Without ❤ 1

61.8K 2.7K 46
                                    






Aku kembali menginjakkan kaki ke Indonesia setelah lima tahun kabur ke Jerman.

Benar, aku kabur.

Kabur dari semua kenyataan menyakitkan. Kenyataan bahwa sebagai seorang anak, aku tidak cukup diperhatikan oleh orang tua. Dan yang paling menyakitkan dan melukai egoku sebagai lelaki, aku tidak pernah dicintai oleh wanita yang sangat kuinginkan.

Bagaimana kabarnya?

Masihkah dia benci padaku?

"Bro, ngelamun aja. Tuh mobilnya udah dateng." Tepukan ringan di bahu membuatku kembali harus menghadapi kenyataan.

Zaroca, lelaki yang menepuk bahuku tadi, meninggalkanku sambil menggandeng tangan seorang gadis yang juga ikut pulang bersama kami. Satu tangan mereka yang bebas menarik koper masing-masing.

Aku bergegas mengikuti mereka sambil menyeret koperku menuju mobil yang menjemput kami.

Kursi belakang telah terisi, jadi mau tidak mau aku harus menempati sisi kosong yang berada di samping sopir. Sepanjang perjalanan, aku terus memperhatikan jalanan Jakarta. Banyak yang telah berubah rupanya. Lima tahun benar-benar mengubah jalanan Jakarta menjadi semakin tidak keruan. Kemacetan dan polusi udara di mana-mana. Jakarta bertambah panas.

Semuanya berubah. Hanya hatiku yang tidak berubah.

"Vian, besok malem acara di rumah kamu jadi?" tanya Andien dari kursi belakang.

Andien, gadis yang ikut pulang bersamaku dan Zaroca. Sahabatku juga, karena sejak SMA kami berteman baik. Andien sudah lebih dulu bersahabat dengan Zaroca. Bahkan Andien menangis heboh saat tahu Zaroca akan kuliah di Jerman bersamaku. Tetapi akhirnya malah dia mengikuti kami. Tinggal tepat di sebelah apartemen kami di Jerman. Kami bertiga ke mana-mana bersama. Lebih dari sembilan tahun sepertinya Andien dan Zaroca bersahabat. Ternyata persahabatan tanpa cinta berlaku pada mereka berdua. Tetapi siapa yang bisa menebak cerita ke depannya? Bisa saja persahabatan antara kedua orang itu berubah jadi cinta. Tunggu saja. Aku berani bertaruh untuk itu.

"Delvian...." Andien tidak sabaran rupanya.

"Jadi kok. Kalian berdua harus datang."

"Tentu saja kami datang." Zaroca menjawab dengan tegas.

Mobil yang kami tumpangi berhenti di depan rumahku. Setelah membantu menurunkan semua barang bawaanku, Zaroca dan Andien langsung pamit pulang.

Aku disambut oleh Mama dan Papa.

"Delvian, Mama kangen banget sama kamu," Mama memelukku erat.

"Aku juga, Ma."

Aku mengurai pelukan Mama dan beralih memeluk Papa.

"Selamat datang kembali Delvian."

"Makasih Pa, Ma. Mana Lerian?" tanyaku saat melihat adikku satu-satunya tidak ikut menyambut kepulanganku.

"Menginap di tempat tunangannya," jawab Mama santai.

Alisku terangkat mendengar ucapan Mama. Bukan menginap yang kupertanyakan. Tetapi tunangan adikku. Kenapa aku tidak menerima kabar soal pertunangan adikku sendiri?

"Kami sengaja tidak memberitahumu, besok malam juga kamu akan tahu siapa tunangan adikmu," jelas Papa melihat keherananku.

Setelah berbasa-basi sebentar, aku pamit menuju kamar yang sudah lima tahun kutinggalkan. Saat masuk aku langsung mengamati seluruh isi kamarku. Tidak ada yang berubah. Persis sama seperti saat dulu kutinggalkan.

Koper-koperku sudah berada di dalam kamar. Aku masih malas merapikannya. Nanti saja. Aku akan mandi terlebih dahulu agar merasa lebih segar.

Usai mandi, aku merebahkan diri ke ranjang dan berbaring. Menatap langit-langit kamar dan memikirkan seseorang.

Without HeartWhere stories live. Discover now