Panah Matahari

542 8 6
                                    

Melihat anak panah merah itu menancap di atap rumahku, duniaku serasa mau runtuh.

“Lan...” Yao berusaha meraihku dengan sebelah tangannya yang tidak sedang dipakai menahan babi hutan di bahunya, tapi aku berlari meninggalkannya. “Lan!” Yao memanggilku lagi, tapi tak kuhiraukan dia. Ini perkara keluargaku, bukan dia, meskipun sudah pasti keluarganya punya andil dalam hal ini.

Sepasang kakiku yang mungil berlari cepat menuruni tanah landaian, meninggalkan tepi hutan dan mengarah ke kampung kami. Sedikit buah-buahan kurus yang berhasil kukumpulkan hari ini terbuncang-buncang di dalam kantongku yang terbuat dari kulit lembu. Tanah terasa panas ketika aku menyeberangi salah satu ladang; sudah lama kering dan dipenuhi sisa tanaman mati.

Aku terus berlari, tidak menoleh ke belakang untuk melihat apakah Yao mengejarku. Juga aku tidak mendongak untuk melihat Sang Matahari yang menyengat punggungku. Kami memang tidak dibolehkan menatap Sang Matahari di kala siang, hanya dibolehkan saat terbit dan terbenam untuk berdoa kepadanya. Menatap Matahari ketika berada tinggi di langit sama dengan membangkang. Ingin sekali ini aku mendongak, tapi aku masih memohon belas kasihnya, semoga bukan rumahku, semoga bukan rumahku...

Sungai yang dulunya dengan cantik membelah kampung kami pun sekarang tinggal berupa ceruk kosong yang memanjang. Rumahku terletak di seberang sungai itu, agak jauh dari jembatan, jadi aku turuni saja bagian sungai mati itu yang paling dekat dengan rumah kami.

Sekarang aku bisa melihatnya dengan jelas, panah merah bekas celupan darah babi hutan. Tidak salah lagi, panah itu menancap di atap rumahku yang terbuat ranting, dahan, dan alang-alang. Beberapa warga kampung kami berkerumun di sekitar rumahku, hampir semuanya ibu-ibu dan anak kecil. Semua berbisik-bisik dan, tak terelakkan lagi, mendesah atau bergumam lega, bersyukur bukan atap rumah mereka yang disasar oleh anak panah merah kali ini.

Begitu melihatku datang, mereka terdiam dan mundur memberiku jalan. Langsung telingaku menangkap sedu-sedan dari dalam rumah. Saat melangkah masuk, bisa kudengar bisik-bisik mereka.

“Pasti Lan.”

“Bin terlalu muda. Mana mungkin mereka tega.”

“Lan sudah pantas dinikahkan, dengan Yao anak kepala kampung, terlalu berharga.”

Kututup pintu untuk menghalangi bisik-bisik itu, lalu aku jatuhkan kantongku di dekat pintu. Sebutir buah kesemek yang belum matang menggelinding keluar dari kantong. Ibu dan adik perempuanku terduduk di sudut, bahu mereka terguncang-guncang naik turun. Adikku, Bin, menangis tertahan dengan suara menyayat hati. Ibuku memeluknya, mengusap-usap rambutnya, setengah mati berusaha tidak menangis, tapi air matanya sendiri deras menuruni pipi.

Tungku kami menyala, beras dimasak di atasnya, dan segera kumatikan saja karena sudah mengepul berbau hangus. Aku bersimpuh di lantai rumah kami yang terbuat dari lalang, menghadap ibu dan adikku.

Bin melepaskan diri dari pelukan Ibu, berusaha berbicara tapi tidak bisa mengalahkan sedu-sedannya sendiri. Aku tahu Ibu takkan sampai hati mengucapkan sepatah kata pun mengenai hal ini, takkan sanggup memilih di antara kami.

Kupejamkan mata, lalu aku melihat Yao di balik kelopak mataku. Sebagai anak laki-laki termuda dari kepala kampung kami, Yao digariskan akan mengembara untuk merintis hidup baru di dunia luar. Takdir Yao adalah menjelajah dan membuka kampung baru. Takdirku, sebagai anak perempuan yang lahir paling dekat sesudah Yao, adalah menyertainya. Keluargaku akan mendapatkan lahan garapan baru sebagai balasannya.

Seumur hidup Yao disiapkan untuk menjadi pemburu dan petani terbaik, sekaligus menjadi pemimpin yang paling ulung. Seumur hidup aku disiapkan untuk menjadi pengumpul dan pengolah makanan terbaik, sekaligus menjadi ibu yang paling unggul. Namun, bisa saja Sang Matahari berkehendak lain. Mungkin akulah yang Sang Matahari inginkan untuk mengakhiri kekeringan ini.

Panah MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang