Living the past

30.7K 4.4K 105
                                    

Dayang-dayang mengamatiku dengan tatapan was-was dan sesekali  terlihat panik. Aku akui itu semua salahku, yang selalu mencubit lengan sendiri setiap kali bertemu orang yang memanggilku Ndoro Putri, hanya untuk memastikan kalau aku tidak bermimpi. Walau sebenernya itu semua tidak perlu kulakukan mengingat rasa sakit pada keningku gara-gara jatuh karena tersandung kain yang kupakai sendiri. Lagipula, kenyataan bahwa aku bisa lancar berbicara dan mengerti bahasa Jawa kuno harusnya sudah bisa menjelaskan kalau aku tidak sedang bermimpi.

Seharian ini aku diajak jalan-jalan ke semua tempat yang sering menjadi tempat nongkrong si Roro. Mereka berharap dengan begitu aku bisa mengingat masa laluku, yang mana mustahil karena masa lalu yang mereka harapkan bisa kembali bukanlah milikku, karena aku bukan siapa yang merekan pikirkan.

Hidungku mencium aroma rempah-rempahan yang dimasak dengan lezatnya. "Ayo makan. Aku lapar," kataku, ketika rombongan kami melewati pasar rakyat.

Bukannya berhenti dan membiarkanku turun dari tandu, mereka malah berjalan dengan cepat.

"Hey, aku bilang aku lapar." Entah bagian mana dari kata-kataku yang tidak dimengerti, yang pasti mereka bukannya melambat, mereka justru semakin cepat melangkahkan kaki hampir berlari.

"Berhenti!!" Mereka berhenti seketika. Kepala mereka yang sedari tadi memang tertunduk, semakin menunduk. "Aku mengajak kalian makan. Kenapa kalian malah membawaku lari?"

Dasa, yang diberi tugas Bhitah untuk melayaniku karena dia ada tugas lain, langsung bersujud di depan tanduku. "Ampun Ndoro Putri, supaya kita cepat sampai ke istana maka kita harus berlari. Mohon ampun kalau Ndoro Putri merasa tidak nyaman," ujarnya dengan suara bergetar.

Selagi menjelajah, aku menemukan fakta bahwa Roro ditakuti banyak orang. Bukan karena jabatannya sebagai seorang putri raja, melainkan sebagai individu kepribadiannya sendiri. Sepertinya Roro yang hidup sebelum aku datang adalah orang yang kasar. Beberapa pelayan yang entah tidak sengaja atau sengaja aku sentuh selalu mengernyit dan seperti menahan diri untuk tidak menjauh. Aku bahkan punya kecurigaan kalau Acalapati, perempuan yang mirip sekali dengan teman sekelasku dulu di kampus, sangat membenciku. Tunggu, bukan aku, maksudku membenci Roro Jonggrang. Selain Bithah yang memang menjadi babysitter Jonggrang sejak kecil, hanya Acalapati yang berani membalas tatapan si Ndoro Putri.

Jadi, si Jonggrang memang cantiknya luar biasa, tetapi ternyata kelakuannya tidak secantik tampangnya. Kenapa aku tidak kaget kalau ternyata Jonggrang bukan seorang wanita yang anggun dan berbudi? Karena dalam setiap cerita legenda yang aku baca tentangnya, tidak ada yang menjelaskan kalau si Jonggrang adalah seorang putri yang baik hati.

Looks doesn't define you, but surely what you do does. Manusia dinilai dari budi, akal, dan budaya.

"Kenapa kita harus ke istana?"

"Karena Ndoro Putri lapar?"

Aku menghela napas, kesal. "Memangnya di pasar tadi tidak ada yang menjual makanan? Aku bisa mencium aroma lezat ketika kita melewatinya tadi, makanya aku langsung merasa lapar. Tentu ada orang yang berjualan makanan di sana." Geramanku semakin membuat nyali mereka menciut. Sebenarnya tidak tega, tetapi sedari tadi kelakuan mereka sangat menguji kesabaranku.

Kali ini Dasa mendongak menatapku dengan heran. "Makan di pasar? Ndoro Putri mau makan di pasar?"

"Iya. Memangnya kenapa?"

"Erm..." Dasa melirik kanan-kiri, berbagi tatapan aneh dengan teman-temannya.

Aku menangkap gerakan bibir Acalapati, dia mengguman, mengejek dan meremehkanku. Aku mengirimkan tatapan tidak suka padanya, yang membuatnya segera mengunci mulut. Perutku memilih saat itu untuk berbunyi dan dia tertawa kecil.

Sementara Dasa membelalakan matanya lebar dan dengan panik menyuruh rombongan untuk berputar kembali ke pasar, mataku tidak teralihkan dari Acalapati yang masih mengulum senyum walau sudah diperingatkan oleh teman di sampingnya. Ketika matanya melirikku, aku memicingkan mata padanya. Dia segera mengalihkan pandangannya ke arah lain namun uluman senyum masih bermain di bibirnya.

***

Seperti ada yang hilang...

Sorry,
Jealoucy

Shades Of TwilightWhere stories live. Discover now