empat

100 1 0
                                    

"Siapa tadi namanya?" Juna mengangkat sebelah alisnya. Menatap lekat-lekat perempuan yang sedang berdiri di hadapan meja kerjanya.

"Kila, Pak."

Juna tersenyum simpul, menampilkan dua lesung pipinya. Senyum yang biasa ia lontarkan untuk menaklukkan hati perempuan. "Nggak usah panggil Pak. Saya masih muda, kok."

"Oh.."

"Mas aja."

"Um.."

"Atau sayang," Juna menggoda lebih jauh, "eh, jangan sayang deh, nanti saya baper."

Kila tertawa canggung. "Saya juga nggak bersedia buat manggil sayang, kok, Pak. Tunangan saya pasti bakal keberatan kalau saya panggil atasan saya dengan sayang."

Langit di luar masih cerah. Masih belum senja dan matahari juga belum tenggelam. Tapi, Juna merasa seperti tersambar petir.

***

Cewek itu selalu memalingkan wajah setiap berpapasan dengan Dewa. Baik di koridor, di kantin, di mana saja. Ia selalu tiba-tiba menunduk atau tiba-tiba berbicara dengan temannya yang kebingungan. Awalnya, Dewa biasa saja. Tapi, lama kelamaan, cewek itu lucu jika diperhatikan.

Seperti sekarang, ketika Dewa sedang menunggu Nala latihan basket, cewek itu—yang bahkan namanya dilupakan oleh Dewa—sedari tadi memperhatikan Nala. Dewa tidak mau ge-er atau apapun itu, tapi si cewek itu berulang kali mencuri pandang terhadapnya.

"Tar, jadi gak?!" Nala berteriak setelah sukses memasukkan bola untuk yang kesekian kalinya.

"Nggak ada yang jemput."

"Gue yang anter."

"Alah, lo mah paling nganter sampe depan komplek, gue disuruh jalan."

Nala tertawa. "Iya lah, lo kata bensin murah?"
Dewa yang duduk beberapa langkah dari cewek itu—siapa tadi? Tar? Apa mungkin Taro? Seperti rasa bubble tea?—memutar bola mata. Padahal, selama ini, selalu dia yang menyetir. Nala hanya hobi membawa-bawa kunci mobil, supaya cewek-cewek di SMA mereka tergiur. Setiap Dewa meminta gantian, alasan Nala selalu sama: 'Capek nih abis basket.'

"De, ayo!"

Dewa sampai tidak sadar Nala sudah membereskan barangnya dan sudah bersiap ke lapangan parkir. "Tara nebeng, ya."

Dewa mengedikkan bahu seraya berlalu. Ketika sudah berjalan beberapa langkah di depan saudara kembarnya, ia tersenyum.

Tara.

***

Bima merapikan kemeja flannelnya. Sekali lagi. Melipat bagian tangannya. Kemudian membukanya lagi. Kemudian kembali melipatnya. Lipat sampai siku, atau sampai-

"Bisa kucel tuh, kalau kamu gulung-buka terus."

Bima mendongak.

"Hehe, itu kan kemeja, bukan dadar gulung. Gitu aja udah bagus, kok."

Bibir Bima tidak mampu bergerak. Ia masih terpaku dengan orang yang berada di hadapannya. Yang kini sedang menarik kursi untuk duduk di depannya. "Ambi," makhluk cantik itu berucap lagi. "Kamu?"

"Eh, uh, Bima.."

Ambi terkekeh. Meluncurkan suara halus yang membuat Bima ingin tersenyum. "Panggilannya Bima atau eh, uh, Bima?"

Bima tertawa kecil. "Kamu panggil calon pacar juga saya nggak keberatan."

Keduanya terdiam. Bima salah langkah.

"Jadi, sekarang beauty vlogger juga jago fashion?"

Ambi menggeleng setelah meminum teh raspberrynya. "Nggak butuh jago fashion buat liat gaya pakaian cowok yang ganteng."

Keduanya kembali terdiam. Sepertinya, Ambi juga salah langkah.

Tapi, toh, sembari melihat minuman mereka masing-masing, keduanya menyembunyikan senyum simpul. Tidak ada yang salah langkah. Bima teringat kata-kata Ibu: semua ini hanya masalah waktu.

***

Hello

how are you doing?

Pendek dulu ya, namanya juga baru balik :)

I hope you enjoy this ~mini~ part of five to five. i'll see you at the next chapter!


with love,

a

05:05Where stories live. Discover now