PENDEKAR 4 ALIS
DUEL DI BUTONG
Lereng yang mereka lalui tandus tanpa tetumbuhan
apapun, batu padas licin dan tajam! Mendadak
Hoa-kuahu berhenti dan memandang kaki sendiri,
kakinya yang putih halus itu tampak melepuh dan
berdarah.
“Engkau tidak bersepatu?” tanya Siau-hong.
“Tidak,” jawab si janda dengan tertawa. “Biasanya
aku sangat jarang berjalan.”
Ternyata sepatu pun tidak dipakainya dan segera
ikut pergi bersama Siau-hong, malahan tidak
membawa apapun.
“Engkau tidak menghendaki apapun dan cuma
minta kuikut pergi bersamamu, lalu apa yang perlu
kubawa?” ucap Hoa-kuahu dengan muka pucat
karena kaki kesakitan namun tetap tertawa lembut.
“Di dunia ini masakah ada yang lebih berharga
daripada cinta sejati?”
Siau-hong memandangnya, rasa hangat membanjiri
hatinya. Dipondongnya Hoa-kuahu dan melintasi
lereng ini. Si janda berbisik di tepi telinga Siauhong,
“Sekarang Sebun Jui-soat pasti menganggap
engkau sudah mati, asalkan kau suka, kita dapat mencari suatu tempat yang aman dan tenang untuk
hidup seterusnya.”
“Sebenarnya aku sudah bertekad akan mati bagi Lau-to-pacu, tapi telah kutemukan dirimu,”
sambungnya pua. “Dia juga tidak berkeras menghendaki aku tinggal di sana, maka kuharap
seterusnya dia akan melupakan si janda ini. Aku she Liu, bernama Jing-jing.”
Jing-jing artinya hijau menghijau. Rerumputan di depan memang hijau, dedaunan juga menghijau.
Siau-hong tidak langsung menuju ke sana, dia tidak lupa di depan itulah hutan pemakan manusia.
Mereka berduduk di ketinggian tanah di tepi hutan, di atas tanah berumput yang penuh dedaunan
rontok.
Aneh juga, tengah musim semi, masa daun sudah rontok? Siau-hong memungut sehelai daun itu,
hanya dipandangnya sekali, mendadak tangannya berkeringat dingin.
Segera si janda alias Liu Jing-jing dapat melihat perubahan air muka Liok Siau-hong itu, cepat ia
tanya, “Apa yang kau lihat?”
Siau-hong menunjukkan pangkal daun rontok itu dan berkata, “Daun ini bukan rontok tertiup
angin.” Pangkal daun rontok itu ternyata rajin dan rata.
Liu Jing jing juga berkerut kening, ucapnya, “Bukan rontok tertiup angin, apakah rontok karena
tabasan pedang?”
“Bukan ketajaman pedang, tetapi hawa pedang,” tukas Siau-hong.
Air muka Liu Jing-jing juga berubah, pedang di tangan siapa yang mampu memancarkan hawa
pedang setajam ini?
Segera Siau-hong memungut lagi sehelai bulu yang juga rontok oleh karena hawa pedang.