BAB I

3K 64 15
                                    

California, San Francisco.

RAYN CRAWFORD mengerang kasar saat terdengar suara ketukan keras di pintu kamarnya. Dilemparnya bantal yang tadinya ia jadikan persembunyian ketika cahaya matahari mengenai wajah kantuknya melalui celah-celah kamar, dengan sembarangan.

Akhir-akhir ini ia telah menghabiskan waktu hanya untuk bekerja di perusahaan milik keluarganya yang hampir saja bangkrut. Bisa saja ia bertindak lepas tanggung jawab dan pergi bersenang-senang. Toh, perusahan milik Crawford's tidak satu saja. Ini hanya bagian kecil dari seluruh kekayaan yang keluarganya miliki. Tapi, jika ia melakukan itu, maka tamatlah riwayatnya di tangan Sang Kakek siap memberi pelajaran. Salah satunya mencoret namanya dari daftar ahli waris.

Akhirnya dengan kesal Rayn bangkit dari ranjang dan meraih jubah tidur berwarna hitam kemudian mengenakannya seraya melangkah mendekati pintu bercat coklat itu.

''Sialan kau, Joe," geramnya.

Ia menerka pasti yang dibalik pintu itu adalah Joe Parker. Asistennya sekaligus saudara angkatnya yang sering memberikan laporan-laporan mengenai pekerjaannya. 

Bahkan belum sejam yang lalu, dia menggangguku. Sekarang apalagi yang dia inginkan?

"Apa kau ingin mati....." bentak Rayn sambil membuka pintu. Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya setelah melihat sosok yang berdiri di depan. Mulutnya terkatup dan tanpa sadar ia mundur selangkah.

"Grandpa,"  gumamnya seraya menahan rasa terkejutnya.

Inilah Sang Kakek. Orang yang sebisa mungkin untuk ia hindari. Pria pemaksa dan tidak ingin dibantah. Bahkan, dirinya sendiri terkadang harus menuruti apa yang lelaki ini inginkan. Rayn merasa berutang budi terhadap pria itu karena telah mengasuhnya sejak kecil. Jika kakeknya menginginkan sesuatu, cukup menjentikkan ujung jari maka sudah pasti semua beres. Tentu saja, dia bisa melakukan apa yang dikehendaki dengan kekuasaan yang dimilikinya.

Leonardo Crawford menatap Rayn tajam. Sorot mata birunya menyiratkan kesedihan entah karena apa.

Apa ucapanku membuatnya bersedih? Pikir Rayn.

"Aku belum ingin mati, sebelum kau kembali ke jalan yang benar," kata Leo yang mengeryit menatap Rayn yang tergelak pelan. "Kau menyuruhku masuk?" sindir Leo sambil berjalan masuk dengan tongkat kayu yang dirancang khusus sebagai senjata rahasia. Yang terlihat hanya tongkat biasa penopang jalannya. Meski orang akan bertanya-tanya mengapa lelaki itu memakai tongkat? Padahal jalannya masih tampak tegap dan berkharisma. 

Ia melewati tubuh Rayn yang kini mengikuti di belakangnya. Kemudian duduk di sofa yang menghadap tempat tidur yang tampak tidak begitu berantakan. Pertanda bahwa ranjang tersebut belum lama ditiduri.

Kau memang bisa kuandalkan.

Tanpa diketahui oleh Rayn, Leo mengulum senyum saat mengetahui cucunya begitu berkerja keras untuk membangun perusahaan nyaris bangkrut. Hanya saja dia memberi sedikit rasa tanggung jawab terhadap pemuda nakalnya itu.

Leo dengan cepat mengubah ekspresi wajah dingin saat bertemu tatap dengan cucunya. Leo memberi isyarat agar Rayn duduk di ranjang. Walaupun masih bingung
dengan kehadiran pria ini, Rayn melakukannya.

"Apa terjadi sesuatu, Grand...,"

"Bersiap-siaplah! Kita akan melakukan perjalanan panjang nanti," jawab Leo antusias menyela ucapan Rayn.

Seketika Rayn berjengit dan memejamkan mata, saat mendengar kalimat 'melakukan perjalanan panjang'. Mencoba mencerna kata-kata tersebut. Hampir saja dia mengeluarkan umpatan kasar ketika sadar apa yang dimaksud oleh kakeknya itu.

Perfectly ImperfectWhere stories live. Discover now