Jalani Mulai Juni, Sampai Nanti

9 0 0
                                    

Sebenarnya aku tidak memusingkan bagaimana harus memulai atau mengakhiri sebuah kata. Yang aku khawatirkan adalah bagaimana aku menyampaikan isi maknanya. Acid bukanlah orang yang ingin aku jauhi, tapi juga tak begitu ingin kumiliki. Fisiknya bukan yang aku dambakan, perilakunya mudah saja aku tolak. Tapi, kenapa aku begitu nyaman di dekatnya? Kenapa aku merasa tenang kalau ada dia?

Seakan aku ingin bilang, "Kamu cukup diam disini, aku sudah lega."

Malam itu aku sudah liburan ke kampung. Dan Acid masih di Jakarta. Berjauhan seperti ini malah membuat kita semakin dekat. Aku bahkan tak peduli jika Acid video call sambil rokok. Padahal aku tidak suka ketika orang lain yang melakukannya. Aku bisa saja mematikan telepon ketika Acid berucap jorok atau kasar, tapi aku malah tertawa mendengarnya. Dan aku sedikit kesal karena selalu memakluminya.

Acid, pria berkumis dan berjenggot itu sudah mengalahkan egoku. Egoku terhadap semua standard laki-laki yang ingin aku jadikan teman hidup. Aku suka laki-laki yang rapi, bersih, tidak rokok, lembut dan tenang. Termasuk yang tidak sedang menjalani hubungan dengan siapapun. Tapi Acid, dia menghapus semua kriteria sialan itu dengan sikapnya yang tidak pernah dibuat-buat. Begitulah dia. Bertahan dengan karakternya. 

Bagaimana bisa, aku yang baru dia kenal beberapa bulan sudah tau semua kehidupan kelamnya dari mulutnya sendiri. Aku yang baru dia kenal bisa sedikit menundukkan dirinya. Bukan untuk terlihat lemah, tapi untuk menghargai orang lain. Setiap kali aku melihat matanya di belakang bilik mejaku, aku melihat sesuatu yang menarik. Dia yang sedang fokus menatap layar laptop, dan aku yang fokus mencari banyak hal di bulatan matanya. Alisnya tebal, aku mau. Bulu matanya ketika berkedip, aku juga mau. Tulang hidung yang tinggi dan tulang pipinya yang cubby, aku juga mau itu. Bolehkah?

Saat aku terdiam memandangi itu semua, Acid tiba-tiba mengarahkan matanya padaku. Terkejut adalah pekerjaanku setiap saat. Dan aku langsung menundukkan mata, tersenyum di balik layar komputer. Apakah Acid tau kalau aku cukup senang dengan itu setiap hari? Aku rasa, iya. Terkadang kita hanya berbicara dengan bertatap mata tanpa menunjukkan muka. Terkadang kaki kita di bawah meja juga ikut berbisik, lalu menyentil satu sama lain.

Tapi aku benci ketika mendengar HP nya berbunyi, lalu dia keluar ruangan untuk mengangkatnya. Iya, pacarnya. Si "Sayang" itu. Aku selalu tidak percaya diri, lalu membungkuk, tersenyum dengan paksa. Aku cemburu. Dan mencoba untuk tidak peduli. Seharusnya aku sadar, semua yang di lakukan Acid bisa jadi hanya candaan saja. 

Ketika dia mengantarkanku naik motor vespa-nya, mungkin dia hanya kasian dengan anak baru ini. Anak baru yang belum tau apa-apa soal pekerjaan. Lalu membelikan es krim rasa coklat untuk mendinginkan perutku. Aku ingat, sebelumnya dia pernah memberiku coklat juga. Sebagai ucapan terimakasih katanya. Ya... mungkin benar. Setiap canda dan rayu yang menjadi candu hanyalah candaan saja saat itu. Mungkin.

Hal-hal kecil yang Acid lakukan selalu berdampak besar atas berantakannya pikiranku. Saat aku berjalan melewatinya membawa dokumen yang cukup banyak, tiba tiba Acid menyuruhku untuk menengok kebelakang. Aku hanya senyum dan terus jalan. Acid berteriak lembut sekali lagi sambil menyuruhkan menengok, aku tetap menunduk malu. Lalu aku berjalan cepat sambil menutup muka merahku. Terdengar dari jauh, Acid tertawa bahagia. Puas menggodaku. Dan aku, juga senang mendengar tawanya.

Entah apa yang ingin Acid tunjukkan. Waktu itu dia pernah membawa jeruk matang ke kantor. Lalu menggambar ekspresi senyum di kulit jeruk itu. Dan diletakkan di dekat tumpukan dokumen, lalu diarahkan kepadaku. Aku tau itu, tapi pura-pura tidak lihat saja. Perlakuan yang manis dari laki-laki berperawakan seram ini, membuatku merasa dianggap ada. Dia manis sekali. Sampai-sampai jeruk itu tidak pernah dikupas dan membusuk coklat di atas mejanya.

Bukan sekali dua kali dia meneleponku malam-malam. Awalnya aku selalu menganggap itu memang bagian dari pekerjaanku saja. Karena memang dia menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan kita. Meskipun pada akhir telepon dia menanyakan keberadaanku, keadaanku dan di akhiri dengan suara yang tersenyum dari ujung telepon itu. Setelahnya aku yang tersenyum senang. Sampai-sampai aku keheranan kalau tidak ada panggilan masuk dari Acid seharian. Aku takut di acuhkan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 12, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Untuk Kamu Yang Duduk Di Depan MejakuWhere stories live. Discover now