BAB 2

1.1K 32 15
                                    

Membosankan, itulah kata yang pertama kali diucapkan oleh seseorang jika sedang menunggu. Rayn mengalami hal itu sekarang. Hampir saja ia berdiri lalu keluar dari ruang berdindingkan kaca menghadap pemandangan kota berkabut dengan gedung-gedung pencakar langit itu. Sebuah fakta yang tak bisa dielakkan adalah, ia masih bertahan di dalam sana. Sesekali melirik jam di pergelangan tangannya, sudah tiga puluh menit ia menunggu, dan itu membuatnya frustrasi. Suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar di karpet koridor. Dengan tersengal-sengal, wajah merah padam, seorang wanita terburu-buru masuk ke ruangan.

"Maafkan aku telah membuatmu menunggu lama," ucap Audrey dengan senyum lalu memberikan kecupan singkat di bibir pria itu yang tampak terkatup, "tapi aku hanya punya waktu sebentar. Karena setelah ini, aku harus pergi untuk menyelesaikan beberapa sesi pemotretan lagi."

Sambil melepaskan mantel, Audrey mendekat lantas mengalungkan kedua lengannya ke leher Rayn, lalu menyandarkan kepala di dada bidang pria itu. Hal seperti ini biasanya selalu berhasil meredam emosi sang kekasih.

"Ikutlah bersamaku ke Brazil," kata Rayn dengan suara serak. Tiba-tiba ia merasakan tubuh Audrey menegang. Wanita itu mendongak menatapnya, ada bayangan kegelisahan di mata hijaunya.

"Aku harus berada di San Francisco hingga bulan depan."

"Kalau begitu, bagaimana kalau setelahnya?"

Wanita itu bergerak mundur selangkah kemudian bersedekap seraya menatap pria itu dengan dahi berkerut. "Apa kita pernah membicarakan ini sebelumnya?" tanya Audrey, "mengapa pembicaraan ini mengejutkanku?"

"Aku harap itu bukan berarti penolakan," ucap Rayn, penuh penekanan di tiap kata-katanya.

Audrey meringis. Sekali lagi ada kegelisahan terpancar di matanya. Dan, itu membuat Rayn semakin ingin membawa wanita itu pergi dari negara ini, terutama menjauhkannya dari kakeknya. Audrey menarik napas lalu mengembuskannya dengan kasar, "Bisakah kita membicarakan ini nanti saja?"

Rayn menggeleng. "Mengertilah, sweetheart," ucapnya gusar, "aku tidak ingin menunda... apalagi mendengar jawaban yang menggantung." Wajahnya tampak memerah karena menahan emosi.

"Mengapa kau berubah jadi pria pemaksa sekarang?" Audrey menatap pria itu dengan sarkastis. "Hmm... ini seperti bukan dirimu saja."

Rayn ingin menampik, tapi ia justru mengangguk. "Well, kau juga makin keras kepala, bahkan aku hampir tidak mengenalmu lagi," ujarnya setengah bergurau walaupun tanpa senyum.

Audrey mengangkat bahunya. "Apa kau bertengkar lagi dengan Kakekmu?"

Rahang Rayn tampak mengetat, namun dengan cepat dia mengubah ekspresi wajah menjadi sedatar mungkin, kemudian bergerak mendekati Audrey yang kini sedang duduk. Lelaki itu berjongkok, tangan kanan menggenggam erat jemari kekasihnya. "Aku ingin kau pergi bersamaku, dan memulai hidup baru," ucapnya seraya mengeluarkan cincin bermata berlian dari kotak kecil. "Audrey... menikahlah denganku."

Ekspresi kaget, gadis mengenakan gaun tak berlengan berwarna hitam itu membekap mulut dengan kedua tangannya. "Kau sungguh serius?"

"Aku belum pernah seserius ini, Darl. Percayalah... aku bisa memberimu segala yang kau inginkan." Rayn meraih tangan Audrey dan memasukkan cincin ke jari manis wanita itu perlahan namun pasti.

Tiba-tiba Audrey menarik tangannya dengan kasar, hingga benda kecil tersebut terjatuh. Sambil berdiri dia berkata, "Aku memang mencintaimu. Tapi, menikah denganmu...," seraya menggeleng ia mengambil tas juga mantel merah yang tergeletak di kursi. "Maaf... aku lebih nyaman begini." Wanita itu mulai melangkah mendekati pintu, dia berusaha menghindari tatapan pria yang kini tampak bergeming.

"Apa lelaki tua itu mendatangi dan mengancammu?" tanya Rayn setelah beberapa menit terdiam. Meski serak, suaranya terdengar dingin.

Pertanyaan tersebut berhasil menghentikan gerakan tangan Audrey yang hampir menyentuh pegangan pintu di depannya. Gadis berambut pirang itu berbalik badan dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. "Aku tidak ingin mengorbankan semua mimpiku yang telah kuraih ini hanya karena sebuah pernikahan yang tak direstui!" pekik Audrey tak tertahankan. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Berengsek!" Rayn mengumpat sembari mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ternyata benar, Leo telah menemui gadis itu lebih dulu dan mengancamnya.

Audrey tersenyum kecut sambil mengangkat bahu. "Kau tahu, selama ini aku banyak berpikir keras," ucapnya dengan suara parau, "entah apa yang kurang dalam diriku sampai kakekmu tak pernah memberiku kesempatan untuk mendampingi cucu kesayangannya ini."

Rayn menggeleng, tatapannya melembut saat mengetahui kalau di balik kepercayaan diri sang supermodel ternyata begitu rapuh. Perlahan dia mendekat, namun Audrey justru melangkah mundur, membuatnya harus menahan diri untuk memeluk gadis itu.
"Ikutlah denganku. Aku bisa memberikan dunia impian itu untukmu," ucap Rayn lembut.

Audrey menatapnya jengah. "Well... kau benar-benar jadi pria pemaksa sekarang. Sungguh menyebalkan!" kemudian ia menghela napas panjang sebelum berkata lagi, "kurasa... ini pertemuan terakhir kita."

"Apa maksudmu dengan pertemuan terakhir, huh?" Mendengar pernyataan tersebuat seketika emosi pria itu meledak.

Dengan sikap angkuh Audrey melihat jam di pergelangan tangannya seraya berkata, "Maaf... tapi sekarang, aku harus pergi." Kemudian ia melangkah keluar ruangan berdominan cat putih itu tanpa menoleh lagi.

Wajah Rayn tidak memancarkan perasaan apapun mendengar kata-kata tersebut dan kekecewaan hanya terungkap pada caranya memejamkan mata saat pintu itu kembali ditutup. Ia tak percaya ini akan terjadi. Semua karena pria bernama Leonardo Crawford yang sudah berani mencampuri kehidupan pribadinya.

Well, jika ini adalah permainan dari pria penguasa itu, maka aku akan ikut memainkannya. Tentu saja, dengan caraku sendiri....

Rayn mengambil ponsel di saku celananya lalu menekan tombol panggilan cepat. Bibirnya menyeringai saat dalam dering kedua langsung dijawab. "Grandpa, ayo kita mulai 'perjalanan panjang' itu bersama?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 15, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Perfectly ImperfectWhere stories live. Discover now