Wanita Di Bawah Dedaunan Yang Berjatuhan

427 10 3
                                    

Suara decit karet sepatu yang beradu dengan aspal, bergema di dalam sebuah lorong gelap. Dengusan nafas si pemilik sepatu naik turun berirama seiring langkah kakinya yang mantap menyusuri jalan.

Arais sudah melakukan putaran kedua dari marathonnya pagi itu. Terowongan yang dilaluinya sekarang, merupakan penanda bahwa sebentar lagi targetnya akan segera tercapai. Tujuh kilometer. Setiap hari.

Sejak setengah lima subuh, Arais sudah merajai jalanan. Berlari. Dari pusat keramaian sampai ke sudut gang yang kumuh. Arais tak peduli meski sepaatu olahraganya yang mahal harus terpercik noda lumpur di jalanan becek berlubang seperti gigi manula. Dia terlalu menikmati keindahan pagi. Sesuatu yang menjadi candu sejak dulu sampai dengan sekarang ini.

Ketika akhirnya setitik cahaya di ujung lorong bertambah benderang, Arais tahu dia harus berhenti. Sebentar lagi sebuah firdaus akan ditemuinya dan disitulah dia akan menghempaskan lelah.

Eden yang dimaksud Arais terdiri dari beberapa hektar pepohonon, sebuah padang rumput seluas lapangan sepakbola, beberapa kolam, dan sebuah danau kecil. Taman itu diketahuinya beberapa minggu setelah dia memutuskan untuk pindah di kota metropolitan ini. Kota kelahirannya yang ditinggalkan sejak remaja. Sekarang Arais kembali untuk melebarkan sayap perusahaan yang dimilikinya. Tapi, sesungguhnya ada lebih dari sekedar niat memgembangkan bisnis agar semakin besar. Arais ingin menata hatinya yang sempat hancur.

Kaki Arais yang kokoh baru saja keluar dari terowongan, ketika wajahnya disambut terpaan dedaunan. Arais mengambil beberapa helai yang menyangkut di rambutnya yang tebal dan bergelombang. Musim gugur baru saja menyapa. Membuat sesisi taman semarak dengan perpaduan warna merah, jingga, kuning, dan emas.

Sebuah bangku di bawah sebatang pohon maple yang daunnya sangat rimbun menjadi tempat yang dipilih Arais untuk beristirahat sebentar. Sambil mengatur nafasnya yang masih sedikit memburu, dia memperhatikan orang-orang yang beraktifitas di sekitarnya.

Penjaja makanan kecil, penjual balon, pelukis, atraksi pantomim, seniman jalanan. Arais menyaksikan semua kegiatan dihadapannya seraya mengulum senyum. Kalau sahabatnya melihat kelakuannya saat ini, pastilah dia akan menganggap Arais gila.

Seperti bisa mendengar pikiran Arais, ponsel di sakunya berbunyi. Tertulis nama sahabatnya di layar.

"Kamu di tempat itu lagi, ya?" tanpa basa-basi kawan karibnya langsung bertanya saat Arais menjawab telepon.

"Heeiii...galak sekali."

"Aku hanya berusaha membuatmu waras," di seberang saluran sahabatnya mencibir, "Sampai jam berapa kamu akan melamun disitu? Memangnya apa bagusnya memandang daun-daun yang jatuh dan orang-orang berseliweran?"

"Kamu harus mencobanya sekali-kali. Bisa membuat otakmu istirahat sebentar." Arais terkekeh.

"Kalo otakku istirahat, siapa yang akan membantumu menjalankan perusahaan?"

"Baiklah...baiklah. Aku akan segera ke kantor. Kamu selalu saja mengatakan itu untuk membuatku bersalah."

"Aku tahu kelemahanmu, Kawan." giliran temannya yang terkekeh sekarang. "Satu jam lagi kamu harus segera sampai di kantor. Ada rapat bersama dengan klien baru. Kamu harus datang!" telepon pun ditutup. Arais mendengus sebal. Kadang-kadang karibnya itu bisa sangat menjengkelkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 16, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mozaik KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang