BAB 1

86.1K 4K 49
                                    

                              ****

"Sebaiknya kita bercerai."

Kuhentikan aktivitasku yang sedang membersihkan piring di dapur. Rasa sakit becampur keterkejutan membuat tubuhku menegang. Piring yang berada dalam gengamanku hampir saja terjatuh jika aku tidak sadar dimana dan dengan siapa aku berhadapan saat ini.

" Sudah dua tahun." ucapnya terhenti selama beberapa saat. dalam diam dapat kudengar langkahnya mendekat. Oh Tuhan, jangan. jangan biarkan dia mendekat.

Buru buru aku menyeka air mataku yang terjatuh. dengan sekali tarikan nafas, aku membalikkan badan ku menghadapnya. Wajah tampannya tampak kecapekan. Hal itu membuatku kembali bertanya, apakah aku dibalik semua kecapekannya?

Jelas saja,tolol. Dia tidak mencintaimu. Hidup denganmu seperti dineraka. Kamu tidak bisa membuatnya bahagia, tidak bisa membuatnya tersenyum dan tertawa lepas seperti yang kakak kamu lakukan.

" Kita akhiri saja semua ini, membuka awal yang baru mungkin terdengar menyenangkan." Sambungnya membuatku menelan ludah pelan. Mata tajamnya menatapku begitu dalam hingga menyebabkan debaran luka berduri dalam hatiku.

" Kamu yakin akan menyenangkan?" Tanyaku berusaha agar suaraku tidak terdengar gemetar. Ternyata sedikit berhasil karena melihatnya mengangkat sebelah alisnya seolah heran dengan perubahan sikapku.

" Bukankah ini yang harus terjadi?" Tanyanya kembali sembari memasukan tangannya di saku celana. Tubuhnya bersandar pada kulkas tanpa melepaskan tatapannya padaku, " Perpisahan yang seharusnya? Kamu membuat jalan sendiri tanpa bahan dasar untuk memperkokoh jalan yang kamu ciptakan. Sekarang lihatlah hasil perbuatanmu. Kamu menyeretku kedalam jalanmu padahal kamu tahu jalan ini tidak kuinginkan. Rasa puas tidak akan membahagiakanmu karena aku tidak pernah membahagiakanmu. Kamu harus mencari kebahagiaanmu sendiri, dengan bercerai tentunya." sambungnya dengan tegas meruntuhkan hatiku.

Seberusaha mungkin aku berusaha terlihat kuat dihadapannya. Walau rasa sakit ini mulai menikamku, kugigit bibirku menahan air mata.

" Bagaimana dengan kebahagiaanmu?" tanyaku membuatnya tertawa getir. aku tahu ia sedang berusaha menahan amarah akibat pertanyaan yang keluar dari mulutku namun ia memilih diam. Aneh tidak seperti biasa. Apakah mungkin ia sengaja tidak marah marah padaku karena kita akan segera bercerai? Apakah dia mau menciptakan sedikit kenangan indah padaku menjelang percerain kita?

Seketika itu aku menertawakan diriku dalam hati. Tolol. Apa arti kenangan itu jika akhirnya mereka bercerai?

" Entahlah. Rasanya asing mendengar kata itu lagi." ucapnya seketika membuatku mengangguk mengerti. kuberanikan diriku mengangkat kepala menatapnya, " Maaf." ucapku setengah berbisik.

Kulepaskan celemek yang sedang kupakai itu ketempatnya lalu berjalan beberapa langkah mendekat kearahnya hingga menyisakan sepuluh kaki jauh darinya.

" Kalau saja aku enggak senekat ini, kamu tidak akan merasa asing dengan kata bahagia. Kamu pernah bahagia, tapi karena kebodohanku, aku menyekapmu bersama denganku dalam kegelapan ini. M--aaf. Aku janji ini terakhir kali kamu merasa asing dengan bahagia karena aku akan membiasakanmu bahagia dengan..." ucapku terhenti selama beberapa saat. butuh beberapa menit bagiku untuk menahan rasa sesak yang menghimpit dadaku.

Selama itu aku membalas tatapannya dengan lirih. Rasanya aku memang sangat bodoh mengharapkannya. Dua tahun memang sudah berlalu membuktikan aku tidak pantas bersanding dengannya yang begitu sempurna, jauh dariku.

" Bercerai." sambungku berusaha tersenyum. Kuberanikan lagi diriku mendekat kearahnya yang terdiam. Tanganku menyentuh lengan kokohnya sembari menahan sakit di sekujur tubuhku. Kugigit bibirku hingga terluka sembari menatapnya, " Bahagia itu memang tidak pernah sederhana. Terima kasih untuk semuanya. Kamu telah membiarkanku merasa bahagia dengan menukarkan kebahagiaanmu. Sekarang giliranku. Kita bercerai saja.. memang seharusnya seperti itu bukan."

Selama beberapa saat kami berdua saling menatap. Tidak ada yang berusaha berkata diantara mereka. Seolah dalam keheningan ini mereka saling menukarkan pikiran melalui udara. Buru buru aku melepaskan sentuhanku pada lengannya yang menurutku terlalu kurang ajar bagiku menyentuhnya.

" Aku menunggu panggilan pengadilan. Sementara itu aku akan pindah rumah." ucapku melangkah mundur.

" Kamu masih bisa tinggal disini." Ucapnya terdengar seolah ingin menahanku membuatku tersenyum lirih sembari menggeleng kepala. Bukan lagi waktunya berkhayal.

" Ini rumahmu. Lagi pula aku memang tidak pernah pantas tinggal disini. Hanya kamu alasanku untuk memaksakan diri pantas tinggal. Sekarang tidak ada lagi alasanku untuk tetap tinggal. Jalan kita memang tidak lagi sama. Maafkan aku." ucapku mencoba menolak dengan halus.

Buru buru segera kubalikkan tubuhku, menyembunyikan air mata yang tumpah. Sekuat tenaga aku mencoba menahan isakan tangis. Tidak. Tidak. Dia tidak boleh melihatku menangis seperti ini.

" Ini hanya sebuah rumah. Kamu tidak perlu mempermasalahkannya. Aku bisa tinggal di.."

Rasanya aku tidak lagi mampu menahan segala rasa sakit yang mencekam ini, aku menarik nafas pelan sembari memejamkan mata. Tidak kuat lagi rasanya mendengar suara beratnya yang semakin menusukkan luka di hati. Kuangkatkan kepala menatap seluruh ruangan rumahnya yang mewah. Sekarang saatnya, saatnya meninggalkan semua ini.

" Selamat malam,Ran." ucapku setengah gagal menahan kegemetaran suaraku meninggalkan calon mantan suamiku seorang diri didapur.

                               ****

Tacking LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang