Wanita Misterius

65 5 0
                                    

Nick menyerahkan bukunya pada Thalia kembali, yang diterima oleh gadis itu dengan sedikit kaget. Pikirannya masih belum bersih tentang sihir yang tiba-tiba menyerang mereka. Gagak-gagak itu bukanlah burung seperti biasanya, pasti ada sihir yang mengendalikan mereka. Itulah dugaan Nick sementara.

Nadia menjadi satu-satunya yang berdiri di dekat Thalia saat sepupu Ben itu sedang mengadu jarinya dengan buku, dengan gerakan membuka. Sedangkan Nick ,Ben, dan Percy masih sibuk berkutat dengan penyihir yang sudah tidak bernyawa itu.

“Percy” panggil Thalia pada Percy yang berada lumayan jauh darinya. Buku di tangannya sudah terbuka.

Percy mendongak, “Apa?”

“Ini” kata Thalia lagi sambil menyodorkan buku tersebut. Percy mengerti, ia segera bangkit membawa ipad-nya, berjalan ke arah dua perempuan itu. Nick memperhatikan dari tempatnya.

Yang pertama Percy lakukan adalah: memperhatikan sebentar halaman itu. Lalu tangannya dengan lihai menari-nari di atas layar mengetikkan kalimat yang terdapat disana, sambil sesekali matanya menoleh ke arah buku. Thalia memperhatikan cara Percy mengetik, ia sekilas bisa melihat gambar klasik di atas tulisan yang lumayan panjang itu. Sebuah tongkat yang bersinar di genggam oleh tangan dalam kegelapan. Thalia menoleh, ia melihat Nadia masih menggenggam tongkatnya.

 “Apa yang ditulis?” Ben bertanya. Ia bangkit dari duduknya dan meninggalkan mayat yang sudah mulai dingin itu, menghampiri teman dan sepupunya.

Percy tak langsung menjawab, tangannya masih sibuk mengetik. Selang beberapa detik kemudian, barulah Percy mendongak. “Jangan kau miliki apa yang bukan menjadi milikmu” itulah kalimat selanjutnya yang dibacakan oleh Percy. Nadia dan Thalia saling pandang.

Nick beralih dari mayat itu dan mulai menghampiri teman-temannya, saat itulah semuanya menengok pada Nick.

Nadia terlihat berpikir sejenak, menopang dagu dengan sebelah tangan yang bebas.

“Ahh” Percy hampir berteriak dengan mata yang berbinar, menjentikkan jarinya di udara seolah memanggil pelayan bar. Arah matanya menuju pada sisi kiri Nadia, lalu beralih pada yang lain. “Aku tahu, maksudnya adalah tongkat itu” katanya antusias sambil tangannya menunjuk pada benda yang dimaksud, nadanya seperti baru saja menang lotre milyaran rupiah.

Nadia mengangkat tangan kirinya, tongkat panjang yang berkilauan langsung terpampang di hadapannya. Sinarnya yang berkilauan memberi cahaya pada ruangan yang berantakan itu. Ia menyernyit sesaat, tongkat ini ternyata cukup berat di tangan kecilnya.

“Jadi kita harus keluar untuk mengembalikannya” Nick menginterupsi, lagi-lagi apa yang ia ucapkan terdengar seperti perintah. Tangannya terulur untuk mengambil alih tongkat dari tangan Nadia.

“Tapi” suara Thalia menyela, ia menggaruk tengkuknya pelan saat Nick mengalihkan pandangan ke arahnya. “Siapa pemiliknya?” katanya kemudian, matanya beralih pada tongkat di tangan Nick.

Ben mengendikkan bahunya mendengar pertanyaan Thalia. Semua terdiam sesaat, termasuk Nick. Angin yang berembus melalui atap membawa hawa dingin serta menyibak rambut panjang Thalia juga rambut Nadia yang di ikat ekor kuda. Percy menimbang-nimbang ipad sembari mengorek-ngorek otaknya. Nick menoleh ke belakang, melihat pada mayat yang sudah kaku dengan darah yang sudah berhenti mengalir dari dadanya. Kalau begitu ia jadi teringat lukanya.

Suara decakan Nick mengalihkan teman-temannya. “Kita keluar saja, disini sudah semakin tidak enak” katanya menjadi sangat waspada. Matanya berputar mengawasi sekitar, hanya redup yang dapat ia tangkap. Suara kelelawar berterbangan mengelilingi bagian atas istana yang bolong, di iringi deruan napas lima orang tersebut.

Buku Ramalan SintaWhere stories live. Discover now