1. Jatuh Sakit

83.4K 1.3K 94
                                    

Veranda terbungkuk-bungkuk di depan wastafel mengeluarkan isi perutnya yang bahkan sesiang ini belum terisi lagi. Meninggalkan jejak asam lambung pahit mencekat di pangkal kerongkongan, dan memancing untuk terus menguras cairan di dalamnya hingga tak bersisa.

Veranda merosot ke lantai, tubuhnya terasa lemas hingga ia harus menyandarkan punggung pada rak handuk agar duduknya tetap tegak. Ia menyeka bibir dengan punggung tangan, menggores berkas merah marun di sekitar pipi bekas lipstiknya yang luntur.

Belum pernah ia mengalami keluhan lambung disertai mual muntah hingga separah ini selama berada di negeri orang. Sejak beberapa hari lalu ia memang mengalami penurunan nafsu makan drastis dan hanya mampu menerima beberapa jenis makanan lembek saja dengan jumlah tak banyak.

Ini sudah hari kedua Veranda tidak masuk kelas. Bagi seseorang yang amat peduli dengan pendidikan, hal tersebut mestinya tak bisa ia toleransi, karena presensi mendekati seratus persen adalah awal dari keberhasilan studi pascasarjana yang saat ini ia geluti. Veranda benar-benar tak kuasa bahkan untuk memindahkan tubuhnya dari kamar mandi ke dapur. Tidak biasanya gejala siklus bulanannya datang sesakit ini. Tubuhnya memang mudah lelah dan kram di beberapa tempat setelah menginjak usia tiga puluh lima ke atas dan suasana hatinya mudah berubah, tetapi tidak pernah sedrastis ini.

Veranda beranjak menuju dapur, menuang segelas jus jeruk lalu meneguknya lamat-lamat. Isi kulkasnya nyaris kosong. Sejak hidup sendiri, ia tak pernah bersusah payah memasak bahkan satu porsi saja untuk dirinya, tidak di saat masakannya begitu payah jika dibandingkan dengan masakan sang mantan suami. Dalam kondisi kurang sehat dan perut nyaris kosong begini, Veranda tiba-tiba saja ingin makan pangsit mie hangat dengan bakso dan siomay. Dorongan itu terasa begitu kuat hingga seolah memberinya tenaga ekstra untuk menggerakkan tubuh.

Veranda menyambar dompet dan mantel dari atas meja kopi, lalu menunggu bus nomor 77 yang lewat setiap lima belas menit sekali di halte depan, seratus meter dari apartemennya. Rute bus nomor 77 berakhir di A1134, yang itu artinya dia akan melewati Brookfields Hospital, rumah sakit tempat Baskara bekerja sebagai analis laboratorium. Tetapi bukan ke sana tujuan Veranda. ia akan turun di Mill Road, lalu berjalan kaki menuju toko bahan makanan halal Al:Amin, dekat kompleks Abubakr Siddiq Islamic Centre.

Sejak mereka berpisah, Veranda tetap tinggal di apartemen lama mereka karena lebih dekat dengan kompleks Universitas Cambridge tempatnya menimba ilmu, sementara Baskara pindah ke Brooks Rd, mendekati kantor. Mereka seperti dua sisi magnet yang diletakkan pada ujung-ujung kota Cambridge, seolah takut bahwa radius terlalu dekat akan membuatnya melekat kembali satu sama lain lagi. Di satu sisi, ia ingin pergi ke apartemen Baskara, menggedor pintunya seraya menagih janji untuk makan siang bersama, sebab ajakan yang diutarakan lebih dari dua bulan lalu tersebut tak kunjung diterimanya. Namun, pada kenyataannya mereka bukan siapa-siapa lagi, hanya mantan suami istri.

Veranda memejamkan mata. Ia tempelkan wajah di kaca jendela bus yang tertutup, merasakan udara sejuk di penghujung bulan November di pipinya. Rasa dingin yang merambat ke sekujur tubuh, lalu mengendap di hati. Sudah terlambat, pikirnya. Tak akan ada kesempatan di lain waktu, bahkan untuk sebuah silaturahmi singkat. Ia tidak akan menghubungi laki-laki itu lagi, mungkin untuk seumur hidup.

Ponselnya yang tersimpan di dalam kantong tiba-tiba bergetar. Jantung Veranda mencelus, tetapi seketika denyutannya yang kencang mereda setelah membaca nama penelepon yang tertera di layar. Bukan Baskara, melainkan Teresa Wang, teman sekelasnya yang berkebangsaan Singapura.

"Halo," sapa Veranda dengan suaranya yang sedikit lemas akibat kurang enak badan.

"Kamu di mana? Aku ada di depan kediamanmu, leh."

Remarry You √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang