Buku Usang

295 8 0
                                    

Pelapon di atas kamar bocor lagi. Bukan masalah besar─kalau saja Nadia Stecker dan Thalia Shields tidak akan tidur dikamar bercat ungu lembayung tersebut. Mereka pun berpindah ke dapur, sebuah keberuntungan kalau dapur tersebut juga tidak ikut bocor. Namun lantai dapur berderak lebih dulu sebelum mereka injak. Nadia dan Thalia saling pandang, ternyata anak laki-laki sudah lebih dulu menempati ruangan itu.

Nicholas Stecker menangkap pandangan mata adiknya, juga gadis disebelahnya dalam balutan baju tidur berwarna merah muda dari balik meja pantri. Ia mengerang pelan, penciumannya mengisyaratkan bahwa masakannya sudah hampir matang. Nick berbalik dan mematikan kompornya.

Nadia berjalan gontai kearah meja, Thalia mengekor dibelakangnya. Ben dan Percy sudah lebih dulu duduk disana menanti masakan Nick. Mereka terlalu asyik berbincang sampai tak menyadari kehadiran dua perempuan itu.

Nadia sengaja berdeham agak keras.

“loh?” Percy berkata sedikit kaget dan memandang pada Nadia, “bukannya kalian tadi bilang kalau sudah mengantuk?”

“kau susah akrab ya dengan Thalia?” Ben ikut menimpali.

“bukan” kata Nadia melenguh panjang, dagunya bertopang pada sebelah tangan.

“oh” Ben mengangguk seolah mengerti, “kupikir kau belum terbiasa tidur dengan orang lain.”

Kursi disebelah Nadia sedikit berderak saat Nick mendudukinya. Laki-laki bersurai hitam itu membawa beberapa piring di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya membawa piring berisi telur goreng buatannya. Ia lalu membagi telur tersebut ke dalam beberapa bagian.

“makanlah” katanya setelah semua temannya sudah memegang piring masing-masing. Ini acara makan malam pukul sepuluh.

Thalia makan dengan begitu lahapnya, tak ada sedikit pun rasa canggung terhadap orang-orang baru di hadapannya. Di hadapan teman-teman Ben, sepupunya. Bahkan tanpa sungkan ia mengambil satu porsi telur lagi yang masih tersisa di piring.

“wow, ternyata sepupu Ben keren juga soal makanan” Percy berdecak kagum. Mulutnya sedikit menganga dan matanya memandang tak percaya ke arah Thalia di sudut kirinya.

“ya, biasalah” Thalia menjawab enteng lalu memasukkan sesendok penuh nasi beserta telurnya─lagi. Nick hanya memandangi heran pada sepupu Ben yang baru bergabung bersama mereka hari ini, makanannya belum berkurang setengah pun karena ia menyuapkannya begitu lambat─berbanding berbalik dengan yang lain.

Pikiran Nick terfokus pada hujan yang masih belum reda mengguyur bumi persadanya. Baskom ukuran sedang yang digunakan untuk menampung air di ruang tamu sudah penuh. Airnya meluber dan membasahi lantai, meski begitu Nick enggan bangkit dan menggantinya.

Di luar jendela nampak malam yang begitu pekat dengan suara gemericik hujan dan di selingi suara guntur. Bayangan pohon cemara yang memanjang terkena sinar lampu teras membayangi jendela, sekilas nampak seperti sesosok bayangan yang menyeramkan. Nick mengalihkan pandangan pada jam di dinding dapur, jarumnya baru bergerak lima belas menit dari angka sepuluh.

“kamarku bocor” suara Nadia memecah keheningan di luar suara hujan. Ia telah menyelesaikan makannya dan kini tengah menatap Nick di hadapannya melalui bola mata coklat gelapnya.

Nick menyernyit memandang kamar Nadia disebelah ruang duduk, ruangan itu tepat berada dibelakang punggung adiknya.

“kalau tahu begitu aku tidak ikut Ben menginap disini” Thalia melenguh menambahkan. Piring bekas makannya sudah ia tumpuk bersama piring-piring lainnya. Gadis bersurai pirang itu lalu menopang dagunya dengan sebelah tangan. Pandangannya jatuh pada plastik pelapis meja makan.

Buku Ramalan SintaWhere stories live. Discover now