Prolog : Satu Hirupan Nafas

2 0 0
                                    


Hari itu, Nagisa tengah termenung menatap indahnya langit dari balkon apartemen sederhananya. Desiran angin semilir diikuti suara hujan yang bergemerincing menambah lengkap orkestra indah gubahan Sang Maestro jagad ini. Ketenangan menyelimuti seluruh relung hati dan pikirannya. Sejenak ia menarik nafas dalam, bukan untuk menikmati keadaan, namun untuk menyambung kehidupan yang masih ia miliki. Iya, dialah Nagisa, seorang gadis yang memiliki paras yang menawan namun tanpa kaki, tangan, dan sebilah ginjal.

Semilir udara sore itupun memasuki tubuh ringkihnya secara perlahan. Sejenak ia dapat merasakan kelegaan. Perasaan klasik yang telah lama ada dalam kehidupannya. Perasaan yang sama ketika ia melahirkan buah hatinya yang pertama, Jey. Siapakah ayahnya? Dinamika kehidupan dunia telah lama berubah kawan. Norma kehidupan yang dahulu dijunjung tinggi, sekarang hanyalah dianggap sebagai suatu hal yang sepele. Janganlah kita membicarakan norma, kebenaran saja disamakan dengan kebetulan bahkan lebih jauh lagi, tidak ada lagi kata siapa yang benar dan siapa yang salah, yang ada hanyalah kesepakatan bersama. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya Jey, anak pertamanya, tanpa diketahui siapakah ayah yang bertanggung jawab atas dirinya.

Kehidupan awal yang ia jalani bersama buah hatinya masih dapat ia nikmati dalam tarikan nafas dalamnya itu. Hingga, sampailah ia dititik di mana udara tidak lagi dapat memasuki paru-parunya lagi. Saat di mana titik perubahan kehidupannya terjadi. Saat di mana dirinya harus merelakan kepergian putri pertamanya akibat ledakan bom para bedebah. Malangnya lagi, tangan dan kakinya pun tak luput menjadi korban dari aksi brutal mereka. Sebagai biaya amputasi, dirinyapun hanya bisa merelakan satu ginjalnya dijual sebagai harga yang harus ia bayar. Dirinya pun hanya dapat menatap kelamnya langit-langit yang semakin kelabu rasanya. Inikah zaman modern yang lebih baik, bukankah ini terasa seperti penindasan mayoritas terhadap minoritas dunia?

Semilir udara sore yang tadi ia hirup tadi itupun mulai keluar. Meregangkan seluruh saraf kehidupan yang ia miliki. Kehidupan yang berakhir di atas kursi nyaman di sebuah atap balkon apartemen.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 09, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Live a LifeWhere stories live. Discover now