Kekasih dari Masa Depan

118 1 3
                                    

Perjalanan waktu itu ada. Seperti kisah seorang lelaki di sebuah toko sedang memilih baju untuk kekasihnya. Lelaki itu kebingungan sebab tak tahu persis ukurannya. Ia pun mendekati seorang gadis dan memohonnya mencoba beberapa helai. Perawakan gadis itu dan kekasihnya dirasa tak jauh berbeda. Selesai di situ. Mereka anggap itu hanya peristiwa lalu. Namun siapa menyangka beberapa tahun selanjutnya dua orang itu bertemu. Akrab, saling jatuh cinta dan saling memberi kesempatan pada ingatan bahwa dahulu, di sebuah toko baju, mereka ternyata sedang diperjumpakan dengan kekasih dari masa depan.

Begitu kisah yang pernah diceritakan Pia pada Ayus di Tamanera. Ayus sedikit terkejut saat itu sebab mengira Pia hanya tertarik pada politik daripada kisah-kisah romantis.

Mereka bersahabat sejak beberapa tahun lalu, namun hanya sekali dalam setahun saling bertemu. Dimitri, si resepsionis, lelaki tua berjas rapi pemilik senyum paling mendamaikan itu seperti biasanya akan mengantar Pia ke sebuah meja lalu menjetikan jari pada pramusaji untuk mengantar sebotol red-wine.

Tempat yang sama. Meja yang selalu sama. Ayus menjadikannya meja favorit sebab dari sudut itu penyanyi di panggung akan terbingkai mata dengan porsi yang tepat. Dan alunan musik tak akan terlalu terdengar berisik.

"Apa kau tidak merasa sisi kelelakianmu lemah? Selalu saja aku yang datang mengunjungimu. Ke tempat ini. Di meja ini. Mengapa bukan kau yang menemuiku?"

Ayus tertawa. Pia selalu memiliki cara menyudutkannya. "Ayolah, kau tahu sendiri bagaimana kehidupan terlanjur menanam kakiku di sini. Lagipula kau kan memang selalu datang setahun sekali. Sekalian mengunjungi tantemu yang centil itu, sekalian menemuiku."

***

Perjumpaan itu tidaklah disengaja. Mereka, dua orang yang lelah dalam perjalanan dan bertemu di emperan sebuah mini market. Pia membeli sebotol susu cair siap minum dan dua tangkup roti. Sementara Ayus hanya membeli secangkir kopi panas. Mampir sekedar merokok dan melemaskan otot. Sejak pagi ia sudah berkeliling kota mengantar pesanan roti.

Perbincangan mereka diawali dengan obrolan klise: cuaca. Ayus dengan keramahannya menanyakan pertanyaan yang tak butuh jawaban, "panas ya?" Sementara Pia, gadis penuh waspada yang senantiasa berhati-hati dan menaruh curiga itu, membalasnya dengan senyuman tawar. Tipi saja. Bisa jadi Pia menyungging senyum, namun tanpa Ayus ketahui, Pia memutar bola matanya. Masa bodoh.

Ia hanya ingin menikmati hari terakhir di kota itu dengan caranya sendiri-tanpa para sepupu yang mengajaknya ke salon kecantikan-sebelum besok mesti bangun pagi menepati jadwal kereta. Kembali ke ibukota.

"Kau bukan orang lokal, bukan?" tanya Ayus.

Pia menghentikan kunyahan. Mengangguk. Dan begitu Ayus menanyakan darimana Pia berasal, ia bereaksi. Berterus-terang bahwa tidaklah normal baginya bicara terlalu banyak pada orang asing.

"Maaf kalau kau jadi tak nyaman. Aku hanya selalu tertarik pada orang-orang dari luar kota ini. Aku ingin mendengar cerita seperti apa kondisi di luar sana."

Perasaan kesal yang sekeras bongkahan gunung es mendadak lumer. Pia iba. Meski begitu Pia keheranan. Sepantasnya perkataan itu terlontar dari seorang lelaki renta. Bukan dari seorang pemuda dengan tubuh sehat dan bugar.

Ayus adalah pemuda lokal. Dilahirkan sebagai bungsu di keluarga pemilik toko roti yang telah berdiri selama empat generasi. Bukan hal yang menyenangkan baginya hidup di sebuah kota yang sama sejak bayi hingga dewasa. Saat tangis pertamanya terdengar, bapak-ibunya telah berujar Ayus akan jadi penerus dinasti usaha mereka. Orang-orang mengatakan nikmat hidup adalah menerka-nerka masa depan sambil melakoni saja hari-hari yang penuh misteri. Namun tidak bagi hidup Ayus. Nasibnya telah dipilihkan orangtuanya. Jelas dan pasti.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 22, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kekasih dari Masa DepanWhere stories live. Discover now