Umbrella Boy

329 4 4
                                    

Udara mulai terasa lembab, langit pun mulai berubah warna menjadi abu-abu. Lengkap sudah deritaku hari ini jika hujan beranjak turun. Payung lipatku yang biasanya selalu berada di ranselku tadi pagi tertinggal di dapur. Aku lupa memasukkannya lagi setelah diangin-anginkan untuk menurunkan sisa air akibat hujan kemarin sore. Kalau sudah begini aku hanya bisa merutuk di dalam hati dan juga berdoa semoga awan menunda memuntahkan air dari atas sana. Untung jaketku tidak ikut ketinggalan. Udara dingin daerah pegunungan selalu tidak bersahabat dengan diriku. Bakat alergi yang diturunkan ibuku berujung dengan membawa asma untuk turut serta pada paru-paruku. Sudah tentu jaket dan payung seharusnya selalu berada di dalam ranselku. Irma, sahabatku memang membawa payung, tetapi kami berbeda arah tujuan.

“Ra napasmu nggak sesak kan? Gimana kalau naik ojek aja?” tanya Irma.

“Nggak perlu Ir, sayang duitnya. Lagian kan rumahku juga tidak terlalu jauh. Kamu kan tau sendiri jajanku pas-pasan” jawabku.

“Iya juga ya, hari ini aku juga nggak punya jajan lebih jadi nggak bisa bantuin kamu Ra” ujar Irma.

“Ah kamu kayak nggak biasa aja, udah nyantai aja” jawabku lagi.

Kami pun bergabung dengan teman lainnya menuju keluar kelas. Rata-rata temanku memang memilih berjalan kaki menuju sekolah. Tinggal di desa dengan rata-rata orang tua kami bermata pencarian sebagai petani kopi tidak memungkinkan kami untuk memiliki kendaraan pribadi, walaupun itu hanya sebuah sepeda motor. Memang beberapa temanku memilih sepeda untuk menuju ke sekolah dan sisanya kebanyakan hanya berjalan kaki. Biasanya kami berpisah di pertigaan jalan untuk menuju ke rumah masing-masing.

“Kamu hati-hati ya Ra, sampai jumpa besok” ujar Irma sambil melambaikan tangan padaku.

“Kamu juga hati-hati, siap-siap digodain Iko lagi” ledekku.

Irma hanya tersenyum simpul ditambah pipi yang merona. Aku tertawa meledek Irma sambil berjalan mundur. Tanpa sadar aku menabrak seorang laki-laki yang berperawakan sedikit lebih tinggi dari tinggi badanku. Lelaki itu memakai celana jeans yang dipadankan kemeja berlengan pendek dan berwarna biru, warna kesukaanku. Ternyata aku juga tidak sengaja menginjak kaki kanannya yang hanya dilindungi sandal jepit berwarna biru juga. Itu pun aku tersadar ketika dia mengaduh. Aku pun bergegas meminta maaf padanya.

“Maaf bang, nggak sengaja” ujarku

“Lain kali kalo jalan itu jangan mundur, tapi maju. Untung kakiku nggak putus” jawabnya

“Iya bang, sekali lagi maaf ya bang” ujarku

Lelaki itu pun berlalu tanpa memperdulikanku lagi. Huh sinis sekali orang ini, tapi sepertinya aku belum pernah melihatnya. Apalagi arah jalannya adalah arah menuju rumahku. Mengapa aku belum pernah melihatnya sekalipun ya? Sepertinya dia bukan murid sekolah kami. Lagipula dia tidak memakai seragam, pasti bukan siswa SMA juga batinku.

Langit terlihat makin kelabu. Aku mulai was-was dan mempercepat langkahku. Aku paling benci suasana seperti ini. Langit suram dan aku berjalan sendirian. Bukannya aku tidak memiliki teman searah untuk pulang. Tetapi rata-rata temanku yang searah rata-rata adalah laki-laki dan kebanyakan mereka juga membawa sepeda. Sesekali aku memang ikut menumpang pada mereka, tetapi terkadang mereka lebih suka menongkrong terlebih dahulu di warung dekat pertigaan sekolah. Aku mana tahan jika harus menunggu mereka, apalagi jika mereka mulai menghisap rokok. Tentu saja itu namanya bunuh diri jika terlalu lama berada di sana, paru-paruku terlalu lemah untuk itu.

Semilir angin mulai bertiup. Sebenarnya aku suka itu, tapi tubuhku tidak. Aku pun segera mengeluarkan jaket dan memakainya. Langkahku makin cepat saja, jalanan juga mulai tampak sunyi. Tapi siapa itu seseorang di depan sana? Seperti lelaki berkemeja biru tadi. Dia tampak berjalan santai sambil menyandang tasnya yang berwarna hitam. Jika dilihat dari gaya berpakaiannya, dia tampak tidak familiar dibandingkan pemuda-pemuda di desa ini. Dia terlihat terlalu kekotaan menurutku. Tapi aku suka kemejanya, biru.

Suara petir mulai  terdengar dan saat ini aku berada di daerah pematang sawah. Aku selalu takut jika melewati jalan ini jika hujan turun. Aku takut disambar petir di tempat lapang seperti ini. Saat kecil, ibuku selalu menakuti-nakuti kami agar tidak bermain di sawah jika hujan turun. Aku ingat nasehat ibuku, petir suka menyambar apa saja di tempat yang lapang. Sebenarnya aku ingin sekali menjajari lelaki itu, tetapi aku juga sungkan karena tidak mengenalnya. Lelaki itu tampak menikmati pemandangan pematang sawah di samping kami. Sayang wajahnya tidak tertangkap oleh mataku. Tapi setidaknya aku tidak sendiri di jalan ini. Aku mengira-ngira mungkin dia menyadari keberadaanku di belakangnya dan berharap dia mengajakku untuk berjalan di sampingnya. Tapi sepertinya tidak begitu, dia tetap berjalan santai di depanku sampai kami mulai menjumpai perumahan penduduk desa.

Rintik hujan mulai jatuh. Aku pun mulai membungkus ranselku dengan kantong plastik besar bekas bunga yang tadi pagi aku bawa ke sekolah. Dan ransel itu pula yang aku gunakan untuk melindungi kepalaku dari hujan yang mulai turun. Di depanku, tampak laki-laki berkemeja biru itu mengeluarkan payung dari tasnya dan mulai membentangkannya. Dalam hati aku berharap dia segera menyadari keberadaanku dan mengajakku untuk berteduh di payungnya. Tapi harapanku tidak kunjung datang, lelaki itu tetap berjalan santai di depanku. Sampai akhirnya aku memilih untuk berteduh di rumah Pak Anto, dan lelaki itu pun terus berlalu. Tapi tunggu, apa itu yang ada ditelinganya. Seperti ada tali berwarna putih yang menjuntai dari kedua telinganya. Kedua tali itu berujung pada tas sandangnya. Sial, ternyata dia sedang mendengatkan lagu. Pantas saja dia tak menghiraukanku. Untung saja Pak Anto sudah berada di rumah, jadi aku bisa meminjam payungnya.

Aku langsung bergegas untuk pulang setelah berpamitan pada Pak Anto dan berjanji mengembalikan payungnya nanti. Sesampainya di rumah, tergeletak sebuah payung berwarna abu-abu dan sepasang sandal berwarna biru. Aku mulai mengingat-ingat sandal siapakah itu? Sepertinya aku mengenalnya. Aku mulai gelisah begitu ingat itu adalah sandal lelaki tadi yang berjalan di depanku. Untuk apa dia kemari? Tahu begitu aku lebih baik nekat menghampirinya tadi kalau aku tahu tujuannya adalah rumahku.

Setelah mengucapkan salam aku memasuki ruangan depan rumah kami. Ya rumah sederhana yang hanya memiliki dua buah kamar di dalamnya. Tampak lelaki itu sedang duduk di samping ibu. Apa itu? Mata sipitnya seperti mengingatkanku pada seseorang. Saat dia melihatku, tampak raut terkejut di wajahnya. Ya, kami sama-sama terkejut tepatnya. Aku pun teringat dengan ekspresi itu, ekspresi Dino sahabat masa kecilku. Dino yang sering mencari belut di sawah yang kami lewati tadi. Dino yang selalu membawa payung kemanapun kami pergi bermain. Dino yang sering mengusiliku dengan menyipratkan air hujan ke wajahku. Iya, dia Dino sahabat kecilku. Dinoku yang menyukai hujan dan warna biru. Seketika aku ingin sekali menghambur ke pelukannya. Tapi enggan kulakukan. Setelah ibu pamit untuk ke dalam, kami hanya saling mencuri pandang dengan malu-malu dan tersenyum simpul. Dino pun mengeluarkan payung lipat berwarna biru kusam, payung kami. Iya, itu adalah payung yang dulu dibawa kemana-mana olehnya. Payung yang melindungiku dari hujan yang dia sukai.

“Ra, aku kangen kamu” ucap Dino tiba-tiba.

“Aku juga. Aku kira kamu sudah melupakanku. Terima kasih Din” ujarku.

“Terima kasih untuk apa Ra?” tanyanya.

“Terima kasih udah jaga kenangan kita. Payung kita” jawabku sambil menahan tangis.

“Terima kasih juga masih ingat aku Ra” ujar Dino sambil menyodorkan payung itu padaku.

Hujan masih turun di luar sana, di dalam sini kami pun sibuk bernostalgia tentang hujan dan payung biru kami.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 29, 2012 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Umbrella BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang