Prolog

80 0 0
                                        

Jam tanganku menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh menit. Keheningan malam menemani kepulanganku ke rumah setelah asik berjalan-jalan bersama Terry ke banyak tempat. Aku sudah menikmati hadiah kelulusanku darinya. Aku tengah menjalani liburan terakhir semasa SD. Ya, tahun ajaran baru nanti aku sudah sekolah di SMP tempat kakak-kakakku dulu menuntut ilmu. Dan ujian kemarin benar-benar membuatku stress. Bagaimana tidak, itu adalah ujian pertamaku. Aku hanya berharap ujian yang selanjutnya tidak akan separah ini.

Tentang Terry. Tak banyak yang kutahu tentang dia. Aku tidak terlalu suka mengatakan kenyataan kalau aku sudah dijodohkan dengan dia. Dia memang baik tapi terlalu pendiam. Lagi pula anak seumuranku pasti berpikir kalau pernikahan itu masih sangat jauh. Selama tiga tahun terakhir aku selalu menganggapnya seorang kakak. Umurnya pun sebaya dengan kakak keduaku. Jadi aku seperti bermain kakak-adik dengan dia.

Liburan hari ini sengaja mencari tempat yang jauh dari keramaian. Aku pergi ke desa yang tidak terlalu kupedulikan apa namanya. Yang penting bisa menenangkan pikiran. Jalan yang ditempuh pun tidak melewati jalan raya, tapi lewat jalan alternatif yang lebih sepi. Pantas saja sepi. Jalannya belum diaspal, lebarnya juga tidak cukup untuk untuk dua mobil yang berjajar dan kiri kanan jalannya penuh dengan pepohonan.

”Vira?”, panggil Terry.

”Ya?” jawabku.

”Gak ngantuk?”

”Ngantuk sih, tapi mataku gak mau merem.”

Terry tidak lagi bicara. Dia hanya merangkulku dan membuat kepalaku bersandar di bahunya. Ternyata benar. Dia lebih cocok jadi kakakku ketimbang jodohku. Lagi pula aku tidak menyukainya, apalagi mencintainya. Itu mustahil.

Tak ada suara yang kudengar selain suara mesin mobil yang kunaiki. Supir Terry sama sekali tidak bersuara. Terry juga masih diam. Dan aku tak bisa memulai pembicaraan, karena apa yang ingin kuceritakan pada Terry sudah kuceritakan semua.

Sinar menyilaukan ada di depan mobil. Aku tak bisa melihat dari mana datangnya sinar itu. Detik berikutnya yang kutahu badanku terbanting ke kiri. Aku menubruk Terry yang langsung memelukku dan aku merasa tubuhku terbalik—entah karena aku yang berputar atau mobil ini yang berputar. Aku juga mendengar ada kaca yang pecah. Dan kini aku terlempar ke depan.

Tubuhku terasa sakit semua. Dan aku merasa tubuhku juga basah. Aku yakin bukan keringat karena aku merasa tubuhku tidak kepanasan. Kulihat tubuhku yang kini sudah terjatuh ke bawah. Kuperhatikan tangan dan kakiku. Ada warna merah yang menodai baju dan rokku. Tangan yang terjulur tepat ada di atas wajahku pun menarik perhatianku. Dari ujung tangannya meneteskan darah ke bajuku yang masih baru ini.

Aku mencoba untuk bangkit sekalipun aku merasa sekujur tubuhku terasa sakit. Supir di depan kepalanya menempel di stir mobil. Di kepalanya juga berdarah, tapi aku masih bisa mendengar ia merintih kesakitan. Sepertinya ia sadar. Dan tentang kondisi mobil yang kunaiki. Mobil ini sudah tidak lagi mempunyai kaca—semuanya pecah. Beberapa diantaranya menancap di tangan dan kakiku yang tidak terbalut apapun. Aku tidak bisa bergerak kemana-mana kecuali untuk duduk. Aku tidak ingin aku terluka lebih parah.

Akhirnya aku bisa membuat diriku duduk. Kutatap Terry yang terlentang di kursi yang tadi kududuki. Aku yakin tadi Terry memakai baju putih polos bukan baju putih dengan bercak-bercak merah. Darah, aku tahu itu darah. Hal itu membuatku takut karena darahnya banyak sekali. Wajahnya juga berlumuran darah. Begitu pula dengan jins hitamnya yang juga basah—itu juga pasti darah.

After lateRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang