percik-an air laut yang halus
seperti kabut, mereka sadar! Tadi, suara gemuruh itu seolah - olah tertelan oleh suara
mengaungnya senjata - senjata yang digerak-kan oleh tangan - tangan yang memiliki tenaga sakti
amat kuat itu. Kini, tahu-tahu mereka sadar bahwa perahu-perahu mereka telah berada di dae-rah
Pusaran Maut. Semburan air akibat berpu-singnya air di pusaran maut itu telah mengenai mereka,
padahal pusaran itu masih jauh sekali. Setelah mereka sadar, kini suara gemuruh itu menggeratak
dan tiba-tiba saja seperti menulikan telinga. Mulailah mereka menjadi panik dan ber-teriak - teriak,
apa lagi setelah perahu - perahu mereka itu mulai terasa oleng terbawa arus dan gelombang yang
amat kuat menyeret perahu - pe-rahu itu ke satu jurusan.
Tadi mereka tidak merasakan bahwa perahu-perahu mereka terseret karena perkelahian
tingkat tinggi itu memang hebat bukan main. Demikian cepatnya gerakan Raja Kelelawar
menghindarkan diri dari kepungan tiga orang lawannya sehingga perkelahian itu dilakukan sambil
berloncatan di antara perahu - perahu, tiang - tiang layar, atap dan bergantungan pada tali-tali
layar. Memang menakjubkan sekali menyaksikan kehebatan gin-kang dari Raja Kelelawar yang
seolah - olah memang hendak mendemonstrasikan kepandaiannya sambil memanggul tubuh dara
yang masih lemas tertotok itu.
Setelah kini mereka sadar, mereka semua ter-kejut bukan main dan mereka menjadi
ketakutan karena mereka maklum akan ancaman bahaya maut yang amat mengerikan. Bagaikan
orang-orang yang baru sadar dari mimpi buruk, semua orang tidak lagi memperdulikan
pertempuran yang masih berlangsung mati - matian itu dan mereka semua berusaha untuk
mendayung perahu masing-masing menjauhi atau keluar dari daerah berba-haya itu. Akan tetapi,
arus air begitu kuatnya menarik perahu-perahu itu ke arah satu jurusan dan kini terasa hembusan
angin yang amat kuat disertai alunan gelombang yang makin meninggi. Perahu-perahu itu menjadi
cerai - berai. Semua perahu seperti tersedot ke arah suara gemuruh sehingga suasana menjadi
semakin kacau dan semua orang menjadi panik ketakutan. Kabut tebal menggelap-kan cuaca.
Semua orang berteriak-teriak ketakutan. Perahu-perahu mereka tak dapat mereka kuasai lagi,
tersedot aras yang amat kuat dan melaju melingkari kabut tebal itu. Mereka telah berada dalam
kekuasaan cengkeraman Pusaran Maut! Pe-rahu - perahu berputaran semakin cepat dan sema-kin
ke tengah. Kabut air makin tebal, orang - orang berteriak dan tiba - tiba terdengar suara
gemeratak seperti benda kayu patah - patah disusul jeritan-jeritan mengerikan. Pusaran Maut
telah mendapat-kan korban pertama dengan pecahnya sebuah pera-hu dan menghanyutkan
semua penumpangnya, ter-sedot oleh air yang berpusing itu entah ke mana.
Para bajak yang berada di atas perahu - perahu yang agak besar dan yang belum benar -
benar ter-cengkeraman sedotan air berpusing itu berusaha mati - mat,ian untuk menjauhi tempat
berbahaya itu. Akan tetapi perahu mereka itu rasanya seperti ada yang menahan dari belakang
dengan kekuatan yang mengerikan, seperti ada tangan tak nampak yang memegangi buritan
mereka. Saking panik dan ketakutan, ada bajak yang meloncat ke laut, ingin berenang menjauhi
tempat itu. Akan tetapi justeru - dengan perbuatan itu, mereka itu seperti benda kecil ringan yang
dengan mudahnya terseret ke pusat dari Pusaran Maut. Hanya terdengar te-riakan - teriakan
mereka yang minta tolong melo-long-lolong lalu sunyi, sunyi yang mengerikan. Korban - korban
berikutnya berjatuhan ketika ada tiga buah perahu yang seperti saling diadu oleh tangan raksasa
yang tidak nampak, pecah beran-takan dan para penumpangnya terlempar disambut air berpusing
lalu disedot entah ke mana.
Para bajak itu menjadi semakin panik. Biasanya, dalam upacara persembahan korban
kepada Dewa Laut di Pusaran Maut, mereka tidak pernah sampai ke tempat sedekat itu dengan air
berpusing itu. Tadi, saking terpesona oleh perkelahian tingkat tinggi di atas perahu, mereka tidak
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sadar dan tahu-tahu semua perahu telah berada begitu dekat di tempat berbahaya itu. Perahu di
mana tiga orang itu bertanding kini juga sudah berada di tepi pu-saran dan diseret berputar -
putar tak dapat diken-dalikan lagi.
Tentu saja perkelahian itu terhenti secara men-dadak. Tiga orang raja bajak itu memandang
ke-luar perahu dengan muka pucat dan mata terbela-lak, tidak perduli lagi kepada Raja Kelelawar
yarig berdiri tegak di atas dek sambil memanggul tubuh Pek Lian. Anak buah bajak yang kebetulan
berada di perahu itu sibuk berusaha mendayung, namun
usaha mereka sia-sia belaka, bahkan ada dayung yang patah ketika melawan arus. Tiga
orang raja bajak itu adalah ahli-ahli dalam air dan jagoan-jagoan dalam mengemudikan perahu.
Akan tetapi sekali ini mereka berdiri bengong dengan muka pu-cat seperti kehilangan akal. Angin
menghembus semakin kuat dan ombak mengganas menggiriskan hati. Awan hitam bergulung -
gulung dan tiba-tiba turun hujan badai yang dahsyat. Tentu saja hujan badai ini tercipta oleh
pusaran maut itu karena di daerah itu langit nampak bersih.
Setelah berada dalam keadaan seperti itu, maka setiap orang hanya ingat akan keselamatan
diri sendiri saja. Masing - masing hendak mencari ke-selamatan sendiri - sendiri. Rasa takut
merupakan perasaan yang paling kuat untuk menyeret manusia menjadi mahluk yang paling
pengecut, paling ke-jam, dan paling tidak berperikemanusiaan! Kalau ada orang yang melakukan
perbuatan kejam, pada hakekatnya di lubuk hatinya terdapat rasa takut yang amat besar. Kalau
ada orang melakukan per-buatan yang pengecut, diapun sedang dicengkeram oleh rasa takut
yang amat besar. Rasa takut meng-hilangkan kewaspadaan dan ketenangan, membuat orang
melakukan tindakan karena dorongan rasa takut itu, yang kadang-kadang merupakan perbu-atan
yang membuta. Bermacam - macam bentuk-nya rasa takut. Ada yang takut menghadapi kesulitan,
takut kehilangan, takut kesepian, takut menderita, takut dijauhkan dari kesenangannya, dan
takut akan kematian. Akan tetapi, semua bentuk rasa takut itu sesungguhnya berdasar sama,
yaitu sang pikiran atau si aku yang membayangkan sesu-atu yang tidak menyenangkan, yang
mungkin akan menimpanya. Kalau kita dapat terbebas dari rasa takut dan menghadapi segala
sesuatu yang menim-pa diri kita pada saat itu juga, tanpa membayang-kan sesuatu yang belum
terjadi, maka kita akan selalu tenang dan waspada dan pada saat - saat bahaya mengancam, kita
akan dapat bertindak atau memberi tanggapan yang tepat berdasarkan ke-waspadaan dan
ketenangan. Dan untuk dapat ter-bebas dari rasa takut tentu saja harus meniadakan si aku yang
membayang-bayangkan hal-hal yang belum ada itu.
Tiga orang raja bajak itu cepat mencari perleng-kapan untuk menyelamatkan diri. Mereka
memang selalu membawa perlengkapan untuk menolong diri kalau-kalau perahu mereka pecah
atau terba-lik diserang badai atau apa saja. Kini mereka telah membawa sebuah jangkar dengan
tali yang pan-jang. Raja Laut yang lebih dulu mengayun jang-karnya ke belakang, menggaet
sebuah papan dari pecahan perahu. Dengan tepat jangkarnya meng-gaet papan itu dan diapun
meloncat sambil meme-gangi tali, lalu berenang menuju ke arah papan. Dari situ dia meloncat
lagi, jangkarnya menggaet lain benda. Dengan cara demikan, juga berkat kepandaian renangnya
yang mahir, akhirnya dia dapat lolos dari sedotan Pusaran Maut. Dua orang: rekannya juga
melakukan hal yang sama. Untuk melontarkan jangkar ke perahu lain tak mungkin karena jarak
mereka dengan perahu - perahu lain cukup jauh dan kabut tebal membuat cuaca gelap. Hanya
sedikit sinar bulan yang menembus kabut dan awan buatan Pusaran Maut itu, membuat se-keliling
tempat itu nampak air berkilauan seperti cengkeraman - cengkeraman tangan maut yang hi-dup.
Raja Kelelawar bersikap tenang untuk memper-lihatkan kebesarannya. Akan tetapi
sesungguhnya diapun agak bingung menghadapi ancaman maut mengerikan ini. Dia tahu bahwa
sebagai seorang manusia, betapapun saktinya, dia tidak akan mam-pu melawan kekuatan alam
yang demikian dah-syatnya. Pula, ilmu - ilmunya adalah ilmu di da-ratan, dan dia sama sekali
bukanlah jago air seperti tiga orang raja bajak itu, walaupun ini tidak ber-arti bahwa dia tidak
pandai berenang. Untuk dapat melakukan penyelamatan diri seperti tiga orang raja bajak tadi, dia
merasa tidak mampu. Akan te-tapi, tokoh yang satu ini memang luar biasa. Dia sama sekali tidak
menjadi panik sehingga dia tidak kehilangan kewaspadaannya. Sambil memanggul tubuh Pek Liari,
dia melangkah ke tepi perahu. Dia masih mempunyai ilmu yang dapat diandalkan un-tuk
menyelamatkan dirinya, yaitu ilmu ginkangnya yang sudah mendekati kesempurnaan itu. Setelah
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mencari - cari dengan pandang matanya seperti hendak menembus kegelapan, akhirnya dia melihat
sebuah tiang layar hanyut tak jauh dari perahu. Cepat dia menurunkan tubuh Pek Lian dari
pang-gulan, mengempit tubuh itu dengan lengan kirinya dan diapun menggerakkan kedua kakinya
meloncat keluar dari perahu. Tubuhnya melayang dengan ringannya dan ketika kedua kakinya
hinggap di atas tiang layar yang terapung itu, diapun sudah menggunakan tiang itu sebagai
landasan untuk meloncat lagi menjauh dan kini yang hendak dija-dikan tumpuan loncatan adalah
sesosok mayat orang yang terapung. Dengan cekatan dia melon-cat ke atas perut mayat itu dan
menggunakannya untuk mengenjot tubuhnya lagi ke arah pecahan perahu di dekatnya. Karena
pecahan perahu itu cukup besar, dia memperoleh kesempatan untuk berhenti sejenak di atasnya.
Akan tetapi dia tidak boleh terlalu lama di situ karena walaupun dia te-lah agak menjauhi pusat
Pusaran Maut, namun pecahan perahu itupun masih terseret ke tengah lagi. Maka ketika dia
melihat sebuah balok besar lewat, diapun meninggalkan pecahan perahu itu dan meloncat ke arah
balok besar. Ketika dia tiba di atas balok, dia mendengar suara hiruk - pikuk dan ternyata perahu
yang tadi dipakai meloncat telah "dimakan" pusaran air dan hancur beran-takan. Kini dengan
perimbangan badan yang luar
biasa, dia berdiri di atas balok yang bergoyang-go-yang. Hujan angin membuat
penglihatannya kabur dan dia tidak dapat melihat terlalu jauh. Dia men-cari - cari dengan pandang
matanya kalau - kalau terdapat perahu untuk dipakai menyelamatkan diri dari tempat mengerikan
itu, karena diapun tidak mungkin dapat terlalu lama bertahan di atas balok itu. Kalau tidak ada
tempat lain yang lebih aman, kalau sampai dia tergelincir ke dalam air dan ter-seret ombak, akan
celakalah dia !
(Bersambung jilid ke XV.)
xx—» DARAH PENDEKAR «—xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XV
* * *
TIBA-TIBA dia mengeluarkan suara tertahan sa-king girangnya. Dia tidak tahu betapa Pek
Lian sejak tadi menderita ketakutan yang amat hebat. Dara ini dalam keadaan tertotok dipanggul
dan di-bawa berkelahi mati - matian, lolos dari lubang ja-rum di antara sambaran senjata tiga
orang raja ba-jak yang mengeroyok raja iblis itu. Kemudian, se-karang dibawa berloncatan
berjuang memperta-hankan nyawa diancam kematian mengerikan di Pusaran Maut! Ingin rasanya
Pek Lian menjerit dan menangis, akan tetapi dara ini menguatkan ha-tinya dan hanya
memejamkan mata melihat ombak menggunung yang setiap saat seperti hendak me-nelannya.
Beberapa kali mukanya disiram air laut dan mulut, hidung dan matanya terasa asin dan pedas
sekali. Ketika raja iblis itu mengeluarkan suara tertahan dengan girang, Pek Lian membuka
matanya dan dara inipun melihat bayangan sebu-ah perahu yang hanya nampak samar - samar
dalam cuaca remang - remang itu. Perahu itu masih agak jauh, dan Raja Kelelawar
memperhitungkan bahwa untuk mencapai perahu itu dia membutuhkan tiga atau empat kali
loncatan lagi. Balok tempat dia berdiri sudah mulai berputaran kencang. Raja Iblis itu memandang
ke sekeliling dan tiba - tiba di de-kat balok yang dipijaknya itu tersembul dua sosok mayat.
Otaknya bekerja cepat sekali. Tangan ka-nannya mencengkeram rambut kepala dua mayat itu dan
menariknya ke atas. Karena ditambah be-ban dua sosok mayat itu, balok yang dipijaknya
tenggelam, akan tetapi raja iblis itu telah memper-gunakan balok itu untuk mengenjot tubuhnya
me-loncat ke arah perahu di depan sambil melempar-kan sebuah di antara dua mayat yang
dicengkeram-nya. Mayat itu menimpa permukaan air dan kedua kaki Raja Kelelawar menyusul
cepat, hinggap di atas punggung mayat itu dan diapun melontarkan mayat ke dua ke depan,
meloncat lagi dan dia sudah hinggap lagi di atas mayat ke dua. Kini dia sudah makin mendekati
perahu itu, tinggal dua kali loncatan lagi. Akan tetapi tidak ada benda yang mengapung dekat,
sedangkan tentu saja dia tidak mungkin dapat berdiri terlalu lama di atas mayat itu yang
merupakan benda yang tidak tahan tera-pung. Sekarangpun mayat itu telah mulai turun dari
permukaan air dan kedua kakinya sudah te-rendam ! Sekali ini, Raja Kelelawar benar-benar
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
merasa ngeri. Tidak ada jalan lain lagi, pikirnya cepat. Sebelum dia terendam terlalu dalam sehingga
sukar untuk meloncat, dia sudah mengenjot tubuhnya lagi menggunakan mayat itu sebagai
lan-dasan, dan tubuhnya melayang ke depan. Karena tidak ada apa-apa yang dapat dijadikan
tempat mendarat, kini dia melemparkan tubuh Pek Lian ke atas air setelah terlebih dahulu
menotoknya sehingga jalan darah dara itu pulih kembali.
"Byuuurrr !!" Tubuh Pek Lian jatuh ke air
dan tiba-tiba kaki Raja Kelelawar telah mengin-jak punggungnya. Nona itu gelagapan dan
me-ronta, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya tertekan kuat dan diapun tenggelam. Kiranya tubuhnya
dipakai landasan meloncat oleh Raja Kelelawar yang kini meloncat ke arah perahu yang telah
dekat. Akan tetapi oleh karena ketika dipakai landasan melon-cat, tubuh Pek Lian tenggelam dan
meronta, maka loncatan Raja Kelelawar itu tidak dapat mencapai sasaran dan tubuhnya melayang
turun masih ku-rang tiga meter dari perahu itu! Kalau orang lain yang meloncat seperti itu, tak
dapat dicegah lagi tentu tubuhnya akan terjatuh ke dalam air. Akan tetapi Raja Kelelawar
bukanlah manusia biasa, melainkan orang yang telah memiliki tingkat ke-pandaian yang amat
hebat. Maka ketika tubuh-nya melayang turun, dia lalu mengeluarkan sa-buknya, melolos sabuk
itu dan dihantamkannya sa-buk itu ke atas permukaan air laut. Terdengar bunyi ledakan keras
seperti cambuk yang dipukulkan dan ketika ujung sabuk itu mengenai permukaan air, terjadilah
gelombang besar dan tubuhnya sendiri dapat berjungkir balik ke atas sampai mende-kati perahu,
kurang satu setengah meter lagi! Kini sabuknya kembali bergerak menyambar pinggiran perahu
dan sekali dia membetot, tubuhnya melun-cur ke arah perahu. Dengan gerakan yang istime-wa,
akhirnya Raja Kelelawar itu berhasil mendarat di atas dek perahu itu. Hatinya lega bukan main.
Akan tetapi ketika dia menoleh ke arah air di ma-na tadi dia melemparkan tubuh Pek Lian,
ternyata nona itu sudah tidak nampak lagi. Akan tetapi raja iblis ini tidak memperdulikannya lagi.
Dia lalu mendayung perahunya dan menyelamatkan dirinya dengan membawa perahu itu
menempuh ombak dan badai, menjauhi Pusaran Maut.
Badai dan ombak makin menggila dan agaknya keadaan ini malah dapat menyelamatkan
sebagian dari para anak buah bajak. Perahu - perahu itu ada yang ditiup badai dan dibawa ombak
menjauhi Pusaran Maut, walaupun banyak pula perahu yang diseret tenggelam berikut para
pemumpangnya. Tiga orang raja bajak itu dapat menyelamatkan diri mereka dan dengan lesu
mereka semua ber-kumpul di pulau Raja Laut, menghitung anak buah masing - masing dan
ternyata sepertiga bagian dari anak buah mereka lenyap menjadi korban Pu-saran Maut. Sekali ini,
bukan seorang perawan suci yang mereka persembahkan kepada Dewa La-ut, melainkan anak
buah mereka sendiri yang pu-luhan orang jumlahnya. Diam - diam mereka menyalahkan peristiwa
tiru. kepada Raja Kelelawar, akan tetapi di samping itu merekapun harus meng-akui bahwa Raja
Kelelawar itu sungguh luar biasa sekali ilmunya dan memang pantas menamakan diri sebagai
keturunan raja iblis itu. Biarpun dia masih terpilih sebagai Raja Lautan, namun sekali ini
pengangkatannya sebagai raja diawali peristiwa yang amat tidak menyenangkan, membuat Tunghai
- tiauw berhati - hati dan cepat menyusun ke-kuatan anak buahnya lagi dengan mengambil
ang-gauta - anggauta baru.
* * *
Pek Lian mengeluh ketika punggungnya diin-jak oleh kala Raja Kelelawar. Kekuatan yang
men-dorongnya membuat tubuhnya tenggelam. Ia gela-gapan, meronta dan akhirnya dapat
muncul kem-bali di permukaan air laut. Untung bahwa ia su-dah keluar dari arus berputar yang
dibawa oleh Pusaran Maut. Sekuat tenaga ia berenang menja-uhi walaupun seluruh tubuh,
terutama punggung-nya, terasa nyeri - nyeri. Akkhirnya ia berhasil meraih sebuah papan yang
cukup lebar dan yang lewat di dekatnya. Agaknya papan itu adalah be-kas pintu kamar perahu. Ia
lalu naik dan merebah-kan diri di atas papan itu, lalu dibiarkannya ombak membawa papan itu ke
mana saja. Ia sudah keha-bisan tenaga dan ia memasrahkan dirinya kepada kekuasaan yang
menggerakkan air laut luas itu. Dan iapun terlelap, setengah pingsan, tak tahu apa - apa lagi.
Fajar telah menyingsing. Matahari yang lembut sinarnya, kemerahan dan bulat besar,
muncul dari permukaan air laut sebelah timur. Sudah tidak ada bekasnya lagi hujan badai
semalam. Langit nam-pak bersih cerah, dengan awan - awan putih kebi-ruan menghias di!sanasini,
nampak begitu tenang tenteram penuh damai yang mengamankan hati. Tiada angin
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menggerakkan awan - awan tipis itu. Burung camar beterbangan di udara. Sepagi itu mereka
belum sibuk mencari ikan, agalknya masih bermalas - malasan membiarkan dirinya melayang dan
meluncur berkeliling di udara. Sayap mereka hanya bergerak sekali - kali saja, dan hanya dikembangkan
untuk menjaga keseimbangan tubuh ketika meluncur di langit yang kosong. Ekornya
kadang-kadang bergerak bersama kepala, agaknya untuk mengemudikan penerbangan mereka
yang seenak-nya itu. Kadang - kadang mereka mengangkat ke-pala agak tinggi dan mengeluarkan
teriakan, mung-kin memanggil pacarnya atau temannya. Namun gerakan tubuh yang meluncur
berkeliling itu, teri-akan sekali - kali yang parau itu, sama sekali tidak mengganggu keheningan
yang terasa menyelimuti dunia di saat itu. Mereka bahkan menjadi sebagi-an dari kesunyian dan
keheningan itu, dan tanpa mereka keheningan itu takkan lengkap agaknya.
8
Matahari pagi menciptakan sebuah lorong emas di permukaan air laut yang tenang,
sebuah lorong emas memanjang yang kadang - kadang dilintasi bayangan ikan yang tersembul
dari permukaan air, nampak siripnya lalu menyelam kembali mening-galkan lingkaran - lingkaran
di permukaan air. Makin lama, lorong keemasan itu berobah semakin terang dan akhirnya terganti
menjadi lorong perak yang mulai menyilaukan mata. Pada saat itu orang sudah tidak lagi berani
memandang ke arah mata-hari yang telah berobah menjadi bola perak yang bernyala - nyala.
Pek Lian mengeluh, membuka matanya dan sejenak ia bingung. Akan tetapi, begitu terasa
be-tapa punggung dan pundaknya nyeri, dan menge-nal papan di mana ia rebah, ia segera
teringat akan keadaannya dan iapun memaksa tubuhnya untuk bangkit duduk. Laut tenang sekali
sehingga papan yang ditumpanginya itu hampir tidak bergerak. Ia memandang ke sekeliling. Air
dan air biru yang mulai berkilau tertimpa cahaya perak matahari. Ketika menoleh ke arah timur,
matanya menjadi silau dan cepat - cepat ia membuang muka. Ia ti-dak tahu sampai di mana
papan itu membawanya, dan di sekitarnya yang nampak hanya air laut sa-ja. Perutnya terasa
perih dan lapar bukan main.
Ketika ia melihat sebatang dayung di dekatnya, ia merasa girang bukan main dan cepat
mengam-bilnya. Ia tidak ingat lagi kapan ia menemukan
dayung ini, mungkiri semalam ketika ia naik ke papan ini, ia tidak tahu lagi. Yang penting,
da-yung ini akan dapat membawanya ke darat! Ia harus cepat - cepat menemukan daratan kalau
ia ingin hidup karena tidak mungkin ia dapat berta-han lama di atas papan ini tanpa makan dan
mi-num, sedangkan tubuhnya masih lelah dan nyeri semua rasanya. Ia tahu bahwa ia berada di
laut timur, maka ia tidak ragu lagi bahwa daratan tentu berada di barat, arah sebaliknya dari
matahari. Maka iapun mulai mendayung ke arah yang seba-liknya dari matahari terbit, ke barat.
Punggung dan pundaknya terasa nyeri ketika mendayung, na-mun ia memaksa diri dan
mendayung dengan gerak-an tetap, tidak berani terlalu mengerahkan tenaga karena hal ini akan
cepat menghabiskan tenaganya. Karena air laut amat tenang, maka papannya dapat meluncur
dengan kelajuan yang cukup membesar-kan hati.
Akan tetapi kebesaran hatinya mulai mengecil dan harapannya makin menipis setelah
matahari naik tinggi dan sinarnya menimpa ubun-ubun kepalanya, kedua lengannya sudah pegal -
pegal senerti hendak patah-patah rasanya, punggung dan pundaknya kiut - miut rasanya, namun
belum juga nampak adanya daratan atau pulau. Perutnya sudah terasa lapar sekali dan tabuhnya
lemas. Tenggo-rokannya kering. Tubuh terasa setengah lumpuh dan matanya mulai berkunangkunang.
Pek Lian mengeluh dan menghentikan gerakan tangannya yang mendayung. Ia
memejamkan kedua matanya, merasa bahwa kematian agaknya tak lama lagi ten-tu datang
menjemputnya. Dari jauh ia seperti me-lihat wajah ayah dan ibunya. Mereka datang hen-dak
menjemputnya ! Ayahnya nampak berpakaian serba putih, jenggotnya yang panjang dan putih itu
berkibar tertiup angin dan ibunya yang telah tiada itu nampak masih muda dan cantik sekali.
Mereka berdua itu mengulurkan tangan kepada
nya dan iapun tidak ingat apa - apa lagi !
Samar - samar dilihatnya lagi ayahnya yang ber-pakaian putih, bersama ibunya yang juga
berpa-kaian serba putih. Mereka itu lewat atau lebih tepat melayang agak jauh dari tempat ia
rebah. Mereka meninggalkannya.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Ayaaahhh ! Ibu !" Pek Lian mengeluh
dan memanggil lalu tersadar. Ia membuka matanya.
Bayangan ayah bundanya sudah tidak
nampak lagi. Dan ia mendapatkan dirinya berada
di dalam sebuah kamar kecil, rebah di atas sebuah
dipan. Ia terbawa oleng ke kanan kiri dan telinganya
dapat mendengar suara hempasan air memukul
dinding kamar. Ia berada dalam sebuah bilik
perahu ! Ketika menoleh ke kiri, ia melihat seorang
gadis berpakaian serba putih duduk di atas sebuah
kursi kayu, memejamkan kedua matanya, agaknya
tertidur atau beristirahat. Ketika Pek Lian meneliti
dirinya, ternyata pundak kirinya telah dibalut dan
terasa olehnya betapa punggung dan pundaknya hangat dengan obat lumur, juga ada
tercium bau obat olehnya. Sekalipun tubuhnya masih penat-pe-nat, akan tetapi punggung dan
pundaknya sudah tidak terasa nyeri lagi ketika digerakkan. Ia meman-dang ke sekeliling
memeriksa keadaan dalam bilik itu. Di atas meja kecil terdapat bermacam - macam gelas obat,
agaknya obat - obat untuknya. Akan tetapi tiba - tiba hidungnya mencium bau yang aneh. Ia
menjadi waspada dan ketika ia mengenal bau harum dupa yang biasa dipakai orang untuk
menyembahyangi orang mati, alisnya berkerut. Kurang ajar ! Agaknya orang - orang dalam perahu
ini menganggap bahwa ia sudah mati! Akan tetapi, pada saat itu timbul gagasan yang membuat
dara ini hampir tertawa cekikikan. Kalau ia dianggap sudah mati, biarlah ia akan membuat mereka
semua itu ketakutan! Tentu mereka itu akan ngeri melihat ia hidup kembali ! Ia melirik ke arah
gadis yang terkantuk-kantuk di atas kursi dan tersenyum. Orang pertama yang akan melihat
"mayat hidup" adalah gadis ini. Ia membayangkan betapa gadis itu akan terkejut dan ketakutan
setengah mati, ter-kencing - kencing!
"Ehem! Ehem!!" Ia terbatuk-batuk sambil duduk menghadapi gadis itu.
Benar saja. Gadis itu terbangun dari tidurnya. Akan tetapi bukan gadis itu yang terkejut
ketakutan melihat mayat hidup, melainkan Pek Lian sen-diri yang kecelik karena gadis itu sama
sekali tidak kelihatan takut, bahkan girang. Gadis itu lalu me-loncat mendekati dan berusaha
mencegahnya un-tuk duduk terlalu lama.
"Aihh nona sudah siuman kembali ?
Dan eh, harap nona jangan banyak bergerak
dulu, harap suka rebah saja "
Akan tetapi Pek Lian tidak mau rebah kembali. Sambil memandang tajam iapun bertanya,
"Di mana aku berada ? Dan siapakah engkau ?
Sebelum gadis itu menjawab, pintu bilik perahu itu terbuka dan muncullah seorang gadis
cantik je-lita yang berperawakan langsing. Juga gadis ini berpakaian serba putih, terbuat dari pada
sutera halus. Wajah yang cantik itu tersenyum ramah ke pada Pek Lian.
"Enci Lian berada di perahu kami. Lupakah enci kepadaku ? Kami adalah kaum Tai-bong-pai
dan enci pernah membantuku ketika aku sedang diobati oleh keluarga keturunan Tabib Sakti
bebe-rapa bulan yang lalu."
"Ahli engkauadik Kwa Siok Eng ?"
Pek Lian berkata lirih, kini teringat kepada gadis remaja yang cantik itu, yang dahulu
menderita sakit lumpuh dan diusung dalam keranjang pada tengah malam oleh anak buah Tai -
bong - pai, di-antar oleh nyonya Kwa tokoh Tai - bong - pai, ibu dari gadis ini.
"Enci Pek Lian, aku sangat berterima kasih ke-padamu atas budimu yang besar itu." Siok Eng
menjura dengan hormat, kemudian mendekati pem-baringan dan dengan halus ia membujuk agar
Pek Lian suka rebah kembali karena gadis itu sedang berada dalam pengobatan. "Lukamu yang
berada di sebelah dalam cukup gawat, enci, maka engkau perlu beristirahat dan mengalami
pengobatan yang teliti."
"Terima kasih, adik Eng. Kalau tidak bertemu
dengan perahumu eh, bagaimana engkau daKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
pat menolongku dan dengan siapa saja engkau berlayar
ini ? Dan hendak ke mana ?"
Siok Eng tersenyum dan nampak deretan gigi yang putih dan rata seperti rangkaian mutiara.
Diam - diam Pek Lian harus mengakui bahwa da-ra ini juga amat cantik jelita ! Hanya sayangnya,
wajah yang rautnya manis ini nampak kepucatan seperti wajah orang - orang Tai - bong - pai
pada umumnya. Siok Eng merasa geli mendengar hujan pertanyaan itu.
"Enci Lian, aku sedang pergi hendak mencari
Ban - kwi - to "
"Ban - kwi - to ?" Pek Lian bergidik, teringat
bahwa Ban - kwi - to (Pulau Selaksa Setan) adalah tempat tinggal orang - orang yang
amat lii hai dan kejam seperti Bouw Mo - ko dan Hoan
Mo - li, kakek nenek cabul tak tahu malu yang gai nas dan amat jahat itu.
Siok Eng mengangguk. "Dengan ditemani ti-gabelas orang dayang dan ahli-ahli perahu, aku
berlayar mencari Ban - kwi - to dan kebetulan seka0 li aku melihat engkau rebah pingsan di atas
panan itu. Aih, betapa besar rasa terima kasihku kepada Dewa Lautan yang telah mempertemukan
kita se-hingga aku berkesempatan untuk membalas segala budi kebaikanmu dahulu, enci Lian." Ia
berhenti sebentar dan menatap wajah Pek Lian, lalu melan-jutkan dengan pertanyaan, "Akan
tetapi, sungguh tak ada habisnya aku berheran bagaimana engkau tahu - tahu berada di tengah
lautan, di atas sebuah papan pintu, dalam keadaan terluka dan kehabisan tenaga, enci Lian ?"
Pek Lian menarik napas panjang. "Ah, agak panjang ceritanya, adik Eng. Aku tertawan oleh
anak buah Raja Lautan, hendak dijadikan korban Pusaran Maut agaknya."
"Ah, bukan main! Engkau terpilih menjadi korban Dewa Laut di Pusaran Maut ? Tentu
mereka itu kembali mengadakan pemilihan Raia La-utan yang diadakan tiga tahun sekali, bukan ?
Dan bagaimana engkau dapat lolos dari bahaya maut seperti itu ?"
"Terjadi keributan dengan munculnya Raja Kelelawar
"
"Ihhh ......!" Siok Eng membelalakkan mata-nya yang bening. "Benarkah raja iblis itu muncul
di sana ? Di pulau Raja Lautan ?"
"Tidak, tahu-tahu dia muncul di antara pe-rahu-perahu, hendak menundukkan tiga raja bajak
laut. Terjadi perkelahian hebat dan perahu-perahu itu tanpa mereka sadari telah terseret oleh
Pusaran Maut. Semua orang nyaris tewas dan aku sendiri akhirnya dapat menyelamatkan diri dan
menumpang pada papan itu " Pek Lian tidak
mau menceritakan semua pengalamannya yang mengerikan, juga memalukan. Mana
mungkin ia menceritakan betapa ia ditawan Raja Kelelawar, dipanggul dan pinggulnya dielus - elus
dan dicubit, kemudian betapa ia dijadikan batu loncatan oleh raja iblis itu yang hendak
menyelamatkan diri ?
Siok Eng menarik napas panjang. "Ah, ternyata para dewa masih melindungimu, enci Lian!
Lolos dari tangan mereka sungguh merupakan keajaiban, dan lolos dari Pusaran Maut juga
merupakan suatu kemujijatan."
"Dan dalam keadaan hampir mati bertemu de-nganmu merupakan berkah yang luar biasa
besar-nya, adik Eng. Sebenarnya, orang seperti engkau ini mau apa pergi ke Pulau Selaksa Setan
yang menjadi sarang manusia-manusia iblis yang amat kejam itu ?"
Siok Eng tersenyum. "Biarkan aku memeriksa lagi luka-lukamu, enci, nanti kuceritakan
semua-nya kepadamu." Dara itu lalu membuka balut pun-dak Pek Lian, memeriksa dan memijat
sana - sini dengan jari - jari yang ahli.
"Engkau sekarang telah menjadi seorang ahli pengobatan yang hebat, Eng-moi," ia memuji.
"Dan tentu engkau sekarang sudah sembuh sama sekali dari penyakitmu dahulu itu, bukan ?"
Dara yang usianya baru kurang lebih tujuhbelas
tahun itu mengangguk. "Ya, aku sudah sembuh
berkat pertolongan locianpwe Kam Song Ki "
"Apa ? Kaumaksudkan kakek murid ke tiga dari Raja Tabib, yang amat hebat ilmu ginkangnya
itu ?" Pek Lian berseru dan terbayanglah wa-jah yang tampan dari Kwee Tiong Li, ketua lembah
pemimpin para patriot itu. Biarpun dia menye-but nama kakek itu, namun sesungguhnya yang
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ter-bayang olehnya adalah pemuda itu yang pergi bersama si kakek. "Di manakah adanya kakek
itu sekarang ?"
Siok Eng menggeleng kepalanya. "Entahlah, setelah dia mengobati aku, bersama muridnya
dia lalu pergi meninggalkan tempat kami, entah ke mana. Apakah enci mengenal mereka ?"
Pek Lian mengangguk tanpa menjawab. Wajah yang tertimpa sinar lampu itu nampak
demikian cantiknya dan karena lampu itu terbungkus kertas warna merah sehingga sinarnya
kemerahan maka kepucatan wajahnya tertutup oleh sinar itu. Di lain fihak, Siok Eng yang
dipandang seperti itu oleh
Pek Lian, menjadi agak heran dan malu-malu. Ia melanjutkan pengobatannya, memberi obat
lumur ke pundak dan punggung Pek Lian sambil berce-rita.
"Engkau tadi bertanya mengapa aku pergi mencari Pulau Selaksa Setan ? Sesungguhnya
aku mencari tempat tinggal orang - orang beracun dari pulau itu adalah untuk mencari Hek - kui -
hwa (Bunga Mawar Hitam atau Bunga Setan Hitam) yang berdaun putih. Menurut ayahku, bunga
itu hanya tumbuh di sana dan bunga itulah yang dapat menjadi obat untuk membantuku
menyempur-nakan latihan ilmu keturunan Tai - bong - pai. De-ngan bantuan racun bunga itu,
yang dalam hal umum mengandung racun yang mematikan dan tidak ada obat penawarnya, maka
aku akan dapat menyalurkan sinkang untuk membuka jalan darah yang paling rumit dan gawat,
yaitu Kim - nauw-hiat di ubun - ubun kepala. Tanpa dapat menem -bus jalan darah itu, ilmu
keturunan kami tidak akan danat dikuasai dengan sempurna. Akan tetapi memang banyak
bahayanya menyempurnakan ilmu itu sehingga ayah telah melarangku. Akan tetapi aku nekat
karena ingin sekali mewarisi ilmu itu dan akibatnya engkau telah tahu sendiri. Aku menjadi lumpuh
dan hampir saia mati. Melihat kenekatan-ku. setelah aku sembuh, ayah membuka rahasia ini, yaitu
bahwa kalau aku bisa memperoleh Hek-kui-hwa dari Pulau Ban-kwi-to, maka aku akan dapat
berhasil mewarisi ilmu itu. Sampai kini, hanya ayah seorang saja yang telah menguasai ilmu keturunan
itu dengan sempurna."
Pek Lian mendengarkan dengan hati penuh ka-gum. Semuda itu, Siok Eng telah mempelajari
ilmu yang sedemikian hebatnya dan semangat dara ini demikian besar sehingga berani menempuh
ba-haya dengan mencari pulau yang ditakuti oleh semua tokon kang-ouw itu. Mereka melakukan
pe layaran sampai seminggu lamanya. Karena diobati dengan tekun dan dibantu pengerahan
tenaga sinkang dari Siok Eng, maka kesehatan Pek Lian pulih kembali.
Setiap kali melihat cara Siok Eng melakukan siulian, Pek Lian merasa heran sekali. Nona dari
Tai - bong - pai itu kalau melakukan samadhi, sela-lu dikelilingi berpuluh dupa wangi yang
membara sehingga asap hio itu menyelimuti seluruh tubuh-nya. Akhirnya ia tidak dapat menahan
diri dan bertanya tentang hal ini kepada Siok Eng.
"Biasanya orang bersamadhi sebaiknya memi-lih tempat di mana hawa udaranya bersih dan
te-nang, akan tetapi mengapa justeru engkau meng-gunakan begitu banyak dupa yang asapnya
dapat menyesakkan pemapasan ?"
Siok Eng tersenyum mendengar ucapan itu. "Enci yang baik, hio - hio yang kubakar ini
adalah dupa khusus buatan kami kaum Tai - bong - pai. Setiap batang hio mengandung sari obat
penguat urat-urat dan jalan darah. Siapa saja dari kami yang mulai mempelajari sinkang
perguruan Tai-bong - pai akan menggunakan dupa - dupa itu se-bagai landasan atau dasar dari
ilmu kami yaitu Tenaga Sakti Asap Hio yang membuat badan dan keringat kami berbau harum
seperti hio."
Diam - diam Pek Lian bergidik. Keringat yang berbau harum seperti hio mengingatkan orang
akan iblis dan siluman. Hanya iblis dan siluman sajalah agaknya yang keringatnya berbau hio.
Akan tetapi tentu saja ia tidak menyatakan isi hati itu melalui mulut. "Sudah lamakah engkau
melatih ilmu ra-hasia khusus Tai - bong - pai ?"
"Tentu saja sejak aku masih kecil. Akan tetapi ilmu - ilmu yang sukar hanya dapat dipelajari
se-telah dewasa."
Pek Lian mengangguk-angguk dan meman-dang kagum. "Hemm, engkau tentu sekarang
telah menjadi lihai bukan main."
Siok Eng menggeleng kepala dan berkata me-rendah, "Masih belum, enci Lian. Aku masih
ha-rus dapat menembus pintu Kim - nauw - niat di ubun - ubun itu, baru ada kemungkinan aku
berha-sil baik."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Seorang dayang kepercayaan yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu dan melihat
betapa nonanya selalu merendah, menjadi tidak sabar. "Nona kami memang pandai merendah!
Sebenar-nya nona kami adalah nomor tiga tingkat kepandaiannya di dalam perguruan kami.
Nomor satu tentu saja adalah pangcu (ketua), kemudian nomor dua adalah siauw - ya (tuan
muda) yaitu kakak dari nona kami, dan nomor tiga adalah nona Kwa Siok Eng. Toa - hujin saja
kalah oleh nona !"
Mendengar ini, Siok Eng hanya mendengus dan menyuruh dayangnya berhenti bicara
sedangkan Pek Lian mendengar dengan hati penuh kagum. Ia pernah melihat betapa ibu nona ini
memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa lihainya. Jadi, kalau Siok Eng sudah dapat melampaui
ibunya, maka sukar dibayangkan betapa hebatnya ilmu kepan-daian nona remaja ini! Padahal,
Siok Eng kelihatan begitu lemah lembut dan halus.
Malam itu gelap. Bulan tua belum lama mun-cul di langit timur, hanya memberi cahaya yang
remang - remang. Akan tetapi banyak bintang ber-munculan di angkasa. Setiap kali angkasa tiada
bidan atau yang ada hanya bulan sepotong yang remang - remang, pasti bintang - bintang
bermun-culan. Dua orang gadis itu berada di atas geladak perahu dan melihat - lihat bintang yang
memang nampak cemerlang indah seperti ratna mutu ma-nikam yang menghias langit - langit
beludru hitam kebiruan yang lembut dan maha luas.
"Di manakah adanya Pulau Selaksa Setan itu, Eng-moi? Apakah masih jauh dari sini?" tanya
Pek Lian. Ia sendiri merasa heran mengapa ia kini betah tinggal di sebuah perahu. Pelayaran ini
terasa
indah dan menyenangkan baginya, mungkin hal ini karena baru saja ia mengalami
pelayaran yang penuh bahaya dan sama sekali tidak menyenang-kan hatinya. Kini ia merasa
begitu aman tenteram dan penuh damai di perahu milik Tai - bong - pai itu. Apa lagi di situ
terdapat Siok Eng yang amat ramah dan halus budi.
"Entahlah, enci Lian. Kami sendiri belum per-nah melihatnya. Akan tetapi aku telah
mempela-jari keadaan pulau itu dari keterangan yang dapat kukumpulkan. Menurut penyelidikanku
itu, Pulau Selaksa Setan tidak nampak dari jauh karena se-lalu diliputi kabut tebal sehingga
sukarlah dite-mukan dan orang luar tidak dapat melihat keada-annya. Mungkin sekali kabut itu
tercipta dari ha-wa beracun yang memenuhi pulau itu. Kabar-nya, semua benda, binatang,
tumbuh - tumbuhan dan apa saja yang berada di sana mengandung ra-cun. Juga kabarnya,
menurut para nelayan yang pernah melihatnya, pulau itu dapat berpindah-pin-dah, mengikuti arus
air laut."
"Ih, kenapa bisa begitu ?" Pek Lian bertanya heran mendengar ada pulau yang bisa pindahpindah.
"Itulah sebabnya maka pulau itu dinamakan Pulau Selaksa Setan," kata Siok Eng sambil
terse-nyum. "Bukan hanya karena beracun, melainkan juga karena dapat berpindah-pindah
seolah-olah ada setan - setan yang mendorong pulau itu pin-dah tempat."
"Tapi tapi, mana mungkin dongeng tahyul
seperti itu dapat terjadi sungguh - sungguh ?"
"Aku sendiri tidak percaya ada setan mendo-rong - dorong pulau, enci Lian. Akan tetapi, andaikata
benar terjadi pulau itu pindah - pindah tempat, ada kemungkinannya. Mungkin saja tanah
dari pulau itu di bagian bawahnya tidak menjadi satu dengan dasar laut, hanya menempel saja.
De-ngan demikian, apa bila ada terjadi arus yang kuat, bukan tak boleh jadi pulau itu tergeser dari
tempatnya. Bukankah kemungkinan itu besar dan masuk akal, enci Lian ?"
Pek Lian memandang kagum. "Adik Eng, eng-kau sungguh membuat hatiku kagum. Engkau
pandai dan cerdik, lihai ilmu silatmu dan cantik jelita lagi. Alangkah bahagianya pemuda yang
dapat menyuntingmu kelak. Dan aku yakin sebentar lagi ilmumu akan melebihi ayahmu."
"Aihh, cici pandai benar memuji orang! Siapa pula sudi mengawini gadis yang pernah lumpuh
sepertiku ini ?" Siok Eng berkata dengan mu-ka kemerahan. Akan tetapi di sudut hatinya ia
bergembira sekali. Terbayang di matanya wajah seorang pemuda yang jangkung dan tampan
sekali, pemuda yang pernah menyelamatkannya, bahkan yang hampir saja mengorbankan
nyawanya sendiri demi penyakit lumpuh yang dideritanya. Pemuda itu mengobati dirinya yang
waktu itu dalam kea-daan telanjang bulat. Seorang pemuda yang tam-pan, gagah perkasa, dan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
berbudi. Bu Seng Kun! Hatinya ingin sekali bertemu dengan pemuda itu, untuk menyatakan rasa
terima kasihnya. Akan te-tapi, apa bila ia teringat bahwa ia pernah bertelan-jang di depan pemuda
itu, ia merasa malu sekali dan sukar untuk membayangkan bagaimana ia akan dapat berhadapan
muka dengan pemuda itu.
"Heii, itu di sana ada ikan besar terapung! Tu-kang dayung! Tangkaplah ikan itu, kita adakan
pesta besar malam ini!" Tiba - tiba terdengar se-man seorang dayang yang menudingkan telunjuknya
ke sebelah kanan perahu mereka.
Sibuklah anak buah perahu itu menangkap ikan yang besarnya seperti manusia dewasa itu.
Ikan meronta - ronta dalam jala. Dua orang gadis itu cepat mendekati dan memeriksa ikan yang
dari ja-uh nampak kebiruan itu. Dan memang benar. Ikan itu segala-galanya berwarna biru.
Sisiknya, ma-tanya, dagingnya dan segalanya.
"Awas, lepaskan dia! Ikan itu beracun!" kata Siok Eng dan mereka lalu, melepaskan kembali
ikan itu yang segera menyelam ke dalam air. "Ah, kita sudah dekat dengan daerah Ban - kwi - to !
Agak-nya tidak sia - sia jerih payah kita berlayar sekian lamanya. Ikan itu menurut keterangan
adalah satu di antara penghuni perairan di sekitar pulau. Kulihat tadi dia terluka di bagian
kepalanya, maka tersesat ke sini." Siok Eng lalu memanggil seorang pembantunya yang ahli dalam
memeriksa arus ge-lombang. Kakek setengah tua yang juga menjadi kepala bagian pendayung itu
mengadakan peme-riksaan dengan teliti. Dia lalu menunjukkan arah arus air yang menuju ke kiri.
Sementara itu, bu-lan tua sudah naik semakin tinggi. Perahu mereka terus dilajukan ke arah kiri
dan semua orang ber-sikap tegang namun waspada karena nona mereka sudah mengatakan
bahwa mereka telah berada de-kat dengan tempat yang mereka cari.
"Nona, lihatlah! Air laut ini warnanya keme-rahan seperti darah !" kata seorang dayang.
"Dan baunya busuk sekali!" kata Pek Lian yang juga berada di tepi geladak perahu bersama
Siok Eng.
Siok Eng juga meneliti ke arah air dan cuping hidungnya yang tipis itu berkembang - kempis.
Ti-ba - tiba ia berkata, suaranya mengandung kete-gangan dan kegembiraan, "Hati - hati, agaknya
daerah ini sudah termasuk perairan Ban - kwi - to. Air laut di sini sudah beracun. Tutup hidung
kali-an dengan saputangan, udaranya juga mengan dung racun. Nanti kuberi obat penawar."
Setelah nona itu mengeluarkan obat penawar berupa pel - pel putih kecil yang dibagi -
bagikan kepada anak buahnya, juga Pek Lian disuruh me-nelan sebutir, mereka tidak perlu lagi
melindungi pernapasan dengan saputangan. Akan tetapi ka-rena bau air laut amat busuk, para
dayang itu ber-bangkis - bangkis dan ada yang mau muntah.
Pek Lian bergidik ngeri. Sukar untuk dapat membayangkan bagaimana ada manusia dapat
hi-dup di tempat seperti ini. Dan iapun semakin ka-gum kepada Siok Eng. Ia tahu bahwa kaum
Tai-bong - pai adalah ahli - ahli racun, akan tetapi me-lihat seorang dara remaja seperti Siok Eng
bersikap sedemikian tenangnya menghadapi tempat yang amat berbahaya itu, ia merasa kagum
sekali. Ha-tinya terasa besar dan gembira untuk menghadapi petualangan bersama seorang kawan
seperti puteri ketua Tai - bong - pai ini.
Makin dalam mereka memasuki daerah itu, makin keras bau busuk dari air laut merah. Akan
tetapi tiba - tiba saja mereka telah melewati air berbau busuk itu, akan tetapi sebagai gantinya,
airnya kini berobah kehijauan dan baunya juga amat kecut, seperti bau keringat yang sudah lama.
"Ihh, seperti bau keringatmu, A - cin !' seorang dayang berolok kepada temannya.
"Sialan ! Keringatku tidak bau seperti ini, A-cui. Keringat seperti ini hanya patut dimiliki oleh
laki-laki !"
"Hi - hik, ketahuan sekarang! Si A - cin agaknya sudah hafal akan bau keringat laki - laki!"
seorang dayang lain menggoda. "Tentu keringat pacarnya
seperti ini baunya. Wahhhh I"
"Lancang mulut! Kalau keringat pacarku se-perti ini baunya, dalam waktu sehari saja mana
aku kuat ?" kata pula A - cin dan semua dayang tertawa. Pek Lian ikut tersenyum. Para dayang itu
agaknya, sebagai orang - orang Tai - bong - pai, juga memiliki nyali yang besar sehingga di
tempat seperti itu masih sempat berkelakar. Memang bau air laut amat kecut, mirip bau keringat.
"Hei, kalian tenanglah!" tiba-tiba Siok Eng berkata. "Dan simpan kelakar kalian itu. Ketahuilah,
kita sudah dekat! Ayah pernah bercerita bah-wa air laut yang merah berbau busuk itu
merupa-kan perbatasan, dan kalau sudah tiba di daerah air laut kehijauan yang berbau masam, itu
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tanda-nya bahwa pulau itu akan kelihatan. Kita perhati-kan saja, menurut ayah air laut akan
berobah lagi kebiruan dan bau kecut itu akan terganti bau wa-ngi dan pulau itu tentu akan
kelihatan di depan kita."
Semua orang termasuk Pek Lian, kini dengan serius memperhatikan keadaan sekeliling. Dan
memang benar seperti yang dikatakan oleh Siok Eng tadi, air laut makin lama makin berobah warna
menjadi kebiruan dan bau yang masam tadi mulai berobah dengan bau yang wangi, wangi
yang aneh seperti sari seribu bunga bercampur
bau manis. Dan perlahan-lahan, di antara kabut
yang masih remang-remang, nampaklah garis-garis daratan pulau. Tentu saja semua orang
me-mandang dengan hati penuh ketegangan karena mereka semua tahu bahwa sebentar lagi
mereka akan tiba di tempat yang penuh bahaya. Pulau Selaksa Setan terkenal sebagai pulau
terlarang bagi orang luar dan kabarnya, siapapun juga tidak berani masuk karena siapa yang
masuk tentu tidak akan dapat keluar kembali dalam keadaan hidup-hidup ! Anak buah Tai - bong -
pai memang pem-berani, apa lagi mereka itu mengiringkan nona mereka yang mereka percaya
penuh sebagai orang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya.
Memang Siok Eng amat mengagumkan. Biar-pun usianya baru tujuhbelas tahun, masih
remaja, namun" sikapnya sudah dewasa. Ia bersikap tenang dan berwibawa sebagai seorang yang
bertingkat tinggi. Dengan hati - hati ia membagi - bagikan pel pencegah keracunan kepada semua
orang, terma-suk Pek Lian. Ada pel anti hawa beracun, pel anti tanaman beracun, berikut minyak
pelumurnya un-tuk mengobati luka - luka yang terkena racun. Ia-pun memimpin pendaratan
perahu mereka, memi-lih tempat yang agak menonjol ke depan yang di-tumbuhi pohon - pohon
rindang sehingga ketika mereka mendarat, mereka terlindung oleh pohon-pohon itu.
Waktu itu, tengah malam telah lewat. Bulan
tua itu tidak mampu menembusi daun - daun pohon yang rimbun sehingga tempat itu
nampak gelap, sunyi dan menakutkan. Di dalam kesunyian itu seperti terasa oleh mereka adanya
ancaman maut yang mengintai dari tempat - tempat gelap. Diam-diam Pek Lian sendiri bergidik.
Ia adalah seorang gadis gemblengan yang semenjak ayahnya ditawan telah mengalami banyak hal
- hal yang mengerikan dan membuat hatinya mengeras dan tabah. Akan tetapi, berada di pulau
aneh ini, yang namanya sa-ja Pulau Selaksa Setan dan penghuninya adalah iblis - iblis macam
kakek dan nenek bergerobak itu, mau tidak mau hatinya gentar juga. Namun ia melihat betapa
Siok Eng masih kelihatan te-nang - tenang saja.
Dengan tenang dan penuh wibawa Siok Eng berkata kepada para anak buahnya, "Kalian
semua tidak boleh turun dari perahu. Siap dan waspada-lah karena tempat ini benar - benar
berbahaya. Sama sekali tidak boleh memegang benda - benda atau mahluk hidup di tempat ini
karena semua itu mengandung racun yang ganas. Air itu, rumput itu semua mengandung racun.
Kalian sudah me-makai obat penawar, akan tetapi, kalau kalian me-megang apa lagi
memakannya, belum tentu obat penawar itu akan dapat melindungi kalian. Makan dan minum saja
dari perbekalan sendiri. Tunggu di sini sampai tiga hari. Kalau sampai tiga hari ti-ga malam aku
belum kembali, kalian pulanglah dan beri laporan kepada ayah. Nah, aku pergi. Hayo, Lian - ci !"
Kecut juga rasa hati Pek Lian ketika ia digan-deng oleh Siok Eng meninggalkan perahu di
mana semua anak buah Tai - bong - pai menanti itu. Bi-arpun pada waktu lain atau dalam
keadaan umum, berada bersama orang - orang Tai - bong - pai yang berbau dupa dan pucatpucat
itu sudah merupakan hal yang menyeramkan, namun kalau dibandingkan dengan memasuki
pulau setan itu, sungguh jauh le-bih senang tinggal bersama mereka! Akan tetapi, melihat
ketabahan Siok Eng, Pek Lian lalu mene-kan perasaannya. Masa ia harus kalah berani dibandingkan
dengan dara remaja ini ?
"Mari, adik Eng, dan berhati - hatilah," kata-nya dengan sikap dewasa.
"Kaupergunakan ini, enci. Lumurilah semua muka leher dan kedua tanganmu agar kulit -
ku-litmu terlindung dari serangan racun," kata Siok Eng sambil menyerahkan sebuah poci kecil di
ma-na tersimpan minyak membeku yang berwarna kuning dan berbau harum. Pek Lian lalu
memakai minyak itu, dioleskan pada seluruh muka, telinga, leher dan kedua tangannya,
pendeknya semua bagian tubuh yang tidak terlindung pakaian. Siok Eng agaknya sudah sejak tadi
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
memakainya dan da-ra ini membantu Pek Lian sampai pemakaian obat penawar itu rata benar.
Kemudian merekapun melanjutkan perjalanan di malam remang - remang itu.
Biarpun mereka berdua sama - sama belum pernah datang ke pulau ini, namun karena Siok
Eng sudah banyak mencari keterangan dan mem-pelajari keadaan pulau ini, maka dara remaja
inilah yang memimpin perjalanan. Mereka menyelinap dan menyusup di antara pohon - pohon
menuju ke tengah pulau. Tak lama kemudian Siok Eng me-nunjuk ke depan karena sejak tadi
mereka tidak mau mengeluarkan suara dan hanya memakai gerak tangan untuk saling memberi
tahu. Pek Lian juga sudah melihat adanya lampu-lampu di kejauh-an. Mereka berdua mulai
merasa tegang. Itulah sarang penghuni Ban - kwi - to yang amat terkenal itu. Dengan amat hati -
hati keduanya menyelinap di antara pohon - pohon, hanya melanjutkan gerakan setelah meneliti
lebih dulu dan merasa yakin bahwa tidak ada manusia lain di sekitar tempat itu.
Tiba-tiba Siok Eng mengangkat tangan me-nyuruh kawannya berhenti. Mereka berdua bersembunyi
di balik sebatang pohon besar, po-hon terakhir karena ternyata mereka tiba di tempat
yang terbuka, tanah kosong yang tidak ditumbuhi pohon, bahkan tidak ditumbuhi rumput. Yang
ada pada tanah kosong itu hanyalah kerikil dan batu-batuan berserakan, seperti dasar sebatang
sungai
yang sudah tidak ada airnya dan kering. Ditimpa sinar bulan tua dan bintang - bintang, batu
- batu di. tempat itu berwarna kehijauan, padahal tidak terdapat lumut atau rumput di situ. Dan
seolah-olah ada uap tipis kehijauan yang melayang dari tempat itu.
"Awas, Lian - ci. Inilah daerah dari Ceng - ya-kang atau Si Kelabang Hijau itu, orang yang ke
lima dari Ban - kwi - to, di mana terdapat tujuh orang tokohnya. Batu - batuan di depan itu adalah
tempat di mana dia memelihara kelabang - kela-bangnya," bisik Siok Eng kepada Pek Lian yang
mau tidak mau bergidik ngeri membayangkan ke-labang - kelabang beracun. Baru kelabangnya
saja ia sudah merasa jijik dan ngeri, apa lagi kalau yang beracun.
"Lalu bagaimana kita harus melalui tempat ini ? Lihat, di seberang sudah nampak gentenggenteng
rumah mereka," bisiknya kembali sambil memandang ke arah batu-batuan itu dengan alis
berkerut.
"Enci Lian, lihat baik - baik. Kaulihat batu-batu di sebelah kanan itu ? Lihat batu - batu besar
yang bagian atasnya lebih mengkilap terkena sinar bulan dan yang menonjol di antara batu-batu
lain ? Batu-batu itu tentu biasa diinjak orang. Ha-yo kita lewat di sana, tidak perlu kuatir akan jebakan."
Pek Lian menelan ludah dan mengangguk, ti-dak berani menjawab karena khawatir kalauka-
lau suaranya akan membayangkan rasa ngerinya. Siok Eng menekan tangannya lalu dara
remaja itu melangkah dengan hati - hati, mengerahkan gin-kangnya dan Pek Lian mengikuti di
belakangnya, mempergunakan jejak kaki kawannya sehingga ia tidak akan menginjak tempat lain
yang mungkin mengandung jebakan. Dengan ringan Siok Eng lalu meloncat dari batu ke batu,
memilih batu-batu yang puncaknya mengkilap, terus dibayangi oleh Pek Lian. Di tengah - tengah
tempat itu, Pek Lian melihat sinar - sinar hijau merayap di an-tara batu - batu dan ia bergidik.
Tentu itulah kela-bang - kelabang yang dimaksudkan oleh Siok Eng! Kalau sampai terpeleset dan
jatuh lalu dikeroyok kelabang beracun! Hihh! Sungguh menyeramkan bayangan itu dan Pek Lian
cepat - cepat mengum-pulkan kekuatan batinnya untuk melawan rasa ta-kutnya.
Akhirnya Pek Lian mendaratkan kakinya di se-berang dengan hati lega. Mereka telah berhasil
melewati daerah kelabang itu. Melihat sebuah ke-bun sayur di mana terdapat tanaman sayur kobis
yang cukup subur dan sama sekali tidak memperli-hatkan tanda - tanda bahaya adanya racun, Pek
Lian menghampirinya.
Akan tetapi Siok Eng memegang lengannya. "Sstt, hati - hati, enci Lian. Lihat semut - semut
itu !"
Pek Lian terkejut dan menahan langkahnya. Ia melihat betapa kobis - kobis yang kelihatan
segar itu penuh dengan semut-semut merah.
"Semut - semut apakah itu ?" tanyanya
gagap.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Semut - semut ini beracun. Binatang - binatang ini dipelihara untuk memberi makan kepada
kela-bang - kelabang tadi. Dan kebun ini bukan kebun kobis seperti yang biasa kita makan, akan
teta-pi sejenis tumbuh - tumbuhan yang mengandung inti racun hijau!"
Pek Lian memandang dengan mata terbelalak kepada kobis - kobis itu dan meleletkan
lidahnya. Kini, kobis-kobis yang tadinya nampak menggiur-kan dan segar itu seolah - olah berobah
menjadi pe-mandangan yang menyeramkan, seolah - olah tadi ia melihat wajah bidadari yang tiba
- tiba saja ber-ubah menjadi wajah iblis.
Siok Eng menunjuk ke kiri. "Rumpun-rumpun bambu itulah yang merupakan daerah aman
dan be-bas dari racun, begitu menurut keterangan ayah yang pernah satu kali datang ke sini. Nah,
kita meng-ambil jalan melalui kebun bambu hijau itu."
Mereka berdua dengan hati - hati menyelinap di antara rumpun bambu menuju ke sebuah
ba-ngunan yang berada di tengah - tengah rumpun bambu itu. Mereka menyelinap ke samping
ba-ngunan dan melihat adanya pintu yang terbuka.
Dari pintu itu keluar bau bacin yang menyerang hidung mereka dan membuat mereka
hampir mun-tah-muntah. Siok Eng mengeluarkan dua helai sapu-tangan merah dan menyerahkan
sebuah kepada kawannya untuk menutupi hidung. Ketika Pek Lian menggunakan saputangan
merah itu di de-pan hidungnya, tercium olehnya bau harum yang keras dan segera bau bacin
itupun lenyap atau ka-lah oleh bau harum. Dengan isyarat tangannya, Siok Eng mengajak
kawannya masuk karena dari luar nampak jelas betapa pondok yang pintunya terbuka itu kosong
tidak ada orangnya. Mereka melihat sebuah panci yang penuh dengan air kehi-jau - hijauan
mendidih di atas tungku api dan uap air mendidih inilah yang menyebarkan bau bacin tadi. Di
dalam almari tak jauh dari situ nampak banyak sekali botol - botol besar kecil. Dan di da-lam
sebuah keranjang sampah di sudut nampak bangkai
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To
Register.]***
dapat kelabang-kelabang yang besar, nampak berkilauan kulitnya tertimpa sinar lampu
gantung. Uap yang keluar dari dalam guci itu menyambar hidungnya, mem-buat Pek Lian hampir
tak dapat bernapas.
"Cepat telan pel ini, kelabang - kelabang itu amat berbisa !" kata Siak Eng yang melihat
keadaan Pek Lian. Gadis ini menurut dan cepat menelan sebutir pel kecil dan dadanya terasa lega
kembali. Ia bergidik. Sungguh berbahaya sekali. Baru ha-wa atau uapnya saja sudah demikian
berbahaya, apa lagi sengatannya !
Siok Eng mengajak mereka keluar dengan ce-pat dari tempat itu. Dengan berindap
keduanya menuju ke gedung induk. Tempat itu kelihatan sepi sekali seolah - olah tidak ada
penghuninya sa-ma sekali. Namun mereka berdua tidak pernah mengurangi kewaspadaan. Tak
mungkin di situ ti-dak ada orang, karena buktinya terdapat lampu-lampu yang tentu dinyalakan
dan dipasang orang. Mungkin para penghuninya sedang tidur.
"Heh - heh - heh - heh !"
Pek Lian terperanjat seperti disengat kelabang hijau. Suara ketawa kecil itu keluar dari
sebuah kamar di bangunan sebelah kiri. Dua orang dara itu cepat menyelinap keluar dan
menyusup ke balik rumpun barnjbu dengan hati berdebar tegang. Ki-ranya suara ketawa itu keluar
dari sebuah jendela yang kini terbuka lebar. Sinar terang dari lampu di dalam kamar itu menyinari
halaman. Siok Eng menyentuh tangan kawannya dan mengajaknya berindap mendekati jendela,
bersembunyi di antara daun-daun bambu yang tumbuh di luar jendela, mengintai ke dalam
dengan hati - hati sekali. Mereka melihat ada dua orang pria duduk saling ber-hadapan,
menghadapi meja sambil bercakap - ca-kap. Pria yang berkepala gundul dan tubuhnya ge-muk
pendek berperut gendut duduk menghadap ke arah jendela sedangkan orang yang diajaknya
bicara adalah seorang pria yang agaknya masih muda. Kamar itu cukup indah dengan lampu gantung
yang mewah dan kain - kain sutera bergan-tungan. Si gendut pendek itu tersenyum lebar,
nam-paknya amat ramah kepada tamunya, pemuda itu.
Siok Eng mendekatkan bibirnya ke telinga ka-nan Pek Lian, lalu berbisik lirih sekali sehingga
Pek Lian yang telinganya demikian dekat dengan mulutnyapun harus mengerahkan ketajaman
pen-dengarannya untuk dapat menangkap apa yang di-katakan temannya.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Kalau tidak salah si gundul itu adalah Ceng-ya - kang Si Kelabang Hijau. Awas kalau berhadapan
dengan dia. Orang itu licik dan kejam bu-kan main, suka menyiksa musuhnya sambil berkelakar.
Anehnya, apa yang dilakukannya lewat te-ngah malam mengobrol dengan tamunya?"
Diam - diam Pek Lian terkejut mendengar bah-wa si gendut itu adalah Si Kelabang Hijau
yang disohorkan sebagai tokoh Ban - kwi - to. Mereka berdua menahan napas dan mengintai.
Makin dili-hat, makin heranlah hati mereka karena sikap si
gendut itu sungguh teramat manis, bahkan terasa oleh mereka betapa sikap itu berlebihan
manisnya, mendekati rayuan!
"Kongcu, di tempat ini engkau tidak perlu kha-watir. Tidak akan ada seorangpun setan yang
be-rani mengganggumu selama aku berada di dekat-mu. Dan apapun yang engkau kehendaki,
tentu akan dapat kuadakan. Maka senangkanlah hatimu tinggal di sini, kongcu."
"Terima kasih, locianpwe. Aku hanya ingin me-luaskan pengalaman dan menambah
pengetahuan-ku saja," jawab pemuda itu dan dari suaranya, dua orang gadis itu dapat menduga
bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan dan juga bukan orang kasar, bahkan kata-katanya
teratur dan halus se-perti ucapan seorang terpelajar. Maka, tentu saja mereka berdua menjadi
semakin tertarik dan he-ran.
Atas bujukan si gendut, mereka berdua itu lalu makan minum dengan gembira dan dua
orang dara itu menjadi bingung melihat betapa kakek gendut itu makin lama makin gila
omongannya. "Kongcu, selama ini banyak sudah kutemui pemuda-pemuda yang gagah dan
tampan, akan tetapi baru sekarang aku bertemu dengan seorang ganteng seperti eng-kau. Ha - ha
- ha, betapa senang hatiku dapat ber-kenalan denganmu!" Sambil berkata demikian, kakek itu
mengajak si pemuda untuk minum lagi arak wangi dari cawan mereka.
"Aku sudah cukup banyak minum arak, locian-pwe," pemuda itu agaknya segan juga untuk
meno-lak.
"Ha - ha - ha, makin banyak minum, makin ke-merahan pipimu, kongcu. Ha-ha, sungguh
segar dan tampan sekali engkau!" Kakek gendut itu mengulur tangannya, mula - mula tangan itu
me-megang tangan si pemuda untuk dibelainya, akan tetapi tangan itu terus merayap ke atas,
mengelus dagu!
"Ah, jangan begitulah, locianpwe," pemuda itu nampak bingung seperti kehilangan akal
mengha-dapi tingkah kakek yang makin genit itu. Pek Lian dan Siok Eng saling pandang dengan
mata terbela-lak dan wajah mereka berobah merah karena jengah dan malu. Namun merekapun
ingin sekali tahu ka--j rena mereka tidak mengerti mengapa ada seorang kakek begitu genit
merayu dan membelai seorang pemuda!
Akan tetapi, kakek gendut itu agaknya sudah
terlalu banyak minum arak dan sudah setengah
mabok karena penolakan pemuda itu bahkan membuat
dia merayu semakin panas! "Kongcu, aku
sungguh kagum dan tergila - gila kepadamu. Aku
akan menurunkan semua ilmuku kepadamu, akan
tetapi, jangan kecewakan hatiku, kau harus menjadi
kekasihku !"
Wajah dua orang dara itu menjadi semakin me-rah, akan tetapi hati merekapun diliputi
keheranan besar mendengar seorang kakek hendak menjadi-kan seorang pemuda kekasihnya!
Apakah kakek itu sudah gila ataukah memang pulau itu menjadi tempat orang-orang yang miring
otaknya? Dua orang dara itu tidak tahu bahwa memang kakek Ceng-ya-kang atau Si Kelabang
Hijau ini me-miliki sifat yang lain dari pada pria-pria biasa. Dia tidak suka atau tidak tertarik oleh
kecantikan wanita, akan tetapi sejak muda dia suka bercinta dengan pria! Jasmaninya adalah pria,
akan tetapi watak dan sifatnya cenderung kepada sifat dan wa-tak wanita. Memang banyak
terdapat orang - orang seperti Si Kelabang Hijau ini. Alam telah memberi keadaan yang
bertentangan antara badan dan ba-tin mereka dan mereka ini adalah oiang-orang yang patut
dikasihani. Mereka suka bergaul dan berde-katan, bahkan bermesraan dan bermain cinta de-ngan
pria dan hal ini sama sekali tidak mereka se-ngaja, dan bukan timbul dari watak yang buruk atau
cabul. Sama sekali tidak, karena memang de-mikianlah keadaan batin mereka. Mereka kagum
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
melihat sifat jantan, mereka akan merasa bahagia kalau dikasihi oleh seorang pria yang jantan.
Mere-ka tidak suka berdekatan dengan wanita sebagai kekasih, kecuali hanya sebagai teman,
bahkan ada yang merasa muak kalau memikirkan bahwa mere-ka harus berkasih sayang dengan
seorang wanita. Keadaan seperti ini dapat terjadi karena kesalahan keadaan jasmaniah yang
mempengaruhi batin, akan
tetapi juga mungkin diperkuat oleh keadaan ling-kungan hidupnya di waktu kecil sehingga
batin yang mempengaruhi jasmani. Memang, antara ba-dan dan batin selalu terjadi isi-mengisi,
saling mem-pengaruhi.
Karena sifatnya inilah maka Si Kelabang Hijau itu sering kali meninggalkan Pulau Selaksa
Setan dan merantau sampai jauh ke seluruh pelosok du-nia, dan sering mendekati pria - pria yang
tampan dan gagah. Karena watak ini pula maka tokoh se-sat ini pernah menjadi sahabat dari Yap
Kim, pute-ra kandung dari ketua Thian-kiam-pang yaitu Yap Cu Kiat, murid dari mendiang Sin -
kun Bu - tek yang sakti.
Kalau saja Pek Lian dan Siok Eng sudah tahu akan sifat dan watak seorang laki-laki seperti
Ceng-ya - kang, tentu mereka akan segera pergi dan ti-dak sudi untuk nonton terus. Akan tetapi
karena mereka belum tahu dan tidak mengerti, maka ke-inginan tahu membuat mereka bertahan
untuk me nyaksikan adegan yang mereka anggap aneh dan luar biasa itu. Mereka melihat betapa
kakek itu membujuk - bujuk dan berusaha untuk memegang tangan si pemuda yang berulang kali
mengelak de-ngan menarik tangannya dan dengan halus minta agar kakek itu jangan melanjutkan
sikapnya yang ganjil.
Tiba - tiba dua orang dara itu terkejut melihat berkelebatnya bayangan dua orang yang
dengan cepat sekali melayang masuk dari pintu dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang
wanita yang nampaknya masih muda, tidak lebih dari tigapuluh tahun usianya dan wajah mereka
serupa benar. Se-pasang wanita kembar, hal ini mudah dilihat dari dandanan pakaian, gelung
rambut, perhiasan dan wajah mereka yang serupa benar. Pakaian mereka itu ketat
membayangkan dada, perut dan paha yang menonjol. Mereka berdiri dengan kaki agak
terpentang, tangan kiri bertolak pinggang, dan si-kap mereka genit bukan main. Mereka berdiri seperti
pohon cemara tertiup angin saja, pinggul mereka agak bergoyang - goyang, mulut mereka
yang digincu merah tebal itu tersenyum merekah, alis mereka bergerak - geiak diangkat - angkat,
dan ma-ta mereka itu melirik - lirik genit ke arah si pemuda yang kebetulan berdiri membelakangi
jendela dan menghadap ke arah dua orang wanita itu. Dua orang dara yang berada di luar jendela
itu meman-dang penuh perhatian, agak terkejut melihat mun-culnya dua orang wanita yang
demikian cepat gerakannya tanpa mengeluarkan sedikitpun suara itu.
Biarpun dua orang wanita itu masuk ke ka-mar tanpa menimbulkan suara, namun kakek
gen-dut yang tadinya berdiri dalam usahanya merayu si pemuda, kini tiba - tiba duduk kembali
dan tan-pa menoleh diapun berkata, "Suci berdua kenapa malam - malam begini berkunjung ke
daerahku ? Apakah kalau ada keperluan tidak bisa datang di
siang hari ?" Dari nada suaranya, jelas bahwa dia merasa marah dan terganggu, dan biarpun
mulut-nya tersenyum, akan tetapi wajahnya masam.
Mendengar ucapan si gendut itu, Siok Eng me-nempelkan bibirnya di dekat telinga kawannya
dan berbisik, "Mereka itu orang ke tiga dan ke empat dari iblis - iblis Ban - kwi - to. Mereka
kembar dan pandai beralih rupa. Kelakuan mereka sangat ter-sohor buruknya, segala hal yang
kotor - kotor mere-ka lakukan !" Suara bisikan Siok Eng mengandung rasa jijik.
Dua orang wanita itu mencibirkan bibir mereka mendengar pertanyaan Ceng - ya - kang tadi
dengan sikap yang penuh kegenitan dan ejekan, lalu seorang di antara mereka berkata, suaranya
nyaring dan genit, "Huh! Kami ke sini cuma ingin melihat apakah engkau sudah kembali ke rumah.
Lupakah engkau bahwa esok pagi adalah hari perayaan wa-fatnya guru kita yang ke sepuluh ? Toa
- suheng mengharapkan agar semua orang dari Ban-kwi-to hadir di tempat toa-suheng." Sambil
berkata de-mikian, wanita itu dan saudara kembarnya tiada hentinya menatap ke arah wajah
pemuda yang du-duk berhadapan dengan Ceng - ya - kang itu lirak-lirik dan senyum simpul penuh
daya pikat.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Aku sudah kembali sejak kemarin!" Kakek gendut itu mendengus dengan suara tak senang.
"Aku telah datang, sekarang kalian pergilah. Kita bisa berkelahi kalau kalian tidak mau segera
pergi dan jangan ganggu aku !"
Pek Lian yang mengintai dan mendengarkan di luar jendela, merasa heran bukan main.
Bagaima-na mungkin hari wafat seorang guru malah diraya-kan, bukan berkabung malah berpesta
? Dan bu-kankah mereka itu saudara - saudara seperguruan, segolongan pula, sebagai saudara -
saudara yang sama-sama menjadi penghuni Ban-kwi-to, akan tetapi kenapa sikap mereka satu
sama lain begitu tidak bersahabat dan bahkan seperti bermusuhan saja ? Pek Lian lupa bahwa
mereka itu adalah go-longan hitam, kaum sesat, bahkan tokoh - tokoh be-sarnya yang sudah tidak
lagi mengindahkan segala macam aturan dan sopan santun dan mengeluarkan semua isi hati
melalui mulut tanpa disaring lagi. Merekapun sudah tidak sudi lagi untuk bermanis muka. Apa lagi
hanya terhadap saudara seperguru-an, bahkan terhadap guru sendiripun mereka sudah tidak mau
lagi bersopan santun atau menggunakan tata cara manusia beradab. Mereka tidak perduli
terhadap orang - orang lain. Golongan mereka ha-nya mengenal pamrih seenaknya untuk diri
sendiri. Yang ada hanya kepentingan diri pribadi, lahir ba-tin. Dan menghadapi orang lain, yang
ada hanya dua perasaan, yaitu berani atau takut. Kalau mere-ka berani, nah, segala hal bisa saja
mereka lakukan, sampai yang paling kurang ajar, yang paling kejam, sadis dan tidak tahu aturan
sekalipun. Akan tetapi kalau mereka merasa kalah dan takut, mereka tidak malu - malu untuk
melakukan segala macam kecu-rangan atau melarikan diri. Dan untuk kepenting-an pribadi, segala
cara dihalalkan, menipu, mem-bokong, bahkan membunuh kawan sendiri sekalipun. Pendeknya,
mereka hidup tanpa adanya suatu ke-tertiban apapun, tiada bedanya dengan kehidupan binatang
- binatang liar di dalam hutan dan hukum satu - satunya bagi mereka hanyalah hukum rimba raya,
yaitu siapa kuat dia menang dan siapa me-nang dia benar dan harus dipatuhi dan ditaati.
Seperti yang telah diterangkan oleh Siok Eng kepada Pek Lian, kakek gundul gendut itu
memang benar berjuluk Ceng - ya - kang atau Thian - te Tok - ong dan merupakan tokoh ke lima
dari Ban-kwi - to. Terdapat tujuh orang tokoh Ban - kwi - to yang merupakan saudara - saudara
seperguruan, juga merupakan saudara segolongan yang tinggal di kepulauan setan itu. Orang
pertama terkenal dengan julukan Tikus Beracun Bumi, yang ke dua berjuluk Tiat - siang - kwi
(Setan Gajah Besi), orang ke tiga dan ke empat adalah dua orang wanita kembar yang masing -
masing bernama Jeng - bin Sam - ni (Nyonya Ke Tiga Bermuka Seribu), dan Jeng - bin Su - nio
(Nyonya Ke Empat Bermuka Se-ribu). Mereka ini dikenal dengan julukan Jeng-bin (Muka Seribu)
karena kepandaian mereka beralih rupa, walaupun mereka masih memiliki banyak ma-cam
keahlian lagi. Ceng - ya - kang atau Thian - te
Tok-ong adalah tokoh yang ke lima. Tokoh ke enam dan ke tujuh adalah suami isteri Im -
kan Siang-mo, yaitu Bouw Mo-ko dan Hoan Mo-li, kakek dan nenek yang selalu menggunakan
gerobak itu.
Mendengar ucapan adik seperguruan mereka yang kasar dan menantang itu, Jeng-bin Siangkwi,
yaitu sebutan bagi mereka berdua, hanya senyum-senyum saja dan tidak kelihatan marah.
Tentu saja senyum itu bukan ditujukan kepada Ceng-ya-kang, melainkan kepada pemuda itu yang
kelihatan du-duk dengan gelisah.
"Hi - hi - hik, pantas saja engkau tidak mau muncul-muncul biarpun sudah kembali ke
mari.... kiranya engkau telah memperoleh seorang korban baru yang ganteng!" kata Jeng-bin Su
- nio.
"Pergi kalian !" Tiba -tiba si gundul gendut itu mencelat dari kursinya. Gerakannya demikian
ce-patnya, tidak sesuai dengan tubuhnya yang gendut pendek, dan tahu - tahu dia sudah
meloncat sam-bil membalikkan tubuhnya, langsung saja menyerang kedua orang wanita itu
dengan pukulan yang me-ngandung angin dahsyat. Akan tetapi, dua orang wanita itu
mengeluarkan suara ketawa mengejek dan segera mengelak, menangkis dan balas me-nyerang
dengan tak kalah cepat dan hebatnya. A-ngin pukulan menyambar - nyambar dan dua orang gadis
yang mengintai di luar jendela itu mencium bau amis, tanda bahwa pukulan - pukulan tiga o-rang
yang saling hantam itu mengandung hawa beracun yang jahat sekali.
Siok Eng menarik tangan Pek Lian, diajak per-gi menjauhi tempat itu. Setelah jauh, dara ini
me-narik napas panjang. "Betapa ganas dan kejinya mereka itu. Mari kita segera mencari Hek -
kui-hwa itu, enci Lian. Tak perlu kita mencampuri mereka yang berengsek itu."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Ke mana kita mencari, adik Eng ?"
Aku harus mencarinya. Bunga itu hanya dapat tumbuh di tempat terbuka, tidak boleh
terlindung oleh benda atau tumbuh - tumbuhan lainnya, ha-rus sepenuhnya menerima sinar
matahari dan bu-lan, dan terpisah dari tanam-tanaman lain. Bunga mawar hitam atau setan hitam
itu bentuknya seper-ti mawar biasa, hanya tidak berbau sama sekali, warnanya hitam legam dan
daunnya putih."
"Mari kubantu engkau mencarinya, Eng-moi," kata Pek Lian dan mereka segera mulai
mencari-cari di pulau itu. Akan tetapi mereka tidak berha-sil, apa lagi menemukan bunga itu,
bahkan tidak menemukan daerah terbuka seperti yang dimak-sudkan oleh Siok Eng tadi.
"Sungguh heran, kenapa pulau ini demikian ke-cil ? Dan bangunannya juga hanya ada
sebuah itu. Di mana para penghuninya yang lain ?" Pek Lian berkata dengan hati kecewa karena
kegagalan mereka menemukan, bunga yang dicari sahabatnya itu.
Enci Lian, Ban-kwi-to bukan terdiri dari se-buah pulau saja, melainkan terdiri dari lima buah
pulau yang berpencar akan tetapi juga saling ber-dekatan. Tiap pulau dihuni oleh seorang tokoh,
kecuali si kembar itu dan sepasang suami isteri yang masing-masing keduanya mendiami sebuah
pulau. Kaulihatlah di seberang sana itu."
"Ah, engkau benar! Itu adalah sebuah pulau yang lain. Akan tetapi, bagaimana kita dapat
me-nyeberang ke sana ? Apakah kita harus mengambil perahu kita ? Tentu bunga itu berada di
pulau yang lain, tidak mungkin di sini."
"Agaknya benar, enci. Akan tetapi karena kita tidak tahu persis di mana tumbuhnya bunga
itu, terpaksa kita harus mencarinya di semua pulau. Hanya, kita harus berhati - hati sekali.
Sungguh aneh, bagaimana dua orang wanita kembar tadi dapat datang ke sini ? Tidak nampak
adanya perahu mereka."
Tiba - tiba mereka mfelihat bayangan berkele-bat keluar dari rumah Ceng - ya - kang dan
mereka berdua cepat menyelinap bersembunyi. Tak lama kemudian, nampaklah dua orang wanita
kembar itu berjalan lewat lalu berhenti tak jauh dari tempat persembunyian mereka.
"Bangsat gundul keparat jahanam!" terdengar seorang di antara mereka memaki - maki
sambil mengacungkan tinju ke arah rumah Ceng-ya-kang.
"Anjing banci disambar geledek kamu !" Orang ke dua memaki pula dan keduanya lalu
memaki-maki dengan kata - kata yang jorok dan cabul. A-gaknya mereka itu merasa mendongkol
dan pena-saran, yang hendak mereka lampiaskan dengan caci maki dan sumpah - serapah mereka
terhadap kakek gundul gendut itu.
"Sialan ! Bocah gundul itu telah mencapai titik kesempurnaan dalam menyerap Ilmu Racun
Kela-bang Hijau yang lihai itu," kata Jeng-bin Sam-nio dengan suara penasaran.
"Benar, sungguh jahanam ! Tak kusangka dalam pengembaraannya dia dapat meningkatkan
ilmu-nya sampai ke titik mendekati kesempurnaan. Li-hat ini! Kantongku racun bunglon merah
menjadi tawar terkena ilmunya ludah inti racun kelabang hijau. Sialan! Untung aku selalu dapat
menghin-dari semburan ludahnya!"
"Ludahnya yang bacin itu sungguh berbahaya," kata orang ke dua. "Sayang kita tidak
membawa alat - alat rias kita. Hemm, ingin aku tahu, mana yang lebih hebat, ludah bacinnya
ataukah bedak-bedak harum kita!"
"Biarlah lain kali kita coba lagi. Hatiku pena-saran kalau sampai kalah oleh adik seperguruan
kita."
"Eh, ngomong - ngomong, pemuda tadi tampan benar, ya ? Dan kelihatan jantan. Sayang,
sudah lebih dulu disekap oleh si gundul gila itu '!"
"Aih, sudahlah! Kita sendiri kan sudah mem-punyai simpanan yang tidak mengecewakan,"
kata. yang lain sambil tersenyum genit sekali. "Tidak rugi kita main kucing - kucingan dengan
perahu Si Harimau Gunung."
"Sayang mereka belum mau tunduk . . . . . ."
"Akhirnya akan tunduk juga, dan ingat, yang
sukar ditundukkan itu sekali tunduk, waahhh
hebat deh !" Mereka berdua cekikikan seperti kun-tianak dan dua orang gadis yang
mendengarkan dalam tempat persembunyian mereka menjadi mu-ak. Pek Lian dan Siok Eng
melihat betapa kedua orang wanita kembar itu memasuki sebuah rum-pun bambu kuning. Sampai
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
lama mereka tidak muncul kembali dan keadaan begitu sunyi senyap. Dua orang dara itu menjadi
curiga lalu dengan ha-ti - hati merekapun memasuki rumpun bambu itu. Ternyata di tengah -
tengah rumpun bambu itu ter-dapat sebuah lubang besar yang masuk ke dalam tanah. Ketika
mereka memeriksa, ternyata lubang itu adalah terowongan di dalam tanah yang agak-nya lewat di
bawah laut!
Dua orang dara yang gagah perkasa itu dengan hati-hati sekali mengikuti terowongan itu.
Jalan-nya gelap dan menurun sekali, akan tetapi mereka berdua adalah dua orang dara
gemblengan yang ber-ilmu tinggi, maka mereka tidak merasa takut. Mere-ka merasa yakin bahwa
dua orang wanita kembar itu tentu mengambil jalan ini dan mereka dapat menduga
bahwa tentu inilah jalan yang menghubung-kan satu dengan lain pulau. Pantas saja
dua orang wanita kembar tadi tidak menggunakan perahu. Kiranya mereka datang ke pulau
daerah Si Kela-bang Hijau melalui sebuah terowongan bawah laut.
Ketika dua orang dara itu muncul di pulau yang lain, kiranya mereka itu tiba di sebuah
ruangan ke-cil di sudut taman, merupakan pondok kecil yang mungil. Cepat mereka meloncat
keluar dan ber-sembunyi, meneliti keadaan sekeliling. Bulan tua telah condong ke barat, akan
tetapi bintang-bin-tang di langit masih nampak terang. Tentu telah jauh lewat tengah malam. Dan
agaknya semua orang yang berada di pulau ini sudah tidur. Tidak terdengar suara orang, tidak
nampak seorangpun penjaga. Agaknya para penghuni kepulauan ini sudah begitu percaya akan
keadaan tempat tinggal mereka yang penuh dengan racun sehingga orang luar yang berani
memasuki daerah mereka tentu akan mati sendiri terkena racun. Dengan adanya racun-racun
yang terkandung dalam tumbuh-tum-buhan, dalam gigitan binatang - binatang kecil, bahkan
dalam udara, maka tidak diperlukan lagi penjaga. Orang luar tentu akan tewas kalau me-masuki
daerah kepulauan Ban - kwi - to ini.
Ketika dengan hati - hati Siok Eng dan Pek Lian mulai mencari - cari bunga Hek - kui - hwa,
mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan pulau ini jauh sekali bedanya dengan pulau milik Si
Ke-labang Hijau yang baru saja mereka tinggalkan. Pulau kecil milik wanita kembar ini penuh
dengan taman bunga - bunga yang indah, keadaannya te-rawat dan bersih apik, tidak seperti
keadaan pulau milik Si Kelabang Hijau yang penuh pohon belu-kar dan awut - awutan. Akan
tetapi, biarpun di situ terdapat banyak sekali bunga beraneka macam dan warna, dua orang dara
itu tidak berhasil mene-mukan bunga mawar hitam berdaun putih.
"Sungguh heran ! Sedemikian banyaknya bunga-bunga di sini, akan tetapi bunga yang
kaucari itu tidak ada ! Adik Eng, tidak kelirukah keterangan yang kaudapat mengenai Hek - kui -
hwa itu ?" Pek Lian berkata dengan nada suara meragu.
"Tidak, enci Lian. Memang, menurut keterangan
ayah, bunga itu langka sekali dan ayahpun tidak
dapat memastikan apakah bunga itu ditanam di
pulau - pulau ini. Hanya satu hal adalah pasti, yaitu
bunga Hek - kui - hwa itu berada dalam kekuasaan
Tujuh Iblis dari Pulau Selaksa Setan ini. Entah
di mana mereka sembunyikan. Aku harus menemukannya.
Heii, awas, enci Lian! jangan kausentuh
bunga - bunga itu. Biarpun kelihatannya
begitu bersih dan indah, akan tetapi bunga itu
beracun. Bunga - bunga ini memang ditanam untuk
memelihara dan mendapatkan racun-racunnya.
Ssttt , itu ada perahu datang. Cepat sembunyi
!" Mereka menyelinap lagi ke balik
semak-semak beberapa rumpun alang-alang yang ditanam sebagai penghias dan pagar
taman.
Tiba-tiba bumi di sekitar tempat itu tergetar ketika seorang raksasa melangkahkan kakinya.
Ber-dentam-dentam bunyinya, seolah-olah bumi di-timpa oleh benda yang amat berat setiap kali
raksa-sa itu membanting kakinya. Anehnya, dia agaknya sengaja membanting kakinya ketika
melangkah me-masuki taman ! Rambutnya gimbal dan kotor, ma-tanya lebar dan membelalak.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Jubah dan pakaiannya terbuat dari kain kotak - kotak yang dibelit-belitkan di tubuhnya. Bagian
dadanya terbuka dan nampak betapa dada itu penuh bulu tebal. Mulutnya lebar dan seperti
nampak ada taring di antara giginya yang besar-besar. Raksasa ini sungguh tinggi besar, tingginya
tidak kurang dari dua meter, bahkan le-bih. Ada suara seperti ngorok ketika dia melang-kah
memasuki taman.
Ketika raksasa itu tiba di dekat tempat dua orang dara itu bersembunyi, tiba - tiba saja dia
menghentikan langkahnya. Dua orang dara itu mencium bau amis yang menusuk hidung, membuat
mereka hampir saja muntah-muntah. Dan rak-sasa itupun mengembangkempisikan hidungnya.
Mu-lutnya menyeringai buas, matanya yang besar itu melotot dan mengamat-amati sekelilingnya,
dan air liurnya menetes - netes dari ujung bibirnya,
"Heh -heh bau daging segar ! Daging lunak!
Hemm, alangkah sedapnya!" Matanya jela-latan ke kanan kiri, mencari - cari.
Tentu saja dua orang dara itu seketika mandi keringat dingin! "Mereka bukan penakut,
bahkan Siok Eng telah mewarisi ilmu kepandaian yang he-bat. Akan tetapi bagaimanapun juga,
mereka itu ha-nyalah dua orang gadis remaja dan keadaan manu-sia raksasa itu memang sungguh
amat menyeram-kan. Apa lagi dalam perjalanan mereka dengan perahu, Siok Eng sudah pernah
menceritakan ke-pada Pek Lian bahwa orang ke dua dari Tujuh Iblis ini, yang berjuluk Tiat - siang
- kwi ( Setan Gajah Besi) kabarnya suka makan daging manusia.
Biarpun seluruh urat syaraf mereka sudah me-negang dan bersiap siaga, akan tetapi ketika
rak-sasa itu melangkah mendekati tempat mereka ber-sembunyi, mereka merasa tubuh mereka
panas di-ngin ! Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ke-tawa cekikikan yang nyaring dari arah
gedung di tengah pulau. Suara cekikikan yang penuh kegenit-an, terkekeh - kekeh dibuat - buat.
Mendengar sua-ra itu, si raksasa berhenti melangkah dan menoleh ke arah gedung. Agaknya
suara itu mengingatkan dia akan maksud kedatangannya ke pulau itu. Mendadak dia lari
tunggang-langgang menuju ke arah gedung. Tanah yang diinjaknya ketika dia ber-lari itu tergetar
seperti gempa bumi dan dua orang dara itu bernapas lega.
"Mari kita pergi !" Siok Eng menarik tangan
Pek Lian. Sekali ini, Pek Lian yang biasanya berwibawa dan memimpin karena ia adalah
seorang patriot di lembah, menurut saja karena ia maklum betapa berbahayanya tempat itu dan
bah-wa Siok Eng lebih tahu dari pada ia sendiri me-ngenai kepulauan setan itu.
Siok Eng mengajak Pek Lian menggunakan pe-rahu milik Tiat - siang - kwi itu. Ia ingin
mencari bunga Hek - kui - hoa di pulau ke tiga setelah ga-gal mencari di kedua pulau pertama.
Mereka men-dayung perahu itu dengan cepat. Di depan nampak dua buah pulau kecil
berdampingan. Dari jauh, kedua pulau itu nampak gersang tidak ditumbuhi pohon sama sekali.
Ketika mereka mendekat, ma-ka mereka melihat bahwa pulau yang satu terdiri dari batu - batu
dan pasir melulu. Menurut penge-tahuan Siok Eng, pulau ini adalah tempat tinggal si raksasa,
orang ke dua dari tujuh iblis. Kabar-nya, entah berapa ratus orang yang menjadi korban iblis
raksasa ini di tempat itu, tulang - tulangnya berserakan dan terpendam dalam batu - batu dan
pasir. Adapun pulau yang ke dua terdiri dari ra-wa-rawa dan di tengah rawa nampak sebuah gubuk
besar yang berdiri di atas tiang - tiang dari ka-yu yang tahan air. Itulah tempat tinggal suami
is-teri Im - kan Siang - mo ( Sepasang Iblis Neraka ), yaitu kakek dan nenek yang selalu
bergerobak dan tak tahu malu itu.
"Eng-moi, pulau yang mana harus kita darati lebih dulu ?" tanya Pek Lian, melihat betapa kawannya
itu hanya membawa perahu mereka ber-putar - putar tak menentu.
"Kita terus saja, enci Lian. Pulau - pulau ini adalah tempat tinggal Tiat - siang - kui dan
Sepa-sang Iblis Neraka, yaitu orang ke dua, ke enam dan ke tujuh dari Tujuh Iblis. Melihat
keadaan kedua pulau ini, juga melihat macamnya raksasa itu, tak mungkin dia yang menanam
atau menyimpan Hek-kui - hwa. Juga suami isteri itu jarang berada di rumah, selalu mengembara
dan pulaunya terdiri dari rawa - rawa pula, kiranya tidak mungkin berada di sana itu."
"Lalu bagaimana ? Ke mana kita harus men-cari ?"
"Enci Lian, kepulauan mereka hanya ada lima buah. Yang empat telah kita ketahui dan
agaknya bunga itu tidak berada di situ. Tinggal sebuah pu-lau lagi yang menjadi tempat tinggal
tokoh perta-ma dari mereka, yaitu Te-tok-ci (Tikus Beracun Bumi). Ke sanalah kita menuju."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Pek Lian menutup mulut menahan ketawanya. "Sudah banyak kita melihat orang aneh. Ingin
aku melihat bagaimana macamnya yang berjuluk Tikus Beracun itu. Apakah mukanya seperti tikus
?"
Siok Eng tersenyum geli. "Mungkin saja. Aku sendiri belum pernah melihatnya. Akan tetapi
ayah bilang bahwa dia mempunyai koleksi banyak ma-cam tikus yang aneh - aneh dan buas. Tikus
- tikus
itu dibuat beracun dan mereka ditempatkan di te-rowongan - terowongan yang banyak
terdapat di pulau tempat tinggalnya."
Pek Lian bergidik. Di antara binatang - bina-tang kecil, tikus merupakan binatang yang
menji-jikkan baginya. Ara lagi kalau jumlahnya banyak, dan beracun lagi. "Mudah-mudahan aku
tidak ha-rus berhadapan dengan tikus-tikus lebih baik aku melawan Te - tok - ci itu sendiri,"
katanya.
"Lebih baik kalau bisa jangan, enci. Kepandai-an iblis itu paling lihai dan diapun kabarnya paling
kejam di antara Tujuh Iblis."
"Aku sungguh merasa heran, adik Eng. Engkau sudah tahu betapa lihainya Tuiuh Iblis dan
betapa besarnya bahayanya mengunjungi Ban-kwi-to, akan tetapi mengapa engkau lakukan juga
petua-langan ini ? Apakah engkau tidak takut sedikitpun juga ?"
Siok Eng tersenyum dan wajahnya yang pucat itu nampak manis sekali kalau tersenyum.
"Enci, engkau tidak tahu. Kami orang-orang Tai-bong-pai mengutamakan kegagahan. Aku sendiri
lebih menghargai kegagahan dari pada nyawa, maka un-tuk mematangkan ilmuku, biar harus
menempuh bahaya yang mengancam nyawa sekalipun, akan kujalani tanpa rasa takut sedikitpun."
Dan kini se-pasang mata yang bening itu mengeluarkan sinar yang dingin dan menyeramkan
sehingga Pek Lian tidak mau bertanya lagi. Ia teringat akan ceritacerita yang pernah didengarnya
bahwa Tai - bong-pai adalah golongan yang termasuk sesat dan hitam. Heran ia membayangkan
bahwa seorang gadis yang begini ramah dan lemah lembut, begini cantik je-lita, adalah puteri dari
ketua Tai - bong - pai! Pa-dahal, nama Tai - bong - pai di dunia persilatan ti-dak kalah seram dan
menakutkannya dibandingkan dengan nama Pulau Selaksa Setan ini! Teringat ini, Pek Lian bergidik
dan baru ia teringat bahwa dara yang menjadi kawan akrabnya ini sebenarnya datang dari dunia
yang sama sekali berlainan de-ngan dunianya sendiri. Ia teringat bahwa Tai-bong-pai adalah
golongan yang ahli dalam hal racun, mungkin tidak kalah keji dan berbahayanya diban-dingkan
dengan Tujuh Iblis penghuni kepulauan ini.
Akhirnya mereka melihat pulau terakhir, sebu-ah pulau yang bulat dan berbentuk sebuah
bukit kecil. Pulau ini banyak ditumbuhi pohon - pohon seperti pohon cemara yang kecil dan tinggi.
Pada waktu itu, fajar telah menyingsing. Langit timur seperti terbakar, kemerahan oleh sinar
matahari yang telah mendahului sang raja siang. Udara se-juk dan angkasa cerah. Indah dan
nyaman, sungguh berlawanan dengan bahaya yang mengancam di pulau itu yang nampaknya
begitu hening dan menyenangkan. Mereka mendarat dengan hati-hati, memilih celah - celah di
mana terdapat semak-semak belukar.
Baru saja mereka menarik perahu ke pinggir dan melangkahkan kaki, hampir saja Pek Lian
men-jerit ketika tiba-tiba muncul seekor tikus berbulu hitam yang besarnya seperti kucing bunting.
Tikus ini muncul di dekat kakinya, hampir terinjak. He-batnya, tikus itu tidak melarikan diri, bahkan
ber-henti dan melotot ke arah Pek Lian, dan bibirnya ditarik ke atas, menyeringai memperlihatkan
gigi-nya seperti seekor harimau kalau marah. Sikapnya seakan - akan hendak menyerang, dan
bulu di bagian lehernya tegak, sedikitpun dia tidak kelihatan takut menghadapi manusia!
"Ssttt ! Hushhhhttt!" Pek Lian mencoba
mengusirnya dengan desisan suara.
Akan tetapi tikus itu bukannya takut malah me-runcingkan moncongnya dan mengeluarkan
bunyi menguik tajam, kepalanya diangkat dan lagaknya siap untuk menyerang.
"Sudahlah, enci, lebih baik jangan kita usik dia. Mari kita pergi ke dalam pulau," kata Siok
Eng yang merasa ngeri juga melihat ada tikus sebesar itu yang berani melawan manusia.
"Hei, awas, Eng - moi! Lihat di belakangmu dan itu juga di sebelah kananmu. Awas!" Tibatiba
Pek Lian berseru dan Siok Eng hampir me-loncat saking kagetnya. Ternyata kini bermunculan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tikus - tikus hitam yang besar - besar, seperti me-ngepung mereka dan tikus-tikus itu nampak menyeringai
dan mengeluarkan bunyi, siap tempur !
Beberapa ekor lagi nampak datang dengan sikap mengancam.
"Wah, wah hiiih, jijik aku. Mari kita cepat
pergi, enci Lian!" kata Siok Eng yang sudah me-nyambar tangan Pek Lian dan kedua orang
nona itu sudah berloncatan pergi menjauhi tikus - tikus yang melotot marah itu. Dengan bulu
tengkuk me-remang keduanya sudah berlari cepat mengelilingi pulau. Mereka mencari - cari bunga
mawar hitam di antara semua tanaman yang tumbuh di pulau dan mereka sengaja menjauhi
bangunan - bangunan rumah yang nampak berdiri di tengah - tengah pulau. Akan tetapi sekian
jauhnya mereka belum juga ber-hasil menemukan apa yang mereka cari dan akhir-nya mereka
tiba di pantai yang landai dan penuh pasir. Dan tiba - tiba mereka menyelinap dan ber-sembunyi
di balik batu karang. Mereka melihat banyak perahu besar kecil berlabuh di tempat itu. Bermacammacam
perahu yang agaknya datang dari tempat asing yang jauh.
"Aihh, banyak benar tamu yang datang berkun-jung ke pulau ini, enci," kata Siok Eng
dengan suara mengandung keheranan. "Lihat perahu-pe-rahu itu, ada yang berbendera asing
pula. Yang kiri itu kelihatannya seperti bendera orang-orang Mo-ngol."
Pek Lian mengangguk. "Tak salah lagi, itu memang bendera Mongol. Dan yang di kanan itu,
pe-rahu bercat kuning itu. Bukankah orang - orangnya memakai pakaian seragam perajurit
pemerintah ? Hemm, apakah tempat ini diserbu pasukan pemerin-tah ?"
"Ah, kurasa tidak, enci. Lihat saja perahu Mongol
itu. Di sana juga terdapat pasukan asing dan
mereka nampak bersahabat dengan pasukan pemerintah.
Hemm, ada apa pula ini? Padahal, antara
pasukan pemerintah dan para raja kecil Mongol selalu
terjadi permusuhan. Mengapa kini kedua pihak
nampak rukun dan bersama - sama berada di sini ?
Tidak nampak tanda - tanda pertempuran dan mereka
itu agaknya datang ke sini dengan baik - baik
"
Pek Lian sebagai puteri menteri dan juga pe-mimpin pasukan patriot, sedikit banyak tahu
akan hal itu, maka iapun berkata dengan alis berkerut, "Sungguh membingungkan. Kedua pasukan
itu nampak bersahabat, padahal di perbatasan utara antara kedua pasukan selalu terjadi
pertempuran. Tentu ada hal - hal yang aneh dan tidak beres di sini."
Karena matahari mulai bersinar dan di tempat itu terdapat demikian banyaknya orang, dua
orang dara itu lalu bersembunyi di antara pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang pantai itu.
Ketika me-lihat sebatang pohon besar yang daunnya lebat, ke-duanya lalu naik ke atas
bersembunyi di dalam pohon itu, di antara daun-daun yang lebat. Karena mereka telah memakai
olesan obat anti racun, maka mereka tidak takut menghadapi serangan bi-natang-binatang kecil.
Dari tempat persembunyi-an ini mereka memandang ke arah pantai di mana terdanat perahu -
perahu dan para perajurit itu.
Tiba - tiba jantung Pek Lian berdebar tegang ketika ia melihat sebuah perahu besar yang
baru saia meninggalkan pulau itu. Perahu besar itu berbendera asing dan ia mengenalnya sebagai
pe-rahu di mana ia dan Bwee Hong pernah berkelahi melawan para penumpang perahu, dan di
mana ia pernah mendengar suara ayahnya. Akan tetapi perahu itu agaknya baru saja
meninggalkan pulau sehingga hati Pek Lian menjadi kecewa sekali. Ingin ia dapat menyelidiki
keadaan perahu itu, untuk melihat apakah benar ayahnya berada di perahu besar itu.
Di tempat persembunyian ini, mereka berdua merasa aman, danat melepaskan lelah sambil
meng-atur rencana selanjutnya dalam usaha mereka men-cari Hek - kui - hwa. Tiba - tiba
terdengar suara banyak orang. Mereka cepat menoleh dan dari arah tengah pulau nampak belasan
orang berbondong-bondong menuju ke pantai. Pakaian mereka itu aneh - aneh dan dari sikap
mereka mudah diduga bahwa mereka adalah orang - orang dari dunia per-silatan. Di antara
mereka terdapat orang - orang yang dari pakaiannya mudah diduga bersuku Bang-sa Mancu dan
Mongol. Semua orang membawa
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
senjata dan sikap mereka gembira sekali ketika mereka menuju ke perahu - perahu itu. Di
belakang mereka nampak belasan orang pula yang agaknya merupakan rombongan tuan rumah,
sikap mereka seperti mengantar tamu itu menuju ke perahu - pe-rahu mereka. Mereka berjalan
beriringan sambil tertawa - tawa gembira.
(Bersambung jilid ke XVI.)
xx—» DARAH PENDEKAR «—xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XVI
* * *
DENGAN penuh perhatian dua orang gadis itu memandang ke arah mereka. Kini mata-hari
telah membuat mereka dapat meneliti wajah orang - orang itu dengan jelas. Yang berjalan pa-ling
depan di dalam rombongan tuan rumah adalah seorang laki - laki pendek kecil yang pakaiannya
mewah sekali. Orang ini mempunyai sepasang ma-ta yang kecil dan dalam, akan tetapi mata itu
ber-kilat - kilat penuh kecerdikan dan kelicikan. Dari gerak - gerik dan pandang matanya saja
mudah di-duga bahwa orang ini tentu lihai sekali.
Rombongan tuan rumah itu mengantar para ta-munya sampai mereka semua naik ke perahu
ma-sing - masing dan perahu - perahu itu berlayar me-ninggalkan pulau. Dapat dibayangkan
betapa ka-getnya hati Siok Eng dan Pek Lian ketika melihat rombongan tuan rumah itu kini
menuju ke arah pohon tempat mereka bersembunyi. Biarpun pohon itu besar dan daunnya lebat,
akan tetapi kalau orang - orang itu berada di bawah pohon, tentu mereka berdua akan ketahuan.
"Adik Eng, lihat, ada lubang besar di batang pohon ini!" Tiba - tiba Pek Lian berkata sambil
menuding ke bawah. Memang benar. Pohon itu memiliki batang yang amat besar, sebesar pelukan
tiga empat orang dewasa dan kini setelah Pek Lian menyingkap daun-daun yang rimbun, nampak
ada lubang besar tepat di tengah - tengah batang pohon itu.
"Bagus, kita bersembunyi saja di dalamnya!" kata Siok Eng yang mendahului Pek Lian
mema-suki lubang itu. Pek Lian mengikuti dan ternyata lubang itu memang cukup besar untuk
mereka ma-suki berdua. Akan tetapi, ternyata lubang itu terus menembus ke bawah, merupakan
terowongan gelap yang terus ke dalam tanah ! Kiranya, itu merupakan sebuah jalan rahasia pula!
Tentu saja keduanya yang takut ketahuan itu menjadi heran dan girang, lalu melanjutkan
perjalanan mereka melalui tero-wongan. Di bawah tanah, mereka dapat berjalan sambil
merunduk, akan tetapi cuacanya menjadi semakin gelap sehingga mereka harus meraba-raba ke
atas dan ke depan agar kepala mereka tidak ter-bentur dan kaki mereka tidak terjeblos. Karena
ma-kin lama lorong terowongan itu menjadi semakin dalam dan gelap, Pek Lian merasa khawatir
juga.
"Eng-moi, apakah tidak sebaiknya kita kem-bali saja ? Guha ini gelap menyeramkan dan kita
tidak mengenalnya sama sekali, tidak tahu ke mana terowongan ini menuju. Bagaimana kalau
terowongan ini runtuh dan jalannya terputus ? Kita tentu akan terkubur hidup - hidup di sini, kita
akan megap - megap kehabisan napas, seperti tikus-tikus
tertimbun- aiiihhhh !" Pek Lian menjerit
saking ngerinya ketika tiba-tiba saja kakinya meng-injak seekor tikus besar yang menggigit
betisnya! Untung bahwa betisnya telah diolesi obat penawar dan juga dilindungi kaos kaki dan ia
tadi mengerah-kan sinkang sehingga tidak sampai terluka. Sekali ia menggerakkan kaki
menginjak, terdengar bunyi
"cieeettt prakkk i" dan tikus itu mati dengan
kepala dan tubuh pecah, isi tubuhnya dan darah-nya muncrat ke mana-mana. Tercium bau
wangi bercampur amis yang memuakkan.
"Ihhh ! Adik Eng, sungguh menjijikkan . . . ."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Pek Lian berseru. "Aku aku menginjak tikus
dan kuinjak ia sampai lumat!"
"Hihhh mengerikan ., I" Siok Eng juga
bergidik jijik, akan tetapi ia segera menguatkan batinnya. "Akan tetapi terowongan ini
agaknya sudah biasa dimasuki orang. Coba raba, tanahnya begini bersih dan kering dan
terowongan ini agak-nya menuju ke tengah pula. Siapa tahu ini meru-pakan jalan rahasia yang
akan membawa kita ke tempat Si Tikus Beracun ?"
"Tapi tapi tikus - tikusnya " Pek
Lian bergidik. Ia masih merasa ngeri membayang-kan tikus-tikus besar yang pernah
menghadang mereka dan membayangkan tikus yang diinjaknya
pecah tadi. "Adik Eng, aku bukan takut mati, akan
tetapi siapa tahu terowongan ini penuh dengan
tikus beribu - ribu banyaknya ? Hiihh, kalau harus berhadapan dengan ribuan tikus, sebelum
apa-apa aku mungkin sudah akan mati lemas karena jijik...!"
"Baiklah, enci Lian, mari kita kembali saja
eh, awas, ada orang datang!" Siok Eng berkata li-rih dan menarik tangan kawannya, diajak
bersem-bunyi mepet di dinding terowongan, lalu mundur ke bagian yang berbelok.
Tak lama kemudian, laki - laki pendek kecil yang tadi mereka lihat di luar, lewat di
terowongan itu. Untung bahwa tempat itu gelap sehingga laki-laki itu tidak melihat dua orang
gadis yang mepet di dinding. Tangan kanan laki - laki ini memegang sebatang cambuk. Setelah
melewati tempat per-sembunyian dua orang dara itu sampai beberapa langkah, tiba - tiba dia
berhenti dan hidungnya mendengus - dengus.
"Hemm, ada bau asing di tempat ini! Apa yang dibawa anak - anak itu ke sini ?" terdengar
dia menggerutu.
Tentu saja hati kedua orang dara itu berdebar tegang. Apakah jejak mereka telah diketahui
? Bukan main tajamnya daya cium manusia ini. Apa-kah dia ini yang berjuluk Te-tok-ci, orang
pertama dari Ban-kwi-to ? Akan tetapi menurut keterang-an yang diperoleh Siok Eng, Tikus
Beracun itu sudah berusia enampuluh tahun lebih, sedangkan orang pendek kecil ini usianya
paling banyak tiga-puluh lima tahun.
Pada saat orang itu dengan penuh keraguan hendak berbalik dan dua orang dara itu sudah
siap siaga menghadapi segala kemungkinan, tiba - tiba terdengar suara riuh mencicit dari depan
sana. De-mikian gaduh dan riuh suara itu, suara dari mungkin ratusan ekor tikus yang bercuitan,
se-hingga orang pendek kecil itu tidak jadi kembali.
"Kurang ajar! Ada apakah dengan anak - anak setan itu ?" gerutunya dengan suara geram.
Dia meloncat ke depan dan tubuhnya meluncur dengan cepatnya. Dua orang gadis itu
memandang ke de-pan dan tiba-tiba nampak cahaya terang di depan, seolah - olah ada pintu yang
dibuka. Mereka ber-dua menjadi tertarik dan karena tidak ada jalan lain untuk keluar dari tempat
itu, merekapun tidak jadi kembali, khawatir bertemu dengan orang-orang yang baru masuk, dan
merekapun lalu berindap-indap melangkah maju dengan hati - hati. Kini te-rowongan menjadi
tidak segelap tadi, remang - re-mang dan mereka dapat melihat ke depan.
"Ah, di depan itu terang benar, agaknya kita menuju ke lubang keluar, Eng - moi," kata Pek
Lian dengan suara berbisik gembira. Ia merogoh saku hendak mengambil saputangan untuk
meng-hapus keringatnya, akan tetapi ternyata kantongnya kosong. Agaknya saputangannya itu
terjatuh ketika
ia menginjak tikus tadi. Mereka berjalan terus ke depan, ke arah sinar terang.
Akan tetapi ternyata mereka kecelik. Sinar te-rang itu sama sekali bukan datang dari lubang
ke-luar, melainkan dari sebuah lampu minyak yang besar sekali, yang berdiri di atas meja batu. Di
tem-pat ini, terowongan menjadi besar dan membentuk sebuah ruangan yang luas penuh dengan
batu-batu besar berserakan. Dan di ruangan luas ini, terdapat pintu-pintu terowongan lain yang
semuanya ber-jumlah delapan buah termasuk, terowongan dari mana mereka datang. Tentu saja
dua orang dara itu menjadi bingung sekali. Tidak nampak laki-laki kecil pendek tadi, dan mereka
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
berdua tidak tahu ke mana mereka harus pergi, mulut terowongan mana yang harus mereka ambil
untuk dapat keluar dari tempat itu.
"Wah, enci Lian, sungguh aku menyesal sekali telah membawamu ke sini. Agaknya kita akan
be-nar-benar terkubur hidup-hidup di sini,"
"Jangan sesalkan hal itu, adik Eng. Kalau bukan
engkau yang menolong, bukankah aku juga sudah
mati ditelan lautan ? Sekarang kita belum mati,
tidak boleh putus asa, walaupun aku aku
seperti mendapat firasat bahwa kita telah memasuki tempat yang sangat mengerikan."
Bayangan tikus yang diinjaknya tadi masih membuat nona ini ber-gidik ngeri dan jijik.
"Bagus, enci. Engkau telah membangkitkan se-mangatku kembali. Kita memang tidak boleh
putus asa dan kita hadapi bersama segala bahaya yang mungkin menimpa kita. Akan tetapi karena
kita kehilangan jejak orang tadi, mari kita cari sendiri saja jalan keluar secara untung-untungan."
"Lalu mulut terowongan mana yang harus kita pilih, Eng - moi ?"
"Aku yakin bahwa satu di antara mulut - mulut terowongan itu tentu menuju ke istana Te -
tok - ci. Karena kita baru saja keluar dari mulut terowongan yang di kanan, maka untuk menuju ke
tengah pu-lau tentu harus mengambil jalan yang bertentangan, yaitu yang berada di lari. Akan
tetapi, di sebelah kiri terdapat tiga buah mulut terowongan yang ha-rus kita pilih salah satunya.
Enci Lian, berkali-kali engkau lolos dari cengkeraman maut, itu tandanya bahwa nasibmu masih
baik. Oleh karena itu, biar aku membonceng nasib baikmu itu dan engkaulah yang memilih satu di
antara tiga pintu terowongan itu."
Pek Lian tersenyum.. "Mudah - mudahan saja nasibku akan selalu mujur dan tidak salah
memilih terowongan ini. Bagaimanapun juga, andaikata sa-lah pilih, kita masih dapat kembali ke
sini dan me-milih yang lain lagi, bukan ? Nah, mari kita mema-suki lubang yang di tengah itu."
Ternyata lubang ini tidaklah selebar yang mereka lalui tadi. Juga amat sukar dilaku karena di
dalamnya banyak sekali batu - batu karang yang tajam dan runcing bertonjolan di kanan kiri atas
dan bawah. Mereka harus berhati - hati, kadang-kadang meloncat dan harus selalu waspada
karena kalau tidak hati - hati, kepala mereka dapat ter-tumbuk batu di atas. Apa lagi lubang itu
tidak begitu terang, hanya remang - remang.
Tiba - tiba terdengar suara ledakan cambuk di sebelah depan. Tentu saja dua orang gadis
yang sejak tadi sudah merasa tegang dan amat berhati-hati itu, menjadi terkejut dan mereka
berhenti melangkah, saling berpegang tangan dan meman-dang tajam ke depan.
"Enci Lian, itu dia! Kiranya masuk juga ke terowongan ini," bisik Siok Eng.
Mereka bergerak dengan hati - hati menuju ke depan. Dari depan ada angin bertiup lembut
dan mereka menutupi hidung. Angin itu membawa bau yang menyengat hidung karena amis dan
busuk. Tibalah mereka di sebuah ruangan yang luas dan pada dinding - dinding ruangan itu
terdapat bebe-rapa buah lampu minyak yang terang. Ketika de-ngan hati - hati mereka mengintai
ke ruangan itu, mereka bergidik dengan hati ngeri. Di atas lantai, di tengah - tengah ruangan itu
nampak bangkai ra-tusan ekor tikus berserakan dan bertumpuk-tumpuk! Dan di antara bangkai -
bangkai itu berdiri seorang laki - laki memegang cambuk yang digerak - gerakkan ke kanan kiri
seperti orang mengancam. Itulah laki-laki pendek kecil tadi.
Pek Lian dan Siok Eng mengintai dari tempat sembunyi mereka dengan hati ngeri. Kini
nampak jelas oleh mereka bahwa bangkai - bangkai tikus itu terdiri dari dua macam tikus yang
besar - besar, yang berbulu kemerahan dan kehitaman. Dan kini nampaklah oleh mereka bahwa di
sebelah kiri nampak tikus berbulu merah, ratusan banyaknya, dengan sikap ganas dan siap
menyerang. Sedang-kan di sebelah kanan orang pendek itupun ber-gerombol ratusan ekor tikus
hitam yang berbin-tik-bintik putih, semua juga menyeringai buas se-perti tikus - tikus merah.
Mudah diduga bahwa dua macam gerombolan tikus ini telah mengadakan pe-rang, terbukti
adanya bangkai - bangkai dua ma-cam tikus di tempat itu.
Dua gerombolan tikus yang masih hidup itu, nampak buas dan marah, siap untuk saling
serang akan tetapi mereka itu kelihatan tunduk dan takut kepada si kecil pendek yang berdiri
dengan cambuk di tangan, di antara mereka. Agaknya si pendek inilah yang tadi menghentikan
perang antar tikus ini.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Bedebah busuk! Keparat jahanam! Tikus-tikus tengik yang tak tahu aturan ! Kenapa kamu
saling serang dan saling bunuh ? Kurang ajar ! Be-rani ya kalian menyerang tanpa diperintah ?
Uhh,
percuma saja kamu dipelihara dan diberi makan.
Tar - tar - tarrrr !!" Cambuknya meledak-ledak
dan tikus-tikus kedua pihak itu undur ketakutan.
"Binatang - binatang busuk, di mana pengasuh
- pengasuh kalian ? Ang - lojin ! Hek - lojin
Di mana kalian? Kenapa bocah-bocah peliharaamnu
kalian biarkan saling bunuh ?"
Gema suaranya yang mengandung tenaga khi-kang itu menerobos ke seluruh lorong -
lorong ba-wah tanah itu, kemudian lenyap dan suasana men-jadi amat sepi. Dan di dalami
kesunyian ini tiba-tiba terdengar suara rintihan dari lubang terowong-an sebelah kanan. Di
ruangan itu terdapat empat buah lubang terowongan. Pulau kecil yang men-jadi tempat tinggal
atau sarang Te - tok - ci atau Tikus Tanah Beracun ini memang merupakan tem-pat yang paling
berbahaya. Di bawah tanah pulau ini penuh dengan jalur - jalur lalu lintas bawah ta-nah,
terowongan - terowongan yang mempunyai banyak cabang dan ranting, penuh rahasia dan dipasangi
alat - alat rahasia pula, bahkan di situ terdapat tikus-tikus beracun peliharaan Te-tok-ci.
Maka, dapat dibayangkan betapa berbahayanya keadaan di pulau ini. Dari atas memang nampak
sebagai sebuah pulau yang indah dan menyenang-kan, namun di bawah pulau tersembunyi
jebakan-jebakan dan binatang-binatang peliharaan yang kalau dikerahkan akan merupakan
pasukan yang menyeramkan dan berbahaya. Apa lagi kalau sampai ada musuh yang terjebak ke
dalam terowongan ini!
Mendengar suara rintihan dari terowongan se-belah kanan ini, si pendek kecil berkelebat ke
ka-nan dan lenyap ke dalam terowongan itu. Dan be-gitu orang itu pergi, tikus - tikus kedua pihak
yang sejak tadi memang sudah siap tempur itu sudah saling berlompatan menyerang lawan
dengan ga-nasnya. Terdengar suara hiruk - pikuk menggiris-kan dan darah tikus berhamburan,
udara menjadi amat busuk dan amis. Apa lagi ketika muncul see-kor tikus hitam berbintik putih
yang sangat besar, dua kali besarnya dari pada teman - temannya. Ti-kus ini menyerang dengan
buas dan biarpun dike-royok oleh lima ekor tikus merah, dia masih dapat mengungguli mereka.
Darah makin banyak ber-hamburan dan bau amis membuat dua orang gadis yang menonton
semua ini dari tempat persembunyian mereka itu hampir muntah.
"Enci Lian, mari kita pergi " Suara Siok
Eng agak menggigil karena ia merasa ngeri. "Kalau sampai kita yang dikeroyok ribuan atau
laksaan
tikus hihih, aku bisa jatuh pingsan karena
jijik."
Akan tetapi pada saat itu kembali terdengar bunyi cambuk meledak - ledak dan sungguh luar
bia-sa sekali, tikus - tikus yang tadinya saling terkam, saling gigit dan saling bantai itu mendadak
saja berhenti dan mereka mundur ke tempat masingmasing,
bersatu dengan kawan-kawannya. Tikus-tikus yang mati menambah banyak bangkai
yang berserakan, sedangkan tikus-tikus yang terluka pa-rah dengan susah payah beringsut-ingsut
dan ter-saruk - saruk mencoba untuk berkumpul ke dalam barisan teman - temannya.
Si pendek kecil itu datang lagi dan tangan kiri-nya menarik lengan seorang kakek yang
berkulit hitam legam mengkilat. Kakek itu nampak keta-kutan dan tubuhnya agak gemetar. Dia
berjalan setengah diseret dan kelihatan lemah dan terhu-yung seperti orang sakit.
"Tar - tarrr !" Cambuk itu meledak di udara. "Jahanam-jahanam gila ! Apa yang telah
terjadi? Apakah dunia telah kiamat dan neraka muncul di tempat ini ? Agaknya setan - setan
berkeliaran dan memasuki tubuh kalian semua ! Heh, Hek - lojin. Hayo katakan, apa yang telah
terjadi di sini ? Ke-napa engkau sampai menderita luka dalam akibat pukulan ? Dan di mana
adanya Ang - lojin ?"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kakek berkulit hitam itu lalu menjatuhkan diri-nya berlutut dan kelihatan semakin
ketakutan! Dengan suara lirih dan gemetar, kakek yang usia-nya sudah enampuluh tahun lebih
itupun mulai bercerita. Dia dan Ang - lojin merupakan dua di antara delapan orang penjinak atau
pawang tikus-tikus liar yang menjadi kaki tangan Te - tok - ci. Tentu saja keduanya, bersama
enam orang lainnya, adalah sahabat - sahabat dan rekan - rekan yang mempunyai daerah -
daerah sendiri di dalam dunia bawah tanah itu, mengepalai gerombolan tikus ma-sing-masing.
Akan tetapi, ketika rombongan pera-hu asing itu datang bertamu, muncul seorang pe-rempuan
yang menjadi pelayan di sebuah di antara perahu - perahu itu. Ketika perempuan itu turun ke
pulau untuk mencari air, Hek - lojin melihatnya, tertarik dan merayunya. Perempuan itu, seorang
perempuan peranakan Mongol, mau menyambut dan melayani rayuannya. Akan tetapi celakanya,
perempuan itu adalah seorang perempuan yang ti-dak puas dengan hanya seorang pria saja dan
iapun melayani rayuan Ang-lojin. Tentu saja hal ini mengakibatkan cemburu dan persaingan.
"Demikianlah, siauw - ya (tuan muda), kami
berkelahi dan tentu saja kami berdua juga mengerahkan
binatang-binatang peliharaan kamii untuk
saling menyerang. Kami berdua sama-sama terluka
"
"Keparat tolol! Hanya untuk urusan perem-puan saja saling gasak dengan rekan sendiri ? Jahanam
! Hayo. katakan, di mana sekarang Ang-lo-jin ?" Orang cebol yang galak itu membentakben-
tak.
"Dia dia bersama perempuan itu di
gudang makanan "
"Bangsat!" Si cebol itu memaki-maki dengan segala macam makian kotor dan tubuhnya
sudah berkelebat pergi lagi. Tak lama kemudian, setelah
menemukan Ang-lojin yang sedang dirawat karena luka - lukanya oleh seorang perempuan
Mongol, dia menyeret kedua orang itu kembali ke tempat di mana Hek-lojin masih berlutut dengan
takut-takut. Setelah tiba di situ, dengan kasar si cebol itu men-dorong Ang- lojin dan perempuan
itu sehingga merekapun jatuh bersimpuh dan berlutut.
Pek Lian dan Siok Eng mengintai dengan jan-tung berdebar. Ang-lojin bermuka merah dan
memang dia itu beberapa tahun lebih muda dan kelihatan ganteng apa bila dibandingkan dengan
Hek - lojin yang berkulit hitam legam ! Pantaslah kalau perempuan itu lebih condong hatinya
kepada si muka merah ini. Dan wanita itu sendiri sebenar-nya bukan seorang wanita cantik.
Usianya tentu sedikitnya tigapuluh lima tahun, bermuka kasar se-perti orang-orang Mongol dan
juga tubuhnya be-sar seperti pria. Akan tetapi dari pandang mata dan senyum mulutnya nampak
jelas bahwa ia ada-lah seorang wanita yang "panas" dan besar nafsu berahinya.
"Hek-lojin dan Ang-lojin, bagaimana seka-rang ? Kalau kalian sudah menyadari kesalahan,
minta maaf kepadaku dan saling memaafkan, me-lupakan semua permusuhan, baru aku akan
mem-beri ampun. Kalau tidak, aku sendiri yang akan menghukum kalian !" bentak si cebol yang
sudah nampak marah sekali.
Hek - lojin dan Ang - lojin yang masih berlutut itu lalu berkata, hampir berbareng. "Harap
siauw-ya sudi memaafkan saya."
"Bagus, sekarang kalian berjabat tangan dan saling melupakan semua kesalahan masingmasing."
Dua orang kakek itu saling pandang, kemudian mereka mengulurkan tangan dan saling
berpegang-an dan pada saat itu juga habislah semua permu-suhan dan dendam di antara mereka
karena mereka sadar bahwa permusuhan antara mereka hanya akan mencelakakan diri mereka
sendiri.
Tiba - tiba si cebol tertawa. Dua orang dara yang menonton semua itu, mengkirik. Si cebol
ini sungguh mengerikan. Baru saja maki - maki dan marah - marah, tiba - tiba dapat tertawa
segembira itu. Dan tiba - tiba si cebol sudah menubruk ke depan dan menangkap perempuan itu.
Tentu saja perempuan itu menjerit kaget, akan tetapi si cebol sudah membenamkan mukanya
pada leher perem-puan itu ! Terdengar jerit melengking mengerikan.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Pek Lian dan Siok Eng memandang dengan muka pucat. Mereka mengira bahwa si cebol itu
melakukan hal yang kurang ajar dan cabul, men-cium leher perempuan itu. Akan tetapi ketika
mereka melihat darah bercucuran, tahulah mereka bahwa si cebol bukannya mencium, melainkan
menggigit putus urat darah di leher perempuan itu! Hampir saja Pek Lian meloncat ke depan, akan
tetapi Siok Eng sudah memegang lengannya dan mencegahnya.
Kini sambil tertawa, si cebol melepaskan gigit-annya dan perempuan itu kelihatan terbelalak
dan terhuyung, lehernya mengucurkan darah seperti pancuran karena urat darah di lehernya
putus. Si cebol menggerakkan cambuknya, terdengar suara meledak dan tubuh perempuan itu
terlempar ke daerah gerombolan tikus. Dan terjadilah peman-dangan yang amat mengerikan hati
dua orang dara itu. Tikus - tikus yang tadinya saling serang itu kini beramai - ramai menyerang
tubuh perempuan yang sudah terluka lehernya itu. Hanya sebentar saja perempuan itu meronta -
ronta dan menjerit-jerit. Suaranya hilang dan tubuhnya berhenti me-ronta, mengejang sedikit lalu
terdiam, dan dalam waktu singkat saja semua daging tubuhnya habis, tinggal tulang - tulangnya
saja! Dan dua orang kakek itu hanya memandang dingin saja kepada bekas kekasih mereka yang
terbunuh dalam keada-an yang demikian mengerikan.
Pek Lian hampir pingsan. Ia memejamkan ma-tanya dan dipeluk oleh Siok Eng. Agaknya,
dara yang lebih muda ini lebih tabah menghadapi pe-nyiksaan yang demikian sadis tadi. Hal ini
tidak aneh karena gadis itu adalah seorang puteri Tai-bong-pai, perkumpulan yang oleh dunia
kang-ouw dianggap sebagai perkumpulan iblis juga.
Kini si cebol duduk di atas batu karang bundar di tengah - tengah ruangan itu. Tidak ada
bangkai tikus lagi di situ karena semua telah habis "disi-kat" tikus - tikus yang liar tadi. Agaknya
mereka telah menerima perintah atau ijin dari pamong atau pawang masing - masing dan mereka
bukan hanya makan daging perempuan Mongol itu, melainkan juga bangkai - bangkai tikus yang
berserakan itu mereka ganyang beramai - ramai. Kemudian tikus-tikus itupun pergi dan ruangan
itu kembali bersih, bahkan darah yang tadinya berceceran di mana-mana telah bersih dijilati tikus -
tikus itu. Yang ada hanya tinggal tulang - tulang besar tubuh perempu-an itu yang tidak dapat
dihabiskan atau ditelan oleh tikus - tikus itu.
Si cebol meraih ke atas di mana tergantung se-buah genta besar, lalu memukulnya.
Terdengar su-ara nyaring yang bergemuruh dan gemanya mem-balik dari semua penjuru. Tak
lama kemudian, panggilan ini telah mendapat sambutan dan terde-ngar suitan - suitan dari lorong
- lorong itu. Dan muncullah enam orang lain yang rata - rata memi-liki tampang yang
menyeramkan. Bersama Ang-lojin dan Hek - lojin, mereka berdiri mengelilingi batu di mana si
cebol yang mereka sebut siauw - ya itu duduk. Si cebol memandang kepada mereka semua,
seorang demi seorang, dengan pandang mata tajam penuh wibawa.
"Dengarlah kalian semua ! Ayah amat sibuk dan tidak ingin diganggu, maka kalian harus
tidak me-nimbulkan keributan. Hari ini ayah menerima ba-nyak tamu. Akan tetapi ketahuilah,
Selain kawan-kawan ayah dari dunia kang - ouw dan liok - lim yang berkunjung untuk bersahabat
dan minta se-suatu dari ayah, ada pula seorang jago silat bekas musuh ayah yang datang untuk
suatu keperluan yang belum kita ketahui. Karena itu, ayah menyu-ruhku menghubungi kalian agar
kalian bersiap-siap dan berhati - hati. Semua peliharaan harus diper-siapkan agar sewaktu-waktu
dibutuhkan, dapat segera dipergunakan. Periksa alat rahasia yang menghubungkan tempat ini
dengan istana. Dan ingat baik - baik. Musuh yang datang sekarang ini bukanlah sembarang orang,
akan tetapi dia adalah keturunan seorang datuk dari utara. Bukan musta-hil kalau ayah sendiri
tidak akan mampu menun-dukkan. Maka kita harus bersiap - siap, kalau ter-paksa dia akan
kujebak ke dalam terowongan."
Setelah selesai menyampaikan berita penting itu, yang disambut oleh delapan orang
pembantu yang mengangguk - angguk, si cebol yang ternyata adalah putera dari Te - tok - ci itu
meloncat ke arah meja batu di mana terdapat sebuah lampu mi-nyak. Meja itu didorongnya ke
samping sampai miring. Tiba-tiba di atas langit - langit ruangan itu terbuka sebuah lubang kecil
dan secepat kilat si cebol sudah meloncat dan menerobos keluar ke atas. Tak lama kemudian meja
itu tegak kembali seperti semula dan lubang di atas itupun tertutup kembali oleh sebongkah batu
karang besar.
Si cebol itu adalah putera Te - tok - ci dan dia memakai julukan Siauw - thian - ci (Tikus
Langit Kecil)! Agaknya, dalam hal julukan, dia tidak mau kalah oleh ayahnya yang berjuluk Tikus
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Beracun Bumi. Dia berjuluk Tikus Langit! Hanya ditambah Kecil karena tentu saja dia tidak berani
melampaui ayahnya. Dan semua anak buah Tikus Beracun menyebut siauw - ya (tuan muda).
Setelah Siauw-thian-ci pergi, delapan orang itupun meninggalkan ruangan itu, kembali ke
tem-pat tugas masing-masing. Sampai lama Pek Lian dan Siok Eng belum berani bergerak, sampai
mere-ka merasa yakin benar bahwa tidak ada lagi orang yang kembali ke tempat itu.
"Ke mana sekarang, Eng - moi ? Menerobos lo-wat lubang langit - langit seperti dia tadi ?"
"Itu sangat berbahaya, enci Lian. Siapa tahu dia masih berada di atas, sedangkan untuk
kembali kita tidak mengenal alat rahasianya dari atas. Apa lagi kalau di sanapun masih terdapat
pintu - pintu rahasia seperti ini."
"Habis bagaimana ? Tinggal di sini kita menjadi seperti tikus - tikus itu, tidak dapat keluar."
"Mari kita ke sana saja." Siok Eng menunjuk ke arah lubang terowongan yang paling lebar.
Me
reka berjalan dengan hati - hati sekali dan bersikap waspada. Tiba - tiba keduanya
menghentikan lang-kah dan mepet di dinding terowongan. Seorang di antara delapan anak buah
yang tadi berkumpul se-dang berjalan membawa sebuah keranjang yang nampaknya berat. Orang
itu bermuka putih pucat dan dia membelok ke kiri lalu menuruni anak tang-ga. Di dasar tangga itu
terdapat sebuah ruangan berpintu baja. Dua orang dara perkasa itu meng-ikutinya dan mengintai
ketika orang itu berdiri di depan pintu baja. Si muka putih mencabut setang-kai obor yang
terpasang di atas pintu baja dan pin-tu itupun terbuka secara otomatis.
Ketika pintu terbuka, hampir saja dua orang dara itu mengeluarkan teriakan kaget dan jijik.
Di balik pintu baja itu terdapat sebuah guha yang luas dan di situ berkumpul tikus berbulu putih
yang mungkin ribuan ekor banyaknya! Orang bermuka putih itu melontarkan isi keranjang besar
ke dalam. Tikus - tikus putih berebutan sambil mengeluarkan suara bercicit riuh rendah. Sebentar
saja isi keran-jang itupun habis dan agaknya tidak mencukupi. Tikus - tikus yang tidak mendapat
bagian kelihatan menjadi buas dan marah. Mereka menyerbu ke arah pintu. Melihat ini, Pek Lian
menangkap le-ngan Siok Eng dan mencengkeramnya dengan hati penuh kengerian. Kalau bukan
puteri ketua Tai-bong-pai yang dicengkeramnya, tentu lengan itu akan terluka!
Akan tetapi, dengan tenang saja si muka putih itu mencabut keluar sebuah tabung bambu
besar lalu mengeluarkan isi tabung yang berupa bubuk putih. Tercium bau yang keras ketika
bubuk putih itu digenggamnya dan aneh sekali, tikus - tikus yang tadinya buas menyerbu ke
depan itu, seketika un-dur kembali ketakutan dan kembali ke tempat ma-sing-masing. Si muka
putih menyeringai gembira.
"Nah, begitu baru anak - anak baik namanya. Nanti aku akan kembali membawa makanan
lebih banyak lagi." Kakek itu lalu menutupkan kembali pintu baja dengan mengembalikan obor di
tempat semula, lalu diapun pergilah dari situ. Ketika orang itu lewat, dua orang dara cepat
bersembunyi di dalam lubang - lubang dan celah - celah batu. Ke-tika orang itu datang dekat, dia
lalu memandang ke kanan kiri, cuping hidungnya kembang kempis. Akan tetapi dia lalu menciumi
tangannya yang tadi menggenggam obat bubuk dan dia mengge-leng kepala lalu lewat pergi.
"Aih, orang-orang di sini mempunyai pencium-an yang peka sekali, enci. Untung dia tidak
mene-mukan kita. Mari kita ikuti dia !"
Dengan hati-hati dua orang dara itu memba-yangi si muka putih. Ketika tiba di
persimpangan jalan terowongan, muncul berturut - turut tujuh orang anak buah yang lain dan
mereka semua juga memegang tabung bambu besar berisi obat bubuk putih yang merupakan
obat yang ditakuti tikus itu.
Mereka mengumpulkan tabung - tabung itu dan dua orang di antara mereka lalu membawa
tabung - ta-bung itu ke sebuah ruangan besar setelah melalui jalan berbelak - belok. Agaknya dua
orang ini ber-tugas untuk mengumpulkan dan menyimpan ta-bung - tabung itu, karena isinya
merupakan barang yang amat penting bagi mereka dan tidak boleh sampai terjatuh ke tangan
musuh. Bubuk putih itu merupakan senjata ampuh untuk mengusir tikus-tikus liar.
Ada dua buah pintu di ruangan itu, dan mereka berdua itu lalu membuka pintu hijau,
menyimpan tabung itu ke dalam sebuah kamar di balik pintu hijau. Kemudian merekapun pergi
melalui jalan terowongan di sebelah kiri, meninggalkan dua orang nona yang membayangi
mereka. Setelah dua orang kakek itu pergi, Siok Eng berbisik, "Kita perlu se-kali dengan bubuk
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
putih itu. Kita harus mengam-bil yang cukup untuk dipergunakan kalau perlu." Pek Lian
mengangguk dan mereka lalu berindap-indap menghampiri pintu hijau, membuka daun pintu yang
tidak dipasangi alat rahasia. Siok Eng yang sebagai puteri ketua Tai-bong-pai amat ahli tentang
racun, mengambil bubuk putih, membung-kusnya dengan saputangan dan Pek Lian melakukan hal
yang sama. Kemudian mereka berunding sam-bil bisik - bisik.
"Sekarang lihat baik - baik pintu merah itu, enci Lian. Di atasnya ada tulisan yang melarang
orang masuk. Kurasa itu menandakan bahwa di dalam kamar di balik pintu merah itu tentu ada
rahasianya yang penting. Kita masuk ke situ!"
"Tapi bagaimana kalau di dalamnya menanti
jebakan - jebakan atau orang - orang yang
sudah siap ? Bukankah itu berarti kita seperti ularular
mencari penggebuk ?"
"Kita harus berani menghadapi resiko itu. Ku-rasa tulisan itu ditujukan kepada para anak
buah dan ini berarti bahwa hanya orang - orang penting seperti ketuanya sendiri saja yang boleh
masuk. Dan mustahil kalau jalan untuk sang ketua dipasangi jebakan. Mari, ikuti aku."
Mereka berdua mendorong pintu merah yang terbuka dengan mudah. Keduanya tertegun. Di
balik pintu itu terdapat sebuah kamar yang indah dan di dekat dindingnya terdapat sebuah tempat
tidur yang besar.
"Ehh !" Pek Lian menahan seruannya dan
menghampiri meja, lalu mengambil benda yang ternyata adalah sebuah cincin. Cincin
ayahnya ! Cincin stempel tanda kebesaran Menteri Ho !
"Cincin apakah itu, enci ?"
"Cicin ayahku ! Ah, benar ! Tentu ayah terba-wa oleh perahu yang sekarang berlabuh di sini
! Ayahku berada di sini!" Pek Lian merasa gembira sekali dan matanya berkilat - kilat. Ia
menyimpan cincin itu di saku bajunya sebelah dalam.
"Hemm, obat ini pentin
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To
Register.]***
gu. Tiba-tiba Pek Lian melihat sekilat cahaya di balik lemari. "Eng - moi, lihat. Ada sinar dari
belakang lemari. Ini berarti bahwa di belakang lemari itu tentu ada ruangan lain. Mari kita geser!"
Mereka bekerja sama menggeser lemari itu dan setelah tergeser mereka melihat adanya
sebuah lorong yang menuju ke atas. Akan tetapi lorong ini kemudian terpecah menjadi dua.
Mereka lalu memilih yang kiri. Dengan hati - hati mereka me-langkah, takut kalau - kalau ada
jebakan rahasia di depan. Lorong itu berakhir dengan sebuah pintu dan ketika mereka membuka
dan mengintai, mere-ka melihat bahwa di luar daun pintu itu terdapat sebuah taman yang indah,
dengan kolam renang di tengah - tengah dan pada saat itu terdapat belasan orang wanita cantik
yang sedang mandi sambil bersendau - gurau. Kedua orang dara itu dapat menduga bahwa
tempat ini tentu merupakan tem-pat tinggal para isteri atau selir pemilik pulau. Mereka tidak
berani memasuki taman, menutupkan kembali daun pintu itu dan kembali sampai di lo-rong
bercabang, lalu kini mengambil lorong yang kanan. Dan tidak lama mereka tiba di akhir lorong ini
yang merupakan sebuah halaman terkurung pa-gar besi dan di tengah halaman itu tumbuh
sebuah pohon bunga yang luar biasa. Daun - daunnya pu-tih dan bunganya hitam mengkilat!
Itulah bunga yang dicari - cari oleh Siok Eng ! Melihat bunga ini, Siok Eng melompat kegirangan,
hampir ia ber-sorak dan seperti seorang anak kecil mendapatkan sebuah mainan yang sudah lama
diinginkannya, ia menghampiri pohon bunga itu.
"Hati - hati, enci, kau jangan memegang bunga ini," katanya dan ia sendiri lalu
mengeluarkan se-buah botol berisi cairan berwarna kuning, kemudian menggunakan cairan itu
untuk melumuri semua bagian kedua lengannya dan jari - jari tangannya. Setelah itu, barulah ia
memetik beberapa kuntum bunga hitam dan disimpannya baik - baik ke dalam guci kecil yang
sudah ada airnya. "Aih, benar kata ayahku dan tidak sia-sialah perjalananku yang jauh dan
berbahaya ini," kata Siok Eng sambil tersenyum manis. "Dan engkau juga berjasa atas hasil yang
kuperoleh ini, enci. Terima kasih !"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Adik Eng, bukan engkau yang harus berterima kasih, melainkan aku. Sekarang, bagaimana
kita akan dapat keluar dari lubang tikus ini ? Ingat, selama kita belum dapat meninggalkan pulau
ini, belum berarti bahwa kita berhasil."
"Engkau benar, cici. Lebih baik kita mengam-bil jalan lewat taman itu. Andaikata kita
ketahuan, lebih baik kita melayani musuh di tempat terbuka dari pada di dalam terowongan ini.
Kalau mereka menutup saja pintu rahasia terowongan ini, berarti kita akan terkubur hidup - hidup
dan menjadi san-tapan tikus - tikus menjijikkan itu !''
Membayangkan ini, Pek Lian sendiri bergidik. "Marilah, Eng - moi !'" Diingatkan tentang
tikus-tikus itu, kedua orang dara ini lalu bersicepat me-nuju ke daun pintu yang berada di akhir
terowong-an kiri. Mereka membuka daun pintu dan ternyata para wanita cantik tadi sudah selesai
mandi dan ti-dak ada orangnya dan di situ mereka melihat ba-nyak pakaian wanita yang indah -
indah. Kiranya itu adalah sebuah kamar pakaian yang serba leng-kap.
"Adik Eng, aku mempunyai gagasan baik. Ba-gaimana kalau kita menyamar saja sebagai
seorang di antara wanita-wanita itu? Dengan demikian, setidaknya memudahkan kita untuk
mencari jalan keluar."
"Bagus, enci Lian. Gagasanmu itu baik sekali!" kata Siok Eng sambil tertawa girang.
Keduanya lalu memilih pakaian yang cocok untuk ukuran tu-buh mereka dan sambil cekikikan
seperti dua orang anak nakal, mereka lalu berdandan. Dan karena keduanya memang cantik
jelita, tentu saja setelah berdandan, mereka nampak makin menarik sehing-ga keduanya saling
memuji.
"Wah, adik Eng, kalau melihat engkau, agak-nya wanita - wanita itu takkan terpakai lagi oleh
majikan pulau ! Engkau cantik seperti bidadari!"
"Aih, tidak menang dibandingkan denganmu, enci. Pakaian itu pantas benar kaupakai!"
Akan tetapi, tiba - tiba mereka waspada dan sa-ling pandang ketika ada langkah kaki menuju
ke kamar itu. Pek Lian berkedip, lalu ia membuka pintu dan dengan suara berwibawa menegur,
"Sia-pa berani menganggu kami?"
Kiranya yang datang adalah seorang penjaga dan dibentak demikian, dia kelihatan ketakutan
dan cepat menjatuhkan dirinya berlutut. "Maaf, sa-ya tidak tahu bahwa ji - wi (kalian berdua)
berada di sini. Saya diperintahkan oleh tocu (majikan pulau) untuk minta kepada dua orang hujin
dari puri ini sebagai wakil para hujin lain untuk mene-rima tamu."
Pek Lian mengerutkan alisnya. Sebagai seorang pemimpin ia memiliki kecerdikan dan ia
sudah dapat menduga apa yang terjadi, maka iapun meng-ambil sikap angkuh dan bertanya
dengan lagak seorang nyonya besar bertanya kepada pelayannya. "Masa hanya kami berdua ?
Siapakah tamu - tamu-nya ?"
"Bukan hanya ji - wi hujin (kedua nyonya) yang diharapkan hadir. Setiap puri diwakili oleh
dua orang, jadi dari empat puri berjumlah delapan orang. Adapun yang menjadi tamu - tamunya
ba-nyak sekali. Ada orang - orang Mongol, ada orang-orang kang - ouw, dan ada seorang datuk
dari utara bersama murid-muridnya. Delapan orang hujin dari empat puri diminta mengatur dan
mengepalai para pelayan untuk menghormat para tamu."
Karena penjaga itu bicara sambil berlutut maka dua orang dara itu sempat untuk saling
pandang dan Siok Eng memberi tanda setuju dengan meng-angguk sedikit kepada temannya.
Mereka tidak mempunyai pilihan lain. Menolak berarti membu ka rahasia. Mereka akan menerima
saja dan nanti akan dicari jalan terbaik kalau sudah tiba saatnya yang gawat. Apa lagi mendengar
nama julukan da-tuk utara itu, membuat hati Pek Lian tertarik.
"Apakah kaumaksudkan datuk utara itu adalah Yap - lojin ketua Thian - kiam - pang ?"
tanyanya.
Pertanyaan yang tepat ini tidak mengherankan hati si penjaga. Sebagai isteri atau selir
majikan-nya, tidak aneh kalau wanita cantik ini tahu akan nama tokoh - tokoh dunia persilatan.
Maka diapun mengangguk. "Benar dugaan hujin yang mulia."
Tentu saja Pek Lian menjadi girang bukan main. Bagaimanapun juga, Yap - lojin adalah
seorang pendekar besar dan hal ini dapat diartikan bahwa mereka berdua mempunyai seorang
kawan dalam sarang iblis ini. Apa lagi kalau Yap Kiong Lee, murid utama atau putera angkat Yap -
lojin berada di situ. Pemuda perkasa itu sudah pasti tidak akan membiarkan ia dan Siok Eng celaka
dan bantuan-nya sangat boleh diharapkan dan diandalkan. Be-sarlah hati Pek Lian mendengar
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
bahwa Yap - lojin dan murid - muridnya, para pendekar Thian - kiam-pang itu, berada pula di
pulau iblis ini.
Dua orang dara itu lalu mengikuti si pengawal dan akhirnya terkumpul delapan orang
"nyonya" bersama mereka. Tentu saja para selir itu meman-dang kepada mereka dengan heran
karena tidak mengenal mereka. Akan tetapi, karena mereka menghadapi tugas penting dan
mereka sudah ter-biasa dengan adanya muka - muka baru di kalang-an mereka, yaitu selir - selir
baru yang diambil oleh Tikus Beracun, merekapun tidak banyak bertanya, hanya memandang
dengan alis berkerut seperti pandang mata seorang wanita terhadap madu baru yang dianggap
saingan. Dengan iringan pengawal, mereka lalu menuju ke pendapa di mana telah ber-kumpul
para tamu. Karena pakaian mereka serupa, maka kehadiran dua orang dara di antara para selir ini
tidak terlalu menyolok dan sekelebatan mereka itu tidak ada bedanya dengan yang lain.
Di ruangan pendapa itu terdapat lebih dari li-mapuluh orang tamu. Dengan bantuan pelayanpelayan
yang juga cantik - cantik akan tetapi pakaian mereka lebih sederhana, delapan orang selir
ini lalu melayani para tamu, menyuguhkan hidang-an-hidangan dan minuman-minuman. Pek Lian
mencari - cari dengan pandang matanya dan akhir-nya ia menemukan orang yang dicarinya.
Mereka duduk di deretan depan. Seorang kakek yang usia-nya sudah tujuhpuluhan tahun,
berpakaian putih-putih dengan jenggot putih panjang, sikapnya ga-gah. Di sebelahnya duduk
seorang pemuda perkasa berusia tigapuluh tahun lebih, juga mengenakan pakaian serba putih
dengan pedang di punggung. Di sebelah kiri kakek itu duduk seorang gadis yang luar biasa cantik
jelitanya, berpakaian hitam dari sutera sehingga kulit leher dan tangannya nampak semakin putih
mulus. Hampir semua mata para tamu pria, baik tua maupun muda, tiada hentinya mengerling ke
arah gadis yang luar biasa cantik-nya ini.
Melihat tiga orang ini, Pek Lian hampir berte-riak kegirangan. Tidak saja ia mengenal Yap -
lojin dan Yap Kiong Lee, akan tetapi juga ia mengenal gadis berpakaian sutera hitam itu karena
gadis itu bukan lain adalah Bu Bwee Hong atau lebih tepat lagi bermarga Chu, karena gadis ini
adalah anak kandung dari Pangeran Chu Sin! Di samping rasa girang yang luar biasa melihat
bekas teman seper-jalanan ini ternyata masih hidup, juga timbul rasa herannya bagaimana gadis
yang terbawa hanyut oleh gelombang lautan dan terpisah darinya itu tahu-tahu berada di situ
bersama Yap - lojin ketua Thian - kiam - pang dan murid pertamanya.
Juga Siok Eng merasa girang bukan main ketika ia mengenal Bwee Hong, puteri dari
keluarga Bu yang telah menolongnya, bahkan telah menyelamat-kan nyawanya dengan
pengorbanan nyawa suami isteri Bu dan terbukanya putera mereka, kakak dari Bwee Hong. Akan
tetapi, tiga orang itu sama se-kali tidak mengenal Pek Lian dan Siok Eng yang tidak mudah
dibedakan dari selir - selir tuan rumah yang lain. Baru setelah Pek Lian melayani meja mereka dan
sengaja menginjak kaki Bwee Hong, nona cantik jelita ini mengangkat muka meman-dang dan
sinar mata mereka bertemu. Pek Lian berkedip dan memberi isyarat kepada Bwee Hong agar tidak
mengeluarkan suara. Bwee Hong terkejut dan girang bukan main ketika mengenal Pek Lian, akan
tetapi melihat isyarat itu, ia tidak berani ber-kata sesuatu, hanya memandang bengong. Apa lagi
ketika Bwee Hong mengenal pula Siok Eng sebagai gadis Tai - bong - pai yang pernah diobati
oleh ayah bundanya, ia terheran - heran dan juga amat girang.
"Enci, kalian bertiga harus menelan pel ini un-tuk menjaga diri terhadap racun," bisik Siok
Eng sambil memberikan tiga butir pel kepada Bwee Hong, akan tetapi gadis cantik jelita itu
tersenyum.
"Jangan khawatir, adik yang baik. Kami telah minum obat penawar racun," jawabnya dengan
bisikan
lirih. Siok Eng mengangguk dan iapun mera-sa tenang karena ia percaya bahwa nona
cantik ini adalah puteri seorang datuk yang menjadi keturun-an Sin-yok-ong, Si Raja Tabib Sakti.
Tentu saja dara ini seorang ahli pengobatan yang tidak takut akan segala macam racun !
Adapun Yap - lojin dan putera angkatnya yang belum begitu akrab dengan Pek Liari, tidak
menge-nal nona ini. Baru setelah Bwee Hong berbisik-bisik kepada ketua Thian - kiam - pang itu,
Yap-lojin mengerutkan alisnya. Dia teringat kepada ga-dis yang menjadi tawanan isterinya, Siang
Houw Nio - nio. Akan tetapi dia diam saja, hanya merasa heran apa lagi yang dikerjakan oleh
gadis pembe-rani itu di tempat seperti ini.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Pek Lian dan Siok Eng juga tidak sempat bica-ra dengan Bwee Hong karena pada saat itu
mun-cul tuan runyah, yaitu Tikus Beracun Bumi! Para tamu bangkit dani tempat duduk mereka
untuk menghormati tuan rumah yang terkenal sebagai datuk pertama dari Tujuh Iblis Ban - kwi -
to ! Ka-rena para tamu bangkit berdiri, Siok Eng dan Pek Lian merasa aman, mereka tertutup oleh
para tamu sehingga tuan rumah yang bertubuh pendek kecil itu tidak dapat melihat mereka.
Te - tok - ci atau Tikus Beracun Bumi itu ter-nyata memliliki tubuh yang sama sekali tidak
serem seperti namanya. Kakek ini usianya sekitar enam-puluh lima tahun, tubuhnya pendek kecil
nampak lemah, mengenakan pakaian mewah seperti seorang bangsawan saja. Mukanya kecil
sempit dan pan-jang ke muka, memang dari samping wajahnya me-miliki bentuk seperti muka
tikus. Di sebelah kanan-nya berjalan laki- laki berusia tigapuluh tahun le-bih yang juga bertubuh
kecil pendek. Itulah Siauw - thian - ci, putera tunggal Tikus Beracun Bumi, yaitu pria kecil pendek
kejam, yang pernah dilihat oleh Pek Lian dan Siok Eng di dalam tero-wongan bawah tanah itu.
Setelah tiba di tempat duduk yang dipersiapkan untuknya, yaitu di antara kursi para tamu
kehor-matan, tuan rumah yang pendek ini lalu berdiri di atas tangga, menjura ke empat penjuru
dan suara-nya lantang ditujukan kepada semua tamu yang bangkit berdiri ketika dia datang.
"Cu - wi sekalian, selamat datang dan silahkan duduk ! Semua dipersilahkan untuk
menikmati hi-dangan yang kami suguhkan !"
Setelah berkata demikian dia bersama Siauw-thian - ci duduk menghadapi meja yang penuh
hi-dangan, kemudian tanpa banyak cakap lagi ayah dan anak ini lalu makan minum dengan
lahapnya, sama sekali tidak memperdulikan kanan kiri lagi! Dan lucunya, biarpun di atas semua
meja tamu te-lah tersedia hidangan yang nampaknya lezat dan mewah, namun tidak ada
seorangpun yang berani menyentuhnya, apa lagi makan ! Hal inipun tidak mengherankan, karena
siapakah yang akan berani menyentuh hidangan yang disuguhkan oleh datuk sesat ahli racun
yang paling kejam dan berbahaya di dunia ini ? Selain itu, agaknya para tamu yang sebagian besar
terdiri dari tokoh - tokoh sesat itu memang sudah tahu akan adegan yang sudah diatur ini dan
agaknya sikap tuan rumah itu memang ditu-jukan kepada para tamu yang bukan segolongan
dengan mereka, terutama sekali ditujukan kepada ketua Thian - kiam - pang. Maka, para tokoh
sesat yang hadir hanya tersenyum - senyum saja menon-ton pertunjukan yang mereka anggap
sebagai lelu-con yang menarik. Mereka tersenyum - senyum geli dan gembira melihat aksi Te - tok
- ci dan Siauw-thian - ci.
Akan tetapi, bagi manusia sopan pada umum-nya, aksi ayah dan anak itu sungguh
memuakkan, menjijikkan dan juga memanaskan perut! Mana ada pihak tuan rumah makan minum
seenak perut-nya sendiri tanpa memperdulikan para tamu, bah-kan mereka makan minum dengan
lahap, berdahak dan kadang-kadang meludahkan tulang-tulang ikan ke kanan kiri. Setengah jam
lamanya para ta-mu disuguhi tontonan ini dan seperti orang baru tahu bahwa para tamu tidak ada
yang makan hi-dangan di atas meja depan mereka, terdengar Te-tok-ci tertawa dan bicara
dengan puteranya.
"Ha - ha - ha, dunia penuh penakut dan penge-cut, anakku yang gagah ! Lihat, tidak ada
yang berani menyentuh hidangan di atas meja. He-hehe, siapa yang makan minum hidangan itu
dan tidak
mampus mendadak , aku sungguh kagum
padanya dan akan kuangkat saudara!"
Ucapan ini sungguh merupakan ejekan menghi-na yang sepatutnya hanya diucapkan orang
gila. Seorang tamu yang usianya baru tigapuluh tahun lebih dan berwatak berangasan, dari
golongan se-sat yang agaknya belum paham akan sikap tuan rumah dan. dia merasa tersinggung,
bangkit dari tempat duduknya. Dia tidak berani menentang tuan rumah, akan tetapi merasa tidak
senang de-ngan sikap itu dan diapun melangkah pergi hendak meninggalkan ruangan itu. Akan
tetapi, beberapa orang pengawal, anak buah Si Tikus Beracun, su-dah menghadangnya dengan
tombak melintang.
"Sicu hendak pergi ke mana ? Sebelum to - cu selesai makan minum, tidak ada yang boleh
pergi kecuali seijin to - cu !"
"Apa ?" Laki - laki bermuka hitam itu melotot. "Aku Tiat - pi Hek - kwi (Setan Hitam Lengan
Be-si), datang dan pergi tidak pernah diatur orang lain. Aturan gila mana ini ?" Dia hendak
memaksa pergi dan ketika tiga orang pengawal itu tetap mengha-dang, dia menggunakan kedua
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
lengannya untuk mendorong dan tiga orang pengawal itupun ter-jengkang. Ternyata Setan Hitam
Lengan Besi ini memang memiliki sepasang lengan yang kuat sekali.
Si Tikus Beracun yang sedang asik makan mi-num itu menoleh dan sepasang matanya yang
kecil
itu menyipit, akan tetapi mengeluarkan sinar ber-kilat. Marahlah dia melihat ada orang
berani ber-sikap menentangnya.
"Cuhh !" Dia meludah ke atas lantai yang sudah, kotor dengan ludah dan tulang-tulang ikan
itu. "Bunuh orang itu !" teriaknya bengis.
Tiga orang kepala pengawal berloncatan datang dan mereka memegang alat semprotan dari
bambu. Begitu mereka menggerakkan alat itu, ada benda cair yang amat lembut dan beruap
menyambar ke arah Si Setan Hitam dari tiga jurusan. Tentu saja orang itu berusaha mengelak dan
mtelawan, namun begitu uap mengenai tubuhnya, dia menjerit kesakitan. Kulit tubuhnya dan
pakaian yang terkena uap itu hancur dan melepuh, seperti terbakar dan orang itupun tak dapat
menahan lagi rasa nyerinya. Dia terguling dan berkelojotan di atas lantai, seka-rat dan tewas
seketika!
Semua tamu memandang dengan muka pucat dan mereka bergidik. Akan tetapi, Yap - lojin
ketua Thian - kiam - pang yang melihat ini menjadi marah sekali. Mukanya berobah merah dan
diapun bang-kit berdiri, diikuti oleh Yap Kiong Lee dan Chu Bwee Hong. Bagaimanapun juga,
sebagai seorang tamu Yap - lojin tidak sudi mencampuri urusan orang, apa lagi urusan antara
Setan Hitam dan tu-an rumah yang keduanya adalah orang - orang go-longan sesat. Dengan sikap
hormat namun gagah.
Yap - lojin menjura ke arah Tikus Beracun dan su-aranya terdengar lantang.
"Te - tok - ci, aku datang ke sini untuk berjumpa dengan seorang di antara penghuni Ban -
kwi - to, yaitu Thian - te Tok - ong atau yang juga dikenal sebagai Ceng - ya - kang. Aku ingin
bertanya kepa-danya tentang puteraku!"
Yang ditanyakan Yap - lojin adalah tokoh ke li-ma dari Tujuh Iblis Ban - kwi - to. yaitu si
gendut pendek yang berjuluk Thian - te Tok - ong (Raja Racun Bumi Langit) atau juga terkenal
dengan se-butan Ceng - ya - kang (Kelabang Hijau) karena dia suka mengumpulkan kelabang
beracun. Seperti te-lah diceritakan di bagian depan, tokoh sesat ini nampak gulang - gulung
dengan Yap Kim, putera kandung Yap Cu Kiat atau Yap - lojin itu yang kini lenyap dan sedang
dicari oleh ayahnya dan suheng-nya.
Tentu saja Tikus Beracun sudah tahu akan hal ini dan memang sejak tadi semua adegan
yang di-suguhkan di situ hanya untuk memancing keturunan datuk utara ini. Sekarang, melihat
tamu yang di-anggap musuh besar ini sudah bangkit dan menge-luarkan suara, pihak tuan rumah
menemukan alasan untuk turun tangan, seperti yang telah dilakukan-nya terhadap Setan Hitam
tadi.
Pada saat itu, mulut Si Tikus Beracun penuh makanan. Dia mengangkat muka memandang
ke arah Yap - lojin, lalu dia memuntahkan makanan itu ke atas lantai dan menudingkan
telunjuknya ke-arah kakek itu sambil membentak, "Bunuh juga orang itu ! !"
Tiga orang kepala pengawal itu sudah mengurung Yap - lojin dan dua orang muda itu,
kemudian tanpa menanti perintah kedua kalinya lagi, tiga o-rang yang memang mempunyai hobby
membunuh orang itu menyemprotkan alat semprot mereka yang mengandung racun amat jahat
itu. Akan teta-pi, karena tadi mereka sudah menjaga diri dengan minum obat penolak racun yang
diberikan oleh Bwee Hong, mereka tidak takut terhadap racun itu, dan untuk menjaga pakaian
mereka, tiga orang ini lalu menggerakkan kedua tangan dikibaskan ke depan. Bahkan Yap Kiong
Lee sudah mengerahkan tenaga Thian-hui Khong-ciang yang luar biasa, itu, yang menjadi ilmu
keturunan dari datuk utara Sin-kun Bu-tek. Akibatnya luar biasa hebatnya karena tiga orang itu
terjengkang dan tidak dapat bangkit kembali, napas mereka empas - empis dan muka mereka
pucat, tubuh terasa lumpuh kehilang-an tenaga!
Gegerlah ruangan itu ketika para anak buah Ti-kus Beracun maju mengeroyok. Bahkan
Tikus Be-racun sudah berteriak-teriak minta bantuan para tamu. Para tamu yang sebagian besar
adalah tokoh-tokoh kaum sesat itu dan menjadi sekutu Tujuh Iblis Ban - kwi - to tentu saja
berpihak kepada Ti-kus Beracun dan terjadilah pengeroyokan atas diri tiga orang itu. Namun,
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mereka bukanlah orang-orang sembarangan ! Nona Chu Bwee Hong adalah keturunan dari datuk
selatan Sin-yok-ong yang memiliki ilmu silat luar biasa tingginya. Yap - lojin adalah ketua Thian -
kiam - pang yang merupakan keturunan datuk utara Sin-kun Bu-tek yang amat lihai, sedangkan
Yap Kiong Lee, murid utama atau putera angkatnya, telah sedemikian maju dalam ilmunya
sehingga tidak jauh selisihnya dengan ilmu kakek itu sendiri! Inilah sebabnya yang membuat para
orang sesat itu seperti air bah membentur batu karang yang kokoh kuat. Bwee Hong mengandalkan
ginkangnya yang istimewa. Tubuhnya ber-kelebatan seperti terbang saja di antara
pengero-yokan banyak orang. Tidak ada sebuahpun senja-ta mampu menyentuhnya dan ia
membagi-bagi pukulan dan tendangan secepat kilat. Dengan gin-kang keturunan datuk selatan Sin
- yok - ong yang luar biasa, yaitu yang dinamakan Pek - in Gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh
Awan Putih), tubuhnya berkelebatan seperti kilat dan Ilmu Silat Kim-hong-kun (Silat Burung Hong
Emas) membingungkan para pengeroyoknya.
Yap - lojin bersikap tenang - tenang saja meng-hadapi semua pengeroyokan. Kakek ini
hanya menggerak - gerakkan kedua lengannya dan ujung jubahnya yang lebar itu mendatangkan
angin keras, membuat para pengeroyoknya terpelanting atau terdorong mundur. Akan tetapi,
sepak terjang Yap
Kiong Lee lebih hebat lagi. Pemuda ini mengamuk dan kedua tangannya bergetar
menimbulkan suara gemuruh seperti angin ribut. Itulah Hong-i Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Angin
Badai) yang hebat, d: sertai penggunaan tenaga sakti Thian-hui Khong-ciang yang mengeluarkan
suara ledakan seperti pe-tir dan menghancurkan benda - benda di sekitar-nya. Semua orang
terkejut ketakutan dan menjauh-kan diri, tidak kuat menahan pukulan - pukulan sakti ketiga orang
itu. Semua orang menjadi kagum sekali, bahkan si kakek Yap - lojin juga diam - diam amat kagum
terhadap murid ini.
"Kiong Lee, engkau cari adikmu, biar kuhadapi tikus - tikus ini!" kata Yap - lolin yang
menduga bahwa tentu puteranya, Yap Kim, disembunyikan di pulau itu.
"Baik, suhu !" kata Kiong Lee yang sudah mulai membuka jalan dengan menghamburhamburkan
pukulan saktinya ke kiri untuk keluar dari kepung-an.
Akan tetapi tiba-tiba Pek Lian berteriak, "Locianpwe, puteramu tidak berada di sini. Mari ikut
dengan kami!"
Karena teriakan ini, Kiong Lee meragu dan tidak jadi keluar dari kepungan, dan sebaliknya,
Pek Lian dan Siok Eng ketahuan dan dikeroyok pula. Karena ingin mencari kawan, Pek Lian dan
Siok Eng mengamuk dan mendekati Yap - loiin bertiga sehingga kini mereka berlima mengamuk
dan me-robohkan banyak pengeroyok yang berani menye-rang terlalu dekat. Melihat kehebatan
lima orang musuh ini, Tikus Beracun dan puteranya menjadi marah. Mereka sibuk berteriak -
teriak memberi komando kepada para pengawal. "Semprotkan darah maut!" "Taburkan bubuk
pencabut nyawa!" "Bakar dupa setan sebanyaknya !" "Serang dengan jarum kalajengking!" Para
pengawal sibuk melaksanakan perintah-perintah ini, namun karena lima orang itu semua telah
melumuri tubuh dengan obat anti racun, juga sudah menelan obat mujijat dari Raja Obat Sakti
atau juga terkenal dengan julukan Tabib Sakti, se-dangkan Pek Lian dan Siok Eng telah dilindungi
obat anti racun dari Tai - bong - pai, maka semua racun yang mengerikan itu tidak dapat melukai
mereka. Apa lagi dengan ilmu silat mereka yang amat hebat itu, semua senjata dan racun dapat
ditolak dan yang celaka bahkan para tamu yang ikut me-ngeroyok. Yang terkena racun - racun itu
berjatuh-an dan berkelojotan sekarat dan tewas seketika da-lam keadaan amat mengerikan.
Melihat kehebatan lawan, Tikus Beracun dan puteranya lalu tiba - tiba menghilang. Mereka
hen-dak mempersiapkan diri untuk menjebak musuh-musuh yang amat tangguh itu agar
terperosok ke dalam terowongan rahasia mereka karena mereka maklum bahwa menghadapi
mereka takkan mungkin menang kalau hanya mengandalkan ilmu silat dan pengeroyokan.
Melihat mundurnya tuan rumah, para tamu yang memang sudah gentar menghadapi lima
orang pendekar itu, juga banyak yang mulai menjauhkan diri sehingga pengepungan tidak begitu
ketat lagi. Sementara itu, Pek Lian yang mencurigai kepergian Si Tikus Beracun dan puteranya,
dengan cerdik su-dah dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh tuan rumah yang licik dan
amat curang itu. Tuan rumah telah menghilang, para pengawal juga mun-dur sehingga mereka
berlima ditinggalkan di ruang-an depan itu.
"Yap - locianpwe, harap hati - hati terhadap jeKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
bakan rahasia. Jangan sembarangan menginjak lantai
yang mencurigakan ahhhh !!"
Ia yang memperingatkan, akan tetapi ia sendiri bersama Siok Eng yang berdiri di sebelahnya
yang lebih dulu menjadi korban ketika lantai yang mere-ka pijak dan yang tadinya kokoh kuat itu
tiba-tiba saja bergerak dan mereka berduapun terjeblos ke bawah tanpa dapat mereka hindarkan
lagi.
"Adik Lian, awas !!" Bwee Hong berteriak
dan gadis yang memiliki ginkang luar biasa hebat-nya ini sudah melesat ke depan,
maksudnya Untuk menolong Pek Lian dan Siok Eng, akan tetapi aki-batnya ia sendiripun ikut
terjeblos bersama dua orang dara itu !
Melihat betapa tiga orang dara itu telah terje-blos dan lenyap ke bawah, sedangkan lantai itu
te-lah menutup kembali, Yap - lojin menyambar tangan muridnya dan berkata, "Mari kita keluar!"
Mereka berdua meloncat dengan cepatnya, melayang
untuk keluar dari pintu. Akan tetapi tibatiba
dari luar menyambar puluhan batang anak
panah beracun ke arah mereka! Karena maklum
bahwa anak panah itu berbahaya sekali, keduanya
terpaksa menangkis dan meruntuhkan senjata - senjata
rahasia itu dengan pukulan sakti, akan tetapi
terpaksa pula mereka menurunkan kaki menginjak
ambang pintu dan merekapun terjeblos ke bawah
karena lantai berikut pintunya juga terjeblos
dalam jebakan rahasia itu! Guru dan murid ini
mengerahkan sinkang dan mereka berhasil berjungkir
balik, membuat poksai (salto) ke atas sehingga
tubuh mereka yang sudah terjeblos ke bawah itu
mencelat ke atas lagi. Akan tetapi, kembali puluhan
anak panah menyambar. Tentu saja mereka terpaksa
menangkis dan tubuh mereka jatuh lagi ke
bawah dan lantai itupun telah tertutup kembali ketika
tubuh mereka meluncur ke dalam lubang yang
amat gelap.
"Kerahkan ginkang !!" Yap-lojin masih
sempat memperingatkan muridnya karena dia kha-watir kalau - kalau di bawah terdapat
senjata - sen-jata runcing menyambut tubuh mereka. Hanya dengan pengerahan ginkang yang
hebat saja mere-ka dapat menghindarkan maut kalau terjadi hal seperti itu dan paling banyak
hanya akan menga-lami sedikit luka - luka pada kaki mereka, Tentu saja Yap Kiong Lee yang
sudah banyak pengalam-an di dunia kang - ouw itupun telah tahu akan hal ini sehingga tubuh
guru dan murid itu melayang turun dengan ringan. Akan tetapi, mereka merasa lega dan juga
heran karena kedua kaki mereka hinggap di atas tanah kering biasa, tidak ada sen-jata yang
menerima tubuh mereka. Mereka telah tiba di dalam sebuah terowongan, lorong di bawah tanah
dan ada sinar menerangi terowongan itu dari depan dan belakang.
Sebelum mereka mengambil keputusan ke mana mereka akan mencari jalan keluar, tiba -
tiba terde-ngar bunyi ledakan cambuk, disusul suara gemuruh dan mencicit. Suara tikus ! Dan kini
nampaklah tikus - tikus itu. Tikus - tikus itu berwarna coklat dengan kepala dan ekor berwarna
putih. Kalau ha-nya seekor dua ekor, tentu binatang - binatang itu merupakan tikus - tikus yang
menarik, mungkin ba-gus untuk dipelihara. Akan tetapi, yang muncul ini bukan seekor dua ekor
melainkan ratusan dan ti-kus - tikus itu luar biasa besarnya, bukan seperti tikus biasa. Juga
mereka itu nampak ganas dan liar, sambil mencicit mereka menyerbu maju, ratusan banyaknya,
hampir memenuhi terowongan itu !
Melihat ini, guru dan murid cepat membalikkan tubuh dan melarikan diri dari tempat itu,
menjauh. Mereka mengikuti terowongan yang berbelak-belok itu dan akhirnya berhadapan dengan
seorang kakek berwajah putih menyeramkan yang berdiri di de-pan sebuah pintu baja. Kakek ini
menyeringai dan tangannya bergerak mencabut obor yang tertancap
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
di atas pintu. Tiba - tiba pintu terbuka dan
ratusan, bahkan ribuan tikus putih menerobos ke-luar dan dengan bunyi bercicitan
menyerbu ke arah guru dan murid itu !
Yap-lojin adalah ketua Thian-kiam-pang yang sudah sering kali menghadapi penjahat -
penjahat kejam dan sudah sering menghadapi maut pula. dan Yap Kiong Lee juga seorang
pendekar yang berpengalaman. Namun belum pernah mereka menghadapi penyerbuan ribuan
ekor tikus yang kelihatan buas itu, maka mereka berdua terbelalak memandang dan merasa
betapa bulu tengkuk mereka meremang bergidik. Mereka meloncat ke be-lakang dan membalikkan
tubuh hendak menjauh kan diri, akan tetapi dari arah belakang, barisan tikus coklat yang tadi
mengejar sudah datang, kini digiring oleh seorang kakek yang berambut coklat penuh uban sambil
tertawa - tawa. Karena berada di jalan terowongan dan sudah terjepit dari depan dan belakang
oleh dua barisan tikus, terpaksa Yap-lojin dan Yap Kiong Lee berdiri tegak beradu punggung saling
membelakangi, memasang kudakuda dan siap untuk membela diri menghadapi ri-buan ekor tikus
itu. Diam-diam mereka mengerah-kan tenaga sakti Thian - hui Khong - ciang dan be-gitu tikus -
tikus itu sudah menyerbu dekat, kedua orang guru dan murid ini lalu menggerakkan kedua tangan
menyerang dan memukul ke depan. Terde-ngar suara gemuruh angin pukulan dahsyat menyambar
ke depan dan bagaikan petir menyambar pukulan - pukulan sakti itu mengenai tikus -
tikus dan batu - batu dinding. Tikus - tikus itu terpental dan darah berhamburan, debu mengepul
tebal.
"Hati - hati, Kiong Lee. Jangan sampai tero-wongan runtuh terkena pukulanmu!" teriak Yaplojin
memperingatkan muridnya. Dia tahu bahwa muridnya itu marah dan pukulannya
mengandung tenaga dahsyat. Kalau sampai terowongan itu run-tuh karena pukulan muridnya,
berarti mereka akan terkubur hidup - hidup. Diam-diam guru ini amat kagum dan sayang kepada
muridnya atau anak angkatnya itu. Memang Kiong Lee memiliki bakat yang luar biasa sehingga
dalam usia semuda itu te-lah mewarisi ilmu - ilmu sakti dari perguruannya, bahkan hampir
mencapai tingkat yang sama de-ngannya.
Puluhan ekor tikus tewas dan hancur terbanting kepada dinding terowongan, dan bau yang
amat amis dan busuk memenuhi udara, memusingkan kepala guru dan murid itu,
"Suhu, tikus - tikus ini beracun !" teriak Kiong Lee.
"Tentu saja! Lindungi hidung dengan saputa-ngan." Mereka lalu mengeluarkan saputangan
dan mengikatkan saputangan itu di depan hidung.
Akan tetapi, tikus - tikus itu sungguh nekat dan liar sekali. Biarpun guru dan murid itu sekali
pukul membunuh puluhan ekor, namun yang datang se-makin banyak. Mati sepuluh datang
seratus! Dan ribuan ekor masih berjubel - jubel di belakang se-perti berebut untuk dapat
mengeroyok dua orang manusia yang menjadi musuh mereka itu, atau juga merupakan calon -
calon mangsa mereka.
Bau amis membuat mata mereka berkunang. Biarpun mereka sudah melindungi hidung
dengan saputangan, tetap saja hawa beracun tikus - tikus itu membuat mereka pengap dan sukar
bernapas. Memang, dengan pukulan - pukulan Thian - hui Khong - ciang, tikus - tikus itu tidak ada
yang mam-pu mendekat, akan tetapi sampai kapan mereka akan mampu bertahan ? Tikus - tikus
itu tak ter-hitung banyaknya, dan agaknya bukan liar atau bu-as lagi, melainkan sudah gila dan
agaknya sebelum habis sama sekali tidak akan mau mengaku kalah atau mundur. Dan tidak
mungkin guru dan murid itu akan sanggup bertahan demikian lamanya sam-pai tikus - tikus itu
habis.
"Suhu, kita menyerbu satu jurusan saja membu-ka jalan darah !" Tiba - tiba Kiong Lee
berkata, dan gurunya menjadi kagum dan girang. Memang be-nar pendapat muridnya. Kalau
mereka beradu punggung, masing - masing menghadapi satu ba-risan tikus, berarti mereka
terjepit dan harus me-layani barisan itu sampai habis, yang agaknya tidak mungkin. Akan tetapi
kalau mereka menyerbu satu jurusan saja, dengan kerja sama mereka, agaknya mereka masih
memiliki harapan untuk dapat mele-paskan diri dari himpitan maut ini.
"Baik, aku membantumu !" Yap - lojin berseru dan diapun membalik setelah lebih dulu
mengirim pukulan dahsyat yang membuat tikus - tikus di de-pannya itu terlempar jauh ke
belakang dan menjadi kacau. Mempergunakan kesempatan ini, dia mem-balik dan membantu
muridnya. Dengan pukulan mereka berdua, tentu saja akibatnya lebih hebat lagi. Gabungan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pukulan mereka membuat tikus-tikus coklat itu seperti sekumpulan daun kering di-tiup angin
badai. Ratusan ekor tikus terlempar saling bertubrukan dan bertumpuk - tumpuk. Guru dan murid
itu melakukan pukulan bertubi-tubi, lalu meloncat dan menggunakan tumpukan bangkai tikus
untuk menjadi batu loncatan, terus melarikan diri setelah melompati barisan tikus coklat itu. Kakek
penggiring tikus itupun tidak berani turun ta-ngan menyerang, bahkan mepet di dinding
karena merasa gentar melihat kelihaian guru dan murid itu. Akan tetapi, diapun cepat
membunyikan cam-buknya berdetak - detak dan tikus - tikus coklat itu.
diikuti oleh tikus - tikus putih, melakukan pengejar-an sambil mengeluarkan bunyi bercicitan
riuh-ren-dah.
Udara di terowongan itu penuh dengan hawa beracun dari tikus - tikus itu. Yap - lojin dan
Kiong Lee merasa betapa kepala mereka pening sekali, akan tetapi mereka harus berlari terus
kalau tidak ingin celaka. Tiba-tiba mereka mendengar suara Pek Lian sayup-sayup memanggilmanggil.
Mereka berdua mempercepat lari mereka ke depan dan nampaklah oleh mereka tiga orang
dara itu berdempetan, berdiri ketakutan di sebuah ru-angan luas, dikepung oleh ribuan tikus yang
ber-macam - macam bentuk moncongnya dan berma-cam - macam pula warna bulunya. Ada yang
hitam, ada yang kemerahan atau bintik-bintik. Tikus-tikus itu sungguh amat luar biasa banyaknya,
sam-pai bertumpuk - tumpuk. Dan dari jarak jauh, nam-pak beberapa orang kakek memegang
cambuk yang dengan berbagai gaya dan cara memerintahkan ba-risan masing - masing
menyerang tiga orang dara itu. Namun, sungguh aneh. Tikus-tikus itu agak-nya tidak berani
menyerang, hanya memandang, mencicit dan memperlihatkan taring dengan buas-nya tanpa
berani maju menyerang. Tentu saja di-kerumuni ribuan ekor tikus yang memperlihatkan sikap
buas mengancam itu, tiga orang dara menja-di ketakutan dan jijik sekali. Agaknya merekapun
sudah bosan melawan tikus - tikus yang tiada habishabisnya itu, lelah dan muak karena hawa
beracun yang berbau busuk, apek dan amis.
"Yap - locianpwe tolonglah kami !"
Pek Lian berseru ketika melihat Yap-lojin dan Yap Kiong Lee berlarian datang.
Akan tetapi ia tidak tahu bahwa untuk menolong diri sendiri saja guru dan murid itu sudah
kerepot-an sekali. Kini tikus - tikus yang berada di ruangan itu, begitu melihat munculnya Yap-lojin
dan Kiong Lee, sudah membalikkan tubuh dan disertai suara mencicit riuh-rendah mereka semua
menyerbu ke arah Yap - lojin dan muridnya. Tentu saja guru dan murid ini menyongsong mereka
dengan pukulan sakti Thian - hui Khong - ciang. Kembali darah berhamburan ketika tikus-tikus itu
dilanda pukulan sakti.
Akan tetapi binatang-binatang itu agaknya sudah sejak tadi menahan kemarahan mereka
ketika mereka secara aneh tidak berani menyerang tiga orang dara itu. Seperti sekawanan tikus
kelaparan melihat daging empuk tiga orang dara yang tinggal mengganyang saja namun ada
sesuatu yang mela-rang mereka atau membuat mereka tidak berani menyerang. Kini, mereka
menumpahkan semua kemarahan dan kerakusan mereka kepada dua orang pendatang baru ini.
Bagaikan air bah mereka itu menerjang datang. Tikus - tikus ini terdiri dari ber-macam - macam
jenis, menyerang menjadi satu, ri-buan banyaknya, disertai bau busuk menyengat hidung. Kembali
guru dan murid itu mengamuk, mengirim pukulan berantai bertubi-tubi, namun tikus - tikus itu
makin banyak juga yang datang menyerbu. Bau racun bercampur bau darah dan bau kotoran
mereka sungguh membuat udara di situ penuh racun.
Yap - lojin adalah seorang yang sakti, juga mu-ridnya amat gagah perkasa, dan tiga orang
dara itiipun bukan orang sembarangan. Di samping ini, mereka semua sudah menelan pel anti
racun yang amat mujarab. Namun, menghadapi bau yang ter-amat busuk ini, mereka tidak dapat
bertahan lagi dan isi perut mereka meronta, lalu mereka itu muntah - muntah!
Pek Lian yang memang sudah mempunyai pe-rasaan jijik terhadap tikus, dan di antara
mereka berlima itu dara inilah yang terhitung paling le-mah, tidak kuat dan muntah - muntah lalu
jatuh ter-duduk. Kepalanya pening bukan main. Untung ti-dak ada tikus yang berani
menyerangnya, karena kalau terjadi hal demikian, tentu ia dan dua orang kawannya tidak akan
dapat melawan dan tentu mereka akan dikeroyok dan diganyang sampai ha-bis oleh tikus - tikus
itu. Mengerikan ! Syukur bah-wa tidak ada seekorpun yang berani menyerang padahal begitu YapKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
lojin dan muridnya muncul, semua tikus berobah ganas dan menyerang dengan buas dan berani.
Mengapa demikian ?
Dalam kepeningannya, sambil duduk bersandar
dinding terowongan itu Pek Lian merenung. Apakah
karena mereka bertiga itu wanita maka tikustikus
ini tidak berani menyerang ? Ah, mustahil!
Bukankah ketika pertama kali ia bertemu tikustikus
itu bersama Siok Eng, iapun dikejar - kejar ?
Kenapa sekarang ah, kenapa ia lupa ? Bukankah
ia dan Siok Eng membawa bubuk putih
yang mereka bungkus dengan saputangan itu ?
Bukankah bubuk putih itu merupakan racun anti
tikus ? Benar ! Itulah sebabnya dan agaknya Siok
Eng yang demikian gagahnya akan tetapi demikian
takutnya terhadap tikus sampai lupa pula akan hal
itu saking jijiknya menghadapi ribuan ekor tikus.
Kesadaran akan hal ini membangkitkan sema-ngat Pek Lian dan iapun membuka matanya.
Di-lihatnya kedua temannya sudah terduduk dengan lemas pula, di kanan kirinya. Ketika ia melihat
ke depan, ternyata guru dan murid yang lihai itu ma-sih mengamuk, akan tetapi mereka berdua
sudah kepayahan, terhuyung-huyung dan mepet ke din-ding terowongan. Tenaga pukulan mereka
tidaklah sedahsyat semula. Agaknya mereka mulai kehabis-an tenaga atau keracunan oleh bau
yang amat bu-suk itu. Pakaian guru dan murid itu yang terbuat dari sutera putih, yang semula
indah dan bersih, kini sudah koyak - koyak dan berlepotan darah. Di depan kedua orang ini
bertumpuk bangkai tikus dan daging-daging tikus yang hancur berserakan.
Baunya amat menjijikkan dan penglihatan itu sung-guh amat mengerikan. Tikus - tikus itu
masih terus menyerbu, tiada habis - habisnya dan jauh di bela-kang mereka nampak kakek-kakek
yang menjadi pawang - pawang mereka itu memegang cambuk, mendorong anak buah mereka
sambil tertawa-tawa mengejek. Tikus - tikus itu mundur setiap kali dua orang guru dan murid
memukul, akan tetapi apa bila mereka berdua diam, mereka menyerbu. Ada beberapa ekor telah
bergantung di pakaian guru dan murid itu, mati akan tetapi mereka masih mengait pada celana.
Mengerikan!
Dengan tubuh lemah Pek Lian lalu mengeluar-kan bungkusan bubuk putih itu sambil
berbisik
kepada Siok Eng, "Eng-moi kita lupa tidak
mempergunakan bubuk anti tikus kita "
Siok Eng membuka matanya. Karena sinkang-nya jauh lebih kuat dibandingkan dengan Pek
Lian, maka iapun cepat dapat menguasai dirinya. "Aih, benar, enci!" Dan iapun cepat
mengeluarkan sa-putangan yang membungkus obat putih itu.
Dengan penuh harapan mereka lalu mengambil sejumput bubuk putih dan menyebarkannya
ke arah tikus - tikus yang mengurung guru dan murid itu. Dan begitu bubuk putih itu disebarkan,
tikus - tikus yang berada di dekat bubuk putih itu mencicit ke-takutan dan cepat pergi menjauh.
Hal ini meng-gembirakan hati dua orang dara itu yang cepat ber-jalan sambil menyebarkan bubuk
putih, membuka jalan ke arah Yap - lojin dan muridnya. Bwee Hong juga sudah bangkit berdiri
dan memandang dengan girang. Ia tahu apa artinya bubuk putih itu.
"Locianpwe, marilah mendekat ke sini !" kata Pek Lian. Yap - lojin dan Kiong Lee juga
merasa girang sekali. Melihat jalan terbuka, mereka berdua lalu berloncatan mendekat dan bersatu
dengan tiga orang gadis itu di dalam ruangan, sedangkan tikus-tikus itu mengurung agak jauh,
tidak berani men-dekat lagi dan mereka itu gelisah karena di satu pihak, para pawang mereka
membujuk mereka un-tuk maju, akan tetapi bubuk putih itu membuat mereka ketakutan dan
memaksa mereka untuk mundur menjauh.
Pek Lian berangkulan dengan Bwee Hong. Ba-ru sekarang mereka, dalam keadaan sama -
sama lemas, mendapat kesempatan untuk berdekatan.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Enci Hong, akhirnya kita dapat berkumpul dan sama - sama menempuh segala bahaya
lagi!" kata Pek Lian sambil mencium pipi yang kemerahan dan halus itu dengan hidungnya. Bwee
Hong membalas ciuman itu dan kedua pipinya menjadi semakin me-rah karena Pek Lian bersikap
sedemikian terbuka, padahal di situ ada Yap - lojin dan terutama sekali Yap Kiong Lee.
"Ah, adik Lian. Sungguh aku berterima kasih kepada Thian yang telah mempertemukan kita
kem-bali, dan sekali ini engkau kembali telah menolong-ku dengan bubuk putihmu yang mujijat
itu!"
"Hi - hik, bubuk ini adalah milik mereka," kata-nya sambil memandang ke arah para pawang.
"Un-tung adik Eng yang memperingatkan sehingga kami berdua membawanya dengan
saputangan."
"Kita harus cepat - cepat keluar dari sini sebe-lum hawa beracun in'i membuat kita semua
ping-san," Yap - lojin berkata. "Hawa beracun ini lebih berbahaya dari pada tikus - tikus itu
sendiri."
"Ke mana kita harus pergi ? Lorong - lorong
di sini penuh rahasia dan tikus - tikus itu "
Kiong Lee mengeluh.
Sementara itu, para pawang sudah memberi pe-rintah kepada tikus - tikus itu dengan
bermacam gerakan, suara dan ledakan cambuk. Dan tiba-tiba terdengar suara berdesis - desis dan
beberapa ma-cam tikus jenis tertentu mengeluarkan semburan yang mengeluarkan bau yang luar
biasa kerasnya, membuat ruangan itu penuh dengan hawa beracun ! Lima orang itu merasakan ini
dan kepeningan me-nyerang mereka, membuat mereka terhuyung-hu-yung.
"Mari kita pergi " Yap - lojin
memimpin kelompok itu meninggalkan ruangan se-telah dia menerima saputangan berisi
obat bubuk putih dari Pek Lian, sedangkan Kiong Lee juga menerima saputangan berisi bubuk
putih itu dari Siok Eng lalu dia berjalan di belakang. Dengan senjata bubuk putih ini, mereka dapat
keluar dari tempat itu. Akan tetapi keadaan mereka sudah payah, terutama sekali Pek Lian yang
paling lemah sinkangnya. Kepalanya terasa pening dan ia ter-paksa dipapah oleh Bwee Hong dan
Siok Eng yang lebih kuat sinkang mereka. Mereka semua merasa khawatir sekali. Biarpun untuk
sementara waktu, berkat khasiat bubuk putih, mereka terhindar dari maut karena tikus - tikus itu
takut menyerang mereka, namun keadaan mereka begini lemah dan ka-lau sampai tuan rumah, Si
Tikus Beracun, turun ta-ngan, bagaimana mereka akan mampu bertahan ?
Pada saat yang amat gawat itu, Siok Eng ter-ingat akan botol berisi cairan kuning yang
diambil-nya dari dalam kamar merah, botol yang ada tulis-annya bahwa cairan kuning itu adalah
obat pena-war segala macam racun! Ia tadi sedang kebi-ngungan, karena biarpun Tai - bong - pai
merupakan perkumpulan para ahli racun, namun di antara obat - obat penawar racun yang
dibawanya sebagai bekal tidak terdapat obat untuk melawan hawa be-racun seperti yang
dikeluarkan oleh tikus - tikus itu. Kini ia teringat akan obat dalam botol yang diper-olehnya di
kamar Tikus Beracun, maka dikeluar-kanlah obat itu. Setelah diperiksanya, sebagai se-orang ahli ia
tahu bahwa obat itu dapat diperguna-kan dengan cara meminumnya, atau menciumnya atau
mengoleskannya. Memang benar obat pena-war segala macam racun. Iapun mencobanya dan
menciumnya dan seketika peningnya lenyap ketika ia mencium bau yang agak harum itu,
"Ah, inilah obat penawarnya. Harap kalian men-cium dan menyedotnya secara bergilir,"
katanya. Empat orang yang lain itu menjadi girang dan cepat menyedot dari botol cairan kuning
itu dan memang mujarab bukan main. Mereka sembuh dan merasa tubuh mereka segar kembali.
Akan te-tapi, tiba - tiba Pek Lian jatuh terkulai.
"Celaka " keluhnya " obat bius "
dan dara inipun sudah jatuh pingsan !
Siok Eng dan Bwee Hong terkejut, apa lagi ke-tika mereka berduapun tiba - tiba merasa
lemas se-perti dilolosi semua urat dalam tubuh. Mereka men-coba mempertahankan diri, namun
terhuyung dan akhirnya jatuh pingsan pula !
Terdengar suara pecut meledak - ledak dan de-lapan orang pawang tikus telah mengurung
dan menyerang dengan cambuk - cambuk mereka. Yap-lojin dan Yap Kiong Lee juga merasa
betapa kele-mahan menyelubungi diri mereka, namun dengan pengerahan sinkang dan kemauan
membaja, mere-ka berdua masih dapat melakukan perlawanan dan dengan pukulan - pukulan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sakti, mereka berdua ma-sih dapat menahan delapan orang itu sehingga mereka tidak berani
terlalu mendekat, hanya mengan-dalkan cambuk - cambuk panjang mereka untuk menyerang dari
jarak jauh.
Akan tetapi, betapapun mereka mengerahkan tenaga mengamuk, dari dalam ada suatu daya
me-lumpuhkan membuat guru dan murid itu menjadi bulan - bulanan patukan dan gigitan ujung
cambuk delapan orang anak buah Tikus Beracun itu. Keti-ka Kiong Lee terhuyung ke kiri, dia
disambut oleh pukulan beracun pawang tikus putih, sebuah pu-kulan keras yang menyambut
dadanya.
"Bukkk ! !" Kiong Lee mengeluh dan terpental,
kemudian terbanting ke dinding ruangan
itu dan jatuh terkapar dekat tubuh tiga orang dara
yang sudah pingsan terlebih dulu. Pemuda ini tidak
bergerak lagi.
Tentu saja Yap - lojin merasa terkejut dan kha-watir bukan main. Dia tidak tahu apakah
murid-nya tewas atau hanya pingsan oleh pukulan yang keras tadi. Dia mengamuk dan
mengerahkan sin-kangnya, namun tenaganya semakin lemah dan diapun terhuyung - huyung.
'Ha - ha - ha - ha ! Kiranya hanya sekian saja-kah kelihaian Yap - lojin yang terkenal sebagai
ke-turunan datuk utara Sin - kun Bu - tek itu ? Ha-lia - ha, tidak berapa hebat! Baru kau tahu
seka-rang betapa lihainya para jago dari Ban - kwi - to, ha - ha !" Ini adalah suara Tikus Beracun
dan dia sudah berdiri di situ bersama puteranya si Tikus Langit Kecil yang berdiri dengan sikap
angkuh.
Yap - lojin berhenti memandang dan kepalanya terasa semakin pening. Matanya menjadi
kabur dan musuh - musuhnya hanya kelihatan samar - samar saja. Akan tetapi, kakek yang gagah
perkasa ini tidak mau menyerah begitu saja, sedikitpun dia ti-dak menjadi gentar. Nyawa empat
orang muda yang sudah roboh entah pingsan entah tewas itu, kalau masih ada, terletak dalam
tangannya. Kalau dia jatuh, mereka semua tidak akan tertolong lagi. Dia sendiri sudah lemah
bahkan untuk berdiri tegak-pun sudah sukar, namun dia tidak memperlihatkan kelemahannya.
"Hemm, kalian majulah semua !" bentaknya.
"Tar - tar - tar - tarr !" Delapan orang pawang
itu tetap tidak berani mendekatinya karena
dari kedua tangannya keluar hawa pukulan yang
masih ampuh.

Tangan GeledekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang