Kupu-Kupu dari Rio

230 3 0
                                    

"Argh!!" Netta membanting keras bola basketnya, hingga melambung tinggi karena terpantul lantai lapangan. Wajahnya basah karena keringat, beberapa helai rambutnya menempel sempurna di pipinya. Ia terlihat kesal akibat lemparan bolanya yang tak juga lolos melewati lingkaran berjaring di atas kepalanya itu. Netta kemudian berjalan sempoyongan menuju pinggir lapangan dan memutuskan untuk beristirahat. Ia duduk memeluk kakinya dan menenggelamkan kepalanya di antara kedua tangannya. Berderet kalimat keputusasaan mendesak memasuki pikiran Netta. Ia kebingungan, bagaimana bisa, seorang kapten tim basket di sekolahnya, tak bisa melakukan hal paling pokok dalam permainan basket. Bola yang sedari tadi ia lempar ke arah ring bagai magnet kutub utara yang mendekati sesamanya, memantul tak ingin mendekat.

Setitik air mata mulai keluar dari indera pengelihatannya. Ia merasa, seluruh impiannya telah runtuh, rata dengan tanah. Satu-satunya hal yang membuat ia bahagia kini sudah tak ingin menghiburnya lagi. Basket. Basket adalah hal yang selama ini menjadi penghiburnya, pengalih segala masalah untuk ia lupakan sesaat, membuatnya terfokus dengan keranjang berlubang di ketinggian 3 meter dari kaki-kakinya yang bergerak lincah menghindari perebut-perebut bola. Basket telah membuatnya merasakan bagaimana rasanya menjadi pemenang, rasanya memiliki belasan piala perlombaan. Basket telah mengajarinya untuk bekerja sama, untuk menjadi seseorang yang pantang menyerah, seseorang yang memiliki semangat tak terhingga. Tapi, entah mengapa, kali ini titik semangatnya telah mencapai angka nol. Telah terkuras habis.

Netta memang sudah lama tidak bemain basket, tidak melempar atau mendribble bola basketnya. Sudah lama sekali, hingga tangannya mulai lupa untuk melakukan sebuah lemparan indah yang seharusnya bisa ia lakukan dengan mudah. Tujuh bulan, Netta tak bisa berjalan. Kakinya mengalami patah tulang parah, yang membuatnya harus bergantung pada kursi roda yang kini sudah berada di gudang rumahnya. Ia beruntung tidak kehilangan kakinya. Ia juga sangat beruntung tidak mengalami kelumpuhan, bahkan ia sudah bisa berlari. Kecelakaan yang ia alami memang cukup dahsyat, bahkan motor yang ia kendarai saat itu sudah tak berbentuk lagi. Kini, ia merasa telah kehilangan kemampuannya. Ia merasa basket sudah tidak berpihak padanya.

Sebuah bola basket menggelinding mendekati Netta, memberikan sedikit senggolan di kakinya. Netta mendonggak demi mengetahui siapa yang mendatangkan bola basket berwarna biru itu. Teman sebayanya, Rio, yang terlihat mengenakan seragam basket dengan tas ransel yang tersampir di punggungnya, tampak kaget menatap Netta yang terlihat begitu berantakan. "Hey," sapanya singkat, kemudian mengambil bola basketnya di dekat Netta. "Lo kenapa?" lanjutnya lagi. Suara pantulan bola basket dengan lantai gedung olahraga kemudian terdengar beberapa kali setelahnya. "Gue...Gue kayaknya harus berhenti main basket." jawab Netta, yang diiringi dengan usapan kedua tangannya di wajahnya, seolah tak percaya apa yang baru saja ia katakan. Laki-laki itu kemudian melempar bola basketnya ke ring. Bola tersebut sukses mencapai targetnya, Rio berhasil mencetak poin dengan sempurna. Netta yang menyaksikan permainan Rio semakin digerogoti dengan keputusasaan.

Rio memutuskan untuk meninggalkan bola basketnya menggelinding sembarangan, dan berjalan untuk duduk di sebelah Netta. Rio menghela napasnya. Ia memang tampak sedikit terkejut saat kalimat jawaban Netta menggema di dalam GOR, namun kini ia justru tersenyum dan menatap Netta, seolah meminta kepastian bahwa yang ia dengar barusan hanyalah sebuah lelucon klasik. "Lo... Kenapa?" Rio sengaja mengulang pertanyaannya, entah karena ia ingin jawaban yang lebih tepat, atau memang hanya itu yang ada di pikirannya. "Gue nggak tau. Gue nggak bisa main basket lagi.." kini sepasang alis tebal di atas mata Rio mulai mendekat satu sama lain, menciptakan ekspresi kebingungan. "Kok.. gitu?" Netta membiarkan pertanyaan singkat Rio melewati telinganya, tak ada sedikitpun keinginan untuk menjawabnya.

Rio menghela napasnya lagi, kemudian menarik kedua sudut bibirnya, ia tersenyum. Netta tampak sedikit kebingungan, respon yang Rio berikan justru semakin menambah kalimat-kalimat tanya di kepalanya.

Kupu-Kupu dari RioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang