I Think I Miss You

4.5K 63 18
                                    

Aku bersandar pada sofa cafe yang empuk dan hangat. Menikmati nyamannya mata tertutup ketika lelah menyerang. Musim dingin berlalu lebih cepat kurasa. Tanpa aku sadari musim semi sudah tiba. Bukan. Bukan salah cuaca atau dunia yang sudah tua. Tapi aku yang tak pernah ingat bahwa hari-hari telah memiliki kalender dan jam yang nyata. Aku sering melewatkan kesenangan melihat dua benda penunjuk waktu itu. Kesibukan, alasanku. Aku habiskan duniaku berputar-putar di dalam kehidupan perusahaan yang mungkin hanya akan menenggelamkan aku semakin dalam pada dunia yang tanpa perasaan.

Inginnya aku tak punya perasaan saja memang. Tapi aku manusia biasa. Luar biasa sih, kadang-kadang, menurut teman-temanku. Luar biasa aku bisa hidup dengan tidak mempedulikan semuanya jika aku sudah berkeinginan demikian.

Suara musik yang tak asing mengalun mengisi telingaku. Kiss The Rain yang disuguhkan dengan permainan piano Yiruma benar-benar musik yang bisa kudengarkan berulang-ulang tanpa bosan. Karena itulah musik ini kujadikan nada dering ponselku.

Dengan malas-malasan aku merogoh saku hoodieku, mengambil telepon genggam. Masih dengan ngantuk berat aku menempelkan telepon genggam itu ke telingaku. "Hallo..." Aneh. Aku tak mendengar ada nada telepon yang terputus atau suara apa pun dari telepon genggam itu. Aku membuka mata dan melihat layar ponselku. Tak ada panggilan atau pun pesan masuk. Alunan suara piano itu terdengar lagi. Dari arah di depanku.

Saat aku mencari darimana suara itu berasal, segera kutemukan seorang pria berpenampilan rapi dengan sikap santai sedang duduk seraya meneguk kopi di hadapanku. Dia? Rasa kantukku hilang dalam sekejap.

A, apa yang dia lakukan di sini?

Senyum melintas di wajah pria itu ketika ia meletakkan cangkir kopinya di meja dan mendapati aku begitu terkejut akan kehadirannya. "Sudah bangun? Maaf, suara handphoneku membangunkan putri tidur."

"Sedang apa kau di sini?" Aku menegakkan posisi dudukku seraya sekenanya merapikan rambutku yang kusut.

Mata pria itu memandangku geli. "Minum kopi." Ia menjawab singkat pertanyaanku.

"Se, sejak kapan duduk di situ?" Aku tak tahu kenapa dia selalu bisa membuatku gugup.

"Sejak lima cangkir kopi." Ia menjawab begitu santai.

Lima cangkir... seharusnya dia minum lima cangkir racun saja! Jadi aku tak harus melihat wajahnya lagi.

Aku beranjak dari kursiku. Aku tak ingin melanjutkan percakapan dengan pria itu.

"Kenapa?" Suara pria itu seketika terdengar serius, nada santai yang sejak tadi tersuguh hilang entah kemana.

Langkahku terhenti di samping kursinya. "Apa?"

"Kenapa kau pergi?"

Aku mengernyitkan dahi. "Jemputanku sepertinya sudah datang." Aku menjawab seadanya, meski kutahu pasti bukan itu jawaban yang diharapkannya, meski kutahu bukan sedangkal itu maksud pertanyaannya. Jawaban itu cukup untuknya. Dan kulangkahkan kaki meninggalkan dia di kursi itu.

Dia bukan pria asing buatku. Tapi aku sangat ingin menjadikannya asing seperti sebelum pertama kali kami bertemu. Satu tahun yang lalu.

***

Maret 2010. Musim semi itu memang mencairkan salju.

Sembari menikmati langit biru jernih dan keramaian yang ingin berteman, aku menarik garis-garis tegas di atas buku sketsaku, goresan pinsilku menghasilkan sebuah gambar sepasang muda-mudi yang tersenyum bahagia. Begitu gambar selesai, aku segera menyerahkannya kepada gadis remaja yang sejak lima menit lalu menunggu hasil sketsa itu.

I Think I Miss YouWhere stories live. Discover now