Akhir Penantian

534 6 8
                                    

“Menantimu...

Di bawah hamparan langit

Semburat jingga yang memayungi

Warna gelap yg perlahan mengaburkan hati”

***

Kudekap erat kedua lutut hingga sejajar dada, mencoba sedikit mengurai rasa dingin yang berhembus bersama angin. Malam yang sama seperti beberapa tahun lalu, hanya tak ada dirimu di sini... hanya itu.

Sejenak kupandangi langit yg gelap, seolah bintang-bintang enggan berteman kelam tanpa sinaran sang bulan. Ahh... Benar-benar malam yang sempurna, untuk sebuah keputus-asaan.

Kualihkan pandangan, pada sepucuk kertas berwarna jingga berkilau dengan sampul tebal, memperlihatkan potret sepasang insan yang tengah berpelukan mesra dibalut busana pengantin. Rasanya lucu sekali, mengingat bahwa beberapa bulan yang lalu kukira potretkulah yang akan menghiasi undangan itu. Namun, semua berubah begitu cepat.

“Aku butuh waktu Aini, aku akan mempersiapkan semua, tunggu aku, dan aku akan datang melamarmu,” ucapmu di taman saat itu. Tepat saat matahari hampir tenggelam, melukiskan semburat warna jingga di langit. Aku mengangguk, meyakini setiap kata yang mengalir bagai sihir dari bibirmu. Dan seperti pintamu, aku menunggu. Hingga bulan berganti, mencoba terbiasa tak bertatap muka denganmu. Kabar yang semakin jarang kuterima dan mulai susahnya kau dihubungi, menggoyahkan kepercayaanku. Tapi sebuah pesan singkat yang kau kirim, kembali menguatkanku.

“Tunggu aku. Aku masih sibuk dengan pekerjaanku. Akan kupersiapkan semuanya. Bersabarlah.”

Namun, hingga bulan kembali berganti kau tak pernah datang. Hingga sebuah undangan sampai kepadaku. Undangan pernikahanmu dengan seseorang yang entah siapa. Sungguh lucu rasanya... saat kau memintaku menunggu dan memberimu waktu, kau malah dengan mudahnya mencari penggantiku. Sungguh ironis.

Aku kembali merapatkan pelukan pada kedua lutut. Angin semakin dingin, membuat tubuh sedikit mengigil. Tiba-tiba terdengar nada pesan dari hanphoneku. Dengan malas aku membuka inbox pesan, hanya untuk mendapati sebuah kegilaan lain darimu.

“Maaf Aini, tapi berhentilah menungguku”

Akhir PenantianWhere stories live. Discover now