Moments

409 23 2
                                    

“If we could only have this life just one more day,

 if we could only turn back time...”

Wanita itu terlihat sibuk dengan telepon dan dokumen-dokumen yang berceceran di meja kerjanya. Sesekali ia bertanya pada orang di seberang telepon untuk memastikan apa yang harus ia kerjakan dengan dokumen yang ada didepannya itu. Pemandangan seperti itu bisa kau lihat setiap hari, apalagi di hari-hari seperti senin, rabu, dan kamis. Jadi tak jarang, ia sedikit frustasi dengan suasana seperti ini. Tapi apa daya, ia tak mempunyai banyak pilihan.

            Akhirnya, jarum jam menunjukkan pukul empat, membuat wanita itu tersenyum melihatnya. Karena, itu artinya adalah waktunya untuk pulang ke rumah. Ia pun segera memberaskan meja kerjanya, dan mengambil mantel berwarna coklat yang tergeletak di atas sofa ruang kerjanya. Kakinya berjalan menuju tempat dimana ia memakirkan mobilnya tadi pagi. Ia mempercepat langkahnya ketika melihat pintu lift akan menutup, tapi untungnya ia mendapatkan kesempatan. Nafasnya sedikit terengah-engah karena mengejar pintu lift tadi.

            Saat ia sampai di dalam mobil, ia pun segera menyalakan mesin mobilnya dan keluar dari tempat itu. Hari itu awan menutupi matahari yang malu-malu, membuat tanda-tanda akan hujan. Wanita itu pun menekan gas lebih dalam, agar speedometer nya meningkat. Tak beberapa lama ia berhenti desebuah toko bunga di pinggir jalan. Tanpa basa-basi ia pun turun dari mobil Porsche merah nya.

“hai, Kelly,” sapa wanita itu kepada pemilik toko bunga itu. Sesekali matanya melihat-lihat bunga yang terpajang disana-sini.

“ya, Tuhan, kau kemari lagi!” katanya tidak percaya, ia pun memeluk wanita itu layaknya teman lamanya.

“aku mau bunga yang biasanya, ya,” pintanya.

“oke, kali ini aku akan memberimu gratis mengingat kau hampir setiap hari kemari.” Mendengar itu, wanita itu pun tersenyum senang. Kelly –pemilik toko bunga itu- pun membungkuskan seikat mawar putih untuk pelanggannya –wanita itu-.

“terima kasih, Kelly. Senang menjadi pelangganmu,” katanya dengan senyum yang lebar disertai mata hijaunya yang berbinar-binar.

“tentu, kapan saja,” jawabnya.

            Setelah ia mendapatkan bunga mawar putihnya, ia menuju tempat kedua yang ia hampir setiap hari ia kunjungi. Sebuah tempat dimana ia sering mencurahkan segala isi hatinya.

***

            Kakinya melangkah mantap melewati batu nisan-batu nisan yang berjejeran, sampai ia berhenti di sebuah nisan yang bertuliskan Zayn Malik. Ia pun menaruh mawar putih segarnya diatas mawar putih yang terlihat sedikit layu, karena baru kemarin ia menaruh mawar putih sebelumnya. Saat ini, langit sedang tak bersahabat dengannya, karena ia merasakan butiran-butiran air jatuh mengenai rambut brunette nya. Dengan perlahan, ia berjongkok di samping nisan itu.

Rose tersenyum lembut, “hai, Zayn. Bagaimana hari mu?” katanya membuka pembicaraan. Dan tak ada jawaban. Ia hanya merasakan butiran-butiran air dari langit yang menimpanya mulai banyak. Rose bahkan telah merasakan mantelnya basah karena gerimis yang turun. “hari ini aku sibuk, seperti hari kemarin. Dan itu sangat menyebalkan, kau tahu? Karena itu membuatku capai dan berpikiran aku tak ingin bekerja lagi. Tapi kau tahu, aku tidak akan bisa hidup tanpa pekerjaan ini.” Tangannya perlahan merasakan ukiran nama ‘Zayn Malik’ di nisan itu.

“aku bertemu dengan Niall tempo hari, dan dia tidak seperti Niall yang ku kenal. Maksudku memang tidak ada yang berubah darinya, ia masih suka makan, tapi tawanya… ia jarang tertawa… karena mu.” Air matanya mulai keluar dari pelupuk matanya.

Moments (Sequel Daylight)Where stories live. Discover now