Part 6

154 7 0
                                    

Bryan's Point of View
Tok.. tok.. tok.. tok.. tok.. tok..

"Jasmine? Kamu kenapa? Masuk."

Malam ini pertama kalinya aku melihat dia menangis, setelah lima tahun aku tidak bertemu dia. Bajunya basah semua, dia kedinginan karena hujan. Aku langsung mempersilakan dia masuk dan membuatkan coklat panas, minuman favoritnya. Lalu aku menyuruhnya menganti bajunya dengan bajuku, takut masuk angin.

"Aku boleh stay di sini dulu, nggak? Aku lagi nggak mau ketemu orang-orang." katanya setelah tangisnya berhenti.

Aku tidak bisa menolak.

"Jangan kasih tau orang lain apalagi Abang, kalau aku ada di sini. Aku nggak mau orang lain khawatir." pesannya.

Aku hanya bisa mengangguk, "Mau cerita?" aku menghampirinya yang sedang duduk di sofa.

"Aku takut."

"Pas Abang tau, aku jadian sama Jo, dia marah, dia bilang kalau Jo itu jahat. Abang bilang, Jo cuma manfaatin aku. Aku nggak percaya sama Abang, makanya pas kamu telpon itu, aku sama Abang emang lagi marahan. Terus, tiga hari kemudian, Karin, mantannya Jo, ngajak aku ketemuan. Karin bilang kalau yang dikatain Abang itu bener. Karin juga bilang, Jo yang sekarang bukan Jo yang dulu. Jo udah jadi robot keluarganya, nggak kayak dulu. Tapi, kata Karin, Jo juga masih baik kayak dulu. Tadi keluarganya Jo ngajak dinner bareng. Mereka bicarain bisnis Ayah dari pertama aku ketemu mereka. Mereka juga tanya, kapan aku tunangan sama Jo. Aku bilang ke mereka kalau aku sama Jo barusan aja jadian dan masih sekolah, jadi belum mikirin ke sana. Mereka paksa aku. Aku takut, Bry." lanjutnya.

Air matanya menetes lagi. Aku merangkulnya hangat, dia menangis di bahuku, "Aku ada di sini, buat kamu." Aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjaganya apapun yang terjadi.

Pukul 21.00 waktu Indonesia bagian barat, jam tidur Jasmine. Aku membersihkan kamar di sebelah kamarku, yang akan Jasmine pakai selama dia ada di apartemenku.

"Bry, aku nggak bisa tidur."

"Nggak usah takut. Ada aku." kataku tersenyum, menenangkan. Jasmine mengenggam tanganku erat, seolah tidak ingin aku pergi. Aku menarik tangannya pelan ke dadaku.

Saat Jasmine tertidur, aku kembali ke kamarku. Ternyata ada 5 missed call dari Bagas. Aku yakin itu pasti tentang Jasmine. Aku mengirim pesan singkat ke Bagas: "Bro, adek lo ada sama gue. Dia aman."

"Serius? Hp-nya dimatiin. Orang rumah panik semua." balas Bagas.

"Dia bilang, jangan kasih tau orang-orang, termasuk lo. Lo bilang aja ke keluarga lo, dia lagi liburan sama gue."

"Jasmine kenapa? Gua abangnya, gua harus tau."

"Dipaksa sama keluarganya Jo, katanya."

"Tuh kan, ah. Gua ke sana sekarang, ngasih baju-bajunya Jasmine. Titip adek gua ya, bro."

"Adek lo nggak bakal gue apa-apain kok. Tenang aja." itulah pesan singkat terakhir yang aku kirim ke Bagas malam ini.

Beberapa menit kemudian, Bagas datang membawa baju-baju Jasmine. Aku menatapnya penuh keyakinan, "Adek lo aman sama gue." kataku berusaha meyakinkan Bagas sebelum dia pergi. Wajahnya kelihatan murung saat dia keluar dari apartemenku, aku tau dia ingin bertemu adik satu-satunya itu.

Keesokan harinya, saat aku sedang membuat sarapan, Jasmine berlari ke arahku sambil bertanya, "Itu koper siapa?" mungkin dia bingung karena tiba-tiba ada koper di sebelah tempat tidurnya.

"Kamu. Abang tadi malem ke sini, aku bilang aja kalau kita mau liburan." jawabku tenang.

"Oh.. kamu bikin apa? Baunya enak." kata Jasmine pelan.

What Does Love MeanWhere stories live. Discover now